Selasa, 23 November 2010

Belajar atau Mati (4)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Orang-orang yang malas belajar biasanya sinis menanggapi ajakan untuk giat belajar. Mereka biasanya berujar dengan pongah, “Buat apa sih, belajar? Toh kita dapat terus hidup, bekerja, mencari uang, santai, tanpa harus repot-repot belajar. Belajar hanya buang-buang waktu saja!”

Saya jadi teringat pada sebuah anekdot yang diceritakan Ustadz Zainuddin MZ (almarhum). Dalam satu ceramahnya, Zainuddin MZ menceritakan tentang seorang bocah penyemir sepatu yang tiap hari bekerja di stasiun. Setiap sore, bocah ini pulang dengan membawa sejumlah uang hasil bekerja sehari sebagai tukang semir sepatu.

Nah, suatu hari, bocah ini disamperin oleh tetangganya, “Eh, lu kalau kerja nyemir seharian dapat berapa?”

“Goceng!” jawab si bocah penyemir sepatu.

“Lu sembahyang nggak?”

“Kagak!”

Lalu si tetangga menasihati, “Sembahyang, dong. Kalau lu sembahyang, rejeki lu bakal berlimpah.”

Si bocah tukang semir tertarik dengan nasihat itu, dan besoknya dia pun sembahyang—dengan harapan rezekinya dapat bertambah, sesuai yang dibilang tetangganya. Nah, sore keesokan harinya, si tetangga kembali nyamperin si bocah tukang semir.

“Gimana?” sapa si tetangga.

Dan si bocah tukang semir menjawab, “Wah, gua kapok sembahyang!”

“Kenapa?”

“Kemarin gua kagak sembahyang bisa dapet goceng. Sekarang, gua sembahyang, malah dapet gocap!”

Saya tertawa ngakak mendengar anekdot itu. Tentu saja yang dimaksud Zainuddin MZ dalam kisah di atas adalah bahwa sembahyang—ibadah—bukanlah sarana yang dapat mendatangkan sesuatu secara instan. Orang beribadah tidak untuk tujuan jangka pendek yang hasilnya dapat langsung diperoleh atau dirasakan.

Nah, begitu pula dengan belajar. Belajar bukanlah sarana untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat instan, bukan upaya untuk mendapatkan sesuatu yang bisa langsung diperoleh atau dirasakan. Belajar bukanlah sesuatu yang manfaatnya dapat dilihat dalam jangka pendek, ia lebih tepat jika disebut investasi untuk jangka panjang.

Kalau kita rajin belajar hari ini, mungkin hidup kita tetap sama besok pagi. Sekilas memang tidak ada yang berubah, tetapi memang pembelajaran tidak mengubah apa pun yang ada di luar kita. Belajar—dan proses pembelajaran—lebih mengubah sesuatu yang ada di dalam diri kita. Dan ketika hal semacam itu mulai terjadi—ada yang telah berubah di dalam diri kita—maka kita pun akan mulai dapat mengubah hidup kita.

Jadi inilah titik kuncinya. Kita tidak akan bisa mengubah hidup dan kehidupan kita, selama diri kita sendiri belum berubah. Dan satu-satunya cara untuk dapat mengubah diri kita hanyalah dengan melalui proses pembelajaran. Tanpa belajar, orang mungkin masih tetap hidup—tetapi ia hanya hidup sebatas hidup. Dan, di zaman ini, ‘sebatas hidup’ saja tak pernah cukup.

Masih ingat catatan sebelumnya (Belajar: Bukti Adaptasi Manusia)? Dalam catatan itu, dengan jelas terlihat bahwa orang-orang yang tak bisa menambah nilai dirinya akan segera tersingkir atau disingkirkan dari arena kehidupan.

Para pekerja, karyawan, pegawai, atau bahkan profesional dalam bidang apa pun akan tersingkir dari arena ketika dia tidak mau belajar dan memperbaiki diri. Para karyawan yang tidak belajar akan segera menemui pemecatan, para pegawai yang tidak mau belajar akan tersingkir oleh batas surat kontrak, para pekerja dan profesional yang tak mau belajar pun akan segera tersingkir oleh kompetisi dan kemajuan.

Belajar, belajar, belajar—itulah kunci pentingnya. Inilah kunci untuk tetap menggenggam dan mempertahankan apa yang telah kita miliki, sekaligus kunci untuk meraih apa pun yang kita inginkan.

Jika statemen ini masih terdengar ‘muluk-muluk’, lihatlah ponsel kita. Beberapa tahun yang lalu, mungkin ponsel kita adalah ponsel paling hebat di muka bumi. Tapi sekarang…? Bisa jadi ponsel yang pernah kita banggakan itu sekarang sudah ketinggalan zaman. Kalau sekarang kita masih menggenggam ponsel yang tergolong ‘hebat di masa kini’, hampir bisa dipastikan tak lama lagi ponsel itu pun akan ikut ketinggalan zaman.

Sekali lagi, ingatlah Nokia 8310. Betapa ponsel yang pernah berjaya dan dielu-elukan sebagai piranti seluler paling cerdas dan paling hebat itu, sekarang sudah menjadi ponsel ‘jadul’ karena keberadaannya telah disingkirkan oleh ponsel-ponsel lain yang terus berkembang, makin hebat, dan makin pintar. Tanpa ugrading dan updating, benda atau manusia sehebat apa pun akan tumbang digilas kemajuan zaman.

Omong-omong, kalau melihat dunia blog sendiri, misalnya, updating juga merupakan elan vital yang menentukan keberlangsungan hidup sebuah blog. Tak peduli sebagus apa pun desainnya, tak peduli sebanyak apa pun pengunjungnya, tak peduli setenar apa pun namanya, blog itu juga akan ditinggalkan orang jika pemiliknya tidak melakukan updating terhadap isi (content)-nya.

Update, update, update—inilah kunci penting kehidupan blog. Dan dalam kehidupan manusia, kunci pentingnya adalah belajar, belajar, belajar.

Belajar tidak berarti harus duduk di bangku sekolah atau di kelas-kelas kuliah. Belajar tidak harus berarti menekuri tumpukan buku pelajaran atau makalah-makalah tebal. Belajar juga tidak berarti harus memiliki titel dan gelar yang macam-macam. Belajar bisa ditempuh di luar semuanya itu, belajar bisa dilakukan di luar semuanya itu—selama kita memang mau.

Belajar tidak pernah dibatasi oleh ruang dan waktu—kapan pun dan dimana pun manusia ingin belajar, saat itu pun ia dapat melakukannya. Belilah buku-buku yang bagus, bacalah majalah-majalah yang mendidik, kunjungilah situs dan blog-blog yang baik, tontonlah film-film yang tidak hanya menghibur tapi juga inspiratif, dapatkan apa pun yang sekiranya menambah pengetahuan, wawasan, pengalaman, dan kekayaan batin serta pikiran.

Seperti yang dinyatakan pepatah abadi, “Kapan murid siap, guru akan muncul”. Jadi yang penting adalah kesiapan kita untuk belajar. Kapan pun kita siap untuk menerima pelajaran, hidup ini akan memberikan pelajaran-pelajarannya. Kita semua adalah murid kehidupan. Siapa yang tak mau lagi belajar, tak mau lagi menjadi murid, maka sang guru bernama kehidupan akan segera meninggalkannya.

 
;