Selasa, 02 November 2010

Ditolak Dua Belas kali

Post ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah  post sebelumnya terlebih dulu.

***

Ketika naskah itu selesai saya tulis, saya pun mengirimkannya ke sebuah penerbit. Empat minggu setelah dikirim, naskah itu dikembalikan. Penerbit itu menolak.

Baca: Media Online Paling Memuakkan

Saya kirim naskah itu ke penerbit lain. Ditolak lagi. Saya kirim ke penerbit lain lagi. Ditolak lagi. Ketika mengalami tiga kali penolakan, saya nyaris patah semangat. Tetapi kemudian saya berpikir, isi naskah yang saya tulis itu adalah dorongan kepada pembaca agar tidak patah semangat dalam menggapai cita-cita, dalam mengejar impian. Jika saya patah semangat karena ditolak dalam upaya mengejar impian, saya jadi merasa ironis sekaligus konyol.

Maka saya pun membangun tekad lagi. Saya kirimkan naskah itu ke penerbit lain lagi. Yeah, ditolak lagi. Peduli amat, pikir saya. Kembali saya kirimkan ke penerbit lain—ditolak lagi. Kirim lagi—ditolak lagi.

Alasan-alasan penolakan yang saya terima itu beragam. Ada penerbit yang menolak dengan alasan, “Naskah Anda tidak sejalan dengan tren buku yang sekarang beredar,” atau, “Gaya penulisan Anda sangat tidak lazim,” atau, “Anda menujukan naskah ini untuk remaja, tetapi materinya tergolong berat.” Bahkan ada penerbit yang menyatakan, “Isi naskah serta gaya menulis Anda aneh sekali!”

Ketika mencapai tujuh kali penolakan, saya mulai pesimis. Jangan-jangan saya yang salah, pikir saya waktu itu.

Saya pun mempelajari kembali isi naskah itu, berulang-ulang kali, dan dengan sepenuh objektivitas serta kerendahan hati, saya menyadari bahwa isi naskah saya cukup layak untuk bersaing dengan buku-buku remaja lain yang waktu itu beredar. Jika isi atau materi yang saya tulis berbeda, atau cara penyampaian yang saya gunakan berbeda, itu memang saya sengaja.

Well, pikir saya kemudian, masalahnya mungkin bukan pada naskah saya, tetapi pada penerbitnya. Mereka mungkin tidak paham dengan kelebihan naskah yang saya tulis, sehingga mereka menolaknya. Oke, ini mungkin pikiran yang nakal dan kurang ajar, serta terkesan arogan. Tetapi berdasarkan pemikiran itu pulalah kemudian saya nekat mengirimkan lagi naskah itu ke penerbit lain lagi.

Dan ditolak lagi!

Oke, saya menyabar-nyabarkan hati saya yang mulai hancur. Saya berkata pada diri sendiri, “Kita akan kirimkan naskah ini satu kali lagi, dan coba lihat apa yang akan terjadi.”

Maka saya pun mengirimkannya lagi. Ditolak lagi. Saya kembali berkata pada diri sendiri, “Satu kali lagi.”

Dan satu penolakan lagi. Saya sudah siap nangis.

“Satu kali lagi.”

Dan ditolak lagi. Saya sudah siap mimisan sambil garuk-garuk aspal.

“Satu kali lagi.”

Ditolak lagi—sebelas kali ditolak! Diperlukan semangat yang berdarah-darah untuk menerima sebelas penolakan itu. Saya pikir sudah saatnya berhenti. Jika kau ditolak lebih dari sepuluh kali, mungkin kau memang goblok, pikir saya waktu itu.

Tetapi saya terlalu angkuh. Tekad yang tertanam di dalam diri saya berkata, “Kau sudah menerima penolakan berkali-kali, kenapa harus takut menerima penolakan lagi? Kau tidak mati hanya karena ditolak, dan kau sangat ingin naskah itu diterbitkan. Jadi apa salahnya mencoba lagi?”

Maka saya pun mencoba lagi.

Dan ditolak lagi. Dua belas kali penolakan.

Saya sudah siap untuk berhenti. Lihat, kata saya pada diri sendiri, kita sudah mencoba lagi dan kenyataannya naskah ini ditolak lagi. Jika saya menyerah sekarang, dunia pasti akan memaklumi. Ditolak dua belas kali terlalu berat untuk seorang bocah remaja seperti saya—dan rasanya tak berlebihan jika saya berpikir dunia ini benar-benar kejam.

Tetapi, sekali lagi, saya terlalu angkuh menghadapi penolakan. Sisi lain dalam diri saya berkata, “Jadi, kau mau menyerah kalah pada penolakan ini? Tidak apa-apa, tapi hidupmu berhenti sampai di sini. Kalau kau menyerah, dunia tidak akan menyalahkanmu. Tetapi buat apa memiliki impian, jika menyerah kalah pada penolakan ini?!”

Maka saya pun bangkit lagi. Dan dengan segala kenekatan serta semangat yang coba dibangun kembali, saya mengirimkan naskah itu lagi. Kali ini naskah ini terkirim ke Penerbit Dahara Prize.

Tiga minggu setelah naskah itu terkirim, sesuatu yang mengubah hidup saya terjadi. Waktu itu tahun 2001, dan saya masih semester awal di kampus. Siang itu saya masih duduk di kelas mendengarkan dosen mengajar, ketika ponsel di saku celana bergetar. Saya keluar dari kelas, dan menerima panggilan telepon itu. Nomor asing—dan saya tidak punya firasat apa-apa.

“Dengan Mas Hoeda…?” sapa suara di seberang sana.

“Yeah, dengan siapa ini?”

“Saya dari Penerbit Dahara Prize. Kami sudah menerima dan mempelajari naskah Anda, dan…”

Dan selanjutnya adalah sejarah.

Naskah berjudul “Gapailah Impianmu” itu akhirnya terbit, dan… bum! Beribu-ribu orang membaca serta menikmati buku ini, beribu-ribu orang terinspirasi oleh isinya, koran dan majalah yang prestisius membahas buku ini dengan penuh penghargaan, dan tingkat penjualan buku ini melampaui perkiraan saya atau pun penerbitnya!

Bagi sebagian besar pembaca saya, buku “Gapailah Impianmu” adalah salah satu masterpiece yang pernah saya lahirkan. Buku ini memang tidak menciptakan histeria massa yang gegap gempita, tetapi buku ini terus dicetak ulang hingga hari ini, dan terus terjual meski cetakan pertamanya sudah sepuluh tahun yang lalu! Kalau boleh blak-blakan, sangat sedikit buku Indonesia yang mampu bertahan di toko-toko buku dalam kurun waktu sepuluh tahun!

Yang membuat saya bangga bukan hanya fakta bahwa akhirnya impian saya tercapai, bukan hanya karena buku itu disukai para pembacanya, tetapi juga karena kenyataan yang bahkan sebelumnya tidak pernah saya bayangkan. Meski saya menulis buku itu untuk remaja, tetapi ternyata buku itu juga dibaca orang-orang dewasa, bahkan orang tua. Yang lebih menakjubkan lagi, buku itu juga dijadikan referensi dalam puluhan skripsi, tesis, serta dirujuk oleh berpuluh-puluh buku lain yang terbit di Indonesia.

Yang terbaru, ketika Dr. Nanang Qosim Yusuf menulis buku “The Heart of 7 Awareness” yang dipuji banyak pakar itu, beliau juga menjadikan buku “Gapailah Impianmu” sebagai salah satu rujukannya. Bayangkan, seorang doktor merujuk buku yang ditulis seorang bocah!

Karenanya, di hari-hari ini, setiap kali saya menerima penolakan dari penerbit atas naskah yang saya kirimkan, saya tidak punya alasan untuk patah hati. Saya telah belajar dari sekian banyak penolakan yang pernah saya alami, bahwa penolakan bukan berarti saya harus menyerah, atau bahwa saya sudah kalah. Penolakan hanyalah kesempatan yang memberi kita jalan untuk menemukan tempat yang paling tepat.

 
;