Jumat, 31 Desember 2010

Gibran, Kahlil Gibran

Dia yang memeluk kematian dengan pedang Kebenaran di tangannya akan
mengabadi bersama Keabadian Kebenaran, karena Kehidupan lebih lemah
daripada Kematian, dan Kematian lebih lemah daripada Kebenaran.
Kahlil Gibran, The Song of Wave


Post tanya jawab seputar buku kali ini sengaja saya pilih yang semuanya membahas Kahlil Gibran. Untuk pertanyaan yang lain, seperti biasa, tunggu di post tentang buku berikutnya.

***

Kalau membaca buku-bukumu, juga catatan-catatan di blogmu, kamu sepertinya menghormati Kahlil Gibran. Terbukti betapa seringnya kamu meng-quote kata-katanya. Kebetulan, saya juga pengagum Gibran. Nah, kalau boleh bertanya, bagaimana pendapatmu sendiri mengenai karya-karya Kahlil Gibran? Saya menanyakan hal ini, karena di sebagian kalangan anak muda ada semacam rasa ‘ilfil’ dengan (karya-karya) Kahlil Gibran.

Saya menghormati Kahlil Gibran—ya! Saya bahkan mengaguminya, dan menjadikan buku-buku karyanya sebagai salah satu pelajaran penting dalam hidup saya. Bukan hanya karya-karyanya, saya bahkan berupaya untuk dapat meneladani jalan hidupnya. Bagi saya, Kahlil Gibran adalah penulis dan pemikir dengan kejeniusan paling membara, yang api spiritnya tetap menyala hingga hari ini, meski jasadnya mungkin telah musnah di perut bumi.

Dalam hal kemampuan menulis, saya belum menemukan penulis lain yang mampu menandingi kedalaman yang diciptakan Gibran dalam setiap tulisannya—tidak di barat, tidak juga di timur. Itu salah satu alasan saya sering meng-quote kata-katanya.

Coba lihat buku-buku karya Gibran. Dalam dunia literatur, karya-karya Gibran digolongkan sebagai sastra. Dan, seperti yang kita tahu, sangat sedikit buku sastra yang bisa mudah diterjemahkan tanpa ‘merusak’ keasliannya. Tetapi hal itu tidak terjadi dalam karya Gibran. Meski buku-bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa yang berbeda, tetapi isinya ‘tidak rusak’, kedalaman dan kehebatannya tetap dapat dirasakan oleh pembacanya.

Hal ini berbeda dengan penulis besar lain—Shakespeare, misalnya.

Shakespeare hebat ketika menulis, tetapi hanya hebat dalam bahasa Inggris! Ketika tulisan Shakespeare diterjemahkan ke bahasa lain, kehebatannya langsung lenyap. Bukan karena si penerjemah yang payah, tetapi karena kehebatan tulisan Shakespeare hanya terbatas dalam bahasa Inggris. Akibatnya, orang-orang harus menguasai bahasa Inggris jika ingin menikmati kehebatan Shakespeare.

Hal ini berbeda dengan Kahlil Gibran. Dibaca dalam bahasa apa pun, kehebatan dan kedalaman tulisannya tetap dapat dirasakan. Salah satu buku Gibran yang ditulis dengan bahasa Arab adalah ‘Al-Arwah Al-Mutamarridah’. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul ‘Rebellion’. Kemudian, Indonesia juga menerjemahkannya dengan judul ‘Jiwa-jiwa Pemberontak’.

Hebatnya, meski diterjemahkan ke dalam bahasa yang berbeda, masing-masing pembacanya tetap dapat merasakan tingkat kedahsyatan yang sama dengan bahasa asli yang digunakan Gibran ketika menulisnya. Di sinilah kehebatan Gibran yang sulit ditandingi penulis lain.

Ehmm, sekarang mengenai pertanyaanmu, kenapa ada sebagian anak muda yang ‘ilfil’ dengan Gibran? Saya tahu pasti bahwa yang disebut “anak muda” dalam konteks pertanyaanmu adalah “anak muda Indonesia”. Nah, untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus flashback ke masa sepuluh tahun yang lalu, untuk melihat apa yang terjadi di Indonesia, menyangkut buku-buku karya Kahlil Gibran.

Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, lebih khusus lagi pada pertengahan tahun 1990-an, ada beberapa penerbit di Yogyakarta yang menerbitkan buku-buku karya Kahlil Gibran. Beberapa yang paling aktif di antaranya adalah Yayasan Bentang Budaya (sekarang Penerbit Bentang), Penerbit Fajar Pustaka Baru, dan Tarawang Press. Ketiga penerbit ini—untuk tidak menafikan penerbit lainnya—menerbitkan buku-buku Gibran dalam bentuknya yang murni, dalam arti buku-buku itu diterbitkan sesuai aslinya.

Ketika itu, para penggemar Gibran di Indonesia membaca dan menikmati buku-buku itu—termasuk saya. Jadi, buku-buku itu terbit dan mendapatkan tempat yang tepat, yakni para penggemar atau bahkan pemuja Gibran. Bagi para penggemarnya, buku-buku Gibran tergolong “buku berat”—itu jenis buku yang tidak bisa dibaca hanya satu kali. Saya sendiri membaca buku-buku Gibran berulang-ulang kali—bukan hanya untuk mendalami maknanya, tetapi juga untuk menikmati keindahannya.

Sampai kemudian muncul “kehebohan” yang dipicu oleh lagu-lagu Dewa (Ahmad Dhani) yang digembar-gemborkan menjiplak syair-syair Kahlil Gibran.

“Kehebohan” itu menciptakan dua dampak sekaligus terhadap buku-buku karya Gibran. Pertama, orang-orang yang tadinya tidak mengenal nama Gibran tiba-tiba mengenal nama itu, dan mereka pun mulai mencari-cari bukunya. Dampak kedua, sebagian penggemar Dewa/Ahmad Dhani merasa “tidak terima” dengan tuduhan itu, dan beberapa di antara mereka sampai ada yang melakukan aksi pembakaran terhadap buku-buku Kahlil Gibran.

Dua dampak itu, sama-sama menciptakan gelombang negatif terhadap buku-buku karya Gibran.

Dampak pertama, terjadi histeria atas buku-buku Kahlil Gibran, dan histeria itu dimanfaatkan oleh berbagai penerbit untuk menerbitkan buku-buku Gibran. Karena kompetisi pemasaran buku Gibran sangat ramai, para penerbit itu pun kemudian mencari cara agar tetap dapat menjual karya Gibran. Dan cara yang paling banyak ditempuh waktu itu adalah dengan “mengacak-acak” isi buku Kahlil Gibran, sekaligus menuliskan judul buku “yang seenaknya sendiri”.

Pada waktu-waktu itu, sangat sulit untuk menemukan buku karya Gibran yang orisinal. Hampir semua buku yang terbit pada waktu itu nyaris berisi “kreativitas” penerbit dalam “mengacak-acak” karya-karya Gibran.

Kadang, saya mendapati, ada satu buku yang berisi “kompilasi” beberapa catatan Gibran yang tersebar di beberapa buku. Sudah begitu, para penerbit ini mengarang-ngarang sendiri judul untuk buku-buku itu. Akibatnya, hampir dalam waktu bersamaan, ada sekian ratus buku karya Gibran yang beredar di pasaran dengan judul yang berbeda, dengan isi yang berbeda, tetapi sesungguhnya berasal dari beberapa buku asli yang sama.

“Kekacauan” yang terjadi di balik booming buku-buku Gibran itu tidak diketahui apalagi dipahami oleh para pembaca pemula, yang waktu itu baru kenal nama Kahlil Gibran.

Di sinilah kesalahpahaman besar itu mulai terjadi.

Sebagian pembaca pemula yang “kesasar” membeli buku-buku Gibran mungkin tidak paham isinya—karena buku-buku Gibran tergolong berat. Sebagian lagi mulai menilai Kahlil Gibran “murahan” karena namanya seperti “barang obral”. Sudah begitu, aksi pembakaran buku-buku Gibran semakin menggenapkan kesan “negatif” mengenai Kahlil Gibran.

Hari ini, kalau orang meng-quote Rumi, atau Iqbal, misalnya, kesannya hebat banget. Kenapa? Karena Rumi maupun Iqbal tidak mengalami “booming” seperti yang dialami Gibran pada masa kini. Kalau saja Rumi atau Iqbal juga mengalami hal yang sama, saya pikir akan muncul pula orang-orang yang “ilfil” dengan mereka.

Jadi, menurut saya, adanya rasa “ilfil” seperti yang kamu tuliskan di atas itu muncul semata-mata karena kesalahpahaman atau karena ketidaktahuan. Dan saya yakin orang-orang yang “ilfil” itu bukanlah pembaca Gibran yang murni—mereka hanya pembaca pemula yang baru kenal karya-karya Gibran. Bagi para penggemar Gibran yang sejati, karya-karya Gibran adalah masterpiece yang sulit ditandingi.


Saya bingung mendapati beberapa buku karya Kahlil Gibran yang diterbitkan oleh beberapa penerbit sekaligus di Indonesia. Kalau saya perhatikan, buku-buku itu sama, tetapi diterbitkan oleh penerbit yang berbeda. Kenapa hal semacam ini bisa terjadi? Apakah ini tidak melanggar hak cipta?

Karya-karya Kahlil Gibran memang diterbitkan oleh beberapa penerbit sekaligus di Indonesia. Mengapa ini terjadi? Jawabannya bisa mengacu pada jawaban di atas. Apakah ini melanggar hak cipta? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus melihat dulu aturan hukum yang terdapat dalam hak cipta (internasional).

Apabila suatu ciptaan ditinggal mati oleh pemiliknya, maka hasil ciptaan itu menjadi hak milik ahli warisnya. Apabila si pemilik hak cipta tersebut tidak memiliki ahli waris, maka lima puluh tahun setelah kematiannya, hak cipta tersebut akan menjadi milik masyarakat.

Dalam hal Gibran, dia (mungkin) tidak memiliki ahli waris, mengingat dia tidak memiliki istri atau keturunan. Karenanya, penerbit-penerbit di dunia pun merasa berhak untuk menerbitkan karyanya—sehingga ada beberapa penerbit sekaligus yang kemudian menerbitkan satu karya yang sama.


Kalau kamu diminta merekomendasikan buku karya Kahlil Gibran, judul mana yang kamu rekomendasikan? Saya ingin mempelajari dan mendalami karya-karya Gibran. Menurutmu, judul apa yang paliiing bagus?

Ini mungkin relatif, ya. Yang menurut saya bagus, belum tentu buat orang lain. Lebih dari itu, menurut saya semua karya Gibran juga bagus dan perlu dibaca. Tetapi, kalau saya diminta untuk menyebutkan judul apa yang paling bagus, saya sangat menyukai “The Prophet” dan “The Madman”.

Saat Terakhir

Bahkan setelah memejamkan mata dan mengerahkan seluruh ingatanku yang berhubungan dengan hal itu, tetap saja aku tak mampu mengingat. Itu… itu seperti meteor yang tiba-tiba jatuh dari langit, dan… bruk, sampailah aku di situ.

Yang masih kuingat, aku sampai di sana, dan masih mengingat jalan menuju ke sana—meski biasanya aku mudah lupa untuk hal-hal seperti ini. Jadi, begitulah, aku kembali ke sana lagi, dan lagi, meski sampai saat itu pun aku tetap saja tidak ingat bagaimana awal aku bisa sampai ke sana.

Pada mulanya aku menganggap sekitarku asing. Ya, ya, tentu saja akulah yang asing, karena baru sampai di sana. Tapi kemudian aku mulai terbiasa. Meski, kalau mau jujur, aku tidak merasa nyaman selama berada di sana. Seperti ada yang tidak tepat denganku, begitu pikirku.

Tetapi, entah mengapa, godaan untuk kembali ke sana seperti pelangi yang menari-nari di depan matamu. Kau tidak bisa mengenyahkan dari pandanganmu, dan kau tergoda untuk kembali lagi, dan lagi… dan begitulah yang terjadi padaku. Entah bagaimana awalnya—sekali lagi aku tak ingat—aku kembali lagi ke sana, dan kembali lagi ke sana.

Ini seperti trance, pikirku. Di bawah kesadaran yang tidak bisa kaukendalikan, kau hanya mengikuti nalurimu—dan nalurimu terus-menerus merayumu.

Harus ada satu cara untuk mengakhiri, pikirku ketika sadar dari ‘trance’ yang tak bisa kupahami. Tapi apa, atau bagaimana cara mengakhirinya? Dan bagaimana aku tahu cara mengakhiri, jika aku bahkan tidak merasa mengawali? Aku tetap saja tidak bisa mengingat bagaimana awal aku bisa sampai di sana!

Kadang, kalau sedang tidak melakukan apa pun, dan pikiranku benar-benar tenang, aku mencoba mengingat lagi tentang hal itu, dan berharap, entah bagaimana caranya, salah satu bagian memori di otakku menyembul dan berteriak, “Eureka!”

Tapi tidak terjadi—tak pernah terjadi yang seperti itu.

Yang terjadi, belum lama, aku kembali masuk ke sana, tetapi pintu gerbangnya tertutup. Jangan tanya kenapa, karena aku pun tidak bisa memahaminya. Tidak ada siapa pun. Selain aku. Dan pintu gerbang itu.

Baiklah, pikirku. Dan aku berbalik. Meninggalkan tempat itu.

Ketika langkah-langkah kakiku semakin menjauh, entah mengapa, aku tiba-tiba merasa bahwa itulah kali terakhir aku melihat tempat itu.

Setelah itu, godaan yang biasa kembali menghinggapi pikiranku. Menarikku untuk mencoba kembali masuk ke sana. Tetapi aku tahu tak akan pernah ke sana lagi. Pintunya telah menutup. Dan tak ada siapa pun yang bisa kujadikan tempat untuk bertanya. Gerbangnya telah terkunci. Dan, itulah, kupikir, saatku yang terakhir.

Siklus

Anak-anak, yang kemarin masih anak-anak, sekarang telah memiliki anak-anak, dan bermain dengan boneka anak-anak.

Alangkah cepat waktu berlalu.

Lagi Pengin Nyanyi



Many nights we prayed
With no proof anyone could hear
In our hearts a hope for a song
We barely understood
Now we are not afraid
Although we know theres much to fear
We were moving mountains
Long before we knew we could, whoa...
There can be miracles
When you believe
Though hope is frail
Its hard to kill
Who knows what miracles
You can achieve
When you believe somehow you will
You will when you believe

In this time of fear
When prayer so often proves in vain
Hope seems like the summer bird
Too swiftly flown away
Yet now I’m standing here
My hearts so full, I cant explain
Seeking faith and speakin words
I never thought I’d say
There can be miracles
When you believe
Though hope is frail
Its hard to kill
Who knows what miracles
You can achieve
When you believe somehow you will
You will when you believe

They don't always happen when you ask
And its easy to give in to your fears
But when you're blinded by your pain
Can't see the way, get through the rain
A small but still, resilient voice
Says hope is very near, oh...
There can be miracles
When you believe
Though hope is frail
Its hard to kill
Who knows what miracles
You can achieve
When you believe somehow you will
Somehow you will
You will when you believe


*) Post ini adalah lirik lagu When You Believe: Mariah Carey feat Whitney Houston


Jumat, 17 Desember 2010

Orang-orang Berkata…

“Mustahil” adalah sesuatu yang kita pikir tidak mungkin. 
“Mungkin” adalah sesuatu yang terlahir setelah mustahil.
 —@noffret


Orang-orang berkata, “Jangan bermimpi! Hanya burung yang bisa terbang!”

Wright Brother hanyalah tukang reparasi sepeda, dan mereka membangun kerangka pesawat pertamanya dengan onderdil sepeda bekas. Tetapi mereka membuktikan kepada dunia, bahwa pesawat buatan mereka dapat terbang lebih tinggi, sekaligus lebih cepat dibanding burung-burung.

Orang-orang berkata, “Itu lukisan model apa? Benar-benar sampah tak bernilai!”

Ketika pertama kali melukis, bentuk lukisan Pablo Picasso belum dapat dipahami masyarakat. Tetapi akhirnya dunia membuktikan bahwa lukisannya adalah karya seni bernilai tinggi. Bahkan salah satu karya lukisnya, “Les Demoiselles d’Avignon”, menggegerkan dunia seni lukis ketika pertama kali dipertunjukkan di Paris Art World tahun 1907.

Orang-orang berkata, “Dia menderita polio! Mana mungkin bisa berlari?”

Wilma Rudolp nyaris tak dapat berjalan karena terserang penyakit polio. Tetapi perempuan ini mampu membuktikan bahwa dia bisa menjadi pelari tercepat di dunia selama delapan tahun, dan mengukir sejarah sebagai wanita pertama yang memenangkan tiga medali emas dalam cabang lari di Olimpiade Roma 1960.

Orang-orang berkata, “Dia lumpuh! Bagaimana mungkin bisa menulis?”

Sastrawan Handel terserang lumpuh, hingga bagian kanan tubuhnya tak bisa digerakkan. Tetapi orang ini justru menghasilkan karya terbesarnya, “The Hallelujah Chorus”, ketika dalam keadaan lumpuh.

Orang-orang berkata, “Jangan ngawur! Hanya pohon mangga yang bisa dicangkok!”

Pada tahun 1967, Dokter Christian N. Bernard berhasil mencangkokkan jantung manusia. Setelah itu, pada tahun 1971, dia juga berhasil mencangkokkan jantung kedua dengan menyambungkan peredaran darah, supaya kedua jantung dapat berfungsi bersama-sama.

Orang-orang berkata, “Itu mustahil! Tidak mungkin! Itu khayalan paling bodoh di muka bumi!”

Ketika orang-orang awam sampai para ahli bersikukuh menyatakan bahwa berlari sejauh satu mil dengan waktu empat menit adalah sesuatu yang tidak mungkin tercapai manusia, Roger Bannister melawan ‘kemustahilan’ itu dengan berlari sejauh satu mil—hanya dengan waktu 3 menit 59,4 detik.

Orang-orang berkata, “Benar-benar tolol! Itu impian yang tidak realistis!”

Pada waktu rencana mendaratkan manusia di Bulan terdengar, banyak orang mencibir bahwa rencana itu tak akan dapat dilaksanakan. Tetapi pada 20 Juli 1969, Neil Amstrong dengan pesawat Apollo 11 berhasil mendarat di Bulan dengan selamat, dan bisa kembali ke bumi dengan selamat.

Orang-orang berkata, “Halah! Itu kan hanya ada dalam film fiksi ilmiah!”

Ian Wilmut dan rekan-rekannya di Institut Roslin Edinburg, Skotlandia, membuktikan bahwa kloning tidak cuma ada dalam film. Dolly, domba pertama hasil kloning karya mereka, merupakan salinan yang persis sama dengan mamalia lain, meski tanpa ayah.

Orang-orang berkata, “Kami tidak suka musik kalian! Lagi pula, popularitas musik pop sudah ketinggalan zaman!”

The Beatles ditolak ketika menawarkan rekamannya ke studio musik, dengan alasan musik pop sudah tidak laku. Tetapi kemudian group musik ini membuktikan kehadiran mereka berhasil mengguncang dunia, dan lagu-lagu mereka menjadi karya abadi yang tetap didengarkan hingga hari ini.

Orang-orang berkata, “Ini novel macam apa?! Terlalu panjang—terlalu bertele-tele!”

Tetapi, akhirnya, ketika terbit, novel ‘Gone with the Wind’ memecahkan rekor dalam sejarah penerbitan, dengan penjualan sampai menembus angka 50.000 eksemplar setiap hari, dan kemudian diterjemahkan ke dalam 30 bahasa di dunia. Ketika difilmkan, ‘Gone with the Wind’ juga menjadi film terlaris sepanjang masa.

Orang-orang berkata, “Buku kumpulan cerita seperti ini tidak akan disukai orang!”

Sebanyak tiga puluh tiga penerbit menolak ketika disodori naskah ‘Chicken Soup for the Soul’. Tetapi, seri buku ini terbukti menjadi bacaan yang amat laris, telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa, dan tingkat penjualannya lebih dari seratus juta eksemplar di seluruh dunia.

Orang-orang berkata, “Kisah fantasi sudah tidak laku di zaman sekarang ini!”

Ketika Joanne Kathleen Rowling membawa naskah ‘Harry Potter’ ke agen penerbit, agen itu menolak, dengan alasan tokoh Harry Potter terlalu aneh. Tetapi akhirnya terbukti bahwa ‘Harry Potter’ menjadi serial paling populer di masa sekarang, tokohnya menjadi pujaan jutaan orang, dan penulisnya menjadi wanita paling kaya di dunia.

Orang-orang berkata, “Dengar, tidak ada orang yang bisa hidup hanya dengan menggambar!”

Walt Disney hanya tahu bahwa dia suka menggambar, dan bertekad menjalani hidupnya dengan menggambar. Dan orang ini membuktikan kepada dunia, bahwa orang bisa hidup dengan menggambar, bahkan dunia pun menjadi lebih hidup karena gambar-gambar ciptaannya, dan berjuta-juta orang terhibur karena karyanya.

Orang-orang berkata, “Proyek film ini akan menjadi kerugian terbesar yang dialami Hollywood! Ini akan jadi film gagal!”

Ketika James Cameron membuat film ‘Titanic’, para investor di Hollywood memprediksi bahwa Titanic akan menjadi film gagal yang akan memalukan wajah Hollywood. Mereka sudah tak mau lagi membiayai proyek film itu, dan meminta agar syuting dihentikan. Tetapi akhirnya terbukti, ‘Titanic’ menjadi film box office yang menggemparkan, menyabet 11 Piala Oscar, dan menjadi salah satu film terlaris sepanjang masa!

Orang-orang berkata, “Dia miskin, buta, dan berkulit hitam! Tidak ada masa depan untuk orang semacam itu!”

Stevie Wonder memiliki tiga kekurangan ‘fatal’—miskin, buta, dan berkulit hitam. Tetapi orang yang memiliki tiga kekurangan fatal ini berhasil menjadi musisi yang hebat, dan lagu-lagunya dinyanyikan jutaan orang di dunia.

Orang-orang berkata, “Apa yang bisa diharapkan dari orang semacam ini? Dia bisu, buta, sekaligus tuli!”

Helen Keller menderita ketiga cacat yang amat menyusahkan—buta, bisu, sekaligus tuli. Tetapi perempuan dengan kekurangan yang banyak ini mampu menulis buku-buku yang menginspirasi jutaan orang di dunia, dan karya-karyanya dibaca secara abadi.

Orang-orang berkata, “Dia tidak tahu apa-apa soal musik! Bagaimana mungkin bisa menyanyi dan mencipta lagu?”

Melly Goeslaw tidak bisa membaca notasi musik. Ketika menciptakan lagu, dia hanya menggumam sambil bersenandung, kemudian menciptakan lirik lagunya. Tetapi, orang yang tidak bisa membaca notasi musik ini berhasil menjadi pencipta lagu, sekaligus penyanyi yang lagu-lagunya dihafalkan jutaan orang Indonesia.

Orang-orang berkata, “Dia hanya punya satu tangan! Bagaimana mungkin dapat menjadi penulis?”

Ketika masih kecil, Gola Gong jatuh dari pohon jambu, dan sebelah tangannya terpaksa diamputasi. Tetapi, orang yang hanya memiliki satu tangan ini berhasil menulis buku dalam jumlah tak terhitung banyaknya, sekaligus menjadi salah satu penulis terkenal Indonesia.

Orang-orang berkata, “Dia tidak pernah kuliah! Bagaimana mungkin bisa menjadi dosen?”

Soeroso Notohadiprawiro memang tidak pernah kuliah, tetapi dia berhasil mendapatkan gelar Profesor dalam bidang geologi, berkat ketekunannya belajar. Karena prestasinya, dia menjadi guru besar mata kuliah Geologi di Fakultas Teknik UGM, dan mendapatkan banyak penghargaan dari berbagai lembaga internasional. Dia juga sering diundang berceramah di kampus-kampus terkenal dunia—di Utrecht, California, Delft, Utah, Austria, Munchen, dan berbagai perguruan tinggi lainnya.

Orang-orang berkata, “Dia tidak lulus SD. Bagaimana mungkin bisa menjadi orang hebat?”

D. Zamawi Imron hanya bersekolah sampai kelas lima Sekolah Dasar. Tetapi orang ini berhasil menjadi salah satu penyair besar Indonesia, berkat ketekunannya belajar, dan kegigihannya berkarya!

Orang-orang berkata, “Dia menderita disleksia! Bagaimana mungkin bisa menulis novel?”

Rahmania Arunita, penulis novel ‘Eiffel I’m in Love’ menderita disleksia, sehingga mengalami kesulitan dalam menghadapi kata-kata. Tetapi perempuan ini tidak mempedulikan kekurangannya, dan dia menulis novel yang kemudian menciptakan badai luar biasa dalam dunia remaja Indonesia. Novelnya bestseller, dan kemudian difilmkan, serta menjadi film yang paling banyak ditonton di Indonesia.

Orang-orang berkata, “Gaya menulis Anda sangat tidak lazim! Anda tidak bisa menerbitkan buku jika menulis dengan gaya seperti ini!”

Ketika saya menulis buku ‘Gapailah Impianmu’, naskahnya ditolak dua belas penerbit. Ketika akhirnya terbit, buku ‘Gapailah Impianmu’ mencetak angka penjualan luar biasa, dan mampu bertahan di toko-toko buku selama sepuluh tahun sejak pertama kali diterbitkan. Buku itu telah dirujuk berpuluh-puluh buku lain, baik dalam isi dan materi, maupun dalam gaya penulisannya.

….
….

Lakukan saja yang ingin kaulakukan. Kerjakan saja yang ingin kaukerjakan. Tak usah terlalu pedulikan yang dikatakan orang-orang.

Heran

Ya ampuuuuuuun, masa sampai segitunya sih…???

Dongeng untuk Julia Perez



Ada yang mengatakan bahwa domba bisa tersesat hanya karena terlalu asyik merumput dan tak pernah mengangkat kepala. Hal itu juga bisa terjadi pada masing-masing kita. Kita bisa terlalu memusatkan perhatian pada apa yang langsung ada di hadapan kita, sehingga kita tidak mampu untuk melihat dalam perspektif yang lebih luas.
—Donald Bitsberger


Hei, Julia Perez, aku bukan pengagummu, bukan penggemarmu, apalagi pemujamu. Tetapi baru-baru ini kudengar sesuatu tentangmu, dan aku merasa perlu menulis sebuah dongeng untukmu. Dan, agar kau lebih mudah menikmatinya, aku akan menulis dongeng ini dengan sudut pandang orang pertama.

….
….

Aku adalah laki-laki yang jatuh cinta pada seorang wanita jelita—sebuah kisah klise yang biasa. Karena aku bukan laki-laki istimewa, maka aku pun tidak percaya diri untuk menyatakan cintaku kepada wanita itu. Sekali lagi, ini terdengar klise. Tapi persetan, biar kulanjutkan ceritaku.

Selama bertahun-tahun aku memendam rasa cintaku kepada wanita itu, tapi cinta ini tetap tak mampu kuungkapkan. Aku hanya menjadi pemuja rahasianya. Aku ingin memilikinya, tetapi aku merasa tidak mungkin memilikinya.

Sampai kemudian, aku melihat wanita pujaanku menjalin cinta dengan seorang laki-laki tampan. Oh ya, aku tahu, takdirnya pasti akan berjalan seperti itu. Sejak zaman dulu, benar? Jadi, aku pun berusaha untuk menerima takdirku, untuk menerima bahwa wanita itu bukanlah untukku.

Tetapi aku laki-laki, persetan! Sesuatu di dalam diriku terluka, dan aku membutuhkan pelampiasan, semacam pembalasan dendam yang dapat sedikit mengobati luka yang kurasakan. Tetapi aku tidak mungkin dapat melakukan hal itu jika sendirian. Lebih dari itu, aku juga tidak berani.

Jadi, aku pun kemudian mengumpulkan lelaki-lelaki lain yang senasib denganku, dan kami kemudian membentuk suatu perkumpulan. Kau tahu, ketika satu orang penakut bergabung dengan satu orang penakut lainnya, yang terjadi kemudian adalah dua orang pemberani.

So, setelah kami berkumpul dan membentuk organisasi, maka kami pun merasa semakin berani sekaligus merasa kuat. Masing-masing orang yang bergabung dalam kumpulan ini adalah orang-orang yang sama sepertiku—terluka karena tidak mampu mendapatkan apa yang diinginkan, dan kemudian menjadikan hal itu sebagai sarana untuk mengubah diri kami menjadi sang Pahlawan.

Sigmund Freud benar—begitu pula Abraham Maslow, William James, Carl Gustav Jung, William Stern, dan mereka yang bertahun-tahun lalu telah menuliskan perasaan ini. Aku tidak akan menyebutkannya di sini, karena itu sama saja membuka borokku sendiri.

Yang jelas, setelah kami berkumpul itulah kami merasa bisa membalas dendam—bukan hanya kepada wanita yang pernah melukai hati kami, tetapi juga kepada wanita-wanita lainnya yang sepertinya tidak mampu kami miliki. Kami adalah serombongan laki-laki yang kecewa, dan kami akan terus berteriak, meneriakkan kekecewaan ini.

Dan makin lama, makin banyak orang yang ingin bergabung dengan organisasi kami. Oh, well, ternyata banyak sekali laki-laki yang patah hati. Maka organisasi kami pun semakin besar, dan kami merasa semakin kuat. Dimana pun dan pada kesempatan apa pun, kami akan muncul, akan tampil, akan berteriak. Kapan pun kami melihat wanita yang sepertinya tidak akan dapat kami miliki, maka kami akan mengangkat pedang untuk membunuhnya.

Oh ya, kami memiliki segudang dalih pembenaran atas perbuatan kami. Kami bukan orang bodoh. Kami memang laki-laki pengecut yang tidak berani menyatakan cinta kepada wanita, tetapi kami bukan laki-laki bodoh. Kami telah belajar bagaimana menciptakan kesan dengan berlandaskan nilai-nilai kebenaran—meski sebenarnya dalam hati kami sendiri tidak yakin.

Jadi begitulah, kami muncul dimana-mana, berteriak pada apa saja, menuduh dan menuding, menyalahkan dan memvonis, mengangkat pedang dan menumpahkan darah, dan… kalau kalian perhatikan sungguh-sungguh, maka kalian akan melihat bahwa segala sesuatu yang kami musuhi adalah segala sesuatu yang tidak bisa kami miliki. You know that…?

Sekali lagi Sigmund Freud benar—begitu pula Abraham Maslow, William James, Carl Gustav Jung, William Stern, dan mereka yang bertahun-tahun lalu telah menuliskan perasaan ini. Aku tidak akan menyebutkannya di sini, karena itu sama saja membuka borokku sendiri.

Kami adalah sekumpulan laki-laki yang patah hati. Patah hati karena merasa tak bisa memiliki wanita pujaan kami, dan kemudian membalas dendam kepada siapa pun yang mengingatkan kami pada wanita pujaan kami. Kalau kukatakan dengan cara seperti ini, mungkin kalian akan menilai kami sebagai kumpulan psikopat. Tetapi kalian tidak akan bisa menyalahkan kami, karena kami telah memonopoli nilai kebenaran, sehingga kebenaran hanya milik kami!

Jadi, kalau ada wanita cantik yang merayu-rayu di bawah langit, kami akan berteriak dan mengangkat pedang kami, memintanya agar segera enyah dari muka bumi. Orang-orang tak bisa menyalahkan kami, karena perjuangan kami berlandaskan kebenaran yang kami monopoli. Meski, sesungguhnya, kami berteriak dan mengangkat pedang karena merasa terluka.

Ya, kami terluka karena menyaksikan seorang wanita jelita, tetapi kami merasa tidak bisa memilikinya…!!!

….
….

Ehm, jadi, Julia Perez, sekarang kaulihat…? Atau belum? Baiklah, sekarang biar kujelaskan.

“Aku” dalam dongeng itu adalah representasi dari “ego”. Sedang “wanita” dalam dongeng itu adalah representasi dari “dunia”. Dan, omong-omong, orang yang begitu berambisi memusuhi dunia, sesungguhnya adalah orang-orang yang ingin dapat memiliki dunia… hanya saja tidak mampu meraihnya.

Jangan menangis lagi, Julia Perez. Kalau pun ada yang layak ditangisi, maka mereka yang memusuhimu itulah yang perlu ditangisi.


Khutbah Etnik



…dan bagaimana mungkin kau menganggap hanya dirimu, kaummu, etnismu, serta sukumu saja yang asli Indonesia, dan lalu kauanggap orang-orang Cina atau Tionghoa itu bukan asli Indonesia?

Siapa pun kita, apa pun etnis kita, sebenarnya kurang tepat kalau menganggap cuma kitalah yang pribumi dan orang asli Indonesia, serta menganggap orang-orang Cina sebagai pendatang. Karena secara antropologis, kalau kita mengklaim diri sebagai orang asli Indonesia, lalu asli yang bagaimana?

Apakah asli karena keturunan Meganthropus Palaen Javanicus (manusia berahang kera) yang hidup di lembah Bengawan Solo sekitar 400.000 tahun lalu? Atau, apakah asli karena keturunan Homo Soloensis dan Homo Madjakertaensis? Tapi bukankah para antropolog telah pula menyatakan bahwa semua jenis manusia purba itu telah musnah? Bukankah penelusuran tentang manusia-manusia purba itu telah mentok pada abad ke-4 Sebelum Masehi, bersamaan dengan gelombang besar perpindahan para nenek moyang kita?

Singkat kata, yang namanya manusia Indonesia pada dasarnya adalah pendatang. Ada yang dari Laos, ada yang dari India, dari Kamboja, Thailand, Burma, Filipina, Vietnam, Tiongkok, dan daratan Asia lain, melibatkan ras Mongol (Palaeo Mongoloid dan Neo Mongoloid).

Gelombang perpindahan itu berproses selama berabad-abad, jauh sebelum era kolonialis negara-negara barat. Terciptalah kemudian apa yang disebut sebuah bangsa, sebelum akhirnya muncul konsep yang disebut negara. Dan, dari situlah kemudian muncul orang-orang Jawa, Sunda, Bugis, Dayak, Batak, Minahasa, Minangkabau, termasuk pula orang-orang Tionghoa atau Cina.

Jadi, kalau kita mau jujur menerima sejarah ini, maka sebenarnya tidak ada orang Indonesia yang asli. Tidak Jawa, tidak Madura, tidak juga Cina.


Ruang Tamu



Sederet kursi, sebuah meja,
seikat bunga eidelweis.
Lembut keramik berhampar permadani
indah berlukis bunga biru.
Memeluk bantal kursi, duduk saling pandang.
Dan kita simpulkan seikat janji.
Katakan apa yang ingin dikatakan.
Ucapkan apa yang ingin diucapkan.
Karena ruang tamu akan membisu.

Tapi dimana ada semua itu?
Kekosongan, kehampaan telah datang
menyergap setiap pori-pori
yang sisakan ruang untuk udara.
Pembuluh-pembuluh darah telah berhenti
dari peredaran di dalam ruangnya.
Bisu... dan membeku.
Angin berganti badai, badai berganti petir,
dan petir berganti halilintar.
Tak ada sederet kursi. Tak ada bunga eidelweis.
Tak ada permadani biru. Tak ada ruang tamu.
Tak ada ruang yang menyisakan untuk kita
ucapkan cinta. Tak ada...

Kaki-kaki yang letih...
Berjalan perlahan sambil bergenggam jemari.
Bersama kepala yang menunduk
menekuri kerasnya trotoar.

Berulangkali kumintakan kepada Tuhan.
Sudah lelah kutanyakan pada alam.
Dimana ada meja. Dimana ada kursi.
Dimana ada ruang tersisa untuk biarkan kita
ikrarkan cinta. Dimana...?


Sepuluh Kunci Atasi Patah Hati



Di Amrik, ada pepatah yang berbunyi, “Broken heart is the most trouble desease which refuse all medicine.” Patah hati adalah penyakit kronis yang menolak segala jenis obat. Apakah kau percaya?

Barangkali, bagi yang belum pernah mengalami patah hati akan bertanya, “Apa iya?” Tetapi bagi yang pernah mengalami patah hati, atau putus cinta, pasti akan manggut-manggut dan setuju dengan pepatah itu. Setidaknya, saya akan setuju. :P

Nah, kalau kau saat ini sedang broken heart alias patah hati atau putus cinta atau ditinggal pacar, hehe, tip berikut ini sangat berhubungan denganmu, sebagai upaya untuk meredakan sakit yang tengah kauderita. Ada sepuluh kunci yang bisa kaupakai untuk menghadapi perasaan sedih karena patah hati. Mau tahu?

Pertama, berdamai dengan diri sendiri. Jangan menyalahkan dirimu sendiri sebagai penyebab putusnya cinta yang telah kau jalin. Pahami sajalah bahwa putus cinta dan patah hati adalah risiko sebuah hubungan antar lawan jenis yang disebut pacaran itu. Menangislah kalau memang menginginkan, habiskanlah semua beban yang menghimpit dalam dadamu. Tapi kesedihan tidak perlu berlarut-larut, karena malam yang paling gelap pun pasti menjemput pagi.

Kedua, hindari membuat keputusan-keputusan besar. Saat baru sedih karena patah hati, emosi biasanya masih sangat labil dan tidak pasti. Gunakan waktu-waktu itu hanya untuk bersantai dan mengerjakan hal-hal yang ringan saja. Pendek kata, jangan membuat keputusan yang terlalu cepat, apalagi sampai timbul niat untuk bunuh diri atau bunuh si dia. Hoho, kakek dan nenek bilang, “Nggak banget, deh!”

Ketiga, pahamilah bahwa putus cinta adalah sesuatu yang wajar. Jangankan sekadar pacaran, yang sudah menikah dan punya banyak anak pun bisa cerai, kan? Jadi, jangan terlalu disedihkan. Yakinkan dirimu sendiri bahwa kau pasti bisa menyelesaikan persoalan ini, dan menjalani hidup baru yang lebih fresh. Ingat kata Shaden, “dunia belum berakhir!” (Shaden itu siapa?). Haduh, itu... cewek centil yang pintar nyanyi itu!

Keempat, merenunglah. Nikmati saja semua kondisi kehilangan dan kesendirian itu. Kata banyak orang (khususnya para jomblo), hidup sendiri itu lebih nikmat, bisa bebas melakukan apa saja tanpa ada yang melarang. Untuk itu, berlama-lamalah berbicara dengan diri sendiri, renungkan dan intospeksi diri. Itu semua akan menjadi penawar rasa sakit yang menyembuhkan, sekaligus akan menjadi bekal di masa depan kalau kau ingin merajut tali cinta yang baru.

Kelima, bicaralah dengan orang-orang yang kaupercayai. Dari mereka biasanya kau akan mendapatkan kata-kata bijak yang terasa menghibur di hati. Paling tidak, mengadulah kepada nyokap, kakak, pembokat, atau siapa saja anggota keluarga yang kauanggap paling konsern denganmu.

Keenam, temui kawan-kawan lama dan berkumpullah dengan mereka. Bernostalgia dengan teman-teman biasanya dapat membawa kita kembali ke masa lalu yang indah dan lucu, hingga bisa sejenak melupakan saat ini. Atau, pergilah dengan sahabat-sahabat dekatmu saat ini yang bisa membantumu tersenyum, bahkan tertawa lebar. Lupakan masalah yang tengah kauhadapi, dan bicaralah tentang hal-hal baru.

Ketujuh, jangan melarikan diri dengan cinta lain. Orang yang baru putus cinta biasanya cenderung ingin cepat-cepat punya pacar lagi untuk menepis kesendirian. Itu salah besar. Karena pelarian tersebut tidak akan menyembuhkan, tetapi justru akan menimbulkan masalah yang baru.

Kedelapan, menulislah. Kalau kau merasa benci banget dengan pacar yang baru putus ini, tulislah semua kebencian itu pada secarik kertas. Tulis juga semua uneg-uneg yang membuatmu dongkol dan super bete. Lalu bakarlah kertas itu. Ini akan membantu menyalurkan emosimu.

Kesembilan, manjakan dirimu. Dengan tidak memiliki pacar, kau jadi bebas untuk melakukan apa saja. Kalau dulu pacarmu selalu melarangmu naik gunung, umpamanya, kini kau bebas untuk melakukannya. Dengan mengerjakan apa yang kausuka, itu akan membuatmu bahagia dan sekaligus memperbaiki mood yang lagi rusak. Selain itu, siapa tahu dengan mengerjakan hobimu itu kau bisa meraih prestasi baru?

Kesepuluh, optimislah. Ingat-ingat pesan Mama Kartini, habis gelap terbitlah terang. Tidak ada kebahagiaan abadi, begitu pula tidak ada kesedihan yang abadi. Bangkitlah untuk menjalani hidup baru yang lebih terarah, dan tersenyumlah. Dunia tidak selebar celana kolor. Dan satu hal yang juga harus diingat, jangan trauma. Tetaplah meyakini bahwa cinta itu indah. Hanya saja kau belum menemukan cinta yang sebenarnya. Tapi suatu saat nanti, kau pasti akan memilikinya.

Tersenyumlah, dan dunia akan tersenyum bersamamu!


Sabtu, 11 Desember 2010

“Tahu” dan “Sok Tahu” (5)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Kalau mau contoh yang paling mutakhir, bacalah buku-buku karya Malcolm Gladwell. Sampai saya menulis post ini, Malcolm Gladwell telah menulis empat buku yang semuanya bestseller internasional. Edisi terjemahan untuk semua bukunya sudah tersedia di Indonesia. Jika ingin tahu lebih jelas maksud pemaparan saya dalam post ini, silakan baca buku-buku Malcolm Gladwell.

Pada saat ini, Gladwell disebut sebagai “Pemikir Paling Berpengaruh di Dunia”. Nah, bagaimana cara Malcolm Gladwell menulis, sampai dia dipuji sehebat itu? Dia juga memperkaya teori-teorinya dengan setumpuk fakta!

Dalam buku-buku yang ditulisnya, kadang Malcolm Gladwell hanya menuliskan teorinya dalam satu atau dua paragraf. Tetapi dia menceritakan faktanya—dalam bentuk cerita panjang—sampai berpuluh-puluh halaman. Bayangkan, satu atau dua paragraf teori, ditunjang berpuluh-puluh halaman fakta berupa cerita dan kisah-kisah! Dan, karena itu, orang ini disebut “Pemikir Paling Berpengaruh di Dunia”.

Apakah Malcolm Gladwell “sok tahu” karena dia bisa mengetahui banyak hal yang ia paparkan dalam bukunya? Tentu saja tidak!

Di Indonesia sendiri, ada sosok jenius semacam itu, bernama Goenawan Mohamad, pendiri majalah Tempo yang hebat itu. Jika kita membaca tulisan-tulisannya, kita akan mendapatkan setumpuk fakta yang luar biasa—dan ini pula salah satu kekuatan tulisan Goenawan Mohamad.

Ketika menulis sesuatu, Goenawan Mohamad tidak hanya berpijak pada objek yang ditulisnya, tetapi juga memperkaya objek penulisannya dengan setumpuk fakta yang selalu mampu membuat pembacanya takjub. Pengetahuan yang dimilikinya tentang dunia bahkan mungkin lebih banyak dibanding agen intelijen yang setiap detik memantau satelit! Oke, ini mungkin lebay, tapi peduli amat—nyatanya dia memang hebat!

Nah, apakah karena itu kemudian Goenawan Mohamad “sok tahu”…??? Tentu saja tidak! Dia bisa mengetahui banyak hal, yang kemudian ia paparkan kepada para pembacanya, karena dia seorang pembelajar sejati, penyelisik literatur yang luar biasa!

Majalah dan koran Tempo sendiri, jika kita jeli, juga menggunakan teknik semacam itu dalam penulisan artikel-artikelnya. Artikel-artikel di majalah dan koran Tempo, tidak hanya memaparkan teori, tetapi biasanya dilengkapi dengan fakta-fakta berupa cerita atau kisah. Dan, karena itu pula, Tempo jadi “enak dibaca dan perlu”—sesuai slogannya. Bahkan, yang pernah saya dengar, salah satu syarat menjadi wartawan Tempo adalah “memiliki kemampuan menggunakan cerita untuk menulis berita”.

Jadi, kawan-kawan, jika pemaparan yang cukup panjang lebar ini mau disimpulkan, maka inilah kesimpulannya, “Setiap penulis adalah seorang pembelajar”. Artinya, siapa pun yang bertekad ingin bisa menulis dengan baik, dia harus rajin, rajin, rajin… belajar!

Dengan banyak belajar, kita akan mengetahui banyak hal. Dengan mengetahui banyak hal, kita tidak hanya akan dapat berteori, tetapi juga memperkaya teori dengan hal-hal yang mungkin masih belum diketahui pembaca, sehingga hasil tulisan kita akan lebih kaya, lebih hidup, lebih mengasyikkan, dan lebih menggairahkan saat dibaca.

Ingat fakta tak terbantahkan ini: Orang hanya akan tertarik dan bergairah dengan hal-hal yang BELUM diketahuinya.

Karenanya, satu-satunya cara untuk menyodorkan hal-hal yang belum diketahui banyak orang adalah dengan belajar lebih banyak, lebih banyak lagi, dan lebih banyak lagi! Semakin mampu seorang penulis membuat pembacanya takjub, semakin tinggi poin yang akan diperolehnya. Artinya, semakin tinggi pula kemungkinan tulisannya akan disukai para pembaca.

Well, sekarang kita kembali pada topik awal, antara “tahu” dan “sok tahu”.

Yang sering kali menjadikan persoalan ini “riskan” adalah ketika penulis melakukan riset untuk bukunya hanya dengan mengandalkan internet… dan Google. Memperkaya tulisan dengan fakta memang memerlukan riset, dan pendalaman atas data-data. Tetapi hal ini akan sangat riskan jika hanya digantungkan pada referensi yang ada di internet semata-mata.

Dan Brown, salah satu penulis novel yang selalu melakukan riset berat untuk penulisan novel-novelnya, berkali-kali mengingatkan, “Meng-Google tidak sama dengan Me-Riset!”

Artinya, riset untuk penulisan buku tidak bisa hanya disandarkan pada internet, tanpa melibatkan literatur berupa buku sebagai referensi intinya. Mengapa? Karena data di internet rentan berubah, dan terus berubah. Satu data yang hari ini tertulis di salah satu website bisa saja telah diganti, diubah, diralat, atau bahkan dihapus.

Karenanya, internet memang dapat dijadikan sebagai sumber referensi dalam penulisan buku, tetapi fungsinya hanya sebagai referensi penunjang. Referensi intinya tetap harus bersandar dan berpijak pada literatur berupa buku. Bahkan, menurut saya, teks yang tertulis di koran atau majalah cetak lebih memiliki kekuatan, dibanding teks yang tertulis di suatu website di internet.

Seperti kalau kita menulis skripsi, tesis, atau disertasi, daftar pustaka yang menjadi acuan selalu dibagi dua—rujukan inti dan rujukan penunjang—meski seluruh referensi yang digunakan berupa buku.

Nah, di dalam penulisan buku, riset harus disandarkan pertama-tama pada buku dan literatur tercetak lainnya. Sementara sumber-sumber yang bisa digali dari internet hanya berfungsi sebagai penunjang.

Jika seorang penulis hanya menyandarkan risetnya pada sumber di internet—atau menjadikannya sebagai referensi atau sumber riset utama—maka kekuatan bukunya akan sangat rapuh. Jika data-data dalam bukunya diverifikasi, dan kemudian data tersebut telah berubah atau hilang (dan hal ini biasa terjadi pada teks yang ada di internet), maka data dan fakta yang ditulisnya tidak valid lagi.

Jadi, dalam konteks penulisan pemikiran, di mana batas antara “tahu” dan “sok tahu”? Jawabannya kembali pada definisi di atas. Jika fakta-fakta yang dipaparkan seorang penulis untuk menunjang pemikirannya dapat diverifikasi validitasnya, maka si penulis benar-benar “tahu”. Begitu pula sebaliknya.

In fact, membaca buku pemikiran memang sangat membosankan, tak peduli sehebat dan setenar apa pun penulisnya. Karenanya, dalam penulisan sub genre ini, para penulis kontemporer selalu memperkaya pemikiran yang ditulisnya—tidak hanya dengan setumpuk data, tetapi juga dengan seabrek fakta. Hal ini, di samping untuk memperkuat bangunan teorinya, juga berfungsi agar pemaparan teoritiknya tidak membosankan, sekaligus agar pembaca jadi lebih asyik menikmatinya.

Mengapa pemikiran-pemikiran Stephen Covey bisa asyik dicerna dan dinikmati jutaan pembaca di dunia? Karena Stephen Covey memperkaya pemikirannya dengan fakta! Begitu pula dengan Norman Vincent Peale, Napoleon Hill, David Schwartz, Zig Ziglar, ataupun penulis/pemikir lainnya. Tanpa kekayaan fakta, kekayaan pemikiran mereka pasti akan diacuhkan orang.

Ketika kita menuliskan pemikiran kita untuk dibaca orang lain, itu artinya kita berharap orang lain dapat memahami pemikiran yang kita sampaikan. Dan… cara paling efektif untuk tujuan itu adalah dengan memperkuat pemikiran kita dengan fakta-fakta yang langsung bisa dipahami pembaca. Seremeh dan sesepele apa pun sebuah fakta—itu mirip sebongkah batu bata. Ia ikut menunjang, memperkuat, memperkokoh, sebuah bangunan pemikiran.

Hhhhh… rasanya sudah panjang sekali saya menulis. Oke, saya pikir cukup sampai di sini dulu obrolan kita mengenai topik ini. Nanti—semoga saja bisa dalam waktu dekat—akan saya lanjutkan dalam post lain yang akan membahas tentang “cara membuat tulisan hidup”.

So, buat kamu yang mengirim email yang telah mengakibatkan post panjang ini, semoga isi post ini sudah cukup membantu, ya. Selamat menantikan terbitnya bukumu, dan… jangan lupa, saya tunggu kirimanmu. :D

“Tahu” dan “Sok Tahu” (4)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Nah, hal-hal yang terlihat sepele seperti itulah yang dimaksud dengan “fakta” untuk tujuan memperkaya tulisan, sekaligus memperkuat teori yang kita paparkan dalam tulisan. Dan semakin banyak serta semakin bagus fakta yang bisa kita sodorkan, semakin bagus pula tulisan kita, sekaligus semakin asyik dan tidak membosankan ketika dibaca dan dipelajari.

Pada tanggal 27 Maret lalu, Christina Udiyani, salah satu editor Penerbit Gramedia, diundang sebagai pembicara di acara workshop kepenulisan di Universitas Widya Mandala, Surabaya. Ketika dia ditanya, seperti apa tulisan populer yang bagus menurut Gramedia, sehingga dapat diterbitkan, Christina Udiyani menjawab, bahwa faktor pentingnya adalah kemampuan si penulis dalam mengajak pembacanya untuk dapat melihat, merasa, mendengar, membaui. “Don’t tell, but show,” katanya waktu itu.

Perhatikan, resep itu diberikan langsung oleh editor penerbit besar di Indonesia—“Don’t tell, but show!”. Resep itu pula yang akan kita dengar jika kita menanyakan pada editor mana pun tentang bagaimana cara menulis yang tidak hanya baik, tetapi juga enak dibaca.

“Tunjukkan, jangan katakan!” Ini adalah kredo yang seharusnya diingat oleh setiap penulis—baik fiksi maupun nonfiksi.

Bagaimana cara penulis “menunjukkan” kepada para pembacanya? Tidak cukup hanya lewat kata-kata atau teori, tetapi juga harus dilengkapi fakta-fakta. Dengan fakta-fakta yang digunakan untuk melengkapi teori, pembaca akan dapat “melihat” dan merasa, “Oooh, gitu tho, maksudnya...”

Saya sendiri selalu berupaya untuk dapat melakukan hal semacam itu. Ketika menulis dan memaparkan sesuatu, saya selalu berusaha agar tulisan itu tidak hanya berupa pemaparan teori, tetapi juga dilengkapi fakta-fakta. Jika kalian membuka-buka kembali post-post yang ada di blog ini, kalian akan mendapati setumpuk fakta—entah berupa cerita, kisah nyata, ataupun data-data—yang melengkapi sekaligus memperkaya isi posting.

Saya sadar, bahwa fakta-fakta yang saya paparkan dalam penulisan post-post di blog ini bisa saja mengundang pikiran orang untuk berpikir bahwa saya “sok tahu”. Tetapi saya tidak peduli—karena semua fakta itu saya tulis berdasarkan data yang bisa diverifikasi validitasnya. Lebih dari itu, saya menyadari bahwa salah satu tugas penulis adalah memberikan sebanyak mungkin ilmu dan pengetahuan kepada para pembacanya—dan saya berusaha sekeras yang saya bisa untuk dapat memberikan hal itu.

Anyway, jika kita mempelajari buku-buku hebat yang disukai banyak pembaca di dunia ini, kita akan menemukan fakta tak terbantahkan bahwa sembilan puluh sembilan persen buku itu sangat kaya dengan fakta. Pergilah ke toko buku, dan carilah buku apa pun yang ditulis Dale Carnegie. Buku-buku yang ditulis orang ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia—dan saya adalah salah satu dari berjuta-juta orang di dunia ini yang “tergila-gila” kepada buku-bukunya.

Buku-buku karya Dale Carnegie telah terbit lebih dari setengah abad yang lalu, tetapi tetap laku terjual hingga hari ini, meski buku-buku karyanya telah terjual jutaan eksemplar di masa lampau. Mengapa? Karena buku-bukunya sangat kaya fakta!

Di dalam banyak bukunya, kadang Dale Carnegie hanya memaparkan teorinya dalam beberapa paragraf atau beberapa alinea. Tetapi fakta-fakta yang dipaparkannya—berupa kisah dan cerita—jumlahnya sampai puluhan halaman. Dan orang-orang di seluruh dunia bisa asyik membaca buku-bukunya, karena hal itu! Saya membayangkan, jika Dale Carnegie hanya memaparkan teori tanpa fakta-fakta itu, saya tidak yakin bukunya akan bisa terjual sampai jutaan eksemplar.

Nah, apakah Dale Carnegie “sok tahu” karena bisa memaparkan banyak kisah dan cerita dalam bukunya? Tentu saja tidak! Dia tahu apa yang ditulisnya, dia tahu bagaimana memperkaya tulisannya—berdasarkan proses pembelajaran yang telah ditempuhnya, kerja kerasnya dalam menelusuri sumber-sumber literasi.

Lanjut ke sini.

“Tahu” dan “Sok Tahu” (3)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Agar kita tidak buta dan asal tuduh, sekarang kita bahas terlebih dulu perbedaan yang amat penting ini—tahu, dan sok tahu. Dan agar saya juga tidak dianggap “sok tahu”, maka penjelasan berikut ini dapat dicek dan diricek atau dikonfirmasikan ke dosen bahasa atau pakar penulisan di mana pun di dunia ini. *Menulis ini sambil pasang muka sotoy*

Ehm, “tahu”—adalah kemampuan memaparkan sesuatu, berdasarkan pengetahuan empiris, dan/atau ditunjang dengan data serta fakta yang bisa diverifikasi validitasnya.

Sedangkan “sok tahu”—adalah kemampuan memaparkan sesuatu yang tidak ditunjang pengetahuan empiris, dan/atau ditunjang dengan data serta fakta yang tidak bisa diverifikasi validitasnya.

Cukup jelas…?

Jadi, kalau ada anak SD yang bisa menjelaskan kenapa gelas bisa pecah jika dibanting ke tanah, dan dia dapat menjelaskan fenomena itu dengan data/fakta yang bisa diverifikasi validitasnya, maka dia “tahu”.

Begitu pun, jika ada sarjana yang bisa menjelaskan kenapa gelas bisa pecah jika dibanting ke tanah, tetapi dia tidak dapat menjelaskan fenomena itu dengan data/fakta yang bisa diverifikasi validitasnya, maka dia “sok tahu”.

Sekarang sudah jelas. Bahwa antara “tahu” dan “sok tahu” sama sekali tidak terkait dengan tingkat pendidikan atau gelar akademis. Ini adalah soal keuletan seseorang dalam mencari validitas teorinya, untuk tujuan menunjang pemaparan atau penjelasan teoritiknya.

Dan, omong-omong, agar penjelasan ini juga tidak membosankan, sekarang saya akan memperkaya pemaparan ini dengan fakta-fakta.

Sohib saya, Ferry Angriawan, biasa menulis artikel untuk majalah Voila!. Dua tahun lalu, dia menulis sebuah artikel yang dilengkapi dengan fakta tentang Richie Sambora (gitaris Bon Jovi), yang telah berhubungan seks dengan 99 cewek. Pemaparan tentang hal itu bukan hanya mengejutkan, tetapi juga dapat menyebabkan Ferry dicap “sok tahu” oleh para pembaca yang skeptis, karena bisa saja mereka bertanya-tanya, “Dari mana bocah ini bisa tahu kalau jumlahnya setepat itu?”

Beberapa bulan setelah edisi itu terbit, saya ketemu Ferry, dan kami pun mengobrolkan artikel yang ditulisnya itu. Karena sebelumnya saya belum pernah membaca tentang Richie Sambora sebagaimana yang ditulis Ferry, saya pun bertanya kepadanya, “Dari mana kamu dapet fakta itu, Fer?”

“Penthouse!” jawab Ferry.

Fakta bahwa Richie Sambora berhubungan seks dengan sembilan puluh sembilan cewek itu, terdapat dalam majalah Penthouse (edisi Amerika), dan hal itu keluar dari mulut Richie Sambora sendiri. Pada edisi ’96 itu, wartawan Penthouse mewawancarai Richie Sambora, “Apa obsesi Anda jika telah menjadi orang terkenal?”

Richie Sambora, sambil tertawa, menjawab, “Saya ingin berhubungan seks dengan sembilan puluh sembilan cewek!” Dan kemudian dia menceritakan bahwa obsesinya telah tercapai.

Ferry merujuk pada wawancara tersebut, sehingga jika pemaparan Ferry di atas ditelusuri dan diverifikasi, maka kita akan menemukan bahwa fakta itu memang valid. Artinya, Ferry tidak “sok tahu”—dia benar-benar tahu—karena dia berpijak pada validitas teks.

Lanjut ke sini.

“Tahu” dan “Sok Tahu” (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Di dalam penulisan buku nonfiksi—khususnya lagi yang bersifat pemikiran—data dan fakta merupakan sesuatu yang SANGAT PENTING, karena data serta fakta itulah yang akan menunjang teori atau pemikiran-pemikiran yang kita tuliskan di dalam buku. Tanpa data dan fakta yang bisa menunjang tulisan kita, maka tulisan itu hanya omong kosong—atau setidaknya teori yang masih perlu pembuktian lebih lanjut.

Idealnya, sebuah buku ditunjang dengan dua hal sekaligus—data dan fakta. Namun, masih tidak masalah jika hanya salah satunya yang mendukung—misalnya hanya dilengkapi data—karena tidak semua teori bisa dibuktikan dengan fakta. Dan, kebanyakan penulis di Indonesia memang menggunakan cara tersebut—melengkapi bukunya dengan data, namun miskin fakta.

Ironisnya, “model penulisan” semacam itu sepertinya jadi “bentuk wajib” dalam kebanyakan buku di Indonesia, sehingga kebanyakan penulis sudah merasa cukup jika hanya mengajukan data, atau merasa ragu-ragu jika ingin mengungkapkan fakta-fakta yang berhubungan dengan teori yang dituliskannya.

Padahal, padahal, padahal… satu-satunya alasan yang membuat pembaca bisa asyik membaca sebuah buku adalah karena tulisan itu hidup dan tidak membosankan. Dan… remember, remember, remember, salah satu unsur penting untuk dapat menjadikan tulisan hidup sekaligus tidak membosankan adalah kekayaan fakta yang ada di dalamnya!

Semakin kaya dan detail fakta-fakta yang tertulis dalam sebuah buku, hampir bisa dipastikan buku itu tidak akan membosankan. Tinggal bagaimana si penulis mengolah rangkaian penjelasannya, yang akan menjadikan tulisannya dalam buku itu hidup ataukah mati. Tetapi unsur pentingnya tetap pada fakta—gaya menulis bisa jadi nomor dua jika faktanya memang bagus dan lengkap.

Tetapi, di sinilah ironisnya. Kebanyakan penulis malas melengkapi tulisannya dengan fakta, atau merasa khawatir dianggap “sok tahu” jika memperkaya tulisannya dengan fakta-fakta. Lebih dari itu, masih banyak pula penulis yang “malas belajar”, sehingga kesulitan untuk mendapatkan fakta-fakta yang seharusnya dapat lebih mendukung serta memperkaya tulisannya.

Padahal, semakin lengkap fakta yang tertulis dalam buku, semakin bagus pula isi buku itu. Dan, jika kita jeli, kebanyakan buku yang tergolong bestseller di Indonesia adalah jenis buku semacam itu. Salah satu penulis Indonesia yang tahu bagaimana cara memasukkan banyak fakta dalam buku-bukunya adalah Andrias Harefa.

Andrias Harefa menulis lebih dari 30 buku yang semuanya diterbitkan Gramedia dan Penerbit Kompas—dan semuanya bestseller. Apa pun yang ditulis orang ini, para pembaca selalu asyik menikmatinya. Mengapa? Bukan hanya karena Andrias Harefa memiliki gaya menulis yang asyik, tetapi juga karena kemampuan dia dalam memaparkan banyak fakta dalam buku-bukunya. Dan… Andrias Harefa mampu melakukan hal itu, karena dia rajin belajar!

Begitu pula dengan penulis yang mengirim email di atas—dia juga seorang pembelajar yang baik, terbukti dua bukunya sangat bagus, dan saya pun menyukainya. Buku-bukunya tidak hanya dilengkapi data-data valid, tetapi juga setumpuk fakta yang dapat diverifikasi validitasnya. Namun, karena “kultur” dunia literasi di Indonesia yang sepertinya masih jauh dari hal ini, maka yang hebat seperti itu kadang justru dianggap “aneh”.

Seperti yang dipaparkan dalam emailnya, si penulis ini bahkan sampai khawatir dituduh “sok tahu”, karena mampu memaparkan banyak fakta yang mendalam di dalam bukunya. Tetapi, sebenarnya, apa sih perbedaan antara “tahu” dan “sok tahu” itu…?

Lanjut ke sini.

“Tahu” dan “Sok Tahu” (1)

Pada akhirnya, bagi seorang pengarang, bukan isme-isme
yang melahirkan karyanya, tetapi semata kemampuan pribadi.
—Pramoedya Ananta Toer


Ini post tentang menulis. Topik yang akan kita obrolkan ini membutuhkan penjelasan yang panjang lebar, karena berkaitan dengan hal-hal lain dalam aktivitas menulis, yang berhubungan dengan topik ini.

Sebenarnya, saya berencana menuliskan topik ini beberapa bulan mendatang, setelah kita membicarakan hal-hal mendasar tentang kepenulisan terlebih dulu. Tetapi topik ini terpaksa saya tulis sekarang, karena si penanya (orang yang mengajukan topik ini via email), meminta agar penjelasan tentang ini diposting secepatnya, karena berkaitan dengan bukunya yang akan segera terbit.

Email ini dikirim seorang penulis, yang—karena permintaannya sendiri—tidak ingin namanya disebutkan di sini. Isi emailnya sangat unik, dan saya menuruti keinginannya dengan memposting topik ini sekarang, karena dia menjanjikan akan mengirimkan bukunya kepada saya jika sudah terbit, hehe…

***

Saat ini, buku ketiga saya akan terbit, dan rencananya dalam waktu dekat akan diadakan peluncuran bukunya di sebuah kampus di Yogya, sekaligus bedah buku. Seperti dua buku sebelumnya, buku ketiga ini saya tulis dengan setumpuk data/fakta untuk menunjang teori yang saya ajukan. (Judul dua buku sebelumnya terlampir, plus link untuk membacanya di Google Books).

Sebagaimana kita tahu, data dan fakta selalu diperlukan dalam penyampaian tertulis dalam buku, setidaknya jika kita menginginkan pembaca semakin asyik menyelaminya. Dengan adanya data dan fakta-fakta, pemaparan kita tidak akan membosankan, karena tidak terlalu teoritis, dan karena itulah saya selalu memasukkan setumpuk fakta dalam buku-buku saya.

Nah, bercermin pada acara bedah buku terdahulu, saya kesulitan ketika harus menjawab pertanyaan atas sejauh apa fakta-fakta itu dibutuhkan dalam buku tersebut untuk menunjang teori yang saya tuliskan. Karena, menurut si penanya, teori yang saya tuliskan dalam buku sudah kuat tanpa harus ditunjang setumpuk fakta. Akibatnya, kesan yang timbul, upaya yang saya lakukan itu hanya menjadikan saya kelihatan “sok tahu”.

Sebagai penulis, saya sengaja memasukkan fakta-fakta itu dengan tujuan agar tulisan lebih hidup, lebih menarik, lebih kuat, sekaligus lebih mengasyikkan saat dibaca. Hanya saja, ketika dalam acara bedah buku tersebut, saya tidak mampu mengajukan argumentasi menyangkut hal ini secara kuat, sehingga timbul kesan bahwa semua data yang saya paparkan dalam buku itu tidak perlu.

Jika tidak merepotkan, maukah kamu membantu saya memberikan semacam “kisi-kisi” agar setidaknya saya bisa menjelaskan hal tersebut secara lebih kuat jika dihadapkan pada pertanyaan yang sama? (Karena saya yakin pertanyaan itu akan muncul kembali). Tolong juga jelaskan perbedaan akademis antara “tahu”, dan “sok tahu”, karena ini sangat berkaitan dengan genre penulisan buku saya.

Jika kamu ingin memposting email ini di blogmu, agar pembaca lain bisa memetik manfaatnya, tolong posting secepatnya. Saya janji akan mengirimkan bukunya ke alamatmu jika telah terbit nanti.


Hei, kamu yang mengirimkan email ini, hehe, saya tidak perlu mengklik link bukumu di Google Books, karena saya sudah memiliki dan membaca kedua bukumu. FYI, saya menyukai buku-buku yang kamu tulis!

Nah, kawan-kawan, seperti yang kita lihat, email di atas sangat unik, karena mengajukan topik yang mungkin masih jarang sekali dibahas dalam dunia kepenulisan, karena memang sangat sedikit penulis Indonesia yang menyentuh sub genre ini—nonfiksi-pemikiran. Ini soal “tahu”, dan “sok tahu”—topik spesifik dalam dunia kepenulisan yang masih jarang sekali dibahas dalam buku-buku panduan menulis.

Lanjut ke sini.

Ariel Membaca Buku



Jika saya bercerita sekarang,
Maka itu hanya akan membuat sebagian orang memaklumi saya,
Dan sebagian lagi akan tetap menyalahkan saya,
Tetapi itu juga akan membuat mereka memaklumi dunia yang seharusnya tidak dimaklumi,
Dan tidak ada yang dapat menjamin apakah semua dapat memetik hal yang baik dari kemakluman itu,
Atau hanya akan mengikuti keburukannya
Maka lebih baik saya diam.

Jika saya bersuara sekarang,
Maka itu akan membuat,
Saya terlihat sedikit lebih baik,
Dan beberapa lainnya terlihat lebih buruk sebenarnya,
Maka saya lebih baik diam.

Jika saya berkata sekarang,
Maka akan hanya ada caci maki,
Dari lidah ini,
Dan teriakan kasar tentang kemuakan,
Serta cemoohan hina pada keadilan,
Maka saya lebih baik diam.

Saya hanya akan berkata pada Tuhan, bersuara pada yang berhak,
Berkata pada diri sendiri,
Lalu diam kepada yang lainnya,
Lalu biarkan seleksi Tuhan,
Bekerja pada hati setiap orang.

—Ariel, Bareskrim 2010


Dalam beberapa hal, saya lebih beruntung dibanding Ariel. Oh ya, ini tentang Ariel Peterpan—bocah tampan yang sekarang harus berada di tahanan karena kelakuannya yang tolol.

Dulu, waktu saya menulis post tentang Ariel yang sedang dibicarakan banyak orang karena video mesumnya, banyak yang protes, karena kesannya saya membela Ariel. Faktanya, saya hanya berusaha menulis dengan jujur, tanpa bermaksud membela Ariel atau menyalahkan orang lain.

Kalau posting saya waktu itu berbeda atau bahkan berseberangan dengan posting orang lain, saya pikir wajar saja. Berbeda dalam hal-hal seperti itu bukanlah larangan—dan itu sah. Saya membaca postingmu, dan kau membaca posting saya—kita sama-sama belajar. Dan karena kita memiliki dua pikiran yang berbeda dalam dua kepala yang berbeda, maka tentunya sungguh wajar kalau sesekali kita juga berbeda.

Dan, di dalam perbedaan semacam itu, saya ingin kau percaya bahwa saya tidak lebih baik atau lebih benar darimu.

Dulu, posting itu sengaja saya beri judul Jika Saya Ariel Peterpan. Ketika menulis post itu, saya berusaha menempatkan diri saya pada posisi Ariel—sebagai seorang bocah tampan, sesosok superstar, salah satu laki-laki paling populer di Indonesia.

Saya bertanya-tanya pada diri sendiri, “Hei, Hoeda, jika kau menempati posisi Ariel, dan kau memiliki semua fasilitas serta godaan yang dihadapinya, apakah kau berani yakin bahwa kau bisa lebih baik daripada Ariel?”

Kami sama-sama laki-laki, dengan usia yang sama, dengan kecenderungan dan kebiasaan yang sama—dalam beberapa hal.

Dan, dengan hati kecut, saya mengakui—meski dengan rasa malu—bahwa saya pun mungkin akan tergoda, sama seperti Ariel, dan melakukan apa yang mungkin telah dilakukannya. Saya tidak bisa menjamin bahwa saya akan dapat menjadi sosok yang lebih baik dibanding Ariel, jika saya menempati posisinya—dengan segala fasilitas dan godaannya. Saya manusia biasa, bukan malaikat, sama seperti Ariel.

Hanya saja, Ariel memiliki kesalahan yang benar-benar tolol! Dia merekam ketololannya!

Padahal, kalau saja dia sedikit lebih pintar, dia akan dapat berpikir, bahwa kalau tidak ada rekaman video tolol itu, dia akan selamat dari semua tuduhan—karena tidak ada bukti otentiknya.

Nah, mengenai rekaman video itu, saya bertanya-tanya, kenapa Ariel bisa setolol itu? Apa sebenarnya yang ada dalam otaknya—apa motivasinya?

Ketika seorang laki-laki merekam video tololnya, dan kemudian memperlihatkannya kepada orang lain, maka biasanya motivasinya adalah untuk “gagah-gagahan”. Tentu saja itu motivasi yang tolol. Tetapi hal semacam itu tentunya tidak dibutuhkan seorang Ariel. Dia sudah “gagah” tanpa harus ada pembuktian yang tolol semacam itu.

Tapi ternyata Ariel pun tolol—dia melakukan tepat sama seperti itu!

Menurut kawan-kawan dekatnya, Ariel memang suka memperlihatkan rekaman videonya dengan gaya sok-sokan. Dan, mungkin, karena itu pulalah kemudian ada yang sirik dan kemudian mengunggahnya ke internet hingga menjadi sebuah skandal nasional. Jadi rupanya bocah superstar bernama Ariel itu pun tetap saja cowok biasa—yang terkadang bodoh karena diperbudak egonya—sama seperti kebanyakan laki-laki lainnya, mungkin pula sama seperti saya.

Hanya saja, dalam beberapa hal, saya lebih beruntung dibanding Ariel.

Saya lebih beruntung dibanding Ariel, karena saya tidak memiliki semua fasilitas yang dimilikinya, tidak menghadapi godaan yang dihadapinya. Setidaknya, saya lebih beruntung karena bisa terhindar dari kemungkinan melakukan ketololan yang biasa dilakukan laki-laki tolol.

Kabar terakhir yang saya dengar, Ariel sekarang rajin membaca buku di tahanan. Saya senang mendengarnya—karena sepertinya itu salah satu hal terbaik yang dapat dilakukannya. Dia mengakui bahwa sejak lama ia tertarik dengan sejarah, hanya saja kesibukannya selama ini telah membuatnya kehabisan waktu untuk membaca buku. Bidang ilmu yang benar-benar tepat untuk Ariel—sejarah.

Sambil membaca buku-buku sejarah yang terus disuplai pacarnya, Luna Maya, semoga Ariel juga tidak lupa pada sejarahnya sendiri—sehingga dia benar-benar belajar pada sejarah.

Ada cukup banyak orang yang memiliki latar sejarah tak jauh beda dengan Ariel—melakukan kekeliruan besar, lalu terjatuh dalam caci-maki banyak orang. Hanya saja, yang membedakan, adalah saat mereka sesudahnya.

Ada orang yang melakukan kesalahan besar dan mendapatkan kejatuhan besar, lalu membaca buku—dan kemudian, tiba-tiba, merasa dirinya menjadi sosok tercerahkan, manusia paling terberkati.

Orang dalam jenis ini biasanya berubah menjadi “manusia sok suci”. Dia menganggap kesalahannya sebagai sejarah, tetapi memahaminya secara keliru, seolah-olah kesalahannya itu memang diletakkan Tuhan agar dilakukannya. Dan setelah itu, dia pun biasanya lebih sibuk mengarahkan matanya pada kesalahan orang lain… dan lupa pada kesalahannya sendiri.

Tetapi ada pula orang yang melakukan kesalahan besar dan mendapatkan kejatuhan besar, lalu membaca buku—dan kemudian ia menyadari bahwa masih ada hari esok untuk memperbaiki diri, setidaknya untuk menjadi orang yang lebih baik.

Orang dalam jenis ini biasanya berubah menjadi “manusia mawas diri”. Dia menganggap kesalahannya sebagai sejarah, dan dia memahaminya secara tepat, yaitu bahwa dia tidak boleh mengulangi sejarah kekeliruannya. Dan setelah itu, dia pun lebih sibuk memperbaiki diri, hingga tak punya waktu untuk mengurusi kekurangan orang lain.

Dan hari ini, Ariel mulai membaca buku. Buku sejarah. Dan saya berharap Ariel benar-benar belajar pada sejarah—dalam proporsi yang tepat—agar dia tetap menjadi manusia biasa. Tentu saja manusia biasa yang lebih baik dibanding sebelumnya.

Kita semua pernah keliru—tetapi Tuhan masih memberi waktu.


Manusia dan Tuhannya



Seorang manusia berdoa kepada Tuhannya, “Tuhan, berikanlah aku umur yang panjang, berikanlah aku kesehatan, kekayaan, kemakmuran, kebahagiaan, dan jauhkan aku dari cobaan, kesedihan, kesengsaraan…”

Dan Tuhan menjawab, “Ntar dulu, ntar dulu. Ini sebenarnya siapa yang jadi Tuhan? Kamu atau Aku…?”


Soal Temperatur



+ Apa benar ini istilahnya? Tem… peratur?

- Ya, itulah istilahnya. Temperatur.

+ Kalau saya tidak salah ingat, istilah temperatur digunakan untuk mengukur suatu suhu tertentu, benar?

- Exactly!

+ Dan karena yang diatur adalah suhu yang tidak pernah konstan, maka temperatur berarti juga tidak pernah konstan—ia naik dan turun, berubah, kadang tinggi dan kadang pula rendah. Temperatur, itulah dia. Senang sekali saya bisa menemukan istilah ini. Anda tahu, saya jadi merasa seperti menemukan bejana Archimedes.

- Hahaha, sampeyan pasti sedang berlebih-lebihan. Orang-orang di sini sudah biasa mendengar istilah itu, kok—temperatur. Bagi kami, istilah itu sama sekali tidak istimewa. Yeah, setidaknya tidak seistimewa bejana Archimedes.

+ Begitu? Kadang-kadang sesuatu yang luar biasa memang dianggap hal biasa jika ia telah menjadi suatu kebiasaan. Bagi saya, istilah ini—temperatur—adalah istilah yang sangat istimewa, karena masih asing bagi saya, bahkan saya agak kesulitan menyebutkannya.

- Cara sampeyan menyatakannya itu… uh, membuat saya jadi merasa bersalah.

+ Merasa bersalah karena menganggap istilah temperatur sebagai hal biasa? Ya, ya, ini juga tak jauh beda dengan saya, well… dengan kita semua. Ingat kata Emerson? Kalau saja bintang-bintang di langit hanya muncul sekali dalam seribu tahun, niscaya manusia akan mengingat-ingatnya, mengabadikannya dalam cerita ke cerita, dan menganggap kemunculannya sebagai sesuatu yang istimewa, luar biasa, penuh pesona. Tetapi bintang-bintang di langit muncul setiap malam. Akibatnya, seindah dan seistimewa apa pun, keberadaannya dianggap hal biasa.

- Sampeyan bijaksana sekali.

+ Waduh, sekarang Anda yang sedang berlebih-lebihan. Saya hanya sedang terpesona pada istilah ini—temperatur. Rasanya senang sekali menyebutnya di bibir—temperatur. Ada rasa geli di lidah, juga ada semacam hasrat linguistik yang tak tertahankan. Anda tahu, setiap kali saya menyebut kata ini—temperatur—seperti ada yang bermain-main di dalam benak saya.

- Wah, apa sampai sejauh itu…? Saya pikir istilah itu kok biasa saja.

+ Ya itu tadi, karena Anda sudah biasa menyebutkannya, atau sudah biasa menyatakannya, jadi lidah Anda sudah sangat terbiasa. Cobalah sesekali Anda mencari suatu istilah baru yang belum pernah Anda ucapkan, lalu cobalah ucapkan. Pasti Anda akan merasakan apa yang saya rasakan ini. Rasanya, well, seperti kalau anak kecil baru bisa bicara sesuatu, dan dia kemudian menyebut kata itu berulang-ulang. Rasanya ajaib sekali. Temperatur ini, menurut saya… sungguh ajaib.

- Temperatur, ya? Saya baru tahu ada orang yang menganggap kata temperatur merupakan hal ajaib. Itu… waduh, itu sungguh ajaib menurut saya.

+ *Tertawa*

- Bukankah ini aneh?

+ Oh ya, tentu saja ini aneh. Saya menganggap hal biasa milik Anda sebagai sesuatu yang ajaib, dan Anda menganggap saya ajaib. Bukankah ini sungguh ajaib? Jadi benar kalau ini memang istilahnya, ya, tem… peratur?

- Ya, itulah istilahnya. Temperatur.


Gemuruh Sore



Jadi, sore itu, setelah mengisi bensin di pom, aku melaju perlahan-lahan menuju warung bakso kesukaanku. Sore itu, entah kenapa, aku ingin menikmati perjalananku, jadi aku tak terburu-buru.

Dan karena itulah aku melihatnya.

Dan aku membatin, “Ya Tuhan, dia masih begitu kecil…”

Hanya melihatnya selintas, karena aku terus melaju, dan kemudian mendapati warung bakso yang kutuju ternyata tutup.

Semesta merintih.

Bukan karena warung bakso yang tutup, tetapi karena hatiku yang bergemuruh.


Selasa, 07 Desember 2010

Cinta adalah Kebebasan



Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia, karena ia membebaskan. Dan tidak ada kekuatan, baik alam atau usaha manusia, yang dapat membelokkan arah tujuan cinta.
—Kahlil Gibran

Cinta adalah memberi orang lain kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri, dan menerima orang itu tanpa mencoba untuk mengubahnya.
—Robert Anthony

Satu-satunya tali pengikat yang memberikan kebebasan kepadamu di dunia ini ialah tali ikatan cinta.
—Michael Ramon

Aku sangat menyukai kebebasan dalam cinta… Begitu sebuah cinta meminta hatiku, aku akan memberikannya semua, bahkan seandainya aku punya sepuluh ribu hati.
—Moliere


Banyak orang mengeluh kebebasannya terenggut, atau setidaknya berkurang, setelah berpacaran, menjalin cinta dengan seseorang. Ada cewek yang mengeluhkan pacarnya yang suka melarang ini-itu, begini-begitu, dan sebagainya. Barangkali alasan-alasan si cowok melarangnya itu dengan dalih ‘demi kebaikan’ atau ‘demi-demi’ lain yang terkesan positif. Tetapi satu hal yang pasti, si cowok melarangnya, mengurangi kebebasannya, dan hubungan pacaran pun kemudian menjadi hubungan yang merenggut kebebasan.

Ada pula cowok yang mengeluhkan pacarnya yang suka mengatur. Dari soal pakaian, jumlah rokok yang boleh diisap, sampai jadwal kunjungan resmi di malam minggu. ‘Peraturan-peraturan’ tak tertulis yang ditetapkan itu barangkali berdalih demi kebaikan bersama, demi kebahagiaan bersama, juga ‘demi-demi positif’ lainnya. Tetapi satu hal yang pasti; kebebasan jadi berkurang.

Apakah seorang pacar tidak boleh mengatur pacarnya?

Sebenarnya, persoalannya bukan apakah boleh mengatur atau tidak. Yang menjadi persoalan sesungguhnya; apakah peraturan yang diberikan itu membelenggu atau tidak.

Mungkin kau tidak suka cara berpakaian pacarmu. Mungkin kau tidak suka teman-teman pacarmu. Mungkin kau tidak suka pacarmu merokok. Mungkin kau tidak suka tingkahnya yang kadang kekanak-kanakan. Lho, kalau memang iya, bagaimana kau kemudian bisa mencintainya, dan bahkan menjadi pacarnya? Kalau kau mencintainya, dan memutuskan menjadi pacarnya, artinya kau sudah siap menerima dia apa adanya, dengan segala kelebihan maupun kekurangannya. Kalau kau mau dengan kelebihannya, tetapi tak mau menerima kekurangannya, apakah wajar?

Baiklah, mungkin kau suka dengan pemikirannya yang dewasa, tapi tidak suka cara berpakaiannya yang kekanak-kanakan. Apakah tidak pernah terpikir bahwa barangkali justru di situlah letak daya tariknya yang unik, yang bahkan telah membuatmu jatuh cinta kepadanya?

Mungkin kau menjawab, “Bukan!”

Okelah, terus mau apa? Apakah kemudian kau mau berdebat soal pakaian dengannya, dan mengajukan sekian banyak argumentasi agar pacarmu mengubah cara berpakaiannya? Dan apakah kaukira pacarmu akan mau?

Mungkin dia mau mengubah cara berpakaiannya di hadapanmu, tetapi dia akan kembali lagi pada kebiasaannya ketika tidak bersamamu. Itu artinya, kau sudah meminta pacarmu sendiri untuk membohongimu. Setelah itu, pacarmu pun mulai membohongimu dalam hal lain yang ia kira bisa menyenangkanmu. Ia akan berbohong tentang kawan-kawannya, kegiatan-kegiatannya, keluarga dan saudara-saudaranya, bahkan dia pun mungkin akan berbohong tentang siapa dirinya yang sesungguhnya.

Cinta itu kebebasan.

Cinta membebaskan orang yang kita cintai menjalankan hidup dengan caranya sendiri. Cinta bukan pengekangan atau belenggu-belenggu. Cinta memang membutuhkan komitmen untuk bisa hidup berdua dengan segala konsekuensinya, tetapi itu bukan berarti seseorang bisa berbuat seenaknya terhadap pasangannya.

Cinta memang kadang butuh pengorbanan. Tetapi pengorbanan di dalam cinta datang bukan karena diminta atau dipaksa, melainkan karena kesadaran.

Hubungan cinta juga bukan penjara. Hubungan dua orang yang saling berkomitmen bukanlah hubungan yang bisa digunakan sebagai dalih untuk mengurangi kebebasan orang lain (pasangan).

Sekali lagi, cinta adalah kebebasan, dan hubungan cinta pun berlandaskan pada kebebasan.

Berapa banyak hubungan yang bubar di tengah jalan karena salah satunya sangat mengekang pasangannya? Berapa kali kita merasa sangat takut kehilangan orang yang kita cintai, dan kemudian membuat belenggu yang mengebiri kebebasannya? Kita menentukan siapa saja yang boleh berhubungan dengannya, kegiatan apa saja yang boleh dilakukannya, tempat-tempat mana saja yang boleh dikunjunginya, dan kita melakukan semuanya itu hanya dengan alasan karena merasa telah memilikinya.

Di dalam The Nibble Theory, Kaleel Jamison mengingatkan, “Segala macam hubungan antar manusia itu mirip dengan pasir dalam genggaman. Jika berada pada telapak tangan yang terbuka, pasir itu akan tetap pada tempatnya. Namun jika kita kepalkan tangan erat-erat untuk mempertahankannya, pasir itu akan menyembur melalui sela-sela jari. Mungkin ada yang tersisa dalam tangan, tapi kebanyakan akan jatuh. Hubungan cinta pun seperti itu. Kalau dipertahankan dengan longgar, dengan menghormati dan membebaskan orang lain, hubungan cinta akan tetap utuh. Tapi jika digenggam terlalu erat, terlalu memiliki, maka hubungan cinta itu pun akan terlepas dan hilang.”

Ketika seseorang dibebaskan dengan sepenuh kepercayaan, maka ia sebenarnya telah dikalungi oleh rantai besar bernama tanggung jawab. Jadi di sini, tidak perlu seseorang membuat serangkaian peraturan untuk dipenuhi pasangannya. Bebaskan saja dan percayailah dia sepenuhnya, dan kau akan melihat dia pun mulai dituntut oleh tanggung jawabnya sendiri untuk bisa membahagiakanmu, dengan jalan melakukan apa yang ia rasa kauinginkan darinya. Dan ketika dia melakukan itu untukmu, dia akan merasa sebagai pasangan yang baik, dan bukan sebagai seseorang yang terbelenggu.

Tetapi jika kau sudah buru-buru menetapkan aneka peraturan yang melarangnya untuk berbuat atau tidak berbuat, menyuruhnya untuk melakukan ini dan itu yang kauinginkan, maka kau telah membelenggu kebebasannya. Pada awalnya mungkin dia sanggup menerima pengekangan itu, tetapi lama-lama dia akan merasa seperti budak dalam hubungan itu. Dan ketika kesadaran semacam itu muncul, maka dia pun akan segera pergi meninggalkanmu, karena merasa lebih bebas tanpamu daripada ketika berada di dekatmu.

Mungkin peraturan-peraturan yang kauberikan kepadanya kau nilai sebagai kebaikan. Tetapi satu hal yang harus diingat adalah; orang memang suka berbuat kebaikan, tetapi tidak selalu suka jika disuruh berbuat kebaikan! Jadi, sekali lagi, biarkanlah pasanganmu memiliki inisiatif sendiri untuk berbuat baik kepadamu, tanpa kau harus memintanya dengan aneka peraturan dan belenggu.

Karena itu pula, ketika pacaran sudah tak jauh beda dengan penjara yang penuh peraturan, jangan heran kalau hubungan itu pun tak akan mampu bertahan lama. Kalau hubungan pacaran telah menjadi semacam panti asuhan, dimana salah satunya bisa bebas melarang ini dan itu, maka hubungan itu bisa dipastikan akan segera kandas di tengah jalan.

Dan... kalau memang cinta adalah seperti itu, kalau memang pacaran adalah seperti itu, penuh pengekangan dan belenggu-belenggu, maka rasanya kita lebih baik memilih mencintai diri sendiri, dan tidak usah punya pacar sama sekali!


Walt Disney, Sang Pemimpi (6)

Pada tahun 1930, Walt Disney memutuskan untuk membangun sekolahnya sendiri, tempat ia akan mengajarkan segala teknik animasi kartun kepada calon-calon kartunis.

Ketika berdiri, sekolah itu benar-benar tampak seperti kebun binatang. Segala macam binatang dihadirkan di tempat itu, dan Disney menjadikan sekolahnya sebagai laboratorium biologi kehidupan nyata. Di sekolah ini, murid-muridnya bisa mempelajari perilaku dan sikap binatang secara langsung dalam keadaan apa pun, hingga bisa menghasilkan gambar-gambar animasi yang realistik.

Pada tahun 1938, Walt Disney memperkenalkan film animasi yang panjang berjudul ‘Snow White’. Itu adalah film animasi terpanjang yang pernah ada di zaman itu. Untuk membuat film tersebut, dibutuhkan waktu dua tahun penuh kerja keras. Dan film ini merupakan salah satu karya terbesar Walt Disney.

Tidak lama setelah itu, ia membangun studio film yang besar dan modern di Burbank, California. Di tempat itu ia mempekerjakan 1.500 orang untuk mengerjakan proyek-proyek impiannya. Sampai di sini, tampak bahwa segala impian Walt Disney telah terwujud.

Selama masa Perang Dunia II, Walt Disney menerima beberapa kontrak dari dinas ketentaraan untuk membuat film dokumenter dan poster perang. Begitu perang usai, bisnis makin sibuk bagi Disney’s Studios, dan Walt Disney pun semakin mencurahkan perhatiannya pada keahlian seninya. Di masa-masa inilah ia sering bekerja hingga larut malam di studionya, dan di masa-masa ini pulalah, dia melahirkan karya-karya yang kelak akan menjadi legenda semacam Bambi, Peter Pan, dan juga Cinderella.

Impian demi impian Walt Disney tercapai, dan impian-impian itu pun terus berkembang. Pada tahun 1950, Walt Disney menciptakan sebuah impian lain yang paling fantastis; ia ingin membangun sebuah taman yang luar biasa besar dimana anak-anak di seluruh dunia dapat bermain-main sepuasnya. Taman hiburan ini akan ia namakan Disneyland!

Ketika impian fantastis itu dimunculkan, semua orang terbelalak. Semua temannya, terutama bankir-bankirnya, menyatakan bahwa itu proyek yang gila-gilaan, impian yang sulit diwujudkan. Tetapi, sekali lagi, Walt Disney akan menunjukkan bahwa impian manusia dapat menjadi kenyataan. Di tengah-tengah tentangan banyak orang, Walt Disney pun mulai membangun impiannya itu, mencurahkan segala perhatian, waktu dan energinya, sekaligus menguras isi tabungannya.

Pembangunan Disneyland memakan waktu yang sangat lama, karena bukan saja impian yang fantastis, tetapi juga bangunan yang raksasa. Tetapi impian besar itu pun kemudian terwujud. Disneyland berdiri megah pada tahun 1955 di Anaheim, California. Itu adalah hari besar bagi Walt Disney, itu adalah bangunan impiannya yang paling hebat yang sebelumnya bahkan belum pernah dibayangkannnya!

Pada tahun 1985, selang waktu tiga puluh tahun semenjak diresmikannya, Disneyland menyambut pengunjungnya yang ke-250 juta. Dan hari ini, Disneyland telah dikunjungi lebih dari satu milyar orang dari seluruh dunia!

Ketika Walt Disney meninggal dunia pada tahun 1966, dunia hiburan kehilangan salah seorang penciptanya yang paling besar. Sepanjang hidupnya, ia telah menerima 900 tanda kehormatan, 32 Piala Oscar, 5 Piala Emmy, dan 5 gelar Doktor Honoris Causa. Ia juga dianggap sebagai perintis sejarah animasi dan salah seorang manusia terkaya di dunia. Ia telah mewujudkan impian-impiannya, jauh melebihi harapannya yang paling muluk sekalipun.

Saat ini, perusahaan Walt Disney telah menjadi sebuah perusahaan raksasa di dunia hiburan. Anak-anak dan remaja, bahkan orang tua di seluruh dunia pun terhibur dengan kehadiran karya-karya Walt Disney. Menjelang akhir hayatnya, Walt Disney meninggalkan sebuah wasiat berupa pesan, “Semua mimpimu bisa menjadi kenyataan, jika kau memiliki keberanian untuk mengejarnya.

Walt Disney, Sang Pemimpi (5)

Ketika sampai di Hollywood, Walt Disney hanyalah satu di antara begitu banyak orang yang berharap mewujudkan impiannya di kota gemerlap ini. Walt Disney mulai mengunjungi studio-studio film satu per satu. Ia bersedia bekerja apa saja asal masih ada hubungannya dengan perfilman.

Namun Walt Disney segera menyadari betapa sulitnya masuk ke studio-studio film di Hollywood. Begitu banyak orang lain sebelum dia yang telah melamar kerja di sana, tetapi ditolak. Walt Disney juga termasuk yang ditolak.

Luntang-lantung di Hollywood, Walt Disney kadang tidur di emper-emper jalan, atau dimana pun yang bisa dipakainya untuk beristirahat bila sudah merasa sangat lelah.

Seorang pendeta yang menaruh simpati kepadanya, memberikan kesempatan pada Walt Disney untuk tinggal di gudang gerejanya, asal ia mau menggambar poster dan pengumuman untuk keperluan komunikasi gereja.

Walt Disney tinggal di gudang gereja itu untuk beberapa lama, bersama sejumlah tikus gudang yang biasa berseliweran setiap hari. Dia kesepian, dan dalam kesepian itu dia kemudian bersahabat dengan dua ekor tikus yang lalu menjadi sahabat sejatinya. Tikus-tikus inilah yang setiap hari menemaninya, bahkan menghiburnya.

Untuk membalas budi baik kedua sahabatnya ini, Walt Disney pun membuat kedua tikus tersebut menjadi gambar kartun serial untuk anak-anak gereja. Dan ternyata tikus-tikus Walt Disney sangat digemari. Kelak, kedua tikus itu akan menjadi tikus-tikus paling terkenal di dunia; Micky Mouse dan Minny Mouse!

Selama tinggal di gudang gereja itu, Walt Disney terus menggambar film-film komik dengan maksud untuk dijual kepada pengusaha bioskop. Ia hanya menggunakan kembali pengalaman yang sudah diperolehnya saat dulu mengerjakan pekerjaan seperti itu.

Ada seorang pemilik bioskop yang kemudian tertarik, dan membeli beberapa seri komik yang dibuatnya. Walt Disney pun semakin bersemangat. Dan pada masa-masa inilah Walt Disney melahirkan kisah komik serial ‘Alice in Wonderland’, yang kelak melegenda. Untuk kisah serial ‘Alice in Wonderland’ ini, Walt Disney dibayar 1.500 dolar, suatu jumlah yang lebih besar dari yang diharapkan Disney sendiri. Dengan uang itu, ia bisa membeli rumah dan membangun studionya sendiri, meskipun masih sederhana.

Sesudah sukses dengan serial ‘Alice in Wonderland’, Walt Disney terus melaju dengan karya-karyanya yang lain. Kali ini ia membuat film kartun dengan mengangkat dua tikus yang menjadi sahabatnya dulu; Micky Mouse dan Minny Mouse. Ketika film tentang dua tikus ini masuk ke layar bioskop, dua tikus ini pun langsung menjadi terkenal di seluruh dunia. Kepopuleran kedua tikus ini bahkan mengalahkan kepopuleran artis-artis Hollywood yang paling populer sekalipun!

Walt Disney terus menciptakan karya baru, dan ia terus menyempurnakan teknik-teknik pembuatan filmnya. Waktu itu, film masih bisu, dalam arti belum ada suara apa-apa atau suara dialog dari para tokoh pemerannya. Walt Disney menciptakan teknik untuk membuat film bisa bicara dan dihiasi dengan suara. Ia juga mengembangkan teknik pembuatan film yang bisa menghasilkan warna-warna indah hingga menyenangkan saat ditonton.

Semua yang diupayakan Disney itu disambut dengan penuh sukacita oleh jutaan orang pecinta film di mana-mana. Film-film karya Walt Disney terus meraih sukses, dan uang pun terus mengalir ke kantongnya, menciptakan kekayaan yang bahkan belum pernah dibayangkan Walt Disney sendiri!

Lanjut ke sini.

Walt Disney, Sang Pemimpi (4)

Di garasi kosong milik kakaknya, Walt Disney membuat sebuah studio sederhana, dan di situlah ia mulai membuat film-film animasi pendek dengan menggunakan teknik hasil rekaannya. Ia kemudian memperlihatkan hasilnya kepada seorang pemimpin bioskop terkenal. Orang itu langsung terkesan. Sketsa-sketsa dan teknik film Walt Disney sangat berbeda dengan yang sudah ada selama ini. Maka film kartunnya yang pertama pun segera diputar di bioskop-bioskop.

Film-film kartun karya Walt Disney rupanya disenangi para penonton, dan Walt Disney pun mulai disegani sebagai seorang pembaharu. Gajinya mulai naik, dan dalam waktu singkat Walt Disney menjadi orang terkenal di kota itu.

Ia mengembalikan kamera yang dipinjamnya dari perusahaannya, dan membeli kamera sendiri dengan uang simpanannya. Ia juga kemudian memutuskan untuk keluar dari perusahaan tempatnya bekerja, dan bertekad untuk membangun perusahaannya sendiri.

Film-film kartunnya semakin populer. Walt Disney lalu menyewa ruang kantor sendiri untuk usaha kecilnya yang ia namakan Laugh-O-Grams Corporation, dengan modal awal sebesar 15.000 dolar. Ia mempekerjakan beberapa magang dan seorang salesman untuk mempromosikan film-film kartunnya di New York City. Impiannya untuk mandiri akhirnya menjadi kenyataan, dan saat itu ia baru berumur 20 tahun.

Tetapi sukses tidak berjalan dengan lurus tanpa rintangan. Ketika resesi ekonomi melanda, biaya produksi film menjadi melambung tinggi, dan biaya peralatan serta operasional semakin membengkak. Ini masih ditambah lagi dengan sifat perfeksionis Walt Disney yang selalu menginginkan karyanya benar-benar sempurna. Akibatnya, semakin banyak uang yang terbuang hanya untuk mengejar kesempurnaan yang diinginkan Walt Disney. Dan bisa ditebak, Walt Disney pun kemudian mengalami kebangkrutan yang sangat parah.

Itu merupakan masa-masa yang suram bagi hidupnya. Ia telah beranggapan masa-masa sulitnya telah berlalu, namun ternyata hidup masih memberikannya cobaan yang begitu besar. Sekarang dia tidak memiliki uang sama sekali, dan terpaksa tinggal di sebuah bengkel dengan makan dan tidur di sebuah bangku kecil, satu-satunya perabot yang masih dimilikinya. Ia tidak memiliki kamar mandi, hingga tidak bisa mandi setiap hari. Seminggu sekali, ia harus mengumpulkan uang untuk naik kereta api untuk mandi di kamar mandi umum di stasiun.

Keadaan yang sangat menyedihkan itu terus berlangsung hingga beberapa waktu lamanya, sampai kemudian ia mendapatkan kontrak untuk pembuatan kartun animasi untuk mendidik anak-anak mengenai pentingnya menyikat gigi.

Pada suatu malam, dokter gigi yang memesan kartun tersebut datang menemuinya, dan mengajak Walt Disney untuk pergi ke kantornya.

“Tidak bisa,” jawab Walt Disney menolak ajakan itu.

“Kenapa?” tanya sang dokter dengan bingung.

Dengan ragu-ragu Walt Disney menjawab, “Karena saya tidak punya sepatu. Satu-satunya sepatu saya ada di tempat tukang sepatu untuk diperbaiki, dan saya tidak punya uang untuk mengambilnya.”

Walaupun menghadapi keadaan yang serba menyusahkan, Walt Disney tidak pernah putus asa. Setelah memperoleh uang yang cukup dari kontraknya membuat kartun menyangkut pentingnya menggosok gigi itu, Walt Disney membangun sebuah impian baru. Pada suatu malam di bulan Juli 1923, dengan membawa sedikit uang dalam saku baju setelan tuanya, pemuda kurus kering ini naik kereta api menuju Holywood.

Ia bertekad kuat untuk meraih sukses di dunia perfilman Hollywood dengan gagasan film kartunnya.

Lanjut ke sini.

 
;