Sabtu, 11 Desember 2010

Ariel Membaca Buku



Jika saya bercerita sekarang,
Maka itu hanya akan membuat sebagian orang memaklumi saya,
Dan sebagian lagi akan tetap menyalahkan saya,
Tetapi itu juga akan membuat mereka memaklumi dunia yang seharusnya tidak dimaklumi,
Dan tidak ada yang dapat menjamin apakah semua dapat memetik hal yang baik dari kemakluman itu,
Atau hanya akan mengikuti keburukannya
Maka lebih baik saya diam.

Jika saya bersuara sekarang,
Maka itu akan membuat,
Saya terlihat sedikit lebih baik,
Dan beberapa lainnya terlihat lebih buruk sebenarnya,
Maka saya lebih baik diam.

Jika saya berkata sekarang,
Maka akan hanya ada caci maki,
Dari lidah ini,
Dan teriakan kasar tentang kemuakan,
Serta cemoohan hina pada keadilan,
Maka saya lebih baik diam.

Saya hanya akan berkata pada Tuhan, bersuara pada yang berhak,
Berkata pada diri sendiri,
Lalu diam kepada yang lainnya,
Lalu biarkan seleksi Tuhan,
Bekerja pada hati setiap orang.

—Ariel, Bareskrim 2010


Dalam beberapa hal, saya lebih beruntung dibanding Ariel. Oh ya, ini tentang Ariel Peterpan—bocah tampan yang sekarang harus berada di tahanan karena kelakuannya yang tolol.

Dulu, waktu saya menulis post tentang Ariel yang sedang dibicarakan banyak orang karena video mesumnya, banyak yang protes, karena kesannya saya membela Ariel. Faktanya, saya hanya berusaha menulis dengan jujur, tanpa bermaksud membela Ariel atau menyalahkan orang lain.

Kalau posting saya waktu itu berbeda atau bahkan berseberangan dengan posting orang lain, saya pikir wajar saja. Berbeda dalam hal-hal seperti itu bukanlah larangan—dan itu sah. Saya membaca postingmu, dan kau membaca posting saya—kita sama-sama belajar. Dan karena kita memiliki dua pikiran yang berbeda dalam dua kepala yang berbeda, maka tentunya sungguh wajar kalau sesekali kita juga berbeda.

Dan, di dalam perbedaan semacam itu, saya ingin kau percaya bahwa saya tidak lebih baik atau lebih benar darimu.

Dulu, posting itu sengaja saya beri judul Jika Saya Ariel Peterpan. Ketika menulis post itu, saya berusaha menempatkan diri saya pada posisi Ariel—sebagai seorang bocah tampan, sesosok superstar, salah satu laki-laki paling populer di Indonesia.

Saya bertanya-tanya pada diri sendiri, “Hei, Hoeda, jika kau menempati posisi Ariel, dan kau memiliki semua fasilitas serta godaan yang dihadapinya, apakah kau berani yakin bahwa kau bisa lebih baik daripada Ariel?”

Kami sama-sama laki-laki, dengan usia yang sama, dengan kecenderungan dan kebiasaan yang sama—dalam beberapa hal.

Dan, dengan hati kecut, saya mengakui—meski dengan rasa malu—bahwa saya pun mungkin akan tergoda, sama seperti Ariel, dan melakukan apa yang mungkin telah dilakukannya. Saya tidak bisa menjamin bahwa saya akan dapat menjadi sosok yang lebih baik dibanding Ariel, jika saya menempati posisinya—dengan segala fasilitas dan godaannya. Saya manusia biasa, bukan malaikat, sama seperti Ariel.

Hanya saja, Ariel memiliki kesalahan yang benar-benar tolol! Dia merekam ketololannya!

Padahal, kalau saja dia sedikit lebih pintar, dia akan dapat berpikir, bahwa kalau tidak ada rekaman video tolol itu, dia akan selamat dari semua tuduhan—karena tidak ada bukti otentiknya.

Nah, mengenai rekaman video itu, saya bertanya-tanya, kenapa Ariel bisa setolol itu? Apa sebenarnya yang ada dalam otaknya—apa motivasinya?

Ketika seorang laki-laki merekam video tololnya, dan kemudian memperlihatkannya kepada orang lain, maka biasanya motivasinya adalah untuk “gagah-gagahan”. Tentu saja itu motivasi yang tolol. Tetapi hal semacam itu tentunya tidak dibutuhkan seorang Ariel. Dia sudah “gagah” tanpa harus ada pembuktian yang tolol semacam itu.

Tapi ternyata Ariel pun tolol—dia melakukan tepat sama seperti itu!

Menurut kawan-kawan dekatnya, Ariel memang suka memperlihatkan rekaman videonya dengan gaya sok-sokan. Dan, mungkin, karena itu pulalah kemudian ada yang sirik dan kemudian mengunggahnya ke internet hingga menjadi sebuah skandal nasional. Jadi rupanya bocah superstar bernama Ariel itu pun tetap saja cowok biasa—yang terkadang bodoh karena diperbudak egonya—sama seperti kebanyakan laki-laki lainnya, mungkin pula sama seperti saya.

Hanya saja, dalam beberapa hal, saya lebih beruntung dibanding Ariel.

Saya lebih beruntung dibanding Ariel, karena saya tidak memiliki semua fasilitas yang dimilikinya, tidak menghadapi godaan yang dihadapinya. Setidaknya, saya lebih beruntung karena bisa terhindar dari kemungkinan melakukan ketololan yang biasa dilakukan laki-laki tolol.

Kabar terakhir yang saya dengar, Ariel sekarang rajin membaca buku di tahanan. Saya senang mendengarnya—karena sepertinya itu salah satu hal terbaik yang dapat dilakukannya. Dia mengakui bahwa sejak lama ia tertarik dengan sejarah, hanya saja kesibukannya selama ini telah membuatnya kehabisan waktu untuk membaca buku. Bidang ilmu yang benar-benar tepat untuk Ariel—sejarah.

Sambil membaca buku-buku sejarah yang terus disuplai pacarnya, Luna Maya, semoga Ariel juga tidak lupa pada sejarahnya sendiri—sehingga dia benar-benar belajar pada sejarah.

Ada cukup banyak orang yang memiliki latar sejarah tak jauh beda dengan Ariel—melakukan kekeliruan besar, lalu terjatuh dalam caci-maki banyak orang. Hanya saja, yang membedakan, adalah saat mereka sesudahnya.

Ada orang yang melakukan kesalahan besar dan mendapatkan kejatuhan besar, lalu membaca buku—dan kemudian, tiba-tiba, merasa dirinya menjadi sosok tercerahkan, manusia paling terberkati.

Orang dalam jenis ini biasanya berubah menjadi “manusia sok suci”. Dia menganggap kesalahannya sebagai sejarah, tetapi memahaminya secara keliru, seolah-olah kesalahannya itu memang diletakkan Tuhan agar dilakukannya. Dan setelah itu, dia pun biasanya lebih sibuk mengarahkan matanya pada kesalahan orang lain… dan lupa pada kesalahannya sendiri.

Tetapi ada pula orang yang melakukan kesalahan besar dan mendapatkan kejatuhan besar, lalu membaca buku—dan kemudian ia menyadari bahwa masih ada hari esok untuk memperbaiki diri, setidaknya untuk menjadi orang yang lebih baik.

Orang dalam jenis ini biasanya berubah menjadi “manusia mawas diri”. Dia menganggap kesalahannya sebagai sejarah, dan dia memahaminya secara tepat, yaitu bahwa dia tidak boleh mengulangi sejarah kekeliruannya. Dan setelah itu, dia pun lebih sibuk memperbaiki diri, hingga tak punya waktu untuk mengurusi kekurangan orang lain.

Dan hari ini, Ariel mulai membaca buku. Buku sejarah. Dan saya berharap Ariel benar-benar belajar pada sejarah—dalam proporsi yang tepat—agar dia tetap menjadi manusia biasa. Tentu saja manusia biasa yang lebih baik dibanding sebelumnya.

Kita semua pernah keliru—tetapi Tuhan masih memberi waktu.


 
;