Jumat, 17 Desember 2010

Ruang Tamu



Sederet kursi, sebuah meja,
seikat bunga eidelweis.
Lembut keramik berhampar permadani
indah berlukis bunga biru.
Memeluk bantal kursi, duduk saling pandang.
Dan kita simpulkan seikat janji.
Katakan apa yang ingin dikatakan.
Ucapkan apa yang ingin diucapkan.
Karena ruang tamu akan membisu.

Tapi dimana ada semua itu?
Kekosongan, kehampaan telah datang
menyergap setiap pori-pori
yang sisakan ruang untuk udara.
Pembuluh-pembuluh darah telah berhenti
dari peredaran di dalam ruangnya.
Bisu... dan membeku.
Angin berganti badai, badai berganti petir,
dan petir berganti halilintar.
Tak ada sederet kursi. Tak ada bunga eidelweis.
Tak ada permadani biru. Tak ada ruang tamu.
Tak ada ruang yang menyisakan untuk kita
ucapkan cinta. Tak ada...

Kaki-kaki yang letih...
Berjalan perlahan sambil bergenggam jemari.
Bersama kepala yang menunduk
menekuri kerasnya trotoar.

Berulangkali kumintakan kepada Tuhan.
Sudah lelah kutanyakan pada alam.
Dimana ada meja. Dimana ada kursi.
Dimana ada ruang tersisa untuk biarkan kita
ikrarkan cinta. Dimana...?


 
;