Sabtu, 11 Desember 2010

“Tahu” dan “Sok Tahu” (1)

Pada akhirnya, bagi seorang pengarang, bukan isme-isme
yang melahirkan karyanya, tetapi semata kemampuan pribadi.
—Pramoedya Ananta Toer


Ini post tentang menulis. Topik yang akan kita obrolkan ini membutuhkan penjelasan yang panjang lebar, karena berkaitan dengan hal-hal lain dalam aktivitas menulis, yang berhubungan dengan topik ini.

Sebenarnya, saya berencana menuliskan topik ini beberapa bulan mendatang, setelah kita membicarakan hal-hal mendasar tentang kepenulisan terlebih dulu. Tetapi topik ini terpaksa saya tulis sekarang, karena si penanya (orang yang mengajukan topik ini via email), meminta agar penjelasan tentang ini diposting secepatnya, karena berkaitan dengan bukunya yang akan segera terbit.

Email ini dikirim seorang penulis, yang—karena permintaannya sendiri—tidak ingin namanya disebutkan di sini. Isi emailnya sangat unik, dan saya menuruti keinginannya dengan memposting topik ini sekarang, karena dia menjanjikan akan mengirimkan bukunya kepada saya jika sudah terbit, hehe…

***

Saat ini, buku ketiga saya akan terbit, dan rencananya dalam waktu dekat akan diadakan peluncuran bukunya di sebuah kampus di Yogya, sekaligus bedah buku. Seperti dua buku sebelumnya, buku ketiga ini saya tulis dengan setumpuk data/fakta untuk menunjang teori yang saya ajukan. (Judul dua buku sebelumnya terlampir, plus link untuk membacanya di Google Books).

Sebagaimana kita tahu, data dan fakta selalu diperlukan dalam penyampaian tertulis dalam buku, setidaknya jika kita menginginkan pembaca semakin asyik menyelaminya. Dengan adanya data dan fakta-fakta, pemaparan kita tidak akan membosankan, karena tidak terlalu teoritis, dan karena itulah saya selalu memasukkan setumpuk fakta dalam buku-buku saya.

Nah, bercermin pada acara bedah buku terdahulu, saya kesulitan ketika harus menjawab pertanyaan atas sejauh apa fakta-fakta itu dibutuhkan dalam buku tersebut untuk menunjang teori yang saya tuliskan. Karena, menurut si penanya, teori yang saya tuliskan dalam buku sudah kuat tanpa harus ditunjang setumpuk fakta. Akibatnya, kesan yang timbul, upaya yang saya lakukan itu hanya menjadikan saya kelihatan “sok tahu”.

Sebagai penulis, saya sengaja memasukkan fakta-fakta itu dengan tujuan agar tulisan lebih hidup, lebih menarik, lebih kuat, sekaligus lebih mengasyikkan saat dibaca. Hanya saja, ketika dalam acara bedah buku tersebut, saya tidak mampu mengajukan argumentasi menyangkut hal ini secara kuat, sehingga timbul kesan bahwa semua data yang saya paparkan dalam buku itu tidak perlu.

Jika tidak merepotkan, maukah kamu membantu saya memberikan semacam “kisi-kisi” agar setidaknya saya bisa menjelaskan hal tersebut secara lebih kuat jika dihadapkan pada pertanyaan yang sama? (Karena saya yakin pertanyaan itu akan muncul kembali). Tolong juga jelaskan perbedaan akademis antara “tahu”, dan “sok tahu”, karena ini sangat berkaitan dengan genre penulisan buku saya.

Jika kamu ingin memposting email ini di blogmu, agar pembaca lain bisa memetik manfaatnya, tolong posting secepatnya. Saya janji akan mengirimkan bukunya ke alamatmu jika telah terbit nanti.


Hei, kamu yang mengirimkan email ini, hehe, saya tidak perlu mengklik link bukumu di Google Books, karena saya sudah memiliki dan membaca kedua bukumu. FYI, saya menyukai buku-buku yang kamu tulis!

Nah, kawan-kawan, seperti yang kita lihat, email di atas sangat unik, karena mengajukan topik yang mungkin masih jarang sekali dibahas dalam dunia kepenulisan, karena memang sangat sedikit penulis Indonesia yang menyentuh sub genre ini—nonfiksi-pemikiran. Ini soal “tahu”, dan “sok tahu”—topik spesifik dalam dunia kepenulisan yang masih jarang sekali dibahas dalam buku-buku panduan menulis.

Lanjut ke sini.

 
;