Minggu, 23 Januari 2011

Surat Rachel kepada Batman

Dear Bruce, Aku harus jujur dan terus terang. Aku akan menikahi Harvey Dent. Aku mencintainya, ingin hidup bersamanya sepanjang hidupku. 

Dulu, saat kubilang kita bisa bersama setelah Gotham tak butuh Batman, aku sungguh-sungguh. Tapi kini kuyakin saat itu tak kan pernah tiba—kau pun tahu Batman. 

Kuharap hari itu akan datang. Bila itu terjadi, aku akan mendukungmu. Tapi sebagai temanmu. 

Maaf aku mengecewakanmu. Jika kau tak lagi percaya padaku, kumohon tetaplah percaya pada umat manusia.
Cium sayang selamanya, Rachel


Kata-kata yang tertulis di atas adalah isi surat Rachel Dawes yang ditulis untuk Bruce Wayne a.k.a Batman—dalam film ‘The Dark Knight’—yang disutradarai Christopher Nolan. 

Mungkin, satu-satunya orang di luar rumah Bruce Wayne yang mengetahui identitas asli Batman hanyalah Rachel, perempuan yang kepadanya Bruce Wayne meletakkan hatinya. 

Siapakah Rachel? Dalam penggambaran Christopher Nolan di ‘The Dark Knight’, Rachel diwujudkan dalam sosok perempuan lembut, yang benar-benar tepat untuk seorang lelaki semacam Batman! 

Tetapi bukan hanya Batman yang jatuh hati kepada Rachel. Ada satu lagi lelaki yang juga jatuh cinta kepada Rachel, yakni Harvey Dent, Jaksa Wilayah di Gotham City. 

Tak jauh berbeda dengan Batman, Harvey Dent juga sosok pahlawan. Bedanya, jika Batman menjadi pahlawan secara incognito (masyarakat tidak tahu secara pasti siapa dirinya), Harvey Dent menjadi pahlawan yang benar-benar dikenali masyarakatnya. Dan dua sosok pahlawan itu sama-sama jatuh cinta pada seorang perempuan bernama Rachel! 

Christopher Nolan, yang menyutradarai dan menulis skenario ‘The Dark Knight’, memang seperti pekerja mukjizat. Apa pun yang digarapnya selalu menjadi karya hebat. Film terakhir Batman ini penuh konflik, melibatkan banyak karakter, multi-plot, dengan alur kisah yang saling membelit. Tetapi dengan sentuhan tangan geniusnya, Christopher Nolan mampu menyuguhkan cerita yang berat itu dengan sangat apik. 
 
Seperti yang dinyatakan tadi, Rachel menulis surat untuk Batman. Surat itu ditulisnya ketika Rachel mengungsi di rumah Bruce a.k.a Batman, ketika Joker sang teroris sedang mengamuk dan membunuhi warga Gotham. Surat itu kemudian dititipkan kepada Alfred, pembantu setia Bruce, ketika Rachel memutuskan untuk pergi dari rumah Bruce Wayne. 

Keputusan itu diambil Rachel, setelah menyaksikan siaran televisi yang memperlihatkan Harvey Dent rela ditangkap polisi dengan mengaku sebagai Batman—demi tujuan agar Batman yang asli tetap selamat. 

Ketika berada seorang diri di rumah Bruce Wayne waktu itu, saya membayangkan, mungkin Rachel menimbang-nimbang… siapakah yang seharusnya ia pilih; Bruce Wayne ataukah Harvey Dent. Para penonton ‘The Dark Knight’ tahu bahwa Rachel mencintai Bruce Wayne sebagaimana ia juga mencintai Harvey Dent. Tetapi akhirnya ia harus memilih salah satunya, dan ia menjatuhkan pilihannya kepada Harvey. 

Dalam perspektif Christopher Nolan, Bruce Wayne ataupun Harvey Dent tak ubahnya dua orang bocah. Bruce Wayne, sang miliuner, adalah anak yatim piatu yang kehilangan orang tuanya karena dibunuh penjahat—dan kemudian bersumpah mengabdikan hidupnya untuk memerangi kejahatan. Karena itulah ia menjadi Batman. 

Impian Bruce Wayne tercapai, dan sumpahnya tergapai… mengapa? Karena ia tidak perlu lagi memikirkan hidupnya! Dia tidak kekurangan uang, dan dia dapat melakukan apa pun yang diinginkannya dengan kekayaannya yang luar biasa. Melalui kekayaannya pula ia menciptakan dirinya sebagai Batman, sosok pahlawan yang bukan hanya tangguh dalam bela diri, tetapi juga menguasai teknologi tinggi. 

Tetapi, Bruce Wayne sendiri pasti menyadari, bahwa Batman—dirinya—sesungguhnya hanyalah anak kecil yang kesepian dan ketakutan. Begitu pula Harvey Dent. Dia juga tak berbeda dengan Bruce Wayne, hanya saja beda latar belakang. Jika Bruce dilahirkan sebagai anak konglomerat, Harvey dilahirkan dalam keluarga miskin. 

Kita tahu fakta itu, karena ketika Rachel menggandeng Harvey memasuki acara pesta yang diadakan Bruce Wayne, Harvey merasa rendah diri, hingga Rachel pun dengan senyum bijak menggodanya, “Ah, Harvey Dent, penentang dunia hitam, ternyata takut pada kaum kaya…” 

Dan Harvey, dengan jujur, menyatakan, “Orang-orang kaya ini menurutku lebih menakutkan dari para penjahat yang biasa kuperangi.” 

Meski namanya sangat terkenal dan masyarakat memujanya, Harvey Dent menyadari, sebagaimana Batman menyadari, bahwa dirinya hanyalah seorang bocah yang kesepian dan ketakutan—sosok anak kecil yang memulai hidupnya dari kepahitan, yang meski telah mencapai impian hidupnya tapi tetap tak mampu melupakan kepahitannya. 

Bruce Wayne mengubah anak kecil di dalam dirinya menjadi sosok Batman, sementara Harvey Dent mengubah anak kecil di dalam dirinya menjadi sosok penegak hukum di tengah-tengah masyarakat yang rusak. Tapi esensinya sama—mereka adalah dua bocah kecil. Dan dua bocah itu sama-sama jatuh cinta kepada sosok perempuan dewasa bernama Rachel. Betapa geniusnya Christopher Nolan! 

Karenanya, ketika Rachel seorang diri di rumah Bruce Wayne, dia pasti menimbang-nimbang, manakah di antara dua lelaki itu yang akan dipilihnya? Rachel menyadari, bahwa siapa pun yang akhirnya akan ia pilih, pilihan itu tak ada bedanya—sama-sama seorang bocah. Jadi, ketika ia akhirnya menjatuhkan pilihan, Rachel pun mendasarkan pilihannya tidak dengan perspektif seorang kekasih, tetapi dengan perspektif seorang ibu! 
 
Kita tahu hal itu, karena Rachel akhirnya memutuskan untuk memilih Harvey Dent. Jika Rachel mempertimbangkan pilihannya berdasarkan hati seorang kekasih, dia pasti akan memilih Bruce Wayne—sosok lelaki sempurna, tampan, kaya-raya, terkenal, sekaligus pahlawan di balik topeng Batman. Tapi tidak, Rachel lebih memilih Harvey—yang masa depannya bisa dibilang belum pasti—karena Rachel mendasarkan pilihannya berdasarkan kasih seorang ibu; ia tahu Harvey membutuhkan pegangan kuat dalam hidupnya yang rapuh, dan Rachel ingin Harvey dapat berpegangan pada dirinya. Meski keduanya sama-sama bocah, Rachel tahu Harvey lebih membutuhkan dirinya dibanding Bruce Wayne. 

Dalam bayangan Rachel yang bijaksana, Bruce Wayne akan dapat melanjutkan hidupnya setelah ia tinggalkan, tetapi Harvey Dent belum tentu memiliki kemampuan sekuat itu jika menghadapi kenyataan yang sama. 

Bagi bocah lelaki semacam Bruce Wayne ataupun Harvey Dent, Rachel bukan hanya sosok seorang perempuan, atau kekasih—ia lebih merupakan kerinduan terdalam akan sentuhan kasih seorang ibu. Dan apa yang dibayangkan Rachel memang terbukti. Ketika akhirnya dia tewas akibat ledakan bom yang dipasang anak buah Joker, Harvey kalap—dan tak bisa menerima kematiannya. Dia berubah, dari sosok pahlawan menjadi sosok penuh dendam. 

“Kita bisa hidup singkat dengan menjadi pahlawan,” kata Harvey Dent, “tetapi kita pun bisa hidup lama, sambil perlahan-lahan menjadi penjahat.” 
 
Di akhir film, Harvey memang kemudian tewas. Tetapi dia tidak mati di atas kepahlawanan, ia terbunuh karena dendam yang disebabkan kematian Rachel. Dan, sambil menyaksikan jasad Harvey yang membujur kaku di atas tanah, Komisaris Polisi Gordon berkata dengan nada menyayangkan, “Gotham telah kehilangan salah satu pahlawan terbaiknya.” 

Lalu bagaimana dengan Batman—dengan Bruce Wayne? Bagaimana reaksinya ketika ia membaca surat yang ditulis Rachel? 

Batman atau Bruce Wayne tidak pernah membaca surat itu, karena Alfred telah membakarnya sebelum Bruce sempat membacanya. Pembantu setia Batman itu pun menyadari bahwa sebaiknya Bruce tidak tahu bahwa Rachel telah menjatuhkan pilihan hatinya kepada orang lain. Alfred ingin Bruce tetap percaya bahwa Rachel selalu mencintainya. 

…. 
…. 

Ada bocah-bocah kesepian dan ketakutan di dalam diri laki-laki… ada sosok ibu bijaksana di dalam diri wanita.

Mozart dan Pacarnya yang Tolol

Ketika dua orang bertemu, sebenarnya ada enam orang yang hadir.
Mereka adalah orang yang terlihat sebagai dirinya sendiri,
lalu seseorang sebagai orang lain yang seperti dirinya,
dan seseorang yang memang dirinya sendiri.
William James


Siapa pun penggemar musik klasik pasti mengenal nama Mozart. Nama lengkapnya adalah Johann Chrysostomus Wolfgangus Theophilus Mozart. Dia biasa menyebut dirinya dengan nama Wolfgang Amade (bukan Amadeus) atau Wolfgang Gottlieb. Lalu mengapa Mozart sering dikenal dengan nama Wolfgang Amadeus Mozart? “Amadeus” adalah bahasa Latin untuk “Gottlieb” yang berarti “cinta Tuhan”.

Siapa pun penggemar musik klasik juga mengakui bahwa Mozart adalah salah satu penggubah musik genius, yang sukar dicari tandingannya. Musik-musik karyanya tidak hanya nikmat didengar telinga, tetapi juga dipercaya dapat menjadi terapi untuk berbagai kebutuhan—dari meningkatkan kecerdasan, sampai membantu memudahkan proses ibu melahirkan.

Nah, dulu, zaman Mozart masih merintis karir sebagai musisi, dia pernah pacaran dengan seorang perempuan. Mereka saling jatuh cinta, dan hubungan pun berlangsung sebagaimana umumnya. Sampai kemudian, ada lelaki lain yang naksir pacar si Mozart—dan tololnya, si perempuan memilih meninggalkan Mozart untuk menikah dengan lelaki lain itu.

Karena diputus secara sepihak, Mozart pun patah hati—dan dia butuh waktu bertahun-tahun untuk menyembuhkan lukanya. Selama bertahun-tahun pula dia tidak pernah menjalin hubungan dengan perempuan lain.

Sampai bertahun-tahun kemudian, ketika Mozart telah menjadi sosok terkenal dan dunia mengakuinya sebagai musisi genius, para wartawan melacak keberadaan perempuan yang menjadi mantan pacar Mozart, dan menanyakan, “Mengapa Anda dulu meninggalkan Mozart untuk menikah dengan lelaki lain?”

Dengan jujur, perempuan mantan pacar Mozart itu menjawab, “Dulu, saya tidak pernah tahu kalau dia segenius itu. Saya hanya tahu bahwa dia pendek.”

Jadi, rupanya, perempuan itu memutuskan Mozart secara sepihak dan meninggalkannya untuk menikah dengan lelaki lain, hanya karena melihat bahwa Mozart memiliki postur tubuh yang pendek!

Konyol? Atau tolol…? Mungkin iya, tetapi salah satu tabiat manusia yang paling aneh adalah (memang) kecenderungan untuk melihat sisi buruk orang lain dengan menafikan sisi baiknya, lebih suka mempersoalkan sisi negatif daripada mengingat sisi positifnya. Untuk menyebutkan kekurangan orang, kita dapat melakukannya sambil memejamkan mata. Tetapi, anehnya, kita sering kali kesulitan jika diminta untuk menyebutkan kelebihan-kelebihannya.

Manusia dikaruniai kelebihan, tetapi juga dilengkapi kekurangan—karena itulah ciri atau penanda manusia. Tetapi, sebagai manusia, kita sering kali sulit untuk menerima kenyataan itu, sehingga tanpa sadar kita sering kali berharap manusia lain adalah malaikat yang tak memiliki kekurangan. Sebagaimana pacar Mozart, kita lebih suka menilai kekurangan seseorang dibanding kelebihan yang mungkin dimilikinya.

Ada pepatah lama yang menyatakan, “Jangan pernah menyebut seseorang baik sebelum kau tidur dengannya selama tiga hari.”

Maksud pepatah itu sangat jelas, bahwa ketika kita baru berhubungan dengan seseorang, kita mungkin hanya akan melihat sisi kebaikannya. Tetapi, seiring perjalanan waktu, ketika kita makin akrab dengannya, kita pun akan mulai mengenali sisi keburukannya. Di saat itulah diri kita diuji, apakah dapat memaklumi kekurangannya sebagai manusia, ataukah memilih untuk meninggalkannya karena tak mau menerima sisi buruknya.

Di dalam hubungan cinta antara laki-laki dan perempuan, kenyataan semacam itu biasa terjadi—sama seperti Mozart dengan pacarnya. Pada masa-masa awal hubungan, masing-masing hanya melihat ‘kesempurnaan’ pasangannya. Tetapi, seiring berjalannya waktu, masing-masing pasangan pun terbuka matanya dan mulai menyadari bahwa si pacar bukanlah malaikat.

‘Terbukanya mata’ dalam hubungan semacam itu adalah batu ujian pertama yang ada dalam cinta—bahwa “apabila kau mau menerima kelebihanku, maka kau pun seharusnya mampu menerima kekuranganku.”

Ketika seseorang dapat menerima orang lain (pasangannya) dengan setulus hati beserta kekurangannya, maka hubungan itu pun akan meningkat menjadi suatu hubungan yang lebih dewasa. Tetapi, jika sebaliknya, maka hubungan pun bisa kandas di tengah jalan, dan kisah cinta hanya akan menjadi sepenggal kenangan.

Begitu pula dalam segala bentuk hubungan yang lain—persahabatan, persaudaraan, pertetanggaan, dan lainnya. Kita tidak bisa menerima kelebihan orang lain, sementara di waktu yang sama menolak kekurangannya. Hakikat hidup adalah untuk saling menerima dan melengkapi—kelebihanmu melengkapi kekuranganku, dan kelebihanku melengkapi kekuranganmu.

Kalau saja pacar Mozart cukup bijak untuk mampu melihat kelebihan pacarnya, tentunya dia akan bersuamikan seorang genius yang namanya menjadi legenda sepanjang masa. Tetapi, alih-alih menujukan pandangannya untuk melihat kegeniusan pacarnya, dia malah mempersoalkan postur tubuh Mozart yang menurutnya pendek. Tolol—sekaligus egois.

Setiap kali kita ingin mencela kekurangan orang lain, ada baiknya untuk mengingat kembali pacar si Mozart. Begitu pun, setiap kali kita ingin memuji-muji orang lain, ada baiknya pula kita kembali mengingat pepatah lama, “Jangan pernah menyebut seseorang baik sebelum kau tidur dengannya selama tiga hari.”

Omong-omong, itulah kenapa saya tidak pernah berani menyebut Britney Spears itu cewek alim—karena saya belum pernah tidur dengannya selama tiga hari!

In Disharmony



Pada diri sendiri, berkata pada diri sendiri
Aku berbisik, “Hei, cobalah untuk berhenti.”
Tapi aku tak berhenti—aku tak dapat
Bahkan keajaiban jika aku bisa melakukannya
Ini rumit… teramat rumit, setidaknya bagiku

Panjang tahun, oh panjangnya tahun…
Aku seperti terlepas dari gravitasi, bahkan bumi
Saat aku menatap diriku sendiri
Dan berbisik, lalu aku bernyanyi
Sepertinya ini tak terjadi, tak mungkin terjadi

Tapi itulah yang terjadi—aku tahu
Seperti ada cermin yang telah kulewati
Dan kemudian aku tersesat di negeri asing
Merasakan waktu menjadi abad, dan abad berganti
Tapi aku masih tetap saja anak kecil

Pada waktu-waktu tertentu hal itu terjadi
Kadang... kau tahu, rasanya ingin mati
Aku tahu mimpi buruk itu akan datang kembali
Dan kembali… dan kembali… dan kembali…
Lalu aku terbangun, terjaga, bersyukur itu mimpi

Ketika masa-masa itu muncul kembali
Rasanya aku… ya, rasanya aku ingin teriak, menjerit
Menyalahkan siapa pun dan mengutuk apa pun
Dan aku pernah begitu, sering begitu
Tapi kemudian aku tahu hal itu tak pernah pergi

Ada masanya ketika aku ingin membenci diri sendiri
Dan berteriak dalam sunyi, “Kapan kita akan pergi?”
Tapi tidak—aku tidak bisa pergi
Atau setidaknya itulah yang kutahu, yang kumengerti
Dan aku tetap di sini… seperti yang kemarin


Nasihat Rumput (2)



“Oh, Rumput, tadi saat aku mendatangimu, aku memang percaya bahwa kau sosok guru sejati. Tetapi… well, sejujurnya aku tidak pernah membayangkan akan mendengar hal seperti ini…”

“Jangan meledekku, Sobat. Aku tahu kau tidak membutuhkan solusi yang dogmatis, atau petuah-petuah bijak membosankan, atau nasihat-nasihat yang terdengar luhur tapi memuakkan. Aku tahu manusia tidak menginginkan itu, benar?”

“Yeah… kau benar. Sepertinya, kau lebih manusiawi dibanding manusia…”

“Hahahaha…! Aku Rumput, ingat? Aku berada di bawah, di sini, diinjak orang yang biasa berlalu lalang, dan aku mendengar mereka bercakap-cakap sambil melangkah, atau kadang mereka duduk di atasku. Aku mendengar segalanya, kau tahu. Bukan maksudku menyombongkan diri, tapi aku menyadap pengetahuan mereka—manusia-manusia yang biasa menginjakku—dan aku mendengar rahasia-rahasia mereka. Mereka tidak khawatir percakapan atau rahasia mereka terdengar olehku, karena—seperti yang kaukatakan tadi—aku biasa berada di bawah, tak dihiraukan, tak pernah dipandang, tak pernah terlihat, dan diam dalam keabadian. Jadi mereka bisa santai berbicara tentang apa pun, serahasia dan sekelam apa pun… dan aku mendengarkan semuanya, aku menyadap serta menyimpan semuanya. Dari merekalah aku tahu Ushul Fiqh, sesuatu yang tadi membuatmu heran, dari mereka pula aku tahu Butterfly Effect, Fisika Kuantum, Ketidakpastian Heisenberg, Big Bang, Black Hole, Chaos Theory, Filsafat Perennial, Multi Orgasme, Taoism, Tantra… anything.”

“Well… dan semuanya itu kaudapatkan karena kau Rumput.”

“Karena aku Rumput, benar! Karena aku diam dalam keabadian, dan hanya menggunakan pendengaranku—suatu berkat yang tak dimiliki manusia! Dan makhluk-makhluk sepertiku tak pernah mati, Sobat, kami hidup dalam keabadian. Believe me? Pangkaslah rumput di halaman rumahmu, dan kami akan tumbuh kembali—sesegar sebelum kami mati. Kau tidak pernah menanamnya, kau tidak mengharapkannya, tapi kami tumbuh… dan hidup. Dan kehidupan kami tidak pernah menjadi hal penting bagi manusia, selain hanya dianggap pengganggu. Kalau pun manusia membiarkan kami tumbuh, mereka tak pernah peduli, benar? Kami berada di bawah kaki-kaki mereka, dan kami tak pernah bersuara. Bagi kebanyakan manusia, kami tidak penting, meski sesungguhnya rumput-rumput sepertiku mengetahui semua rahasia mereka…”

“Jadi, uh, apa sebenarnya tujuan eksistensi para Rumput?”

“Jawabannya telah kauketahui, Sobatku yang baik. Ketika kau datang kepadaku tadi, apa yang kaukatakan kepadaku sebagai alasanmu mendatangiku?”

“Karena kau guru sejati.”

“Kau telah mengetahui jawabannya—dan itulah tujuan eksistensi kami, para Rumput. Keberadaan kami hanya untuk mengingatkan manusia bahwa ada makhluk seperti kami. Tak terlihat, terinjak, tak pernah ditatap dan dipandang, diam dalam keabadian, kadang dianggap pengganggu, perusak keindahan lingkungan… tapi kami ada. Dan selalu ada alasan untuk setiap keberadaan, benar?”

“Selalu ada alasan untuk setiap keberadaan…”

“Aku yakin kau mempercayai hal itu.”

“Tentu saja.”

“Jadi, ada alasan untuk keberadaan masalah yang sekarang kauhadapi, benar?”

“Oh, Rumput, kau… kau bijaksana sekali!”

“Nah, nah, kau mulai meledekku lagi. Ayolah, sepertinya angin mulai datang, dan aku perlu bergoyang. Kau mau mengizinkanku sejenak bergoyang?”

Dan rumput itu pun kini bergoyang, bersama hembusan angin selembut senyuman, tetap diam dalam keabadian. Well… Rupanya Ebiet memang benar, “Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.”


Nasihat Rumput (1)



Kata Ebiet, bertanyalah pada rumput yang bergoyang. Jadi aku pun bertanya kepadanya, “Hei, Rumput, bisakah kau memberiku nasihat?”

“Tentang apa, Sobat?” sahut Rumput sambil terdiam dari goyangannya. “Dan mengapa kau sampai repot-repot bertanya kepadaku?”

“Oh, Rumput, jangan menggodaku. Kau tentu tahu mengapa aku meminta nasihat darimu. Kau memiliki semua ciri guru sejati—berada di bawah, biasa tak dihiraukan, tak pernah dilihat, tanpa suara, dan diam dalam keabadian. Jika aku memerlukan nasihat terbaik di bawah langit, aku akan mendatangi sosok makhluk serupa itu.”

“Kau pasti orang yang bijaksana.”

“Kau sangat pintar menyanjung! Jadi, kau mau memberikan nasihat untukku?”

“Apa masalahmu?”

“Well… aku sedang menghadapi dilema, antara melakukan sesuatu dan tidak melakukannya. Jika aku melakukannya, aku akan menyakiti hatiku sendiri. Tetapi jika tidak melakukannya, aku akan merasa bersalah, karena itu akan menyakiti hati orang lain. Manakah yang terbaik untuk hal ini—melakukan, atau tidak melakukan?”

“Kau ingin solusi dari sudut pandang apa, Sobat? Sudut pandang kaidah rumput? Ushul fiqh? Atau perspektif akademisi?”

“Hei, bagaimana kau tahu tentang kaidah ushul fiqh?”

“Nah, nah, sekarang kau yang menggodaku. Setiap masalah dilematis memerlukan solusi yang memiliki alternatif, benar?”

“Yeah… jika satu solusi dirasa tidak memungkinkan, maka solusi yang lain akan menggantikannya.”

“Exactly! Itulah kenapa aku menawarkan kepadamu, solusi dari sudut pandang apa yang kauinginkan untuk menghadapi masalahmu.”

“Kalau begitu, aku membutuhkan semua solusi yang ada, kan?”

“Akan segera menjadi milikmu, Sobat. Tapi pernahkah kau bertanya-tanya, mengapa masalah dilematis seperti itu bisa datang kepadamu?”

“Sorry…?”

“Hidup ini diikat dengan hukum kausalitas, benar? Masalah tidak pernah datang secara tiba-tiba—ia ditarik. Ia ditarik berdasarkan hukum sebab akibat, suatu sebab yang telah kaulakukan, tak peduli kau menyadarinya atau tidak. Jadi, ketika masalah seperti yang kauceritakan tadi datang kepadamu, ia tidak datang dengan sendirinya—ia ditarik olehmu, berdasarkan sebab-sebab tertentu yang kaulakukan dalam hidupmu. Mungkin baru kemarin, mungkin pula sudah bertahun-tahun yang lalu.”

“Aku tidak pernah memikirkannya sejauh itu…”

“Sekarang kau memikirkannya! Ingat Butterfly Effect?”

“Efek Kupu-kupu—satu kepakan sayap kupu-kupu di New York dapat menciptakan badai tsunami di New Delhi.”

“Tepat—seperti itu! Ratusan tahun yang lalu manusia tidak pernah membayangkan kenyataan itu. Tetapi sekarang, kita tahu bahwa seluruh alam semesta ini diikat oleh tali yang sama—kausalitas, sebab dan akibat—hingga satu kepakan sayap kupu-kupu yang tampak begitu lemah dapat menciptakan badai tsunami di tempat yang jauhnya ribuan kilometer.”

“So…?”

“So, what…? Sekarang kau melihat kerangkanya. Sebagaimana efek kepakan sayap kupu-kupu di New York mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menghadirkan badai tsunami di New Delhi, begitu pula dengan masalahmu—dan masalah manusia lainnya. Masalah besar itu mungkin, pada mulanya, hanya seringan kepakan sayap kupu-kupu. Tetapi efeknya luar biasa besar, atau dilematis. Dan itu mungkin pula telah dimulai bertahun-tahun yang lalu, jauh sebelum kau kemudian menyadari dan menghadapi masalahnya.”


Quiet Answer



Nah, sekarang aku sudah menjawabnya. Dan kutuliskan jawabannya di sini. Aku tahu kau akan membuka catatan ini, dan membacanya—dan aku berharap kau memahami maksudnya.

Dan kau boleh senyum-senyum sekarang.

Atau marah-marah seperti kemarin.

Atau bingung—terserahlah.

Yang jelas, aku tidak akan pernah masuk ke sana lagi, atau meninggalkan jejakku di sana lagi—kecuali kau memegangi tanganku, menggandengku, dan berjanji kepadaku bahwa itu tak ada lagi.


Ah, Perempuan…



*Tersenyum, geleng-geleng kepala*


Sabtu, 15 Januari 2011

Lompatan Paradigma

Kita lahir dalam keadaan tidur, kita hidup dalam mimpi,
dan kita mati sebelum sempat terbangun.
Jalaluddin Rumi

Menggeliatlah dalam matimu.
Sunan Kalijaga


Kehidupan kita adalah apa yang kita lihat. Apa yang kita lihat adalah apa yang kita ketahui. Apa yang kita ketahui adalah apa yang kita pelajari. Apa yang kita pelajari adalah apa yang kita hadapi. Dan yang kita hadapi itulah yang kemudian kita sebut hidup. Manusia, sesungguhnya, hidup dengan terpenjara oleh paradigmanya sendiri.

Siapa sesungguhnya manusia adalah definisi yang digunakan seseorang untuk menyebut ‘diri’-nya. Dan seseorang menyebut dirinya bergantung pada bagaimana dia menjalani hidupnya. Dan bagaimana dia menjalani hidupnya bergantung pada paradigma yang digunakannya. Dan paradigma yang digunakannya bergantung pada hidup yang dijalaninya.

“Cogito ergo sum,” kata Descartes. Aku berpikir maka aku ada. Tapi Descartes tidak akan bisa berpikir seperti itu, jika dia tidak melakukan lompatan terlebih dulu pada paradigma kehidupan yang dijalaninya. Sebagaimana Rumi yang menari dalam ekstase, dan Gibran menyepi dalam kesunyian, atau Einstein dan Hawking tenggelam dalam rumus, semua penemuan atas ‘diri’ ditemukan setelah manusia melompati paradigma yang telah memenjarakannya.

Kita semua adalah makhluk dalam cangkang, sosok kecil yang merasa diri paling besar, sehingga sering lupa bahwa hidup kita hanyalah apa yang kita lihat. Dan sebelum kita mau dan mampu menyadari bahwa sesungguhnya kita terpenjara, maka selamanya kita tidak akan dapat keluar dari penjara yang mengungkung kita. Pengetahuan berasal dari kesadaran, dan kesadaran hanya dapat diperoleh dengan kerendahan hati.

Bayangkanlah dua butir telur ayam. Di dalam masing-masing telur ini tersimpan benih anak ayam. Secara logika, masing-masing telur itu akan menetas dan menjadi anak ayam setelah dierami oleh induknya. Tetapi, satu di antara calon anak ayam itu tidak sabar, dan kemudian nekat menerobos dinding cangkang yang mengurungnya.

Ketika cangkang yang mengurungnya pecah, anak ayam itu pun terlempar ke luar, dan jatuh menghantam tanah. Ia kesakitan. Tetapi di dalam kesakitannya itu ia kemudian menyaksikan segala sesuatu yang menakjubkan, yang membuatnya lupa pada kesakitannya. Ia melihat langit, mega-mega, awan di angkasa, hamparan tanah yang luas, pohon-pohon yang menjulang tinggi, dan makhluk-makhluk lain yang jauh lebih besar dari dirinya.

Di tengah keterpesonaan yang membuatnya takjub, anak ayam itu pun tanpa sadar berbicara sendiri, “Oh, aku tidak pernah menyangka kalau ternyata dunia seluas ini. Aku tak pernah tahu kalau ternyata aku hanyalah makhluk kecil di tengah semesta ini. Oh, aku jadi malu, selama ini aku merasa paling hebat dan paling besar sendiri…”

Anak ayam yang masih terkurung dalam cangkang mendengar suara celoteh itu. Dia marah dan membentak, “Hei, apa yang kau katakan? Bagaimana bisa kau bilang dunia ini luas? Dunia ini sempit, sialan! Dan kita memang besar—bahkan sebesar dunia yang kita tinggali!”

“Uh, kau berpikir seperti itu karena kau masih hidup di dalam cangkang,” kata anak ayam yang telah keluar dari cangkangnya. “Kau menganggap dunia ini kecil, karena kau terpenjara oleh cangkangmu. Cobalah menerobos cangkang yang mengeliligimu, dan kau pun akan melihat bahwa dunia ini amat sangat luas, sementara kita amat sangat kecil.”

“Apa…?! Menerobos…?!” ejek anak ayam dalam cangkang. “Bicaramu semakin aneh! Tidak usah macam-macam. Jalani saja hidup kita sebagaimana adanya, seperti anak-anak ayam yang lain! Sepertinya otakmu mulai sinting!”

“Kau memang selalu begitu—mudah menyalahkan, karena pandanganmu sempit. Sebenarnya kau tertipu oleh pandanganmu sendiri. Matamu tertutup cangkangmu.”

Alam semesta tahu bahwa telur-telur itu pasti akan menetas jika saatnya tiba, tetapi jika (dan hanya jika) saatnya memang tiba. Dan alam semesta pun tahu bahwa ada tak terhitung banyaknya telur ayam yang tak pernah menetas… karena membusuk sebelum ia sempat keluar dari dalam cangkangnya.

“Penemuan terbesar dalam generasi saya adalah bahwa manusia dapat mengubah hidup mereka dengan cara mengubah sikap pikiran mereka.” Kata-kata itu diucapkan oleh William James, seorang filsuf sekaligus Bapak Psikologi Modern Amerika, Profesor Filsafat di Harvard University.

Tetapi jauh-jauh hari sebelum William James menyatakan ucapan itu, Sunan Kalijaga sudah berucap pada murid-muridnya di Tanah Jawa, ketika ia membisikkan pesan rahasia, “Menggeliatlah dalam matimu...”

Menggeliatlah dalam matimu—keluarlah dari cangkang penjaramu, teroboslah dinding paradigma yang membelenggu kemanusiaanmu.

Seperti anak-anak ayam yang ada di dalam cangkangnya, kita ada dalam cangkang paradigma kita. Dan seperti anak-anak ayam yang dierami agar menetas, kita pun dierami oleh pengetahuan, wawasan, kebudayaan, dan juga kesadaran untuk ‘menetas’ menjadi manusia sesungguhnya. Tetapi jangan pernah lupakan fakta bahwa tidak semua telur dapat menetas… karena ada banyak telur yang tak pernah menetas, karena telah membusuk sebelum ia sempat keluar dari cangkangnya.

“Kita lahir dalam keadaan tidur, kita hidup dalam mimpi, dan kita mati sebelum sempat terbangun.” Rumi menyenandungkan solilokui itu sambil menangis dan tersenyum, dan tersenyum sambil menangis, karena tidak semua manusia mau diajak untuk ‘terbangun dari tidurnya’. Lebih banyak yang menyukai khayal-impian dalam ketidaksadaran daripada kesadaran di dalam kenyataan. Hingga mereka kemudian menghembuskan napas terakhir sebelum sempat menyadari apa sesungguhnya kehidupan.

Dan apakah sesungguhnya kehidupan…?

“Kehidupan adalah apa yang dibuat oleh pikiran kita,” kata Marcus Aurelius di Roma.

Pikiran adalah anak kesadaran, dan kesadaran adalah akar kehidupan. Karena kehidupan adalah hasil pikiran, maka kita hanya dapat berpikir jika kita dalam keadaan sadar. Dan kita hanya bisa merasakan kesadaran jika kita benar-benar hidup. Dan kapankah kita benar-benar hidup...? Kita tidak pernah tahu, karena kita tidak pernah memberi kesempatan pada diri sendiri untuk menyadari bahwa kita benar-benar hidup.

Kehidupan kita adalah apa yang kita lihat. Apa yang kita lihat adalah apa yang kita ketahui. Apa yang kita ketahui adalah apa yang kita pelajari. Apa yang kita pelajari adalah apa yang kita hadapi. Dan yang kita hadapi itulah yang kemudian kita sebut hidup. Manusia, sesungguhnya, hidup dengan terpenjara oleh paradigmanya sendiri.

Akar Kedalaman

Sunyi… Sunyi… Sunyi…

Tinta yang Terbatas



Umpama kepadamu diberikan sebuah pena dengan tinta yang terbatas, dan kau tak mampu melihat seberapa banyak tinta di dalamnya, apa yang akan kauperbuat dengan pena itu? Apakah kau akan menggunakannya untuk menulis, untuk menggambar, atau sekadar untuk mencorat-coret garis? Atau, mungkin kau malah akan menyimpannya saja di dalam laci atau kotak?

Memang, tidak ada peraturan yang mengatakan bahwa kau wajib menggunakan pena itu. Jadi pilihanmu terhadap pena itu adalah hak mutlak milikmu.

Kau boleh menggunakannya untuk menulis karya-karya besar yang akan dikenang sepanjang masa, bahkan setelah kau meninggalkan dunia ini. Kau juga boleh menggunakannya untuk menulis catatan-catatan pribadimu yang hanya akan kaubaca dan kaunikmati seorang diri. Juga, kau boleh menggunakannya untuk melukis gambar-gambar indah yang mempesona.

Sekali lagi, semuanya terserah kepadamu. Kau berhak untuk menggunakan pena itu, kau juga berhak untuk tidak menggunakan pena itu. Bahkan, kau pun punya hak sepenuhnya untuk membuang pena itu ke tempat sampah. Satu saja hal yang perlu kauingat, kau telah diberi sebuah pena, dan kau punya hak mutlak untuk menggunakannya—atau untuk tidak menggunakannya.

Nah, umpama sekarang kau telah diberi sesuatu bernama hidup…


Kepada Perempuan yang Meletakkan Tanganku di Pipinya



Untuk N. A.

Apa kabar, hei kau, perempuan yang pernah meletakkan tanganku di pipimu? Dekatkah kau denganku? Ataukah jauh...?

Masihkah kau membuka pintu-pintu kecil yang pernah kauberikan untukku beberapa waktu yang lalu, saat pertama kali kau meletakkan tanganku di pipimu?

Pernah ada suatu waktu ketika aku menyadari pesonamu yang lembut, yang tumbuh bagai perdu di antara semak-semak pohon oak... di hatiku. Pernah ada suatu masa ketika langkah kakiku mendekatimu, menyenandungkan sesuatu yang selalu membuatmu tersenyum. Dan tentang angan-angan kita...?

Aku selalu tersenyum mengenangmu, sebagaimana aku pun dulu selalu tersenyum saat ada di dekatmu. Mendengarkan celotehmu yang lucu, menertawakan tingkahmu saat menggodaku, juga... menyaksikan keindahan-keindahan yang kemudian menyatu.

Berkali-kali aku ingin merengkuhmu, sebagaimana berkali-kali kau hadir dalam bayanganku. Berkali-kali aku ingin mendekapmu, sebagaimana berkali-kali kau selalu menggoda pandanganku. Tetapi setiap kali aku ingin melangkah kepadamu, ada sesuatu dalam batinku yang menghentikanku, menjauhkan panca indraku, untuk kemudian menjauhkanku darimu.

Aku tahu kau pernah menantiku, aku tahu kau pernah melewati malam-malam panjang sendirian... kesepian... dan merindukanku... Aku tahu tentang sesuatu yang meletup dan bergejolak di dalam hatimu setiap kali aku mendekat... setiap kali aku ada di dekatmu.

Akulah lelaki yang pernah kaupilih, akulah lelaki yang pernah membuatmu tersenyum saat kau menungguku, namun aku tak pernah datang... Tahukah kau, bahwa aku pun sama tersiksanya seperti dirimu—sama tersiksa saat kau menungguku namun bayanganku tak kunjung menjelang?

Ada banyak hal yang ingin kuceritakan kepadamu. Tentang hati, tentang rindu, tentang cinta, dan kasih. Tetapi kita tak pernah memiliki waktu untuk itu, kan? Kita tak pernah memilikinya, karena kita pun tak pernah dapat saling memiliki, karena kita masing-masing begitu sibuk dengan hatiku dan hatimu, dan kemudian... kau hanya mampu meletakkan tanganku di pipimu... dan tersenyum... menatapku... dan berharap aku tahu.

Maafkan aku, hei kau, perempuan yang pernah meletakkan tanganku di pipimu.

Maafkan aku, karena aku bukanlah lelaki dengan hati utuh, yang dapat mencintaimu sebagaimana yang kauingin dan kaurindu. Maafkan aku karena perjalanan waktu tak pernah mampu mempertemukanku denganmu... dan kemudian semuanya menjadi bayang-bayang buram yang semakin mengabur... dan mengabur...

Kau hilang dari hidupku.

Mungkin aku pun telah hilang dari hidupmu, dari hatimu.

Tapi satu hal yang kuingin kau tahu, aku tak pernah dapat melupakan tatapanmu, senyummu, dan segala getar yang pernah kurasakan saat kau meletakkan tanganku di pipimu...


Writer’s Block



Orang-orang bilang aku produktif menulis. Oh ya? Sekarang aku sudah duduk di depan layar komputer selama bermenit-menit, dan aku tetap saja tidak tahu—atau tidak yakin—apa yang ingin kutulis. Dan menit-menit itu sekarang berubah menjadi jam, jam demi jam…

Banyak sekali yang ingin kutuliskan… banyak sekali. Tapi aku tak tahu dari mana memulainya. Atau bagaimana menuliskannya. Jadi inilah yang sekarang kulakukan, menulis catatan ini, hanya ingin kau tahu bahwa kadang-kadang aku juga mengalami apa yang kaualami. Buntu…

Kau tahu, kadang aku menulis seperti kesetanan—berjam-jam, bahkan sampai lupa tidur dan lupa makan. Tetapi, ada kalanya pula aku menulis seperti orang yang baru belajar menulis—diperlukan waktu berjam-jam hanya untuk menyusun sebuah kalimat. Saat seperti itu, kadang-kadang aku ingin membenci diriku sendiri.

Dan “saat seperti itu” sekarang sedang kualami. Aku bingung mau menulis apa, atau mulai menulis tentang apa. Kata-kata berkelebatan dalam benakku. Huruf demi huruf seperti berlompatan dalam otakku. Tapi aku bingung untuk mulai menyusunnya. Risau… Tiap kali datang perasaan seperti ini, tiap kali pula aku seperti setengah mati.

Mulai dari mana… Mulai tentang apa… Menunggu apa, atau apa yang sesungguhnya kutunggu?

Oh, sialan, lakukan saja, lakukan saja!

Aku pun mulai melakukannya. Menulis. Apa pun. Dan monster Writer’s Block yang menakutkan itu pun perlahan-lahan tumbang—darahnya mengalir, membentuk kata-kata, kalimat…

…tulisan ini. Aku mulai menulis lagi.


Sabtu, 08 Januari 2011

Membenci, Tapi Objektif (5)



Membenci, tapi tetap objektif—Ibnu Sirin telah mampu melakukan hal itu. Matanya tidak dibutakan oleh permusuhan dan kebencian, sehingga dia tetap dapat melihat kelebihan dan keistimewaan orang yang jelas-jelas memusuhi dan membencinya. Begitu pun Hasan Al-Bashri sendiri. Meski dia amat membenci Ibnu Sirin, tetapi dia tetap objektif dan tetap mengakui kelebihan Ibnu Sirin, sehingga rela mendatanginya meski waktu itu mereka bermusuhan.

Membenci, tapi tetap objektif. Ini sama sulitnya dengan mencintai tapi tetap objektif. Dan karena kesulitan itu pulalah yang sering kali menjadikan penilaian kita menjadi konyol dan tak masuk akal—gara-gara penilaian itu dilandasi oleh kebencian atau karena rasa cinta.

Subjektivitas menciptakan penilaian yang berlebih-lebihan, tidak berdasar, sekaligus kadang tidak masuk akal. Tetapi, susahnya, subjektivitas adalah tabiat manusia! Ketika kita dilanda kebencian pada sesuatu atau seseorang, tiba-tiba seluruh kebaikan orang itu lenyap digantikan semua kesalahan dan keburukan yang daftarnya bisa sepanjang rel kereta api—atau bahkan lebih panjang lagi.

Begitu pun ketika jatuh cinta pada sesuatu atau seseorang. Ketika kita mencintai seseorang, bagi kita orang itu adalah malaikat atau bidadari—tanpa kesalahan, tanpa keburukan, tanpa cacat dan cela, atau bahkan mungkin tanpa kemungkinan khilaf dan keliru. Baik merasa benci atau merasa cinta, kita sering cenderung menjadi konyol, tidak masuk akal, bahkan kadang pula tidak manusiawi.

Salah satu kisah kekonyolan yang paling memalukan yang diakibatkan oleh karena rasa cinta, adalah kisah yang terjadi di Amerika bertahun-tahun yang lalu, ketika negeri Paman Sam ini dipimpin oleh Presiden Warren Harding.

Ini adalah kisah tentang skandal yang pernah mengguncang Amerika, suatu skandal yang dikenal sebagai ‘Skandal Teapot Dome Oil’. Meski kisahnya tidak sedahsyat skandal Watergate yang melibatkan presiden Nixon, tetapi skandal Teapot Dome Oil ini sama memalukannya dan sama mencoreng wajah Amerika, sebagaimana skandal Watergate. Skandal ini pula yang menyebabkan seluruh suratkabar di Amerika “mengamuk” dan mencaci-maki pemerintah selama bertahun-tahun.

Skandal ini dimulai oleh Albert Fall, yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Harding. Ceritanya, Albert Fall diberi kepercayaan untuk mengurus persediaan minyak negara yang ada di Elk Hill dan Teapot Dome. Minyak ini ditujukan untuk dipakai oleh Angkatan Laut di masa yang akan datang. Tugas Albert Fall adalah melakukan tender untuk menentukan perusahaan mana yang nantinya akan mengolah dan mengurus minyak itu.

Tetapi rupanya Albert Fall tergoda, sebagaimana umumnya para pejabat lainnya di negara mana pun. Dia melihat “peluang” untuk melakukan korupsi dari proyek ini—dan dia melakukannya. Yang dilakukan Albert Fall kemudian bukanlah melakukan tender sebagaimana yang diisyaratkan dalam tugasnya, tetapi memberikan kontrak proyek itu secara langsung kepada sahabatnya, Edward L. Doheny.

Nah, sebagai “ucapan terima kasih” karena diberi proyek negara yang sangat menguntungkan, maka Edward Doheny memberikan sejumlah uang yang disebutnya “pinjaman” kepada Albert Fall. Setelah itu, Albert Fall memerintahkan pasukan Angkatan Laut Amerika untuk mengusir perusahaan pesaing yang sumber minyaknya berdekatan dengan sumber minyak Elk Hill—dengan tujuan agar perusahaan Edward Doheny bisa mengeruk sumber minyak di sana sebanyak-banyaknya.

Ketika pasukan Angkatan Laut melaksanakan perintah itu, mereka mengancam dan mengusir para pekerja di sana dengan todongan senjata dan bayonet. Karena merasa terancam dan diperlakukan sewenang-wenang, perusahaan-perusahaan pesaing yang terusir secara tidak sah itu pun membawa kasus tersebut ke pengadilan. Dan terbongkarlah kasus yang amat memalukan itu.

Dari sidang di pengadilan itulah kemudian sebuah skandal besar pun mulai bergulir, dan masyarakat Amerika geram menyaksikan tindak korupsi yang amat busuk, yang telah dilakukan pejabat negaranya. Kebusukan itu menjalar tanpa ampun, hingga meruntuhkan administrasi kabinet Harding, sementara Partai Demokrat terancam hancur. Ending-nya, Albert Fall meringkuk di penjara.

Tetapi masalah itu tidak selesai sampai di situ. Meski pihak-pihak yang bersalah telah dihukum, tetapi media massa tidak berhenti “mengamuk” karena masyarakat pun tidak berhenti mengutuk pemerintah mereka. Korupsi yang telah dilakukan Albert Fall dan teman-temannya telah begitu menyakiti nurani rakyat Amerika, dan mereka pun tak berhenti mengutuknya, meski Albert Fall telah berada di dalam penjara.

Albert Fall memang kemudian tetap berada di penjara, sampai saat kematiannya. Sementara Presiden Harding juga meninggal beberapa tahun setelah hebohnya kasus itu, dalam usia 57 tahun. Banyak pihak yang menyatakan bahwa kematian Warren Harding disebabkan karena tekanan batin.

Nah, bertahun-tahun kemudian, ketika Herbert Hoover telah menjadi presiden Amerika, dia berbicara di hadapan publik dalam salah satu acara politik. Acara itu dihadiri banyak pejabat Amerika, termasuk Nyonya Fall, istri mendiang Albert Fall. Di dalam acara itu, Herbert Hoover menyatakan, bahwa salah satu penyebab kematian Presiden Harding adalah karena tekanan batin, akibat dikhianati oleh kawannya sendiri (Albert Fall).

Mendengar itu, seketika Nyonya Fall bangkit dari kursinya, dan berteriak dengan marah tanpa menghiraukan para undangan yang ada di sana.

“Apa…?!” jeritnya sambil mengacungkan kepalan tangannya. “Harding dikhianati Fall?! Tidak bisa! Suamiku tidak pernah berkhianat pada siapa pun! Walaupun suamiku disuap dan diberi emas serumah pun, dia tidak akan tergoda untuk melakukan hal yang salah! Suamiku yang telah dikhianati dan dijadikan korban!”

Coba lihat, Albert Fall sudah jelas-jelas salah, dan seluruh rakyat Amerika pun tahu. Tetapi, istrinya tidak mau menerima kesalahan itu, karena dia menilai suaminya dengan perasaan cinta—dan cinta tak pernah bisa melihat secara objektif—hingga kesalahan sebesar gajah pun tidak tampak, meski tepat berada di depan pelupuk matanya!

Begitulah manusia—begitulah tabiat manusia.

Rasa benci ataupun rasa cinta, tanpa kita sadari, sering menjadikan kita konyol dan tak masuk akal. Cinta kepada anak, kepada pasangan, atau kepada tokoh pujaan, sering menjadikan kita tak bisa lagi menilai secara objektif. Dan, objektivitas, mungkin memang pelajaran yang tak pernah selesai kita pelajari.


Membenci, Tapi Objektif (4)



Pagi harinya, setelah bangun dari tidur, Hasan Al-Bashri berpikir keras dan berusaha untuk dapat mengartikan makna mimpinya. Tetapi sekeras apa pun dia berupaya, dia tak mampu menemukan tafsir yang tepat untuk mimpinya. Sampai di situ dia sudah ingat pada Ibnu Sirin. Hasan Al-Bashri tahu, satu-satunya orang yang dapat menafsirkan mimpinya dengan benar hanyalah Ibnu Sirin. Tapi… dia merasa “gengsi” jika harus menemui Ibnu Sirin untuk bertanya kepadanya.

Karena penasaran dengan arti mimpinya, dan karena merasa “gengsi” jika harus menemui Ibnu Sirin secara langsung, maka Hasan Al-Bashri kemudian menyuruh seorang sahabatnya untuk menanyakan arti mimpinya. “Temuilah Ibnu Sirin,” katanya pada si sahabat, “tapi ceritakan mimpiku ini seolah-olah itu adalah mimpimu.”

Si sahabat itu pun pergi menemui Ibnu Sirin dan menceritakan mimpi yang dialami Hasan Al-Bashri, namun diakuinya sebagai mimpinya. Tapi rupanya Ibnu Sirin tahu siapa sebenarnya yang mengalami mimpi itu. Setelah mendengarkan kisah mimpi itu, Ibnu Sirin berkata, “Tolong katakan pada orang yang mengalami mimpi itu, jangan bertanya kepada ‘orang yang berjalan sombong’. Kalau dia memang berani, suruh datang sendiri ke sini!”

Si sahabat pun pulang, dan menemui Hasan Al-Bashri. “Dia tidak percaya kalau itu mimpiku,” kata si sahabat, “dia tahu bahwa kaulah orang yang mengalami mimpi itu. Dan, katanya, kalau kau berani, kau dimintanya untuk datang langsung menemuinya.”

Hasan Al-Bashri tentu saja jengkel. “Dia memang sombong!” rutuknya. Tetapi, bagaimana pun juga, Hasan Al-Bashri benar-benar penasaran dan ingin tahu apa makna mimpinya. Karenanya, didorong oleh rasa penasaran, bercampur dengan perasaan tertantang, Hasan Al-Bashri pun kemudian pergi menemui Ibnu Sirin.

Dan dua tokoh dalam “dunia persilatan” itu pun akhirnya bertemu. *backsound tegang*

Ketika melihat Hasan Al-Bashri datang, Ibnu Sirin pun menyambutnya dengan kaku, dan mempersilakannya masuk ke rumah. Keduanya saling mengucap salam dengan kaku, dan berjabat tangan secara sekilas. Setelah itu mereka duduk, tetapi saling berjauhan. (Bayangkan adegan sinetron tentang dua cowok yang sedang marahan, akibat sama-sama naksir satu orang cewek yang sama).

Karena tahu bahwa Hasan Al-Bashri tidak nyaman berada di rumahnya, Ibnu Sirin pun mempercepat urusannya.

Tanpa basa-basi, Ibnu Sirin berkata, “Tidak perlu bingung dengan mimpimu. Telanjang dalam mimpimu adalah ketelanjangan dunia. Artinya, kau sama sekali tak tergantung padanya, karena kau memang orang yang zuhud. Kandang binatang dalam mimpimu berarti lambang dunia yang fana itu—sesuatu yang juga telah kauketahui. Kemudian mengenai tongkat yang kaubawa di dalam mimpimu itu, melambangkan hikmah yang kauucapkan dan mendatangkan manfaat bagi banyak orang.”

Hasan Al-Bashri tahu bahwa Ibnu Sirin tidak berbohong kepadanya, dan dia yakin kalau mimpinya memang seperti itu artinya. Dia sedang berhadapan dengan pakar mimpi kelas satu—tak ada alasan untuk meragukan analisisnya.

Tetapi Hasan Al-Bashri masih menyimpan pertanyaan yang belum terjawab—dari mana Ibnu Sirin bisa tahu bahwa dialah sesungguhnya yang mengalami mimpi itu. Karenanya, dia pun dengan kaku kemudian bertanya, “Uh, tapi… tapi bagaimana kau bisa tahu kalau akulah yang mengalami mimpi itu?”

Dengan jujur pula Ibnu Sirin menjawab, “Ketika kemarin sahabatmu datang dan menceritakan mimpi itu, aku tidak percaya. Karena aku tahu hanya kaulah yang layak mengalami mimpi semacam itu.”

Mendengar jawaban itu, hati Hasan Al-Bashri benar-benar luluh—dan tanpa mampu dikendalikannya, dia sudah memeluk Ibnu Sirin dengan perasaan hormat dan penuh kasih. Detik itu Hasan Al-Bashri mengetahui fakta yang amat penting, bahwa meski mereka bermusuhan dan saling membenci, tetapi Ibnu Sirin tetap memandang dan menilai Hasan Al-Bashri dengan penilaian yang objektif.


Membenci, Tapi Objektif (3)



Jadi, akar permusuhan dan kebencian antara Ibnu Sirin dengan Hasan Al-Bashri bukan karena perbedaan dalam suatu pendapat keilmuan atau semacamnya, tetapi gara-gara jatuh cinta pada wanita yang sama!

(Saya mendasarkan asumsi ini pada kenyataan betapa para ulama selalu “menghindar” jika sampai pada topik “permusuhan” itu di dalam kitab-kitab mereka. Jika akar permusuhan itu terjadi karena perbedaan pendapat dalam suatu keilmuan, maka tentunya para ulama akan terang-terangan menuliskannya, karena perbedaan dalam keilmuan adalah hal biasa).

Lalu siapa wanita hebat yang sampai membuat dua tokoh besar sekaliber Ibnu Sirin dan Hasan Al-Bashri bisa jatuh cinta kepadanya? Dia juga bukan wanita sembarangan. Wanita ini adalah Rabi’ah Al-Adawiyah!

Ya, Rabi’ah yang itu!

Seperti yang mungkin pernah kita jumpai dalam beberapa kitab atau buku yang membahas kisah Rabi’ah Al-Adawiyah, kita tahu bahwa Hasan Al-Bashri pernah melamar Rabi’ah, tetapi ditolak. Dasar penolakan itu sebenarnya bukan karena Hasan Al-Bashri dianggap tidak layak menjadi pasangan Rabi’ah, tetapi karena Rabi’ah sendiri sudah memutuskan untuk hidup sendiri sampai mati.

Ketika Hasan Al-Bashri menyatakan cinta dan melamar Rabi’ah untuk menjadi istrinya, Rabi’ah mengajukan tiga pertanyaan. “Jika kau bisa menjawab tiga pertanyaanku,” kata Rabi’ah waktu itu, “maka aku bersedia menjadi istrimu. Tetapi jika kau tidak bisa menjawabnya, maka aku terpaksa menolak lamaranmu.” (Apa tiga pertanyaan itu, silakan lihat di berbagai buku atau kitab yang membahas Rabi’ah Al-Adawiyah).

Yang jelas, Hasan Al-Bashri tidak bisa menjawab satu pun dari tiga pertanyaan yang diajukan oleh Rabi’ah. Dan karena itu pula kemudian Rabi’ah memiliki alasan untuk menolak lamaran Hasan Al-Bashri.

Nah, penolakan itu mungkin membuat Hasan Al-Bashri marah. Tetapi dia mungkin tidak bisa marah kepada Rabi’ah—sebagaimana laki-laki lainnya yang juga sulit marah kepada wanita yang dicintainya. Karena itu pula, kemudian Hasan Al-Bashri menujukan kemarahannya akibat ditolak itu kepada Ibnu Sirin.

Kok bisa…???

Ya itu tadi, karena Ibnu Sirin juga jatuh cinta kepada Rabi’ah!

Sebenarnya, selain Ibnu Sirin dan Hasan Al-Bashri, ada berpuluh-puluh lelaki lain yang juga jatuh cinta dan melamar Rabi’ah untuk menjadi istrinya—mulai dari para bangsawan, sampai para pangeran, sampai para raja, sampai para filsuf dan ulama. Tetapi, Hasan Al-Bashri sengaja menujukan kemarahan dan kebenciannya hanya kepada Ibnu Sirin, karena mungkin ia menganggap bahwa satu-satunya yang “layak tanding” dengan dirinya hanya Ibnu Sirin!

Ini memang tabiat manusia. Mungkin, Hasan Al-Bashri berpikir dia bisa dengan mudah mengalahkan saingan-saingan yang lain. Tetapi Ibnu Sirin adalah lawan tanding yang sepadan, karenanya dia menyimpulkan bahwa satu-satunya alasan “masuk akal” yang membuatnya ditolak Rabi’ah adalah karena keberadaan Ibnu Sirin yang juga melamar Rabi’ah. Meski pada faktanya tidak seperti itu, tetapi Hasan Al-Bashri sudah telanjur membenci Ibnu Sirin.

Lalu bagaimana dengan Ibnu Sirin? Ibnu Sirin juga tidak berhasil memperistri Rabi’ah, dan kemungkinan juga menyimpan kemarahan yang sama sebagaimana Hasan Al-Bashri! Jadi begitulah, kedua orang itu kemudian saling marah dan saling membenci—hingga kisah permusuhan mereka sangat terkenal di kalangan masyarakat mereka tinggal. Baik Ibnu Sirin maupun Hasan Al-Bashri tidak akan datang ke tempat yang sama ataupun di waktu yang sama—mereka seperti minyak dan air.

Nah, sampai suatu malam, Hasan Al-Bashri bermimpi. Di dalam tidurnya malam itu, Hasan Al-Bahsri bermimpi menyaksikan dirinya seperti sedang telanjang di kandang binatang, sambil membawa tongkat.


Membenci, Tapi Objektif (2)



Bahkan di masa modern sekarang, pengakuan atas kehebatan Ibnu Sirin tetap tidak padam. Profesor Mahmoud Ayoub, guru besar di Temple University, juga mengapresiasi karya-karya Ibnu Sirin, dan dia menyebut Ibnu Sirin sebagai “seorang salih yang amat termahsyur dan terhormat, seorang ulama dan sufi, yang kebenaran tafsir mimpinya bersifat universal… yang ditujukan kepada semua orang yang serius memandang mimpi sebagai aspek penting kehidupan, keimanan, dan keadaan psikologi mereka.”

Jadi sekarang kita dapat melihat, betapa orang ini memiliki reputasi yang luar biasa dalam keahliannya.

Nah, yang jadi persoalan—dan yang akan kita bahas sesuai topik post ini—Ibnu Sirin “bermusuhan” dengan Hasan Al-Bashri.

Siapakah Hasan Al-Bashri? Dia juga seorang ulama besar seperti Ibnu Sirin, hanya saja lebih dikenal sebagai sosok intelektual dalam bidang kesufian. Dalam bidang tasawuf, Hasan Al-Bashri adalah pakar yang sulit dicari tandingannya, dan orang-orang pun akan datang kepadanya jika butuh bertanya hal-hal menyangkut dunia kesufian. Jika nama Ibnu Sirin diidentikkan dengan keahlian tafsir mimpi, maka nama Hasan Al-Bashri diidentikkan dengan ilmu tasawuf.

Seperti yang telah disinggung di atas, Ibnu Sirin “bermusuhan” dengan Hasan Al-Bashri. Dan “permusuhan” itu telah dikenal luas di kalangan masyarakat Bashrah pada waktu kedua ulama itu masih hidup. Orang-orang tahu, bahwa baik Ibnu Sirin maupun Hasan Al-Bashri saling membenci. Meski keduanya sama-sama ulama dan pakar dalam bidangnya masing-masing, kedua orang itu tak pernah sudi bertemu, seperti minyak dan air.

Sebegitu bencinya Hasan Al-Bashri kepada Ibnu Sirin, sampai-sampai dia akan marah setiap kali ada orang yang menyebut nama Ibnu Sirin di depannya. Hasan Al-Bashri selalu menyebut Ibnu Sirin sebagai “orang yang berjalan sombong”. Karenanya, setiap kali ada orang yang menyebut nama Ibnu Sirin di dekatnya, Hasan Al-Bashri akan berteriak, “Jangan pernah menyebut nama orang yang berjalan sombong itu di depanku!”

Karena sebutan “orang yang berjalan sombong” itu sangat terkenal, Ibnu Sirin pun akhirnya tahu bahwa sebutan yang merupakan ejekan itu memang ditujukan kepadanya. Tentu saja itu tuduhan yang tidak objektif, karena faktanya Ibnu Sirin bukan orang yang sombong. Khayruddin Az-Zerekli, dalam kamus biografinya, menyebut dan menggambarkan Ibnu Sirin sebagai “orang salih yang bertakwa, tuan rumah yang pemurah, dan sahabat yang bisa dipercaya.”

Tetapi karena mata Hasan Al-Bashri ditutup oleh kebencian, maka dia pun tidak bisa melihat sisi baik Ibnu Sirin, sehingga baginya Ibnu Sirin hanyalah “sosok yang berjalan dengan sombong”. Seperti Hasan Al-Bashri membenci Ibnu Sirin, begitu pula Ibnu Sirin sama bencinya pada Hasan Al-Bashri. Jadi, kedua orang hebat itu pun tidak jarang saling ejek di belakang punggung mereka.

Sampai di sini, mungkin kalian bertanya-tanya, apa yang menjadi dasar permusuhan atau bahkan kebencian kedua orang itu? Saya sendiri juga penasaran dengan hal ini. Ketika mendapati kenyataan “permusuhan” antara dua tokoh besar ini, saya telah berupaya melacak ke semua literatur yang bisa saya dapatkan untuk mengetahui akar masalah keduanya, sehingga mereka saling bermusuhan dan membenci seperti itu.

Berdasarkan sumber-sumber yang bisa saya pelajari, saya mengasumsikan (sekali lagi, ini asumsi saya!) permusuhan antara Ibnu Sirin dengan Hasan Al-Bashri itu dipicu gara-gara keduanya jatuh cinta pada seorang wanita yang sama.

Sekali lagi, ini asumsi saya—karena para ulama yang menulis kisah kedua tokoh besar di atas itu sepertinya merasa “ewuh pakewuh” (segan atau risih) jika harus menuliskan akar masalah mereka secara blak-blakan.


Membenci, Tapi Objektif (1)

Gunakan bahasa apa pun yang kauinginkan, kau tidak bisa mengatakan apa pun kecuali dirimu sendiri.
—Ralph Waldo Emerson


Membenci, tapi objektif—sepertinya sulit sekali. Sama sulitnya dengan mencintai, tapi tetap objektif. Bagi rata-rata manusia seperti kita, objektivitas sepertinya “special moment”—saking jarangnya kita melakukannya.

Ketika membenci sesuatu atau seseorang, kita cenderung hanya melihat sisi buruknya, sedang sisi baiknya tak terlihat sama sekali, karena tertutup oleh kebencian yang kita rasakan. Sebaliknya, ketika mencintai sesuatu atau seseorang, mata objektivitas kita pun tertutup, sehingga yang dapat kita lihat hanya kebaikan dan kelebihannya, sementara kekurangan atau kesalahannya tidak tampak, karena cinta yang kita rasakan kepadanya.

Objektivitas berhubungan erat dengan titik netral dalam diri kita, hanya saja rata-rata manusia sulit untuk dapat berpikir secara netral—selalu ada faktor kesukaan atau ketidaksukaan di dalamnya—yang mempengaruhi penilaian objektivitasnya. Dan ketika objektivitas telah dipengaruhi oleh perasaan tertentu, maka objektivitas itu pun tidak objektif lagi.

Kalau seorang cowok baru jadian dengan seorang cewek, dan dia kemudian memuji-muji pacarnya setinggi langit, maka dunia tahu bahwa penilaian itu sama sekali tidak objektif. Mengapa? Karena ada unsur cinta di dalam penilaian itu. Betapa pun juga, dia tidak bisa netral dalam menilai, karena penilaiannya dipengaruhi oleh perasaan, oleh emosi, oleh rasa cinta.

Begitu pula, kalau umpama saya membenci X dan saya mencaci-maki X dengan penuh kehinaan, maka dunia pun tahu bahwa caci-maki saya sama sekali tidak objektif, karena penilaian itu berdasarkan kebencian. Di dalam emosi yang diliputi kebencian, sulit bagi seseorang untuk menemukan objektivitas.

Tetapi, sekali lagi, begitulah manusia—begitulah kebanyakan dari kita. Cinta dan benci selalu menciptakan subjektivitas, padahal cinta dan benci adalah emosi dominan manusia. Artinya, manusia memang sulit untuk dapat berpikir dan bersikap secara objektif. Karenanya pula, jika ada orang yang tetap mampu melihat kekurangan kekasihnya, atau mampu melihat kelebihan musuhnya, maka dia termasuk orang yang layak didengarkan.

Tapi apa ada orang yang seperti itu…?

Ada. Salah satu orang istimewa semacam itu adalah Ibnu Sirin, seorang intelektual muslim yang menjadi pakar tafsir mimpi. Dia lahir di kota Bashrah pada 33 Hijriyah atau 653 Masehi. Selain seorang ulama yang sangat dihormati, dia juga seorang penulis yang tulisan-tulisannya sangat berpengaruh—khususnya dalam hal penafsiran mimpi.

Ibnu Sirin mendedikasikan hidupnya untuk mempelajari ilmu tafsir mimpi, dan hasilnya kemudian ia tulis dalam kitab-kitab berbahasa Arab yang luar biasa tebal. Dua karyanya yang paling fenomenal adalah ‘Ta’biirul Ru’yaa fii Tafsiiril Ahlaam’ dan ‘Muntakhab al-Kalaam fii Tafsiiril Akhlaam’.

Buku-buku karyanya telah menjadi rujukan para ulama dan para pakar mimpi sedunia hingga saat ini, dan baik di Barat atau pun di Timur, nama Ibnu Sirin pasti akan disebut jika terjadi suatu pembicaraan tentang penafsiran mimpi. Bahkan ketika Sigmund Freud menulis salah satu karyanya yang monumental, ‘The Interpretation of Dream’, dia juga merujuk kitab karya Ibnu Sirin.

Sepanjang hidupnya, Ibnu Sirin telah menafsirkan beribu-ribu mimpi orang yang datang kepadanya, dan bisa dibilang bahwa seratus persen tafsirnya atas mimpi-mimpi itu benar-benar tepat dan akurat. Selama Ibnu Sirin masih hidup, orang dari seluruh dunia pasti akan datang kepadanya jika ingin menanyakan makna atas mimpinya.


Titipan Visi Henry Viscardi



Henry Viscardi dilahirkan tanpa kaki, dan menghabiskan tujuh tahun masa kanak-kanaknya sebagai pasien di sebuah rumah sakit. Sejak kanak-kanak sampai berusia remaja, dia harus menghadapi cacat ini dan telah berjuang untuk melalui penderitaannya. Tetapi rupanya dunia amat kejam memperlakukannya, dan sama sekali tak mau menengok cacat yang dideritanya.

Pada usia 27 tahun, Henry Viscardi baru mendapatkan kaki palsunya. Dengan kaki palsu ini ia mulai bisa melangkah tanpa bantuan kursi roda atau kruk untuk menyangga tubuhnya. Dan kemudian sebuah dunia baru pun terbentang di depan matanya. Ia telah merasakan bagaimana sakitnya perasaannya karena cacat yang dideritanya, dan bagaimana merananya batinnya saat ia begitu sulit menjalani hidup karena cacatnya itu. Dan sebuah kilasan pikiran yang baru dipahaminya itu kemudian mengubah kehidupannya.

Semenjak itu, Henry Viscardi bertekad untuk membantu kehidupan orang-orang yang tidak mempunyai lengan dan tidak punya kaki. Selama masa Perang Dunia kedua, ia menghabiskan semua waktunya untuk membantu para korban perang di rumah sakit Walter Reed, dan sesudah itu ia mendirikan The Long Island Human Resources Center, sebuah lembaga yang membantu dan menangani anak-anak dan orang dewasa yang memiliki cacat tubuh.

Dia mengubah cacat dan kemalangan yang menimpa dirinya selama bertahun-tahun menjadi sebuah kesempatan untuk mengajar ribuan orang cacat lain supaya mereka juga memiliki keyakinan dan kepercayaan diri atas kemampuan mereka.

Dalam sebuah pidatonya, Dr. Henry Viscardi menyampaikan kata-kata yang kemudian menjadi sangat terkenal. Kata-kata ini telah memberikan inspirasi bagi ribuan orang yang mendengarnya, kata-kata ini telah memberikan motivasi bagi siapa pun yang membacanya. Kata-kata yang diucapkannya ini layak untuk direnungkan, sekaligus perlu untuk dimasukkan ke dalam hati, akal, pikiran, serta dalam kehidupan kita.

Inilah kata-katanya yang penuh inspirasi itu…

“Harapan adalah sebuah kewajiban, ia bukan suatu kemewahan. Harapan bukan sekadar impian, tapi kekuatan untuk mengubah impian menjadi kenyataan. Mulialah orang-orang yang memiliki impian, dan yang mau berkorban untuk mengubah impiannya menjadi sebuah kenyataan.

“Bagi saya pribadi, saya tidak memilih menjadi manusia pada umumnya. Saya punya hak untuk menjadi manusia yang istimewa. Saya mencari kesempatan, bukan keselamatan. Saya berani menanggung risiko yang telah diperhitungkan, untuk bermimpi dan membangun, untuk jatuh dan berhasil. Sudah menjadi keyakinan saya untuk selalu tegak berdiri tanpa gentar, bangga, dan tidak takut untuk berpikir dan bertindak melakukan apa yang saya yakini.

“Saya memiliki harapan kepada kalian semua. Ini juga harapan saya untuk orang-orang yang memiliki cacat atau kekurangan. Saya berdoa semoga kalian semua menjadi generasi penerus saya yang dilimpahi kesuksesan dan kebahagiaan sampai akhir hidup kalian. Saya berharap semoga kalian semua mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan yang penuh makna sepanjang hidup kalian…”


Sore itu, Kau Tersenyum

Sore itu, kau tersenyum
Sapaanmu lembut menyentuh sumsum tulang
Pada apa, pada mula yang telah lama
aku rindukan
Dalam detak-detak napas

Dan bunga-bunga, mega-mega,
serta kupu-kupu senja bernyanyi

Kau terpakan kesegaran dari layu-letih-lelah
dalam derasnya hidup, dalam kerasnya hati

Kemudian... aku menyadari
tentang kaca yang retak, yang pecah,
yang harus kurekatkan kembali
untuk melihat wujudku sendiri,
untuk membuat aku menyadari

Aku menyadari, sore itu

Dan kemarin kita bertemu kembali
Simpanlah senyummu untukku dalam hati
Aku telah mengerti


*) Ditulis pada 10 Oktober 1998

Kamis, 06 Januari 2011

Teenlit: Lilin Kecil Literasi (3)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Nah, berkaca pada kasus teenlit, khususnya di Indonesia, semestinya tren perbukuan merupakan “pe-er” masing-masing penerbit (dan kalau bisa, juga penulis). Para penerbit seharusnya bertanggung jawab untuk ikut menciptakan tren—dan bukan hanya sekadar mengikuti tren. Jika para penerbit hanya mau terus “aman” dengan mengikuti tren yang sudah jelas-jelas jalan, maka nasib dunia literasi di Indonesia akan terus-menerus tidak jelas—karena tren selalu naik turun.

Jika masing-masing penerbit berani menciptakan tren tersendiri, maka satu tren akan terus bersinambungan dengan tren yang lain—dan gairah membaca di kalangan remaja akan terus terjaga. Ketika tren teenlit memudar, para penerbit seharusnya sudah siap dengan tren baru untuk terus menjaga kesinambungan itu, sehingga gairah perbukuan di Indonesia terus terjaga, minat membaca terus terjaga, dan aktivitas menulis juga ikut terjaga.

Sayangnya, hal ini tidak terjadi di Indonesia. Lebih banyak penerbit yang “takut-takut” untuk memulai, dan lebih memilih untuk mengambil “jalan aman” dengan cara mengikuti atau meneruskan tren yang sudah jelas-jelas jalan. Pertanyaannya, sekali lagi, sampai kapan…?

Yang paling bertanggung jawab dalam menciptakan tren dalam dunia perbukuan adalah pihak penerbit. Karena merekalah penggerak dinamika pasar. Tetapi, sayangnya, pihak penerbit seringnya justru terkesan “ketakutan” jika harus memulai atau menjadi yang pertama.

Kadang-kadang, ada penulis yang mampu menulis buku dalam bentuk yang benar-benar baru dan orisinal, tetapi penerbit “ketakutan” menerbitkannya karena mengkhawatirkan respon pasar. Kalau yang terjadi seperti ini terus-menerus, dunia perbukuan Indonesia akan terus jalan di tempat—miskin dinamika, dan sulit berkembang.

Saya sengaja mendasarkan catatan ini pada teenlit, karena teenlit merupakan dasar sempurna untuk memijakkan pandangan atas tren perbukuan di Indonesia. Teenlit-lah satu-satunya tren yang pernah terjadi secara universal, sehingga studi atasnya dapat dijadikan pijakan. Selain itu, teenlit adalah bacaan yang secara langsung menyentuh dunia remaja—usia yang merupakan saat tepat untuk menumbuhkan minat membaca, sekaligus usia yang menjadi penggerak tren di Indonesia.

Untuk dapat mengulangi tren sebesar teenlit, para penerbit tidak bisa terus-menerus menunggu datangnya tren baru dan kemudian hanya mengikutinya. Mereka juga harus aktif berupaya mencari dan menciptakan tren sendiri, jika memang mengharapkan “musim panen” kembali tiba. Riset pasar dan survei konsumen saja tidak cukup. Dalam hal penciptaan tren, semestinya, penerbit juga harus sedikit nekat.

Nah, “nekat” inilah yang sepertinya sering menjadi akar masalahnya—karena untuk nekat ini diperlukan modal yang cukup besar dalam aktivitas penerbitan.

Omong-omong, saya sangat terharu dengan kisah Rahmania Arunita ketika menulis novel Eiffel I’m in Love. (Ingat, Nia menulis novel ini ketika era teenlit belum meledak di Indonesia). Nia menulis novel ini pertama kali dalam bentuk ketikan di kertas HVS yang difotokopi, dan kemudian dijilid mirip makalah atau skripsi, lalu dijual ke teman-teman sekolahnya. Karena laku, Nia kemudian nekat meminjam uang ayahnya untuk mencetak novel itu ke percetakan.

Ayahnya memberikan pinjaman sebesar empat juta, dan Nia membawa naskah novelnya ke percetakan. Dengan modal pas-pasan dan hasil cetak pas-pasan, Nia menitipkan novel karyanya ke toko-toko buku di daerahnya. Novel ini laku, dan Nia bolak-balik ke percetakan untuk mencetak ulang.

Sampai kemudian penerbitannya diambil alih Terrant Books, dan diterbitkan secara profesional. Dan selanjutnya adalah sejarah. Edisi novel yang diterbitkan oleh Terrant Books itu terjual lebih dari 70.000 eksemplar, difilmkan oleh Soraya Intercine, dan menjadi film remaja yang paling banyak ditonton di Indonesia. Novel itu juga menjadikan tren teenlit semakin gegap gempita.

Nah, saya sering membayangkan. Jika waktu itu Nia langsung membawa naskahnya kepada penerbit, apakah penerbit akan langsung mau menerbitkannya…? Tanpa melihat kenyataan bahwa novel itu laku, apakah penerbit mau menganggarkan dana yang amat besar untuk menerbitkan Eiffel I’m in Love?

Berkaca pada fenomena teenlit, di sinilah titik nadir dunia perbukuan Indonesia. Harus ada seseorang yang nekat—entah penulisnya, entah penerbitnya.

Terlepas dari apa pun penilaian orang atasnya, teenlit adalah nyala api di sumbu kecil literasi Indonesia. Ialah yang menyalakan semangat jutaan remaja untuk asyik membaca, menulis, dan mengasyiki dunia literasi. Dan kita semua—penulis, penerbit, aktivis perbukuan, bahkan pemerintah Indonesia—ikut bertanggung jawab agar nyala lilin kecil ini tidak padam.

Dan jika memang nyala lilin bernama teenlit ini telah sampai pada batas sumbu terakhirnya, maka seharusnya kita telah menyiapkan lilin lainnya agar nyala api mereka tetap menyala. Sekecil apa pun nyala sebuah lilin, ia lebih baik daripada gelap tanpa cahaya. Sebatang lilin kecil sekali pun, ia ikut menerangi kegelapan dunia.

Teenlit: Lilin Kecil Literasi (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Pudarnya tren teenlit jelas sangat disayangkan. Baik bagi penerbit, bagi para penulisnya, maupun bagi dunia perbukuan secara luas. Teenlit adalah lilin kecil literasi, khususnya di Indonesia. Di negara yang minat bacanya selalu dianggap sangat rendah ini, teenlit mampu mendekatkan remaja dengan buku dan dunia literasi. Sungguh sangat disayangkan jika “kemesraan” yang telah terjalin antara remaja dengan keasyikan membaca tiba-tiba hilang karena tergantung tren yang cepat memudar.

Dalam kasus teenlit, memang ada beberapa kalangan yang bersuara minor atau sinis, dan menilai teenlit sebagai “bacaan tak berisi”. Tetapi, menurut saya, itu penilaian yang sangat tidak adil. Untuk menilai teenlit secara adil dan objektif, lihat dan nilailah dari sudut pandang para pembacanya (remaja). Kita tidak bisa menilai suatu bacaan dari sudut pandang bukan sebagai pembacanya.

Bagi remaja, teenlit adalah bacaan “ideal”—karena isinya sesuai dengan apa yang mereka harapkan, bahkan sesuai dengan kapasitas zamannya. Sungguh tidak adil jika kita memaksa remaja untuk membaca Zarathustra. Itu sama tidak bijaknya dengan menjejalkan singkong bakar pada balita. Karenanya, teenlit harus diletakkan pada dasar penilaian yang adil sesuai dengan proporsi pembacanya.

Seperti yang saya tuliskan di atas, teenlit adalah lilin kecil dalam dunia literasi Indonesia. Buku dalam genre inilah yang mampu mendekatkan para ABG dan remaja untuk mengasyiki aktivitas membaca, dan menulis. Pada era 80-an, Indonesia memang pernah dilanda hal serupa, ketika serial Lupus menciptakan fenomena. Tapi dampaknya tidak sebesar yang ditimbulkan teenlit. Lupus hanya mampu meningkatkan minat baca, sementara teenlit juga mampu menumbuhkan minat menulis. Ini jelas dampak yang sangat positif.

Yang amat disayangkan dalam hal ini, adalah tidak adanya—atau kurangnya—kesinambungan tren selepas teenlit. Ketika fenomena teenlit pudar, para penerbit “kelabakan” dalam mencari pengganti. Akibatnya, tren teenlit hanya menjadi sebatas tren sesaat, dan para remaja yang telah jenuh dengan bacaan teenlit mulai menjauh lagi dengan buku dan aktivitas membaca. Era teenlit pun sudah dianggap selesai, dan tinggal sedikit remaja yang masih suka membacanya.

Ini jelas amat sangat disayangkan—betapa minat baca-tulis yang tadinya sudah amat baik tiba-tiba pudar hanya karena tren yang telah memudar.

Pada masa sekarang, saya sudah berkali-kali mendengar penulis yang mengeluh karena penerbit tak mau lagi menerima karyanya. Para penulis yang mengeluh ini adalah para penulis teenlit yang dulu “dikejar-kejar” penerbit ketika era teenlit masih berkibar. Karya-karya mereka pernah mendatangkan keuntungan yang luar biasa besar pada para penerbit yang menerbitkan karya-karya mereka. Tetapi ketika era teenlit selesai, era para penulis ini pun “selesai”.

Sekali lagi, ini sungguh sangat disayangkan. Bubarnya teenlit seolah ikut menandai bubarnya gairah literasi di kalangan remaja Indonesia. Pertanyaannya, sampai kapan…?

Lanjut ke sini.

Teenlit: Lilin Kecil Literasi (1)

Betapa bahan bacaan yang kita cerna semasa anak atau remaja
cukup membekaskan pengaruh pada perkembangan minat dan
pendewasaan kita selanjutnya sebagai pribadi.
—Fuad Hassan


Pada awal tahun 2000, dunia dilanda tren bacaan baru untuk remaja, yang kemudian lazim disebut teenlit (teen literature). Tren ini, diyakini banyak pihak, dicetuskan oleh buku The Princess Diaries yang ditulis Meg Cabot, yang mencetak sukses secara internasional, sampai difilmkan, bahkan menjadi semacam trade merk tersendiri. Tren teenlit juga menyihir Indonesia—dan kemudian melahirkan tak terhitung banyaknya penulis baru yang menulis dalam genre ini.

Sepanjang sejarah perbukuan di Indonesia, belum pernah ada fenomena yang mampu menandingi fenomena yang dilahirkan oleh tren teenlit. Pada waktu-waktu itu, teenlit bagaikan bacaan sihir—ribuan judul buku mengalir ke toko-toko buku, dan nyaris semuanya laku. Sebagian besar bahkan mencapai angka penjualan spektakuler.

Novel Fairish, umpamanya, yang ditulis Esti Kinasih, terjual lebih dari 50.000 eksemplar. Eiffel I’m in Love, karya Rahmania Arunita, terjual sampai 70.000 eksemplar. Itu angka penjualan buku yang fantastis untuk ukuran Indonesia, khususnya lagi untuk buku yang ditulis oleh pemula.

Yang paling menyenangkan dari fenomena teenlit ini adalah tumbuhnya gairah membaca dan menulis yang luar biasa. Jutaan remaja yang pada awalnya asing dengan buku, tiba-tiba mulai akrab dengan buku. Begitu pula remaja-remaja yang tadinya asing dengan aktivitas tulis-menulis, mulai tumbuh gairah dan semangat untuk menulis. Ini jelas gairah dan semangat yang positif, dan—mau tak mau—Indonesia harus berterima kasih pada teenlit.

Karena respon yang luar biasa besar terhadap teenlit itu pulalah, sampai-sampai penerbit yang tergolong “angker” pun ikut menerjunkan diri dalam penerbitan teenlit. Penerbit YOI (Yayasan Obor Indonesia), misalnya, yang selama puluhan tahun hanya menerbitkan buku-buku berat, ikut terjun dalam penerbitan teenlit. Pada waktu-waktu itu, bisa dikatakan semua penerbit di Indonesia—besar maupun kecil—ikut terkena sihir teenlit.

Dalam hal penerbitan, teenlit bahkan ikut membantu menciptakan puluhan penerbit baru, karena berpuluh-puluh penerbit baru ikut mulai tumbuh pada era ini. Pendeknya, teenlit memiliki pengaruh yang amat besar dalam industri penerbitan dan perbukuan, khususnya di Indonesia, karena tren inilah yang menjadi penanda hidupnya gairah literasi—khususnya di kalangan remaja.

Tetapi, sebagaimana segala bentuk tren yang lain, teenlit juga mengalami masa surut yang sama. Secepat apa sebuah tren mengalami musim pasang, secepat itu pula tren itu akan memudar. Begitu pula dengan tren teenlit. Teenlit mencapai puncak pasang dengan cepat, sehingga masa surutnya pun tidak menunggu waktu lama. Setelah sekitar lima tahun mencapai zaman keemasan, pelan-pelan sihir teenlit mulai memudar.

Sebagaimana masa pasang teenlit yang membantu menciptakan banyak penulis dan penerbit baru, masa surut teenlit juga ikut “memusnahkan” banyak penulis dan penerbit. Nama-nama penulis yang tadinya sangat populer di era teenlit tiba-tiba memudar dan hilang, begitu pula nama-nama penerbitnya. Hanya sebagian yang masih mampu bertahan—baik penulis maupun penerbitnya.

Dalam industri dan tren perbukuan, semuanya memang tergantung pada selera pembaca. Selama pembaca masih “mau”, maka sebuah tren (buku) akan terus berlanjut. Tetapi ketika pembaca sudah jenuh, maka tren pun perlahan menghilang. Nah, tren teenlit “digempur” oleh ratusan penerbit sekaligus dalam waktu yang sama. Akibatnya, banjir buku teenlit membuat pembaca mencapai titik jenuh dalam waktu yang tak terlalu lama. Ketika titik jenuh itu tercapai, tren pun selesai.

Lanjut ke sini.

Menertawakan Hidup

Hidup adalah lelucon bagi orang yang berpikir,
dan tragedi bagi mereka yang mengandalkan perasaan.
Horace Walpole


Natasha ingin pesta ultahnya yang ke-20 benar-benar sempurna. Karenanya, dia pun telah mempersiapkan segalanya jauh-jauh hari sebelum hari H ultahnya berlangsung. Gaun yang akan dikenakannya, undangan ultah buat kawan, kerabat dan sahabatnya, sampai tart ultah yang desainnya sesuai bayangannya, semua telah ia rancang dan persiapkan jauh-jauh hari sebelumnya.

Maka, ketika pesta ultah itu berlangsung, segalanya pun sesuai kehendak Natasha. Malam itu Natasha telah mengenakan gaun indah yang telah dipersiapkannya, semua orang yang ia undang telah hadir di pestanya, sebuah tart besar telah berada di tempatnya, dan suasana ultah benar-benar menggembirakan, menyambut ulang tahun Natasha yang kedua puluh tahun.

Tetapi kemudian tragedi terjadi.

Di tengah-tengah keramaian pesta ulang tahun itu, seorang tamu tanpa sengaja tersandung sesuatu, dan badannya terhuyung hingga menabrak meja tempat tart ultah Natasha. Tart ultah yang besar itu pun ambruk, dan Natasha yang tengah berdiri di dekat meja langsung menjadi ‘sasaran’ ambruknya tart itu. Gaunnya yang indah dan bersih, yang telah dipersiapkannya sejak lama, seketika menjadi kotor, belepotan, dan penuh noda-noda kue ulang tahunnya sendiri.

Ketika insiden yang tak disengaja itu terjadi, dan ketika melihat keadaan Natasha yang ‘mengenaskan’, para tamu yang hadir di pesta itu pun seketika diam, dan suasana seketika sunyi.

Tetapi kemudian kesunyian itu dipecahkan oleh tawa Natasha yang menertawakan keadaan dirinya sendiri. Ketika baru menyadari gaunnya yang indah itu terkotori noda-noda kue dan keadaannya menjadi ‘rusak’, Natasha memang terkejut, bahkan shock, tetapi kemudian ketika kesadarannya mulai kembali, Natasha pun memilih untuk menertawakannya.

Memilih untuk menertawakan—adalah salah satu pilihan bijak yang dapat diambil dalam menjalani segala sesuatu dalam hidup, sebagaimana Natasha yang memilih untuk menertawakan saat pesta ulang tahunnya ‘dirusak’ oleh tragedi yang tak pernah dibayangkannya. Dan karena Natasha memilih untuk menertawakannya, maka para tamu yang hadir di pesta ulang tahunnya pun ikut tertawa, dan pesta itu tetap berlangsung dengan penuh kegembiraan.

Sebenarnya, Natasha juga memiliki hak untuk menangis atau mengutuk atas apa yang dialaminya. Menghadapi kejadian semacam itu, ia tentu punya hak untuk marah, jengkel, bahkan histeris dan mencaci-maki orang yang telah merusakkan kue ultah, gaun pesta, dan acara ulang tahunnya. Tetapi jika itu yang dipilih Natasha, maka pesta pun akan segera berakhir, para tamu akan menjadi tak enak dan tak lagi merasa nyaman, suasana pesta akan menjadi kaku, dan hari ulang tahunnya pun akan segera pergi dengan cepat tanpa suatu kesan yang indah untuk dikenang.

Memilih untuk menertawakan adalah salah satu cara bijak dalam menghadapi segala yang terjadi dalam hidup—bukan hanya hidup Natasha, tetapi juga hidup kita.

Kehidupan, tentu saja, adalah sesuatu yang secara serius diberikan Tuhan untuk manusia. Dan karena hidup adalah sesuatu yang serius, maka kita pun tentu perlu dan harus menjalaninya secara serius pula. Namun, di sela-sela hidup yang serius itu, sering kali kita menemukan banyak hal yang bisa kita tertawakan atau membuat kita tertawa. Atau setidaknya, ada bagian-bagian tertentu dalam hidup yang memberikan kepada kita hak untuk menertawakannya.

Mungkin kita sudah terlalu sering mendengar ungkapan yang menyatakan bahwa ‘tertawa adalah obat yang terbaik’, dan memang seperti itulah kenyataannya. Tertawa bukan saja pilihan yang bijak dalam menjalani hidup, tetapi juga membantu kesehatan tubuh dan pikiran kita. Selama bertahun-tahun para pakar telah membuktikan bahwa orang yang mudah tertawa lebih cepat sembuh dari sakit, ketimbang mereka yang lebih banyak mengeluh.

Bahkan, menurut hasil penelitian, tertawa antara 1 sampai 5 menit akan merangsang otak untuk melepaskan endorphin, serotonin, dan melatonin—tiga zat yang tergolong sebagai zat kimia yang baik. Pelepasan zat-zat itu akan menimbulkan perasaan tenang, tenteram, nyaman, dan bahagia.

Endorphin, salah satu zat yang dilepaskan otak ketika tertawa, berfungsi juga untuk mengurangi adrenalin, kortisol, dan radikal bebas, yang merupakan zat kimia yang jahat bagi otak. Ketiga zat inilah yang sering kali membuat seseorang menjadi cemas, ketakutan, dan otot-otot terasa tegang. Dengan tertawa, kita membantu tubuh kita sendiri untuk meninggalkan ketegangan, serta membuat pikiran menjadi terasa lebih nyaman dan menenangkan.

Selain itu, ketika kita tersenyum atau tertawa, diperlukan koordinasi 26 macam otot yang ada di wajah, sedangkan untuk merengut dibutuhkan pengerutan 62 macam otot. Saat merengut, ada 62 otot di wajah kita yang dikencangkan, sedang kalau tersenyum atau tertawa, ada 26 otot yang dikendurkan. Berdasarkan hal ini saja, rasanya sudah jelas mengapa orang yang lebih banyak tertawa jadi awet muda, dan mengapa orang yang suka cemberut atau merengut jadi lebih cepat tua.

Karenanya, meski hidup harus dihadapi dan dijalani dengan serius, jangan lupakan hak kita untuk sesekali menertawakannya.

Esensi

Ada waktu dan tempat untuk semuanya.
Yang diperlukan hanyalah belajar dan percaya.

Ada waktu dan tempat untuk segalanya.
Yang dibutuhkan hanyalah bekerja dan percaya.

Minggu, 02 Januari 2011

Sepakbola dan Filsafat Hidup (3)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Jadi begitulah. Pada salah satu pertandingan Piala Dunia kemarin, Very dan saya pergi ke kafe langganan Very, dan kami mengambil tempat duduk yang nyaman di hadapan sebuah layar raksasa yang akan menampilkan pertandingan sepakbola kelas dunia. Ratusan orang berkumpul di sana, sama-sama ingin menikmati acara itu, dan saya pun berusaha menyiapkan diri sebaik-baiknya.

Lalu pertandingan yang hebat itu pun dimulai. Layar raksasa di hadapan kami menampilkan pertandingan yang berisi dua puluh dua orang (dua kesebelasan) yang berlarian kesana-kemari mengejar dan menendang bola di lapangan. Ratusan orang di kafe itu berteriak, bersorak, saling mengejek dan saling tertawa dengan gembira, begitu pula Very. Dan saya…?

Saya kebingungan.

Di tengah-tengah ratusan orang yang ‘mabuk bola’ saat itu, saya berharap bisa ketularan keasyikan dan gairah mereka, tetapi saya malah kebingungan, dan tidak mengerti, di mana letak keasyikan permainan yang tengah kami tonton ini. Yang ada, saya malah duduk menyandar, dan bengong melihat orang-orang di sana yang terlihat sangat bersemangat. Saya merasa seperti makhluk asing di tengah pesta pora yang tidak saya pahami.

Sepulang dari acara nonton bola di kafe itu, saya ngobrol-ngobrol dengan Very di teras rumahnya.

“Gimana?” ujar Very. “Sudah bisa melihat keasyikan sepakbola?”

“Uh, belum, Ver,” jawab saya lugu.

Dan Very kemudian berujar seperti psikiater yang sedang menganalisa pasiennya, “Sepertinya kasusmu benar-benar parah, Sob.”

Maka Very pun kemudian berusaha menolong saya, sebagaimana psikiater yang baik mencoba menolong pasien. Dengan sabar dia berkata, “Sebelum kita membicarakan hal-hal yang mungkin akan membuatmu tertarik pada sepakbola, sekarang coba katakan di mana letak hal-hal yang membuatmu tidak tertarik pada sepakbola.”

Analisis yang cerdik, pikir saya. Maka saya pun menjawab dengan jujur, “Yang paling membuatku bingung, Ver, adalah karena sepakbola sepertinya tidak masuk akal. Ada dua puluh dua orang bertarung di lapangan, dan mereka rela bertarung sampai berdarah-darah, setidaknya patah tulang, demi untuk mengejar sebuah bola. Menurutku ini tidak masuk akal. Apa hebatnya sebuah bola? Jika mereka bertarung dan bertanding mengejar-ngejar Britney Spears, mungkin aku bisa memaklumi. Tapi bola…?”

Very cekikikan.

Dan saya melanjutkan, “Setiap kali menonton pertandingan bola, aku selalu berpikir, kenapa panitia pertandingan itu tidak menyediakan bola yang banyak saja? Maksudku, daripada dua puluh orang itu saling berebut satu bola yang ada di lapangan, kan lebih bagus kalau masing-masing orang itu diberi satu bola—biar tidak rebutan. Jadi, aku tidak bisa tertarik pada sepakbola, karena permainan ini menurutku tidak masuk akal.”

Setelah terdiam beberapa saat, Very kemudian menjawab, “Sebenarnya, sepakbola itu miniatur tentang filsafat hidup, Sob.”

“Filsafat hidup…?” Saya benar-benar tidak paham, di mana letak korelasi antara sepakbola dengan filsafat hidup.

“Ya, karena begitulah hakikat permainan,” lanjut Very. “Sebuah permainan dimainkan bukan karena ia masuk akal atau tidak masuk akal. Bukan karena ia bisa dipahami atau tidak bisa dipahami. Permainan dimainkan, dan dinikmati, karena ia sebuah permainan.”

Saya masih mendengarkan.

“Seperti yang tadi kamu bilang,” ujar Very, “akan lebih bagus kalau masing-masing orang di lapangan itu diberi satu bola untuk satu orang—biar mereka tidak saling berebut. Tetapi jika seperti itu yang terjadi, maka permainan sepakbola tidak akan pernah ada. Dan kalau pun panitia pertandingan itu memberikan satu bola untuk masing-masing pemain, mereka tidak akan mau, karena yang dibutuhkan pemain sepakbola bukan bolanya semata-mata, tetapi spirit permainannya.”

Very menyesap minumnya, kemudian berkata, “Omong-omong, kamu tahu kenapa orang-orang memuja David Beckham?”

“Karena dia ganteng.”

“Huahahahahahaaaa…!” Very ketawa ngakak menyaksikan kebodohan saya.

“Tidak,” lanjut Very, “Orang-orang memuja David Beckham karena dia memiliki tendangan yang hebat di lapangan bola. Begitu pula alasan pemujaan pada kesebelasan Brazil—misalnya—mereka dipuja bukan karena sering menang semata-mata, tetapi karena mereka memiliki permainan yang cantik ketika bertanding di lapangan bola. Orang-orang semacamnya, sejak Pele sampai Ronaldo—juga dipuja bukan karena bolanya, tetapi karena cara mereka bermain.”

Penjelasan itu sekarang mulai terdengar masuk akal di otak saya.

“Jadi, sekarang kamu lihat?” ujar Very. “Yang menjadi inti dari permainan sepakbola bukan pada bolanya semata-mata, tetapi cara bermainnya. Bola yang diperebutkan di lapangan itu hanya sarana. Karena yang paling dibutuhkan oleh pemain maupun penontonnya adalah permainan yang disuguhkan di lapangan. Pemain ataupun penonton sepakbola tidak peduli semahal atau semurah apa bola yang dikejar-kejar itu, karena yang paling penting bukan bolanya—tapi permainannya, dan cara bermainnya!”

Penjelasan ini makin masuk akal, pikir saya. “Tapi, Ver, hanya gara-gara bola yang kecil itu, harus ada pihak yang dikalahkan…”

“Dan bukankah itu memang hakikat semua permainan?” sanggah Very. “Siapa pun yang masuk ke lapangan dan ikut bermain, harus menyadari bahwa di dalam permainan itu akan ada yang menang dan ada yang kalah. Tanpa ada hal itu, permainan tidak akan berlangsung. Seperti yang tadi kamu bilang, beri saja masing-masing orang itu satu bola biar tidak rebutan. Tetapi kapan mereka akan bermain jika masing-masingnya asyik dan sibuk dengan bolanya sendiri?”

Saya terdiam. Very melanjutkan ucapannya, “Begitu pula permainan hidup ini, kan? Kita menghadapi hidup yang sama, tetapi sesungguhnya yang paling penting bukanlah hidup itu sendiri, melainkan bagaimana cara kita bermain di dalamnya, bagaimana cara kita menghadapi hidup yang kita jalani. Kalah dan menang adalah hal biasa dalam hidup—tetapi bukan itu yang terpenting—karena definisi kalah dan menang pun kadang tidak penting.”

Dan, akhirnya, sejak mendengar penjelasan itu, saya pun seperti mulai dituntun untuk melihat di mana letak keindahan permainan sepakbola. Memang, sampai hari ini saya belum bisa seratus persen memahami kehebatan sepakbola, tetapi setidaknya saya mulai memiliki gairah yang cukup besar untuk mulai belajar dan tertarik pada sepakbola.

Di hari-hari ini, setiap kali ada pertandingan besar menyangkut sepakbola, saya berusaha meluangkan waktu untuk menontonnya. Dan untuk menumbuhkan minat serta ketertarikan, saya pun berkata pada diri sendiri, bahwa menonton pertandingan sepakbola adalah sama dengan belajar tentang filsafat hidup—tentang hakikat sebuah permainan—yang kadang-kadang memang tidak masuk akal, tetapi tetap harus dimainkan.

Sepakbola dan Filsafat Hidup (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Sejujurnya, saya memang tahu dan mengenal nama-nama beken dalam dunia sepakbola, tetapi saya sama sekali tidak tahu mengapa orang-orang itu bisa dianggap hebat, dan mengapa orang sampai memuja mereka.

Sebagai contoh, saya mengenal siapa David Beckham. Saya tahu siapa nama istrinya, saya tahu di mana ia tinggal, saya tahu berapa penghasilannya, saya bahkan tahu kegiatan apa yang sedang dilakukan Beckham dalam dunia mode kontemporer. Tetapi saya benar-benar tidak tahu seperti apa kehebatan David Beckham di lapangan bola! Saya tidak tahu mengapa penggemar sepakbola memuja David Beckham!

Kenyataan ini kadang-kadang membuat saya berkecil hati. Iri rasanya kalau melihat kawan-kawan saya bisa asyik membicarakan kisah seru pertandingan sepakbola semalam, sementara saya tidak paham apa-apa, dan tidak bisa ikut berbagi kegembiraan dengan mereka. Padahal, bisa dibilang semua kawan yang saya kenal di dunia ini menyukai sepakbola. Sampai detik ini, saya belum pernah menemukan seorang pun dari mereka yang sama seperti saya.

‘Kebodohan’ saya menyangkut sepakbola juga sering kali membuat saya kebingungan. Tidak jarang, saya sedang ngantri di salon, lalu ada orang asing di samping saya membuka percakapan mengenai pertandingan sepakbola semalam. Nah, ketika dihadapkan kenyataan semacam itu, saya benar-benar kebingungan. Mau nyambung ucapannya, saya tidak tahu apa-apa. Mau jujur menjawab bahwa saya tidak tahu, rasanya kok tidak sopan.

Nah, karena saya telah menyadari bahwa saya tidak tahu apa-apa soal sepakbola, dan menyadari bahwa saya butuh tahu tentang sepakbola, maka saya pun belajar dan berusaha agar saya bisa tertarik kepadanya. Dalam kurun waktu yang panjang, saya telah berupaya sekuat yang saya bisa untuk dapat menyukai sepakbola—dari menonton acaranya di televisi, membaca majalah dan tabloid tentang bola, sampai memburu buku-buku yang secara khusus membahas sepakbola atau tokoh-tokoh sepakbola.

Tetapi, meski telah bertahun-tahun saya melakukan hal itu, tetap saja saya tidak mampu menumbuhkan ketertarikan saya pada sepakbola. Yang ada, saya hanya dapat mengagumi tokoh-tokoh tertentu yang saya baca biografinya, tetapi tetap saja tidak tertarik dengan sepakbola.

Kenyataan ini benar-benar membuat saya frustrasi.

Pas Piala Dunia kemarin, saya sampai minta tolong Very—sohib saya yang penggila bola—agar ‘mengajari’ saya tentang ‘Cara Jatuh Cinta pada Sepak Bola’. Tentu saja Very ketawa ngakak dan menganggap saya tidak masuk akal. Saya tanya kepada Very, apa yang membuatnya menggilai sepakbola. Very menjawab bahwa dia tergila-gila pada sepakbola karena “sepakbola adalah permainan paling menggairahkan di muka bumi.”

Mendengar jawaban itu, tiba-tiba saya merasa idiot.

“Dimana letak menggairahkannya, Ver?” tanya saya seperti bocah TK yang kebingungan terhadap gurunya.

Dan Very menjawab dengan jumawa, “Itu sesuatu yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata, Sob.”

Hebat, pikir saya.

Karena menyadari bahwa saya benar-benar ingin tahu dan ingin belajar tentang keasyikan sepakbola, maka Very pun kemudian mengajak saya untuk menonton acara Piala Dunia di kafe. “Di sana, ada banyak orang yang akan nonton. Di tengah-tengah banyak orang semacam itu, kamu pasti akan ketularan bergairah nonton bola,” begitu kata Very waktu itu.

Lanjut ke sini.

Sepakbola dan Filsafat Hidup (1)

Sepakbola bukan sekadar permainan sederhana.
Sepakbola adalah senjata revolusi.
Che Guevara, Revolusioner, 1928-1967

Dalam sepakbola, setiap hal menjadi rumit oleh kehadiran tim lain.
Jean-Paul Sartre, Filsuf, 1905-1980

Di balik setiap tendangan bola mestilah terdapat sebuah pikiran.
Dennis Bergkamp, Pesepakbola, 1969

Sepakbola adalah sebuah model masyarakat individualistis.
Ia menuntut inisiatif, kompetisi, dan konflik.
Tapi ia diatur oleh aturan tak tertulis bernama fair play.
Antonio Gramsci, Teoritisi dan Aktivis Politik Itali, 1924-1981

Kesenangan menyaksikan Yuri Gagarin di angkasa hanya bisa dilampaui
oleh kesenangan menyelamatkan tendangan pinalti.
Lev Yashin, Mantan Kiper Tim Sepakbola Soviet, 1919-1990

Aku percaya dalam sosialisme setiap orang saling bekerja
untuk orang lain, setiap orang berbagi hasilnya.
Begitulah caraku melihat sepakbola, caraku melihat kehidupan.
Bill Shankly, Mantan Manajer Liverpool, 1913-1981

Sepakbola adalah bagian dari diriku ketika aku
membangunkan dunia di sekelilingku.
Bob Marley, Musisi, 1945-1981

Setiap gol dicetak melewati serangkaian fase independen
dari kehendak manusia.
Karl Marx, Filsuf, 1818-1883

Aku jatuh cinta pada sepakbola seperti aku jatuh cinta
pada perempuan;begitu tiba-tiba dan tak terjelaskan.
Nick Hornby, Penulis, 1957


Saya tidak pernah paham mengapa orang menyukai sepakbola. Sampai hari ini, saya tetap belum bisa menyukai permainan itu, dan tetap tidak tahu mengapa ada jutaan orang sampai tergila-gila pada sepakbola.

Ini serius. Saya benar-benar tidak tahu apa-apa jika sudah masuk pada topik sepakbola. Kalau diajak ngobrol soal sepakbola, saya pasti ‘tidak nyambung’. Jangan tanya kenapa, karena saya sendiri tidak tahu mengapa saya sama sekali tidak tertarik pada permainan itu.

Kadang-kadang, saya merasa ‘iri’ dengan orang-orang lain yang bisa begitu semangat dan antusias ketika musim bola atau piala dunia tiba. Saya ingin bisa ikut bergembira menikmati permainan itu di televisi, membaca ulasannya di koran-koran. Saya ingin bisa ikut tertarik membicarakannya. Tetapi, hingga hari ini, saya tetap saja tidak tahu apa-apa menyangkutnya.

Orang-orang bijak menyatakan bahwa pengetahuan kita atas sesuatu sering kali diawali dengan ketertarikan. Karena merasa tertarik, maka orang pun biasanya akan mendekati dan mengakrabi objek yang membuatnya tertarik itu, hingga pada akhirnya orang pun jadi tahu atau bahkan sampai ahli tentangnya.

Nah, hal semacam itu sudah saya coba berulang-ulang kali. Saya telah memaksa diri saya untuk bisa tertarik pada sepakbola, agar saya bisa tahu dan paham di mana letak keindahannya, atau setidaknya agar saya bisa ‘nyambung’ kalau diajak ngobrol soal sepakbola. Faktanya, sampai sekarang saya tetap saja idiot jika diajak ngobrol sepakbola.

Masalah ini mungkin akan sepele jika kebetulan yang ngajak ngobrol itu teman saya sendiri. Jika ada teman yang ngajak bicara soal sepakbola, atau bagaimana kehebatan si Anu yang bertanding tadi malam, saya bisa dengan ringan menyatakan, “Uh, maaf, aku nggak tahu,” atau, “Kita bisa ngobrol topik yang lain saja? Soalnya aku nggak tahu apa-apa soal sepakbola.”

Biasanya, teman saya akan memaklumi—meski pada mulanya akan menunjukkan muka keheranan. Hari ini, sebagian besar kawan yang mengenal saya sudah tahu kalau saya memang tidak tahu apa-apa soal sepakbola, sehingga mereka pun jarang—atau bahkan tidak pernah—mengajak ngobrol sepakbola dengan saya.

Lanjut ke sini.

 
;