Sabtu, 15 Januari 2011

Kepada Perempuan yang Meletakkan Tanganku di Pipinya



Untuk N. A.

Apa kabar, hei kau, perempuan yang pernah meletakkan tanganku di pipimu? Dekatkah kau denganku? Ataukah jauh...?

Masihkah kau membuka pintu-pintu kecil yang pernah kauberikan untukku beberapa waktu yang lalu, saat pertama kali kau meletakkan tanganku di pipimu?

Pernah ada suatu waktu ketika aku menyadari pesonamu yang lembut, yang tumbuh bagai perdu di antara semak-semak pohon oak... di hatiku. Pernah ada suatu masa ketika langkah kakiku mendekatimu, menyenandungkan sesuatu yang selalu membuatmu tersenyum. Dan tentang angan-angan kita...?

Aku selalu tersenyum mengenangmu, sebagaimana aku pun dulu selalu tersenyum saat ada di dekatmu. Mendengarkan celotehmu yang lucu, menertawakan tingkahmu saat menggodaku, juga... menyaksikan keindahan-keindahan yang kemudian menyatu.

Berkali-kali aku ingin merengkuhmu, sebagaimana berkali-kali kau hadir dalam bayanganku. Berkali-kali aku ingin mendekapmu, sebagaimana berkali-kali kau selalu menggoda pandanganku. Tetapi setiap kali aku ingin melangkah kepadamu, ada sesuatu dalam batinku yang menghentikanku, menjauhkan panca indraku, untuk kemudian menjauhkanku darimu.

Aku tahu kau pernah menantiku, aku tahu kau pernah melewati malam-malam panjang sendirian... kesepian... dan merindukanku... Aku tahu tentang sesuatu yang meletup dan bergejolak di dalam hatimu setiap kali aku mendekat... setiap kali aku ada di dekatmu.

Akulah lelaki yang pernah kaupilih, akulah lelaki yang pernah membuatmu tersenyum saat kau menungguku, namun aku tak pernah datang... Tahukah kau, bahwa aku pun sama tersiksanya seperti dirimu—sama tersiksa saat kau menungguku namun bayanganku tak kunjung menjelang?

Ada banyak hal yang ingin kuceritakan kepadamu. Tentang hati, tentang rindu, tentang cinta, dan kasih. Tetapi kita tak pernah memiliki waktu untuk itu, kan? Kita tak pernah memilikinya, karena kita pun tak pernah dapat saling memiliki, karena kita masing-masing begitu sibuk dengan hatiku dan hatimu, dan kemudian... kau hanya mampu meletakkan tanganku di pipimu... dan tersenyum... menatapku... dan berharap aku tahu.

Maafkan aku, hei kau, perempuan yang pernah meletakkan tanganku di pipimu.

Maafkan aku, karena aku bukanlah lelaki dengan hati utuh, yang dapat mencintaimu sebagaimana yang kauingin dan kaurindu. Maafkan aku karena perjalanan waktu tak pernah mampu mempertemukanku denganmu... dan kemudian semuanya menjadi bayang-bayang buram yang semakin mengabur... dan mengabur...

Kau hilang dari hidupku.

Mungkin aku pun telah hilang dari hidupmu, dari hatimu.

Tapi satu hal yang kuingin kau tahu, aku tak pernah dapat melupakan tatapanmu, senyummu, dan segala getar yang pernah kurasakan saat kau meletakkan tanganku di pipimu...


 
;