Sabtu, 15 Januari 2011

Lompatan Paradigma

Kita lahir dalam keadaan tidur, kita hidup dalam mimpi,
dan kita mati sebelum sempat terbangun.
Jalaluddin Rumi

Menggeliatlah dalam matimu.
Sunan Kalijaga


Kehidupan kita adalah apa yang kita lihat. Apa yang kita lihat adalah apa yang kita ketahui. Apa yang kita ketahui adalah apa yang kita pelajari. Apa yang kita pelajari adalah apa yang kita hadapi. Dan yang kita hadapi itulah yang kemudian kita sebut hidup. Manusia, sesungguhnya, hidup dengan terpenjara oleh paradigmanya sendiri.

Siapa sesungguhnya manusia adalah definisi yang digunakan seseorang untuk menyebut ‘diri’-nya. Dan seseorang menyebut dirinya bergantung pada bagaimana dia menjalani hidupnya. Dan bagaimana dia menjalani hidupnya bergantung pada paradigma yang digunakannya. Dan paradigma yang digunakannya bergantung pada hidup yang dijalaninya.

“Cogito ergo sum,” kata Descartes. Aku berpikir maka aku ada. Tapi Descartes tidak akan bisa berpikir seperti itu, jika dia tidak melakukan lompatan terlebih dulu pada paradigma kehidupan yang dijalaninya. Sebagaimana Rumi yang menari dalam ekstase, dan Gibran menyepi dalam kesunyian, atau Einstein dan Hawking tenggelam dalam rumus, semua penemuan atas ‘diri’ ditemukan setelah manusia melompati paradigma yang telah memenjarakannya.

Kita semua adalah makhluk dalam cangkang, sosok kecil yang merasa diri paling besar, sehingga sering lupa bahwa hidup kita hanyalah apa yang kita lihat. Dan sebelum kita mau dan mampu menyadari bahwa sesungguhnya kita terpenjara, maka selamanya kita tidak akan dapat keluar dari penjara yang mengungkung kita. Pengetahuan berasal dari kesadaran, dan kesadaran hanya dapat diperoleh dengan kerendahan hati.

Bayangkanlah dua butir telur ayam. Di dalam masing-masing telur ini tersimpan benih anak ayam. Secara logika, masing-masing telur itu akan menetas dan menjadi anak ayam setelah dierami oleh induknya. Tetapi, satu di antara calon anak ayam itu tidak sabar, dan kemudian nekat menerobos dinding cangkang yang mengurungnya.

Ketika cangkang yang mengurungnya pecah, anak ayam itu pun terlempar ke luar, dan jatuh menghantam tanah. Ia kesakitan. Tetapi di dalam kesakitannya itu ia kemudian menyaksikan segala sesuatu yang menakjubkan, yang membuatnya lupa pada kesakitannya. Ia melihat langit, mega-mega, awan di angkasa, hamparan tanah yang luas, pohon-pohon yang menjulang tinggi, dan makhluk-makhluk lain yang jauh lebih besar dari dirinya.

Di tengah keterpesonaan yang membuatnya takjub, anak ayam itu pun tanpa sadar berbicara sendiri, “Oh, aku tidak pernah menyangka kalau ternyata dunia seluas ini. Aku tak pernah tahu kalau ternyata aku hanyalah makhluk kecil di tengah semesta ini. Oh, aku jadi malu, selama ini aku merasa paling hebat dan paling besar sendiri…”

Anak ayam yang masih terkurung dalam cangkang mendengar suara celoteh itu. Dia marah dan membentak, “Hei, apa yang kau katakan? Bagaimana bisa kau bilang dunia ini luas? Dunia ini sempit, sialan! Dan kita memang besar—bahkan sebesar dunia yang kita tinggali!”

“Uh, kau berpikir seperti itu karena kau masih hidup di dalam cangkang,” kata anak ayam yang telah keluar dari cangkangnya. “Kau menganggap dunia ini kecil, karena kau terpenjara oleh cangkangmu. Cobalah menerobos cangkang yang mengeliligimu, dan kau pun akan melihat bahwa dunia ini amat sangat luas, sementara kita amat sangat kecil.”

“Apa…?! Menerobos…?!” ejek anak ayam dalam cangkang. “Bicaramu semakin aneh! Tidak usah macam-macam. Jalani saja hidup kita sebagaimana adanya, seperti anak-anak ayam yang lain! Sepertinya otakmu mulai sinting!”

“Kau memang selalu begitu—mudah menyalahkan, karena pandanganmu sempit. Sebenarnya kau tertipu oleh pandanganmu sendiri. Matamu tertutup cangkangmu.”

Alam semesta tahu bahwa telur-telur itu pasti akan menetas jika saatnya tiba, tetapi jika (dan hanya jika) saatnya memang tiba. Dan alam semesta pun tahu bahwa ada tak terhitung banyaknya telur ayam yang tak pernah menetas… karena membusuk sebelum ia sempat keluar dari dalam cangkangnya.

“Penemuan terbesar dalam generasi saya adalah bahwa manusia dapat mengubah hidup mereka dengan cara mengubah sikap pikiran mereka.” Kata-kata itu diucapkan oleh William James, seorang filsuf sekaligus Bapak Psikologi Modern Amerika, Profesor Filsafat di Harvard University.

Tetapi jauh-jauh hari sebelum William James menyatakan ucapan itu, Sunan Kalijaga sudah berucap pada murid-muridnya di Tanah Jawa, ketika ia membisikkan pesan rahasia, “Menggeliatlah dalam matimu...”

Menggeliatlah dalam matimu—keluarlah dari cangkang penjaramu, teroboslah dinding paradigma yang membelenggu kemanusiaanmu.

Seperti anak-anak ayam yang ada di dalam cangkangnya, kita ada dalam cangkang paradigma kita. Dan seperti anak-anak ayam yang dierami agar menetas, kita pun dierami oleh pengetahuan, wawasan, kebudayaan, dan juga kesadaran untuk ‘menetas’ menjadi manusia sesungguhnya. Tetapi jangan pernah lupakan fakta bahwa tidak semua telur dapat menetas… karena ada banyak telur yang tak pernah menetas, karena telah membusuk sebelum ia sempat keluar dari cangkangnya.

“Kita lahir dalam keadaan tidur, kita hidup dalam mimpi, dan kita mati sebelum sempat terbangun.” Rumi menyenandungkan solilokui itu sambil menangis dan tersenyum, dan tersenyum sambil menangis, karena tidak semua manusia mau diajak untuk ‘terbangun dari tidurnya’. Lebih banyak yang menyukai khayal-impian dalam ketidaksadaran daripada kesadaran di dalam kenyataan. Hingga mereka kemudian menghembuskan napas terakhir sebelum sempat menyadari apa sesungguhnya kehidupan.

Dan apakah sesungguhnya kehidupan…?

“Kehidupan adalah apa yang dibuat oleh pikiran kita,” kata Marcus Aurelius di Roma.

Pikiran adalah anak kesadaran, dan kesadaran adalah akar kehidupan. Karena kehidupan adalah hasil pikiran, maka kita hanya dapat berpikir jika kita dalam keadaan sadar. Dan kita hanya bisa merasakan kesadaran jika kita benar-benar hidup. Dan kapankah kita benar-benar hidup...? Kita tidak pernah tahu, karena kita tidak pernah memberi kesempatan pada diri sendiri untuk menyadari bahwa kita benar-benar hidup.

Kehidupan kita adalah apa yang kita lihat. Apa yang kita lihat adalah apa yang kita ketahui. Apa yang kita ketahui adalah apa yang kita pelajari. Apa yang kita pelajari adalah apa yang kita hadapi. Dan yang kita hadapi itulah yang kemudian kita sebut hidup. Manusia, sesungguhnya, hidup dengan terpenjara oleh paradigmanya sendiri.

 
;