Sabtu, 08 Januari 2011

Membenci, Tapi Objektif (1)

Gunakan bahasa apa pun yang kauinginkan, kau tidak bisa mengatakan apa pun kecuali dirimu sendiri.
—Ralph Waldo Emerson


Membenci, tapi objektif—sepertinya sulit sekali. Sama sulitnya dengan mencintai, tapi tetap objektif. Bagi rata-rata manusia seperti kita, objektivitas sepertinya “special moment”—saking jarangnya kita melakukannya.

Ketika membenci sesuatu atau seseorang, kita cenderung hanya melihat sisi buruknya, sedang sisi baiknya tak terlihat sama sekali, karena tertutup oleh kebencian yang kita rasakan. Sebaliknya, ketika mencintai sesuatu atau seseorang, mata objektivitas kita pun tertutup, sehingga yang dapat kita lihat hanya kebaikan dan kelebihannya, sementara kekurangan atau kesalahannya tidak tampak, karena cinta yang kita rasakan kepadanya.

Objektivitas berhubungan erat dengan titik netral dalam diri kita, hanya saja rata-rata manusia sulit untuk dapat berpikir secara netral—selalu ada faktor kesukaan atau ketidaksukaan di dalamnya—yang mempengaruhi penilaian objektivitasnya. Dan ketika objektivitas telah dipengaruhi oleh perasaan tertentu, maka objektivitas itu pun tidak objektif lagi.

Kalau seorang cowok baru jadian dengan seorang cewek, dan dia kemudian memuji-muji pacarnya setinggi langit, maka dunia tahu bahwa penilaian itu sama sekali tidak objektif. Mengapa? Karena ada unsur cinta di dalam penilaian itu. Betapa pun juga, dia tidak bisa netral dalam menilai, karena penilaiannya dipengaruhi oleh perasaan, oleh emosi, oleh rasa cinta.

Begitu pula, kalau umpama saya membenci X dan saya mencaci-maki X dengan penuh kehinaan, maka dunia pun tahu bahwa caci-maki saya sama sekali tidak objektif, karena penilaian itu berdasarkan kebencian. Di dalam emosi yang diliputi kebencian, sulit bagi seseorang untuk menemukan objektivitas.

Tetapi, sekali lagi, begitulah manusia—begitulah kebanyakan dari kita. Cinta dan benci selalu menciptakan subjektivitas, padahal cinta dan benci adalah emosi dominan manusia. Artinya, manusia memang sulit untuk dapat berpikir dan bersikap secara objektif. Karenanya pula, jika ada orang yang tetap mampu melihat kekurangan kekasihnya, atau mampu melihat kelebihan musuhnya, maka dia termasuk orang yang layak didengarkan.

Tapi apa ada orang yang seperti itu…?

Ada. Salah satu orang istimewa semacam itu adalah Ibnu Sirin, seorang intelektual muslim yang menjadi pakar tafsir mimpi. Dia lahir di kota Bashrah pada 33 Hijriyah atau 653 Masehi. Selain seorang ulama yang sangat dihormati, dia juga seorang penulis yang tulisan-tulisannya sangat berpengaruh—khususnya dalam hal penafsiran mimpi.

Ibnu Sirin mendedikasikan hidupnya untuk mempelajari ilmu tafsir mimpi, dan hasilnya kemudian ia tulis dalam kitab-kitab berbahasa Arab yang luar biasa tebal. Dua karyanya yang paling fenomenal adalah ‘Ta’biirul Ru’yaa fii Tafsiiril Ahlaam’ dan ‘Muntakhab al-Kalaam fii Tafsiiril Akhlaam’.

Buku-buku karyanya telah menjadi rujukan para ulama dan para pakar mimpi sedunia hingga saat ini, dan baik di Barat atau pun di Timur, nama Ibnu Sirin pasti akan disebut jika terjadi suatu pembicaraan tentang penafsiran mimpi. Bahkan ketika Sigmund Freud menulis salah satu karyanya yang monumental, ‘The Interpretation of Dream’, dia juga merujuk kitab karya Ibnu Sirin.

Sepanjang hidupnya, Ibnu Sirin telah menafsirkan beribu-ribu mimpi orang yang datang kepadanya, dan bisa dibilang bahwa seratus persen tafsirnya atas mimpi-mimpi itu benar-benar tepat dan akurat. Selama Ibnu Sirin masih hidup, orang dari seluruh dunia pasti akan datang kepadanya jika ingin menanyakan makna atas mimpinya.


 
;