Sabtu, 08 Januari 2011

Membenci, Tapi Objektif (3)



Jadi, akar permusuhan dan kebencian antara Ibnu Sirin dengan Hasan Al-Bashri bukan karena perbedaan dalam suatu pendapat keilmuan atau semacamnya, tetapi gara-gara jatuh cinta pada wanita yang sama!

(Saya mendasarkan asumsi ini pada kenyataan betapa para ulama selalu “menghindar” jika sampai pada topik “permusuhan” itu di dalam kitab-kitab mereka. Jika akar permusuhan itu terjadi karena perbedaan pendapat dalam suatu keilmuan, maka tentunya para ulama akan terang-terangan menuliskannya, karena perbedaan dalam keilmuan adalah hal biasa).

Lalu siapa wanita hebat yang sampai membuat dua tokoh besar sekaliber Ibnu Sirin dan Hasan Al-Bashri bisa jatuh cinta kepadanya? Dia juga bukan wanita sembarangan. Wanita ini adalah Rabi’ah Al-Adawiyah!

Ya, Rabi’ah yang itu!

Seperti yang mungkin pernah kita jumpai dalam beberapa kitab atau buku yang membahas kisah Rabi’ah Al-Adawiyah, kita tahu bahwa Hasan Al-Bashri pernah melamar Rabi’ah, tetapi ditolak. Dasar penolakan itu sebenarnya bukan karena Hasan Al-Bashri dianggap tidak layak menjadi pasangan Rabi’ah, tetapi karena Rabi’ah sendiri sudah memutuskan untuk hidup sendiri sampai mati.

Ketika Hasan Al-Bashri menyatakan cinta dan melamar Rabi’ah untuk menjadi istrinya, Rabi’ah mengajukan tiga pertanyaan. “Jika kau bisa menjawab tiga pertanyaanku,” kata Rabi’ah waktu itu, “maka aku bersedia menjadi istrimu. Tetapi jika kau tidak bisa menjawabnya, maka aku terpaksa menolak lamaranmu.” (Apa tiga pertanyaan itu, silakan lihat di berbagai buku atau kitab yang membahas Rabi’ah Al-Adawiyah).

Yang jelas, Hasan Al-Bashri tidak bisa menjawab satu pun dari tiga pertanyaan yang diajukan oleh Rabi’ah. Dan karena itu pula kemudian Rabi’ah memiliki alasan untuk menolak lamaran Hasan Al-Bashri.

Nah, penolakan itu mungkin membuat Hasan Al-Bashri marah. Tetapi dia mungkin tidak bisa marah kepada Rabi’ah—sebagaimana laki-laki lainnya yang juga sulit marah kepada wanita yang dicintainya. Karena itu pula, kemudian Hasan Al-Bashri menujukan kemarahannya akibat ditolak itu kepada Ibnu Sirin.

Kok bisa…???

Ya itu tadi, karena Ibnu Sirin juga jatuh cinta kepada Rabi’ah!

Sebenarnya, selain Ibnu Sirin dan Hasan Al-Bashri, ada berpuluh-puluh lelaki lain yang juga jatuh cinta dan melamar Rabi’ah untuk menjadi istrinya—mulai dari para bangsawan, sampai para pangeran, sampai para raja, sampai para filsuf dan ulama. Tetapi, Hasan Al-Bashri sengaja menujukan kemarahan dan kebenciannya hanya kepada Ibnu Sirin, karena mungkin ia menganggap bahwa satu-satunya yang “layak tanding” dengan dirinya hanya Ibnu Sirin!

Ini memang tabiat manusia. Mungkin, Hasan Al-Bashri berpikir dia bisa dengan mudah mengalahkan saingan-saingan yang lain. Tetapi Ibnu Sirin adalah lawan tanding yang sepadan, karenanya dia menyimpulkan bahwa satu-satunya alasan “masuk akal” yang membuatnya ditolak Rabi’ah adalah karena keberadaan Ibnu Sirin yang juga melamar Rabi’ah. Meski pada faktanya tidak seperti itu, tetapi Hasan Al-Bashri sudah telanjur membenci Ibnu Sirin.

Lalu bagaimana dengan Ibnu Sirin? Ibnu Sirin juga tidak berhasil memperistri Rabi’ah, dan kemungkinan juga menyimpan kemarahan yang sama sebagaimana Hasan Al-Bashri! Jadi begitulah, kedua orang itu kemudian saling marah dan saling membenci—hingga kisah permusuhan mereka sangat terkenal di kalangan masyarakat mereka tinggal. Baik Ibnu Sirin maupun Hasan Al-Bashri tidak akan datang ke tempat yang sama ataupun di waktu yang sama—mereka seperti minyak dan air.

Nah, sampai suatu malam, Hasan Al-Bashri bermimpi. Di dalam tidurnya malam itu, Hasan Al-Bahsri bermimpi menyaksikan dirinya seperti sedang telanjang di kandang binatang, sambil membawa tongkat.


 
;