Minggu, 02 Januari 2011

Teriakan di Bawah Hujan



Jika pikiranmu adalah laut, kedalamannya tak akan terganggu oleh deburan ombak. Jika pikiranmu adalah langit, ketinggiannya tak akan terganggu oleh guyuran hujan dan gelegar petir. Jika engkau sedalam laut dan setinggi langit, persoalan apa yang dapat mengganggumu…?


Jerit kepak tak bersayap ini, melagukan nyanyian petir di ambang langit. Sebongkah peti mati bangkit dari liang kuburnya, wajah-wajah asing berdatangan—mata yang liar dan berlinang…

Aku berdiri di sini… Berdiri menatap langit yang menangis, berteriak kepada siapa pun yang ada di sana. Tetapi teriakanku tak pernah terjawab. Atau terjawab dalam bunyi guntur. Atau nyanyi halilintar. Atau angin dan badai hujan. Pertanda yang tak pernah kupahami. Isyarat yang tak dapat kumengerti.

Tahun-tahun yang datang dan pergi—dan pergi lagi. Hari-hari yang lama, yang baru, yang lama dan baru. Memelukku, meninggalkanku, mencampakkanku. Hidup adalah angin di antara rahang dan taring serigala, kematian adalah awan kebingungan di lingkar bulan. Serigala melolong kepada bulan, dan rembulan tersenyum sinis di balik awan. Satu lagi peti mati bangkit dari liang kuburnya, kembali wajah-wajah asing berdatangan—dengan mata, dengan mata, dengan mata…

…liar dan berlinang.

Aku berteriak di sini… Aku berdiri di antara gelap malam yang semakin gelap, dalam hujan yang makin menghitam, dan aku pernah meneriakkan apa saja yang dapat kuingat. Lampau… Waktu… Tentang aku… Jalan hidup yang hilang, yang kusesali, yang kurindui, yang kutangisi, kuteriaki dan pernah kumaki.

Satu lagi petir menyambar, halilintar menjawab teriakanku. Langit masih menangis. Air matanya membasahi wajahku, tubuhku, jiwaku… keakuanku.

….
….

Yang pernah ada di sana, waktu itu, hanya seseorang yang telah mati—atau dimatikan. Jiwa yang dipangkas dan dikerdilkan, badai angan yang diremukredamkan, tangkai kecil yang tak pernah dibiarkan tumbuh. Tapi tangkai yang berakar… dan akarnya kuat menghunjam bumi. Yang diinjak tak pasti mati, tetapi akar tahu bagaimana hidup. Daun-daun tumbuh, akar bernyanyi, tangkai melambai. Langit tersenyum… atau berpaling. Aku tak peduli.

Dan di sanalah kemudian aku berdiri, ketika malam menghunjamkan sepi senyapnya, ketika langit meneteskan air matanya, ketika bintang-bintang berubah menjadi nyala halilintar. Aku berdiri di sana, berteriak di sana, mengajukan perhitungan atas nasib, jangkauan atas takdir, perhitungan yang belum selesai.

Berapa lamakah tahun yang telah terlalui? Sepertinya baru kemarin. Seperti baru kemarin ketika aku duduk sendirian dalam senyap, dan kemudian berdiri dan berteriak dalam gelap… Tapi alam semesta tahu itu sudah sekian abad yang lalu, sekian abad yang telah disaksikan jutaan orang yang kini telah menjadi mayat dalam kegelapan di perut bumi. Aku hidup… Aku masih hidup… Aku sedang meneriakkan takdirku.

Jadi inilah aku, hei alam semesta yang mendengar… Inilah aku yang berdiri di sini, di bawah langitmu yang menangis, di bawah teriakanmu yang mengguntur dan membadai… Berdirilah bersamaku, berdirilah bersamaku di bawah hujan. Berteriaklah bersamaku, berteriaklah bersama guntur dan halilintar. Menarilah bersamaku, menarilah bersama gelap sunyi malam, dengan mata, dengan mata, dengan mata…

…liar dan berlinang.

Jadi inilah aku, hei alam semesta yang mendengar… Inilah aku yang kini berteriak di bawah langitmu, meneriakkan hati-jiwa dalam hujan, nyalang rindu kepada bulan, lagu luka di bawah bintang.

Aku berteriak kepadamu, pernah berteriak kepadamu, berteriak lagi kepadamu, dan sekarang… saatnya teriakanku memperoleh jawaban. Kirimkanlah petirmu, dan biarkan langit menangis bersama teriakanku. Biar kurengkuh takdirku, agar nyala api ini tak pernah padam. Akan kulagukan suaramu, akan kujeritkan isyaratmu, akan kutarikan bersama nyanyian hujan, dengan mata, dengan mata, dengan mata…

…liar dan berlinang.


 
;