Minggu, 20 Februari 2011

Sumur Kearifan Dumbledore

Pengalaman merupakan guru yang keras,
sebab ia memberi ujian lebih dulu, dan pelajaran belakangan.
@noffret


Kebanyakan blogger punya blogger inspirator, atau orang yang menjadi inspiratornya dalam ngeblog. Begitu pula saya. Dalam ngeblog, ‘blogger’ inspirator saya adalah Albus Dumbledore.

Para penggemar serial Harry Potter pasti mengenal namanya, karena ia salah satu tokoh penting dalam serial tersebut. Albus Dumbledore bukan hanya kepala sekolah Hogwarts, tempat Harry belajar, tetapi juga menjadi semacam orang tua angkat bagi Harry Potter. Para pembaca Harry Potter pun mengagumi serta mengasihi tokoh yang satu ini, karena Dumbledore bukan hanya seorang penyihir sakti, tetapi juga guru yang arif bijaksana.

J.K. Rowling, pengarang Harry Potter, memang penulis genius. Di dalam kisah kolosal yang melibatkan banyak karakter ini, Rowling tidak satu pun menciptakan karakter yang sempurna. Semua tokoh yang ada di dalam Harry Potter sangat manusiawi, memiliki kelebihan serta kekurangannya masing-masing, sehingga pembacanya bisa asyik menikmati karena tokoh-tokoh itu seolah nyata.

Coba lihat, bahkan karakter Harry Potter sendiri, yang merupakan tokoh utama serial tersebut, tidak diciptakan sebagai tokoh yang sempurna. Rowling terlalu cerdas untuk terjebak pada pengkultusan seorang tokoh dalam kisah rekaannya. Rowling tahu, bahwa tokoh atau karakter yang ‘serba sempurna’ adalah tokoh dan karakter yang paling memuakkan sekaligus membosankan!

Begitu pula dengan Dumbledore. Meski tokoh ini merupakan karakter hebat dengan segala kesaktian dan kearifannya, tetapi Dumbledore pun bukan sosok sempurna. Di buku terakhir, Rowling memberikan kejutan bagi para pembacanya, ketika dia mengungkapkan masa muda Dumbledore yang ternyata seorang rasis (anti muggle).

Tetapi justru karena adanya cacat atau kekurangan inilah sosok Dumbledore menjadi lebih manusiawi—bahwa meski dia sangat hebat, tetapi dia pun tidak luput dari kekurangan dan kekeliruan.

Jika melihat seperti apa masa muda Dumbledore—sebagaimana yang dikisahkan Rowling—sejujurnya kita merasa jijik. Di masa mudanya, Dumbledore tak lebih dari sosok monster-rasis seperti Voldemort yang sangat anti muggle. Tetapi, Dumbledore bisa berubah—dari sosok naif yang rasis menjadi sosok yang arif dan penuh pemakluman manusiawi. Dalam serial Harry Potter, kita tahu, Dumbledore menjadi tokoh paling bijaksana, yang darinya kita mendapatkan pelajaran-pelajaran penting dan berharga.

Pertanyaannya, bagaimana cara Dumbledore bisa berubah seperti itu?

Jika saya membaca dan membaca kembali serial Harry Potter, saya menarik kesimpulan bahwa salah satu hal penting yang mampu mengubah sosok Dumbledore adalah karena orang ini rajin menyimpan ingatannya. Dumbledore adalah orang yang mau dan mampu belajar dari pengalamannya sendiri, sehingga ia dapat mengubah dirinya dari sosok seorang naif menjadi guru yang sangat arif.

Dumbledore memang tidak menulis catatan harian atau diary atau membuat blog, tetapi kita tahu bahwa dia memiliki Pensieve. Pensieve adalah semacam mangkuk atau bejana, yang dapat digunakan untuk melihat dan menyelami kembali ingatan-ingatan yang telah kita simpan.

Dalam tulisan Rowling, Pensieve digambarkan sebagai “baskom batu dangkal dengan tepi yang dihiasi pahatan aneh”. Sebenarnya, Pensieve murni imajinasi Rowling, dalam arti benda itu tidak pernah ada di dunia nyata. Rowling sendiri menciptakan ‘Pensive’ dari kata ‘penser’ (yang berarti: berpikir) dan ‘sieve’ (yang berarti: alat untuk menyaring cairan, dan memisahkan sesuatu yang diinginkan—seperti saringan atau ayakan).

Nah, Dumbledore memiliki banyak ingatan dan memori, sehingga ia perlu memiliki Pensieve untuk menyimpan sebagian ingatan dan memorinya.

Di dunia sihir Harry Potter, seseorang dapat mengambil ingatannya untuk kemudian disimpan dalam botol kecil. Cara mengambil memori atau ingatan ini adalah dengan menempelkan tongkat sihir ke pelipis, kemudian menariknya perlahan-lahan. Tarikan tongkat sihir itu akan menarik benang-benang memori, yang kemudian dapat dimasukkan ke dalam botol kecil. Dalam penggambaran di film, ingatan atau memori tersebut berbentuk seperti cair dan memiliki warna.

Kemudian, jika ingatan atau memori yang telah tersimpan di dalam botol itu dituangkan ke dalam Pensieve, maka orang akan dapat melihat dan menyelami ingatan itu—baik dirinya sendiri sang pemilik memori, ataupun orang lain yang memang ingin melihat dan menyelami memorinya. (Untuk pemahaman lebih baik, silakan baca novelnya, atau tontonlah filmnya).

Dalam perspektif saya, hal penting yang ikut membangun karakter kearifan Dumbledore adalah karena Pensieve ini. Melalui Pensieve, Dumbledore bisa menyimpan dan melihat serta menyelami ingatan dan memori-memorinya, sehingga ia tidak bisa lupa. Melalui ingatan dan memori-memori tersebut, Dumbledore pastilah dapat melihat, menyaksikan, merenungkan, dan memahami segala yang pernah diucapkannya, yang pernah dipikirkan dan dilakukannya.

Ketika ia menyelami Pensieve dan menyaksikan ingatan atas perbuatan-perbuatannya sendiri, Dumbledore pasti dapat melihat secara lebih jernih seperti apakah dirinya sesungguhnya, dan dia dapat belajar dari semua yang disaksikannya.

Rowling memang tidak secara eksplisit menjelaskan hal ini, tetapi setidaknya kita bisa membayangkan bahwa Dumbledore melakukan hal itu, ketika dia sendirian. Jika Dumbledore menggunakan Pensieve untuk tujuan menolong Harry Potter (sebagaimana yang kita baca di serial tersebut), maka tentunya sangat wajar jika Dumbledore sering menggunakannya untuk dirinya sendiri.

Nah, Pensieve itulah yang menjadi inspirasi saya dalam ngeblog. Saya membayangkan bahwa Pensieve bagi Dumbledore adalah semacam sumur tempat ia menyaksikan ingatan-ingatan hidupnya, sekaligus tempatnya menggali serta menimba pelajaran dan kearifan.

Saya ingin blog saya memiliki fungsi semacam itu. Tempat saya menyimpan semua ingatan dan memori yang ada dalam benak, agar saya tidak lupa. Saya ingin, kalau bisa, menyimpan semua ingatan yang ada dalam pikiran saya ke dalam blog, agar ingatan dan memori tersebut tidak hilang.

Dan sebagaimana sifat Pensieve yang dapat dinikmati sendiri atau bersama orang lain, begitu pula blog yang saya miliki. Meski tujuan saya menulis di blog adalah untuk menyimpan memori untuk saya pelajari sendiri, tetapi saya pun mempersilakan orang lain untuk ikut melihat dan menyelami ingatan-ingatan saya, dengan harapan bisa memetik pelajaran dan hal-hal positif dari ingatan-ingatan yang pernah saya simpan (tuliskan) di dalamnya.

Seperti halnya menyelami bejana Pensieve, maka isi blog saya pun merupakan tempat saya menyimpan dan menyaksikan kembali semua ingatan, memori, perjalanan hidup, serta segala sesuatu yang pernah saya pelajari. Kemarahan, kebingungan, kerisauan, kegembiraan dan kebahagiaan, bahkan rasa frustrasi, semua saya upayakan tertulis dan tersimpan di sini—agar sewaktu-waktu bisa saya lihat kembali, untuk saya pelajari.

Saya berharap bisa seperti Dumbledore—orang yang mampu belajar dari kesalahan dan kekeliruannya sendiri, untuk menjadi manusia yang lebih baik. Jika ada pelajaran terbaik yang dapat dipelajari dalam hidup, maka perjalanan hidup diri sendiri adalah salah satu pelajaran terbaik itu.

“Ada tiga jenis manusia,” kata para filsuf. “Yang pertama adalah mereka yang belajar dari pengalaman mereka sendiri; mereka adalah orang yang bijaksana. Yang kedua adalah mereka yang belajar dari pengalaman orang lain; mereka adalah orang yang bahagia. Sedang yang ketiga adalah mereka yang tidak belajar dari pengalamannya sendiri maupun pengalaman orang lain; mereka adalah orang yang bodoh.”

Membuka blog ini adalah membuka ingatan-ingatan saya. Ingatan di mana saya berharap bisa belajar darinya. Di blog ini, saya menuliskan ingatan-ingatan yang saya harapkan dapat diambil manfaatnya, demi kebaikan diri sendiri maupun orang lain. Tidak ada yang hebat dan luar biasa di sini, yang ada hanya ingatan dan memori.

Tetapi, saya percaya, tidak ada pelajaran yang lebih hebat dibanding segala sesuatu dalam hidup yang dapat kita ingat… untuk kemudian kita pelajari.

Kuasa Memberi



Apakah salah satu rahasia hidup? Bagi saya, salah satu rahasia hidup adalah memberi. Ya, rahasia dalam hidup adalah Memberi. Ini bukan hanya rahasia kesuksesan, tetapi lebih dari itu, ini adalah rahasia menuju kebahagiaan. Apabila ingin menjalani hidup yang lebih baik dan berharga, kita harus memulainya dengan memberi.

Kebanyakan orang memulai hidupnya dengan tanpa apa-apa kecuali harapan untuk menerima dan keinginan untuk mendapatkan. Menerima memang bukan masalah, tetapi upaya memberi daripada sekadar berharap menerima akan mulai menggerakkan proses.

Ingat selalu, yang menggerakkan proses adalah memberi, dan bukannya menerima. Masalah dalam hidup tak pernah berhenti karena orang menginginkan sesuatu terlebih dulu sebelum memberi. Ini sama halnya dengan seseorang yang kedinginan di dalam goa kemudian berteriak kepada api, “Berikan aku kehangatan, nanti aku akan memberimu kayu bakar.” Bagaimana mungkin? Berikan dulu kayu bakar yang kita miliki, barulah api akan memberikan kehangatannya.

Atau, mungkinkah kita berteriak kepada tanah, “Hei, berikan kepadaku buah-buahan. Berikan kepadaku tanaman segar.”

Kalau tanah mampu menjawab, mungkin dia akan mengatakan seperti ini, “Sori, pal. Mungkin kau sedikit bingung. Kau mungkin baru di sini. Bukan begitu caranya.”

Ya, memang bukan seperti itu caranya. Untuk ‘mendapatkan’ buah atau tanaman yang kita inginkan, kita harus ‘memberikan’ biji atau benihnya terlebih dulu.

Di dalam kehidupan ini, sering kali kita menjumpai logika yang terbalik. Ada lebih banyak orang yang menginginkan menerima terlebih dulu, dan baru mau memberi belakangan. Hidup tidak menggunakan rumus logika semacam itu, karenanya tidak ada jalan lain selain hanya mengikuti rumus logika yang telah diberikan hidup untuk kita, dan mematuhinya. Berikan dulu, baru mengharapkan. Memberi dulu, baru mendapatkan.

Mungkin kita sudah tak asing lagi dengan ucapan orang yang mengatakan, “Bagaimana aku bisa bekerja dengan giat? Gajiku sangat sedikit dan tidak mencukupi. Kalau saja gajiku dinaikkan, aku mau bekerja dengan lebih giat.”

Bukankah itu logika yang terbalik? Bukankah lebih logis kalau seharusnya kita bekerja dengan lebih giat lebih dulu, baru mengharapkan kenaikan gaji?

Bukankah lebih logis kalau memberikan usaha maksimal terlebih dulu, baru kemudian mengharapkan hasil yang sama maksimalnya? Sekilas, logika yang terbalik semacam itu terdengar logis dan tidak salah. Tetapi selama logika itu masih tetap terbalik dan tidak diluruskan, maka selamanya orang hanya akan berputar-putar di tempatnya tanpa pernah bisa beranjak kemana-mana.

Salah satu penyakit psikologis dari peradaban kita saat ini adalah penyakit logika yang terbalik semacam ini. Lebih banyak orang yang percaya, bahkan yakin, bahwa jika gaji mereka dinaikkan maka mereka akan bekerja dengan giat, bahwa jika dosennya memberikan nilai yang banyak maka mereka akan tekun belajar, bahwa jika kehidupan mereka lebih baik maka mereka akan rajin beribadah.

Tetapi mereka tidak pernah sampai kemana-mana, karena hidup ini tidak memberlakukan logika seperti yang mereka yakini itu. Hidup hanya memberikan satu rumus baku yang mau tak mau harus diikuti oleh siapa pun yang masih ingin hidup, yakni memberi terlebih dulu, baru menerima.

Sepanjang sejarah yang dapat kita baca dan kita pelajari, tidak ada kemenangan tanpa perjuangan, tidak ada kedamaian tanpa pengorbanan, tidak ada pencapaian tanpa usaha, tidak ada hasil tanpa kerja. Semuanya harus memenuhi proses yang sama, memberi terlebih dulu, baru menerima. Dari semua yang paling besar sampai yang paling kecil, semuanya tetap mematuhi hukum itu.

Hanya dengan memberilah kita dapat memperoleh. Hanya dengan memberikan kita bisa mendapatkan.

Mengharapkan kemenangan tanpa perjuangan, mengharapkan kedamaian tanpa pengorbanan, mengharapkan hasil tanpa upaya, mengharapkan puncak tanpa pendakian, itu sama mustahilnya dengan mengharapkan kenyang tanpa makan, atau mengharapkan hidup tanpa dilahirkan.

Jika hidup adalah sekumpulan rahasia, saya percaya salah satu rahasianya adalah memberi. Dan, dengan memberi itulah, kita hidup.


Suluk

Matahari memberikan terangnya, dan dia tak kehilangan apa-apa.
Rembulan memberikan cahayanya, dan dia tak kehilangan apa-apa.
Langit memberikan air hujannya, dan dia tak kehilangan apa-apa.
Bumi memberikan kesuburannya, dan dia tak kehilangan apa-apa.

Manusia mengambil semuanya, dan dia kehilangan segalanya.

Aturan Hidup



Hidup merupakan pertukaran antara kesenangan instan dan ganjaran jangka panjang. Kehidupan kita menawarkan dua hal untuk kita pilih; “Membayar sekarang dan menikmati nanti,” atau, “Menikmati sekarang dan membayar nanti.”

Kalau kita menginginkan kesenangan, kita bisa melakukannya saat ini juga. Kita bisa menghabiskan waktu hanya untuk menonton televisi atau memutar DVD dan melupakan segala tugas yang lainnya. Tapi pada akhirnya, tugas-tugas lainnya itu akan terus menuntut kita untuk mengerjakannya.

Seorang mahasiswa, umpamanya, bisa saja menghindari tugas membuat skripsi dan mengisi waktu hanya dengan jalan-jalan dan shopping ke mall. Tetapi sekuat apa pun dia menghindari tugas itu, waktu akhirnya akan menuntutnya untuk mengerjakan tugas yang dihindarinya.

Kita bisa saja mengisi hidup saat ini dengan kenikmatan-kenikmatan yang bisa dibeli dengan uang, tetapi ketika uang yang dihamburkan itu habis, maka kita pun akan dihadapkan pada kenyataan bahwa kita harus bekerja keras untuk memperoleh uang kembali.

Sekali lagi, bayar sekarang dan nikmati nanti, atau nikmati sekarang dan bayar nanti. Pilihan selalu ada di tangan kita. Tetapi pilihan bijak tentu akan memilih untuk membayar sekarang dan menikmati nanti, karena hasil dari segala sesuatu selalu terasa lebih nikmat apabila kita telah bersusah payah terlebih dulu untuk mendapatkannya.

Kuncinya? Berdisiplin atas segala hal yang tidak kita sukai, agar kita dapat mengisi hidup dengan hal-hal yang kita sukai.


Kepada Erasmus



(1)
Berjalanlah dengan ilmu pengetahuan,
dan kau tidak akan melangkah sendirian.

(2)
Kalau kau sependapat denganku, kau sahabatku.
Kalau kau berbeda denganku, kau saudaraku.

(3)
Aku senang bisa tertawa riang bersamamu,
tapi aku pun bahagia bisa menangis denganmu.

(4)
Yang kaukatakan mungkin tidak sesuai denganku,
tetapi yakinlah bahwa aku mendengarkanmu.

(5)
Jika aku benar, ikutilah aku dengan ketulusanmu,
jika aku keliru, tegurlah aku dengan kearifanmu.

(6)
Kita tidak bisa mengklaim kebenaran sebagai hak milik eksklusif,
karena kau dan aku tahu bahwa kita berada di tempat yang relatif.

(7)
Berjalanlah denganku, dan mari kita bergandengan tangan.
Bacalah hatiku, tetapi lakukanlah dengan akal dan pikiran.

(8)
Sekarang aku melepas kepergianmu,
tapi keberadaanmu ada di sisiku selalu.

(9)
Semoga kita bisa menjadi orang asing yang lebih baik.
Selamat jalan, semoga hati sampai pada tujuan.


Lelaki dan Setan

Malam mencapai puncak kegelapan, ketika lelaki itu mendengar suara berdebum di depan rumahnya. Seperti ada yang jatuh, pikirnya.

Lelaki itu baru pulang dari suatu acara memberikan nasihat kepada masyarakat. Dia memang biasa pergi ke sana kemari, menyampaikan ajaran kepada orang-orang agar berhati-hati terhadap godaan setan. “Karena musuh terbesar manusia adalah setan,” begitu ucapnya setiap kali.

Dan malam itu si lelaki baru pulang dari acara yang biasa—menakut-nakuti orang atas godaan setan. Malam telah larut ketika ia sampai di rumah, dan ia baru saja akan berganti baju sambil bersenandung, ketika telinganya mendengar suara berdebum amat keras di depan rumah.

Apa yang terjadi, pikirnya. Maka dia pun melangkah ke depan, membuka pintu rumah, dan mendapati sesosok tubuh tergeletak tak berdaya di teras rumah.

“Siapa kau?” tanya si lelaki dengan bingung kepada sosok yang tergeletak.

“Tolong…” rintih sosok yang tergeletak.

“Apa yang terjadi denganmu? Siapa kau?”

“Aku Setan.”

“Kau… apa?” Seketika lelaki itu mundur dengan ngeri.

“Tolong, aku sekarat…”

Si Lelaki kebingungan. “Tapi… bagaimana kau bisa sampai di sini?”

“Itu tidak penting,” sahut Setan. “Kau harus menolongku.”

“Tapi… tapi aku tidak mungkin menolong setan!”

“Kau tidak paham,” ujar Setan dengan suara serak. “Kaulihat aku sekarat! Kalau kau tidak menolongku sekarang, aku akan mati. Dan begitu aku mati, kau juga akan mati!”

“Aku… aku tidak paham maksudmu,” ujar si Lelaki dengan bingung.

“Sekarang dengarkan aku—biar kubuat kau paham!” Kemudian, dengan suara yang diusahakan sejelas mungkin, Setan menyatakan, “Lihatlah dirimu! Lihatlah siapa dirimu. Kau menjualku ke sana-kemari, menakut-nakuti orang tentangku—dan kau mendapatkan kehidupan yang layak, bahkan berlimpah karena itu. Kau paham sekarang? Jika aku mati, kau tidak bisa lagi menjualku, tidak bisa lagi menakut-nakuti orang lain tentangku, dan itu berarti kau akan kehilangan hidup yang telah kaunikmati selama ini! Jadi, sekarang, tolong aku!”

Si Lelaki menatap setan di hadapannya, kemudian memandang rumahnya yang megah, mengingat-ingat apa saja yang selama ini telah diperolehnya—kekayaan, penghormatan, popularitas, kesan kehebatan—dan mau tak mau dia harus membenarkan pernyataan setan di hadapannya. Tanpa setan yang selama ini dijualnya ke sana-kemari, dia tidak yakin bisa memperoleh semua yang sekarang dinikmatinya.

“Apa… apa yang harus kulakukan?” tanya lelaki itu kemudian, dengan suara tercekik.

“Kau hanya perlu merawatku, yang penting usahakan agar aku tetap hidup,” jawab Setan. “Biarkan aku menginap di rumahmu beberapa waktu.”

Si Lelaki menganggap itu tak ada salahnya—sedikit investasi untuk keuntungan jangka panjang. Ia memang harus berusaha agar setan tetap hidup.

Maka begitulah, sejak itu Setan tinggal di rumah si Lelaki.

Si Lelaki terus aktif dengan kegiatan sehari-harinya, menakut-nakuti orang tentang godaan setan, dan ia mendapat berbagai penghormatan bahkan kekayaan dari aktivitasnya. Dan tanpa seorang pun tahu, dia juga merawat sesosok Setan di rumahnya.

Kamis, 17 Februari 2011

Dari Dalam ke Luar



Berhati-hatilah dengan pikiranmu, sebab mereka akan menjadi kata-kata. Berhati-hatilah dengan kata-katamu, sebab mereka akan menjadi kebiasaan. Berhati-hatilah dengan kebiasaanmu, sebab mereka akan menjadi karakter. Berhati-hatilah dengan karaktermu, sebab ia akan menentukan nasibmu.
—Frank Outlaw, Penulis dan Pemikir

Kesakitan pikiran lebih buruk daripada kesakitan tubuh.
—Publisius Syrus, Filsuf dan Penulis


Seumpama kita memiliki sebuah pabrik, apakah kita akan memproduksi barang-barang yang berguna, bermanfaat, baik bagi diri sendiri dan orang lain; ataukah memproduksi barang-barang yang berbahaya, yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain?

Nah, mari kita lihat bahwa kita benar-benar telah memiliki sebuah pabrik, yakni pabrik pikiran!

Pabrik ini ada di dalam diri kita, dan kita adalah pemilik sekaligus pengawasnya. Tidak ada yang dapat terjadi di pabrik itu tanpa persetujuan kita. Tidak ada yang dapat masuk ke dalamnya, entah itu bahan mentah atau barang setengah jadi, kecuali dengan izin kita. Tidak ada yang dapat keluar dari pabrik itu selain produk yang kita rancang sendiri.

Dan mari kita lihat produk yang kita hasilkan; ketakutan, kekhawatiran, kemarahan, keraguan, kebencian, dendam, dan hal-hal yang negatif lainnya. Apakah kita akan bangga dengan itu semua? Tentu tidak sama sekali! Pabrik yang kita miliki ini mampu menghasilkan produk-produk yang lebih baik seperti keyakinan, keberanian, ketulusan, cinta kasih, maaf, kesadaran dan segala hal positif yang lainnya.

Awasi selalu pabrik yang ada dalam pikiranmu, karena kau adalah pemilik sekaligus pengawasnya. Apa pun yang keluar menjadi produk dari pabrik itu, kaulah satu-satunya penanggung jawabnya.

Semua orang di dunia ini mencari kebahagiaan, dan ada satu cara yang pasti untuk menemukannya; yaitu dengan mengendalikan pikiran-pikiran kita. Kebahagiaan tidak tergantung pada kondisi-kondisi dari luar, kebahagiaan tergantung pada kondisi-kondisi dari dalam.

Yang menjadikan kita bahagia bukanlah apa yang kita miliki, atau siapa kita, atau dimana kita, atau apa yang sedang kita kerjakan. Yang membuat kita bahagia atau tidak bahagia adalah apa yang kita pikirkan tentang bahagia itu.

Pujangga Inggris terkenal, William Shakespeare, berkata, “Tidak ada sesuatu pun yang baik atau buruk, hanya pikiranlah yang membedakannya.” Sementara Abraham Lincoln menegaskan, “Kebanyakan orang dapat merasa bahagia seperti yang mereka pikirkan.”

Ya, jika kita berpikir bahwa kita bahagia, dan kita menjalani hidup dengan hati bahagia, maka kita pun akan merasakan betapa hidup ini penuh dengan kebahagiaan.

Salah satu penghalang hidup bahagia adalah kebencian. Jika kita menyimpan kebencian dan memendam dendam terhadap seseorang, bisa dipastikan kita tidak akan pernah bahagia. Kebencian ini bukan hanya akan membuat pikiran kita selalu terganggu, tetapi juga mengganggu kesehatan kita. Menurut ilmu kedokteran, kebencian yang kita pendam di dalam diri kita ketika menolak memaafkan, dapat menyebabkan penyakit fisik yang berat.

Dr. Redford Williams, seorang internis dan peneliti kedokteran perilaku di Duke University Medical Center, menyatakan, “Kebencian meramalkan risiko, bukan hanya penyakit jantung, tetapi juga kematian oleh berbagai sebab.”

Dr. Williams dan rekan-rekan penelitinya mempelajari kelompok-kelompok orang yang berbeda melalui bagian utama kehidupan mereka, dan belajar bagaimana berbagai tingkat kebencian mempengaruhi kesehatan jasmani mereka. Sebuah studi dimulai dengan individu-individu ketika mereka masih mahasiswa kedokteran, dan diikuti hingga dua puluh lima tahun berikutnya.

Para peneliti itu kemudian menemukan bahwa orang dengan tingkat kebencian yang tinggi, kira-kira lima kali lebih mungkin menderita serangan jantung, angina, atau meninggal karena penyakit jantung, dibandingkan orang yang tingkat kebenciannya rendah.

Fakta ini sudah cukup untuk mengingatkan kita bahwa kemarahan, kebencian, sifat tidak mau memaafkan, dapat menimbulkan kerusakan pada seseorang secara jasmani maupun rohani. Jika hidup bahagia menjadi tujuan dan keinginan, lepaskanlah semua kemarahan, dendam, dan kebencian. Bagaimana caranya? Dengan memaafkannya.

Di dalam buku ‘How to Live 365 Days a Year’, Dr. John A. Schindler memperlihatkan kenyataan bahwa tiga dari empat ranjang rumah sakit diisi oleh orang yang mengidap EII (Emotionally Induced Illnes), penyakit yang disebabkan oleh emosi. Bayangkan, tiga dari empat orang yang sakit sekarang ini akan sehat jika mereka sudah belajar bagaimana menangani emosi mereka.

Sering kali kita memang tidak sakit karena sesuatu yang kita makan, tapi kita sering kali menjadi sakit karena sesuatu yang memakan kita. Perasaan marah yang terus-menerus dipendam, kebencian yang tak mau dipadamkan, rasa dendam yang tak pernah dilupakan, serta perasaan-perasaan negatif lainnya, semua itu adalah virus-virus yang terus menggerogoti emosi selama kita masih menyimpannya.

Kesehatan tubuh tidak saja ditunjang oleh makanan yang dikonsumsi, tetapi juga perasaan-perasaan yang tersimpan dalam emosi. Karenanya, untuk dapat menghilangkan semua virus yang hanya akan menggerogoti kesehatan kita, gantilah semua perasaan negatif yang ada dengan perasaan yang positif, emosi yang positif.

Gantilah kemarahan dengan hati yang memaafkan. Gantilah kebencian dengan rasa kasih, dan gantilah dendam dengan hubungan yang diperbarui. Semuanya itu memang mungkin tak bisa dilakukan secara mudah dan dalam waktu singkat, tetapi jika kita mau melakukannya, kita akan merasakan perbedaannya.

Berabad-abad yang lampau, filsuf Plato mengatakan, “Para dokter membuat kesalahan yang amat besar, yakni mereka berusaha menyembuhkan badan tanpa berusaha menyembuhkan jiwa. Padahal jiwa dan badan adalah satu, dan tidak boleh diperlakukan secara terpisah.”

Ilmu kedokteran membutuhkan waktu selama dua ribu tiga ratus tahun untuk mengakui kebenaran yang sangat penting ini. Dr. Joseph Montague menuliskan dalam bukunya, “Anda tidak akan terkena serangan penyakit berbahaya karena makanan yang Anda makan. Anda menderita penyakit berbahaya karena sesuatu yang memakan Anda.” Sementara Dr. Alvarez dari The Mayo Clinic mengatakan, “Penyakit berbahaya semisal borok perut seringkali mengganas dan mereda sesuai dengan naik-turunnya tekanan emosi.”

Pernyataan tersebut didukung dengan hasil penelitian terhadap 15.000 pasien yang menderita gangguan perut di Mayo Klinik. Empat dari setiap lima pasien yang menderita sakit perut parah (borok perut) tidak disebabkan oleh sakit fisik. Penyebab utama dari gangguan sakit perut yang parah ini kebanyakan disebabkan oleh ketakutan, kesedihan, kebencian, sifat egois yang berlebihan, serta ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan hidup di dunia ini.

Sekali lagi, banyak orang menderita sakit bukan karena apa yang mereka makan, tetapi karena apa yang memakan hati mereka. Sebuah jurnal kedokteran bahkan melaporkan bahwa sekian banyak orang yang terbaring di rumah sakit, 35% sampai 50%-nya menderita sakit karena menyimpan virus di dalam hatinya. Virus itu bisa bernama kebencian, dendam, iri hati, dengki, dan ketidaknyamanan emosi.

Cara untuk membersihkan semua virus yang menggerogoti hati itu adalah dengan banyak-banyak memasukkan pikiran yang positif dan mendamaikan. Maafkanlah setiap orang yang pernah berbuat salah tanpa harus menunggu mereka meminta maaf. Buang saja semua dendam dan kebencian meski itu terasa berat. Singkirkan jauh-jauh semua dengki dan iri hati agar mereka tak kembali.

Dan apabila hati telah bersih dari semua virus dan polusi, kita akan merasakan suatu kenyamanan emosi yang menenangkan, dan kita pun bisa melangkahkan kaki dengan lebih ringan di setiap tapak jalan kehidupan, tanpa harus merasa terbebani oleh sesuatu yang berat, yang selalu mendesak di relung hati kita yang terdalam.


Kuasai Pikiranmu, Kuasai Hidupmu

Kesakitan pikiran lebih buruk daripada kesakitan tubuh.
Publisius Syrus


Di dalam hidup ini, ada orang-orang yang kehadirannya membantu kita bertumbuh, namun ada juga yang kehadirannya malah membuat kita membusuk. Ada orang-orang tertentu yang begitu suka membangkitkan semangat orang lain, namun ada juga orang-orang yang sangat suka meruntuhkan dan menghancurkan semangat orang lain.

Kalau kita mengatakan ingin membuka suatu usaha, misalnya, ada orang yang mengatakan, “Bagus tuh idemu. Usaha semacam itu masih jarang di sini, dan aku berharap kamu sukses menjalankannya.” Itu kata-kata yang membangkitkan semangat, dan kita butuh orang-orang positif semacam itu. Terlepas dari apakah kata-kata itu kelak akan benar atau tidak, namun kata-kata itu membesarkan hati kita.

Tetapi, ada pula orang-orang yang sepertinya tidak ingin melihat orang lainnya maju. Setiap kali ada orang yang merencanakan sesuatu untuk membangun hidupnya, biasanya dia akan berkata, “Jangan mimpi! Kamu terlalu berkhayal kalau menginginkan hal yang semacam itu!” Ketika kita mengatakan ingin membangun suatu usaha, dia langsung berceramah, “Jaman sekarang ini lagi susah sekali. Kamu hanya akan bunuh diri kalau nekat membuka usaha semacam itu. Sebaiknya kubur saja keinginan itu.”

Di dunia ini, ada orang-orang yang selalu menatap hidup dengan positif, dan mereka melihat langit selalu cerah. Tetapi di dunia ini juga ada banyak orang yang selalu menatap hidup dengan negatif, dan mereka selalu melihat langit akan runtuh. Dengan siapa kita berkawan, dengan siapa kita banyak melewatkan waktu, kehadiran mereka akan ikut mempengaruhi kehidupan kita. Kita tentu bisa merasakan perbedaan efek yang ditimbulkan dari kata-kata semacam, “Betapa indahnya hidup ini!” dengan, “Kehidupan ini begitu buruk!”

Di dalam diri kita, ada suatu dimensi psikis yang disebut pikiran bawah sadar. Pikiran bawah sadar ini menampung begitu banyak pikiran yang pernah kita produksi, yang sering kita serap dan kita dengarkan, dari semenjak kita dilahirkan hingga hari ini. Semua pikiran itu mengendap, bahkan mengendap dengan sangat kuat, di pikiran bawah sadar tersebut.

Yang mengerikan, semua memori yang berhasil mengendap di pikiran bawah sadar itu akan menghasilkan realitas yang sama dalam kehidupan kita. Di sinilah, ada begitu banyak orang yang hidup dengan terjebak pada kesalahan pola pikirnya sendiri, yang dipengaruhi oleh apa pun yang telah ia serap, dengar, rasakan, pelajari, yakini.

Jika kita terlalu sering berpikir tentang kekurangan, dan pikiran kita terus diingatkan pada kekurangan, maka kehidupan kita pun akan terus bergelut dengan segala macam kekurangan. Sebaliknya, jika kita lebih sering berpikir tentang keberlimpahan, dan pikiran kita selalu diingatkan pada keberlimpahan, maka kehidupan kita pun akan menuju pada hal itu.

Ketika seseorang berpikir negatif, ia mengaktifkan dunia di sekeliling dirinya secara negatif, sehingga menarik hasil yang negatif pula kepada dirinya sendiri. Sebaliknya, ketika seseorang berpikir positif, ia mengaktifkan dunianya secara positif, dan menarik hasil yang positif pula kepada dirinya sendiri. Jadi, kalau mau dirumuskan, maka beginilah rumusnya; Pikiran Negatif = Hasil Negatif; Pikiran Positif = Hasil Positif.

Ini bukan kenyataan baru, karena sekian abad yang lampau, filsuf Plato sudah mengajarkan hal ini ketika dia meminta, “Kuasailah pikiranmu. Kau dapat melakukan apa pun yang kau kehendaki dengan pikiranmu.”

Pikiran manusia adalah sesuatu yang kuat sekaligus lemah. Ia kuat, karena pikiran mampu menghadirkan sesuatu yang sebelumnya tak ada menjadi realitas dan aktualitas. Namun ia juga lemah, karena pikiran terkadang mudah terpengaruh dan gampang dipengaruhi. Karenanya, adalah suatu tugas yang cukup berat bagi setiap kita untuk menjaga agar pikiran kita selalu berpikir positif, dan memikirkan hal-hal yang positif. Dan salah satu cara menjaga kejernihan dan kepositifan pikiran kita adalah dengan menjaga siapa yang akan banyak melewatkan waktu dengan kita.

Tulisan ini sama sekali bukan mengajarkan atau mengajak untuk pilah-pilih dalam berkawan. Saya hanya ingin menunjukkan betapa kuatnya pengaruh yang dihasilkan dari kedekatan dan kebersamaan kita dengan seseorang. Saya tidak ingin berpikiran negatif tentang orang lain, namun izinkanlah saya menyampaikan ilustrasi berikut ini.

Ada seekor katak tengah duduk santai di tepi sungai. Dia sedang bersenandung menikmati indahnya hidup ketika seekor kalajengking lewat di depannya, dan berkata, “Tuan Katak, aku ingin menyeberangi sungai, tapi aku tidak bisa berenang. Bisakah kau menyeberangkanku?”

Katak menjawab, “Tapi kau kalajengking. Kalajengking biasanya menyengat katak, kan?”

“Mengapa aku harus menyengatmu?” Kalajengking menanggapi, “aku hanya ingin menyeberang.”

“Baiklah,” ujar si katak. “Naiklah ke punggungku.”

Mereka pun kemudian menyeberangi sungai itu. Ketika sampai di tengah perjalanan, kalajengking itu akhirnya menyengat juga. Di tengah keterkejutan dan rasa sakit yang luar biasa, si katak bertanya heran, “Kenapa kau menyengatku? Kita berdua akan mati tenggelam!”

Katak itu mati dan tenggelam, sementara kalajengking yang tak bisa berenang pun langsung ikut tenggelam. Tapi dia masih sempat menjawab, “Karena aku kalajengking, maka aku menyengatmu!”

Dunia ini penuh dengan orang-orang yang berani dan siap tenggelam asal kita juga tenggelam. Mereka menyengat dengan kata-katanya. Mereka menggigit dengan ‘pengalaman-pengalaman hidupnya’. Mereka menghancurkan dengan pikiran-pikiran negatifnya. Karena itu, meskipun kadang kita bersama mereka, tetapi usahakan agar jangan sampai kita menggendong mereka.

Konsep Kebahagiaan



Dua puluh abad yang lampau, Epictetus di Romawi telah merumuskan salah satu konsep untuk hidup bahagia. “Hanya ada satu jalan menuju kebahagiaan,” kata Epictetus, “dan jalan itu tidak lain adalah membuang rasa sedih akan hal-hal yang di luar jangkauan kemampuan kita.”

Kehidupan ini sering kali menjadi begitu berat dan terasa sangat menekan, karena kita terbiasa menghabiskan energi hanya untuk bersedih atas hal-hal yang berada di luar jangkauan kita.

Banyak orang yang tidak bisa merasakan kebahagiaan karena hidupnya hari ini dibebani oleh masa lalu atau hari kemarin. Ada banyak orang yang masih saja mengingat-ingat kesalahannya di masa lalu yang tak bisa dibenahi lagi. Ada pula yang terus saja menangisi kegagalannya di hari kemarin meski kegagalan itu tak bisa lagi diperbaiki.

Orang-orang semacam ini mungkin perlu mendengar apa yang dikatakan Charles F. Kettering, seorang jenius penemu yang hebat, “Saya tidak berminat pada masa lalu. Saya hanya tertarik pada masa depan, karena di sanalah saya berharap untuk menghabiskan sisa hidup saya.”

Selalulah untuk berprinsip ‘Selesaikan hari ini dan putuskan’. Kita sudah mengerjakan apa yang dapat kita kerjakan hari ini. Beberapa kesalahan dan kekhilafan mungkin saja masuk ke dalamnya, tetapi lupakanlah semuanya itu sesegera mungkin. Esok adalah hari baru, mulailah dengan baik dan dengan cerah dan dengan semangat yang tinggi, hingga kita tak punya waktu untuk mengingat-ingat kegagalan yang kemarin. Hari ini bagus dan adil. Terlalu sayang jika kita memboroskannya hanya untuk menyesali waktu untuk hari-hari kemarin.

Raja George V memasang papan bertuliskan kata-kata peringatan pada dinding perpustakaannya di Istana Buckingham. Kata-kata yang tertulis di papan peringatan itu berbunyi, “Ajarilah aku untuk tidak merindukan bulan, atau menangisi susu yang telah tumpah”.

Betapa bijaksananya kata-kata itu. Itu adalah kata-kata yang mengungkapkan esensi dari tujuan hidup bahagia. Merindukan bulan adalah mengharapkan sesuatu yang tidak jelas, yakni hari esok, masa depan, yang wujudnya pun belum pernah kita lihat. Menangisi susu yang telah tumpah adalah menyesali hari-hari kemarin, masa lalu, yang sudah tidak dapat kita benahi lagi, karena untuk kembali ke satu detik yang lalu pun tak ada manusia yang bisa melakukannya.

Menghabiskan hari ini untuk merindukan bulan atau menangisi susu yang telah tumpah tentu membuat hari ini jadi tak bermakna apa-apa. Satu-satunya cara agar bisa menjadikan setiap hari yang kita lewati menjadi berharga sekaligus bermakna adalah menyadari, benar-benar menyadari, bahwa kita hidup di hari ini, dan berusaha sebisa-bisanya untuk mengisi serta menikmatinya.

Biarkanlah bulan tetap bersinar tanpa harus dirindukan, dan biarkanlah susu yang telah tumpah tanpa harus terus ditangisi.


Menunggu Hujan Reda

Menunggu hujan reda, di sini
Menunggu hati tak pernah pasti
Untuk setiap detik yang terlewat
Pada musim dan hari yang merayap

Bersamamu, aku pernah ada di situ
Menggenggam tanganmu, jemarimu
Menikmati binar mata, detak jantungku
Di bawah rinai hujan yang turun

Menunggu hujan reda, di sini
Aku teringat kembali kepadamu
Saat kau masih di dekatku, di nadiku
Dan ingin berteduh di sana selamanya

Di tempat sama, pada hujan yang sama
Menyaksikan awan gelap di langit senja
Aku merasa kembali mendengar tawamu
Bahkan masih merasakan genggamanmu

Pada hujan yang turun sore itu, pada langit
Pada bayang hari yang menjauh…
Aku mengingat berapa panjangnya waktu
Tapi rasanya baru kemarin kita berteduh

Menunggu hujan reda, di sini
Aku kembali mendengar suaramu, tawamu
Di antara nyanyi anak-anak berlarian
Gembira di bawah senandung langit

Menunggu hujan reda, di sini
Aku menatap rinai hujan sendiri…

Minggu, 13 Februari 2011

Untuk Aunt Tersayang



“…jadi, kamu masuk ke situ, tanpa peta, tanpa kepastian, hanya berdasar asumsi—dan keyakinan semu—bahwa semua akan baik-baik saja. Lalu, tiba-tiba suatu hari kamu mendapati semuanya tidak seperti yang kamu bayangkan atau bahkan yang kamu yakini. Apa analogi yang tepat untuk kondisi seperti itu?”

“Tebak semangka?”

“Hahaha… tebak semangka! Kita memang tidak pernah tahu, kan?”

“Tidak pernah tahu. Dan mungkin hal itu terjadi karena ketidaktahuan yang bergabung dengan keingintahuan…”

“Tepat seperti itu. Ketidaktahuan yang bergabung dengan keingintahuan—
itulah intinya. Tetapi karena itu tak jauh beda dengan permainan tebakan,
maka hasilnya sangat tak terprediksi. Yang jadi masalah, harga permainan ini
sangat mahal—oh, luar biasa mahal. Seperti yang sering kita dengar,
harganya tak sebanding dengan taruhannya.”

“Mungkin bahkan seharga kehidupan itu sendiri,
dan taruhannya adalah kematian.”

“Bagus sekali caramu menyatakannya.”

“Tapi, Aunt, kenapa orang-orang mau melakukannya?”

“Siapa yang tahu? Pelajaran yang mereka warisi, sistem nilai, kebudayaan,
keyakinan, afeksi, norma, ketidaktahuan… whatever! Seperti yang dulu
kamu tulis itu, tuangkan saja—dan mereka pun tertuang,
ke dalam gelas... atau yang lainnya.”

(a.u kepada h.m)


Dear Aunt,

Saat Aunt membaca surat ini, saya berharap Aunt dalam keadaan sehat, dan selalu dalam limpahan kasih Tuhan. Mungkin Aunt tersenyum karena mendapati saya menulis surat ini di sini, tetapi saya ingin dunia tahu bahwa saya menghormati dan mengasihi Aunt—untuk semua yang berlalu, dan untuk semua yang akan berlaku.

Saya sering mendengar, dan membaca, bahwa keyakinan akan semakin terteguhkan ketika menyaksikan pembuktian. Menyaksikan Aunt adalah menyaksikan pembuktian keyakinan saya, melihat bahwa paradigma hidup yang saya pegang teguh menemukan muara kepastiannya. Aunt telah memekarkan bunga layu di hati saya, menguatkan kerapuhan jalan hidup untuk sebuah pilihan.

Pada tebing-tebing sunyi—pada padang bayang kelabu.

Ada malam-malam penuh kegelisahan yang pernah saya lewati, saat saya menimbang, dan memikirkan, dan merenungkan, dan memikirkannya kembali.

Ini soal hidup, ini soal pilihan—dan saya menyadari bahwa siapa kita bergantung sepenuhnya pada pilihan yang kita ambil. Tetapi saya tetap saja ragu, dan tak yakin—bimbang dan penuh ketidakpastian. Itu adalah masa penuh kegelisahan yang pernah saya alami—sebentuk kegelisahan yang tetap saja terasakan hingga sekarang, hingga malam ini, hingga saya menulis surat ini.

Menuliskan kata-kata ini adalah membisikkan imaji tentang hati, tentang rindu, tentang tebing-tebing sunyi dan padang bayang kelabu. Membebaskan mata ini untuk melihat, untuk menyaksikan sesuatu yang terbentang… luas tak berbatas. Membayangkan saya duduk bersama Aunt, di larut malam atau di saat senja, dan berbincang tentang hidup, menertawakannya, menyanyikannya, merayakannya.

“Hidup adalah nyanyian angin di antara rahang dan taring serigala,” itu yang pernah saya katakan, tetapi Aunt menggelengkan kepala, dan berbisik, “Tidak, hidup adalah nyanyian angin di batas tembok.”

Di batas tembok itulah kita hidup, dan angin menghembuskan nyanyiannya. Pada apa pada siapa, pada mula yang tak bermula. Ada yang telah melangkah masuk, meninggalkan yang harus ditinggalkan dan menemukan yang harus ditemukan. Bintang jatuh. Nyanyian pelangi. Percik cahaya.

Ketika pertama kali saya menyadari kenyataan ini, saya tahu hidup saya tak akan pernah sama lagi. Akan ada yang saya tinggalkan, tetapi saya pun tahu bahwa sesuatu yang akan menjelang jauh lebih menakjubkan dari yang tertinggal di belakang—seperti menyongsong cahaya dari arah kegelapan, seperti pagi yang menjelang setelah hening sampai di puncak malam.

Selama bertahun-tahun saya merasakan kegelisahan ini, sendirian, nelangsa dalam perih kebingungan di malam-malam ngelangut… merasakan kerinduan kelam seperti merobek langit dengan suara sangkakala. Sendirian menyaksikan bintang jatuh, rembulan runtuh, dan cahaya di balik tembok. Selama bertahun-tahun saya menyimpannya sendiri, merasakan dunia yang semakin menjauh…

Pertemuan dengan Aunt adalah berkat tak terkatakan, suara sunyi yang saya rasakan, jawaban atas doa-doa tak terucap di hening malam. Untuk pertanyaan-pertanyaan tak terjawab, untuk teriakan-teriakan yang tak pernah terucap.

Kita berbicara dalam sunyi, sementara tembok menjauh, dan Aunt menggandeng tangan saya memasuki takdir yang telah lama saya rindukan. Ketika melangkah di sana, saya tahu tembok itu ada di belakang punggung saya. Tetapi berbeda dengan Aunt yang dapat melangkah dengan sepenuh keyakinan, saya berjalan dan melangkah dengan keraguan.

Saya tak pernah tahu sampai kapankah semua ini akan berlangsung. Setiap kali saya mulai kembali melangkah, jeritan-jeritan itu kembali terdengar, memekakkan telinga, menarik kembali langkah-langkah saya. Ini seperti jeritan dalam mimpi—terdengar memekakkan telinga, tetapi hanya saya yang mendengarnya.

Saat ini, saat saya menulis surat ini, saya sedang merindukan Aunt. Saya berharap bisa segera pulang, untuk kembali menjumpai Aunt, untuk kembali menyaksikan keteguhan atas keyakinan dan pilihan hati. Dan sekarang…

“Kelanjutannya rahasia,” itu yang biasa Aunt ucapkan. Jadi itu pula yang ingin saya katakan sekarang. Ini surat yang belum selesai, tetapi biarlah kelanjutannya menjadi rahasia saat ini. Nanti, setelah saya pulang dan mencium tangan Aunt, saya akan melanjutkan isi surat ini. Tidak lagi dalam tulisan, tetapi akan langsung saya katakan.

Terakhir, sebagai penutup surat ini, saya ingin mengutip Shakespeare dalam ‘A Midsummer Night’s Dream’, “Haruskah kubandingkan dirimu dengan hari-hari di musim panas? Kau penuh kasih dan ketabahan. Angin kencang mengguncang-guncang pucuk semi bulan Mei, lidah kemarau meranggas, semuanya begitu cepat. Kadang teramat panas mata langit terik menyengat.

“Larik-larik cahaya emasnya suram. Dan keindahan demi keindahan surut, oleh waktu, atau perubahan alam tak seimbang—tapi musim panasmu tak kan pudar, tak juga sirna keindahan yang kautunjukkan—kematian pun tak berani angkuh kepadamu yang kembara dalam genggamannya, di saat kau tumbuh di batas keabadian masa, selama orang-orang bisa menghela napas atau mata dengan melihat sepanjang perjalanan hidup, semua ini memberi kehidupan untukmu.”

Selamat merayakan kesunyian, Aunt.
Semoga selalu dalam kasih sayang Tuhan.

Dengan sepenuh kasih,



Flèur l’Epàc

Bunga-bunga tumbuh berseri—mawar putih
Di atas tanah yang dijanjikan bisikan bumi
Kepada putik, kelopak, tangkai yang melambai
Tangis hujan bersama langit yang merintih


Aku mendengar bisikan yang seharusnya tak kudengar, memahami rahasia yang seharusnya tak kupahami, melihat kenyataan yang seharusnya tak kulihat, memimpikan bayangan yang seharusnya tak kuimpikan. Dan esok paginya aku menemukan setangkai mawar di atas bantalku, masih berembun… seperti baru dipetik dari taman tanah perjanjian.

Pagi cemerlang, dengan hidup di atas gelombang. Kemudian aku mendengar perahu yang karam, jangkar hilang, dan sederet mimpi buruk sepanjang perjalanan. Ada yang tenggelam… atau hilang. Sebagian berpegangan, tetapi siapa pun tahu itu keikhlasan yang dipaksakan atau keterpaksaan yang diikhlaskan. Awan-awan bergerak sunyi di atas mereka.

Ini seperti coda—ekor puisi. Kau meletakkan sejumput kata di tengah-tengah bait, dan kemudian mendapati kata-kata yang kausisipkan ternyata menjadi akhir dari rangkaian birama. Kau tidak bisa melepaskannya lagi, karena kata-kata itu telah menjadi bagian dari puisi, hanya saja terletak di bait paling akhir. Dan di sana gelap, dingin—gelap, sepi dan dingin…

Ada waktunya ketika hari itu tiba. Terpusat. Rindu. Kebingungan. Gembira dan meradang, lalu terpusat dan rindu dan kebingungan dan gembira dan meradang. Saat ketika hidup dianggap usai, impian hilang, kesejatian hanya fatamorgana. Kau akan selamanya di sana, menatap hari-harimu yang berlalu, pergi dan berlalu, dan tiba-tiba kau mendapati dirimu bukan lagi dirimu.


Bunga-bunga tumbuh berseri—mawar putih
Di atas tanah yang dijanjikan bisikan bumi
Kepada putik, kelopak, tangkai yang melambai
Tangis hujan bersama langit yang merintih

Kekuatan Terbesar di Dunia (3)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Karenanya, manusia bisa memprogram pikiran mereka sendiri untuk membuat hidup menjadi hancur dan binasa, atau mekar dan bertumbuh. Manusia memiliki hak sepenuhnya untuk menggunakan pikiran mereka demi kehidupan yang baik atau yang buruk, yang positif atau negatif, yang menyedihkan atau menyenangkan. Satu-satunya jalan yang harus ditempuh sebelum bisa mengubah kehidupan yang ada di sekeliling kita adalah mengubah pikiran kita terlebih dulu.

Filsuf dan psikolog William James menyatakan, “Penemuan terbesar dari generasi saya adalah bahwa manusia dapat mengubah hidup mereka dengan jalan mengubah sikap pikiran mereka.”

Hal itu dilukiskan dengan sangat bagus oleh penyair WS. Rendra, saat ia menulis sebuah sajak yang menceritakan dua pemuda yang menghadapi sesuatu yang sama, namun reaksi yang dimunculkan dari hal itu sungguh jauh berbeda. Sajak itu berjudul Sajak Seonggok Jagung.

Isi sajak itu menceritakan dua orang pemuda yang sama-sama memiliki seonggok jagung di depan mereka, tetapi respon yang ditimbulkannya sangat berbeda.

Pemuda pertama membayangkan seonggok jagung itu dapat ditanam hingga menghasilkan buah-buah jagung yang mengisi ladangnya, dan ia kelak akan memanen hasilnya. Ia bahkan sudah membayangkan tungku-tungku menyala yang akan menjadikan jagung panenannya sebagai makanan yang siap untuk disantap, dan dapat menghidupi dirinya serta orang banyak.

Sementara pemuda kedua memandang jagung itu hanya sebagai seonggok jagung, tak lebih dari itu, dan dia meyakini tak akan bisa berbuat apa-apa dengan seonggok jagung tersebut.

Dua manusia sama-sama menghadapi seonggok jagung yang sama nilainya, tetapi mereka bereaksi secara berbeda. Dan, tentu, hasil yang akan mereka peroleh pun akan berbeda pula. Rendra memang tidak menyebutkan bagaimana kelanjutan dari kisah kedua pemuda tadi, tapi kita sudah bisa membayangkan bahwa pemuda pertama lebih memiliki kemungkinan untuk sukses dan bahagia daripada pemuda kedua. Apa yang membedakan kedua pemuda itu? Pikirannya!

Pemuda pertama berpikir positif, sehingga seonggok jagung yang tampak tanpa nilai bisa diwujudkannya menjadi bernilai. Sementara pemuda kedua berpikir negatif, yang memandang seonggok jagung hanya sebagai seonggok jagung, yang biar dibuang pun belum tentu ada orang mau memungutnya.

Kita, dalam kehidupan ini, juga sering kali menghadapi sesuatu yang tak jauh beda dengan yang dihadapi dua pemuda dalam sajak Rendra. Kita menghadapi banyak hal dalam hidup ini, dan reaksi kita pun berlainan sesuai isi pikiran kita. Ketika isi pikiran positif, kita bisa menjadikan hal itu menjadi berguna, bermanfaat, dan memberikan nilai untuk hidup kita. Sementara ketika isi pikiran negatif, kita pun membiarkan saja hal itu terbuang sia-sia, meski sebenarnya ada mutiara terpendam di dalamnya.

Kekuatan Terbesar di Dunia (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Di era modern sekarang, orang kemudian banyak yang mengumpamakan pikiran dengan komputer. Tetapi hasilnya sama saja dengan yang disimpulkan orang-orang di abad lampau.

Di dunia komputer ada istilah yang berupa singkatan, GIGO, garbage in, garbage out, atau sampah masuk, sampah keluar. Masukkan program yang salah ke dalam komputer, maka jawaban yang keluar pun akan salah pula. Programkan informasi yang benar ke dalam komputer, dan jawaban yang dimunculkan pun adalah jawaban yang benar.

Begitu pula dengan pikiran kita. Tanamkan informasi negatif, maka realitas yang dihasilkannya pun akan negatif. Tapi programkanlah pikiran yang positif, indah dan benar, maka hasil yang akan diberikannya pun tak jauh berbeda. Tak peduli dibandingkan dengan sepetak tanah kebun atau sebuah komputer paling modern sekalipun, pikiran hanya menghasilkan yang kita programkan ke dalamnya.

Bandingkan dengan ilustrasi berikut; kalau kau keluar dari rumah dengan pikiran marah, biasanya kau akan membanting pintu dengan kasar, merasa tanganmu seolah tengah menggenggam bara api, lalu kau memacu kendaraan dengan buru-buru. Kau akan merasa orang-orang yang berpapasan denganmu seolah tengah mengejekmu, dan kemarahanmu pun semakin sulit dipadamkan. Ketika menghadapi lubang di jalanan, kau akan menganggap lubang-lubang itu sebagai perusak kendaraanmu, dan kau pun mungkin bisa saja mencaci-makinya. Bahkan ketika menghadapi perempatan jalan raya dan lampu merah menyala, kau pun akan menganggap lampu pemberhentian itu hanya menghambat jalanmu. Dunia begitu gelap bahkan suram, dan kehidupan seakan penuh hal-hal menjengkelkan.

Tetapi suasana menjadi lain ketika kau keluar dari rumah dengan perasaan bahagia, karena akan bertandang ke rumah kekasih. Kau akan menutup pintu rumah dengan perlahan, seolah tanganmu tengah memegang sebuket bunga, dan kau tak ingin merusakkan keindahannya. Lalu kau akan menjalankan kendaraanmu dengan penuh perhatian, karena kau ingin selamat tanpa kurang suatu apa pun sampai bertemu kekasihmu.

Karenanya, ketika ada lubang-lubang di jalanan, kau hanya berusaha untuk menghindarinya, dan ketika lampu merah di perempatan menyala, kau justru menjadikan kesempatan itu sebagai saat jeda untuk bersenandung kecil. Kau pun bahkan merasa orang-orang yang berpapasan denganmu tengah tersenyum kepadamu. Dunia begitu indah bahkan damai, dan kehidupan pun seakan penuh hal-hal membahagiakan.

Apakah dunia yang berubah? Apakah realitas yang berganti?

Tidak. Yang berubah dan berganti hanyalah yang ada di dalam pikiran kita. Orang-orang bijak mengajarkan, “Pikiran adalah segalanya. Kita menjadi seperti yang kita pikirkan.” Karenanya, jalan untuk bisa mengubah dunia adalah dengan mengubah isi pikiran kita, cara untuk mengganti wujud realitas adalah mengganti isi pikiran kita. Dan... itu pulalah kekuatan terbesar yang kita miliki dalam hal membuat kehidupan sebagai surga atau neraka, berdasarkan bagaimana cara kita berpikir.

Saya ingin kembali mengutip James Allen, “Manusia dibuat rusak oleh dirinya sendiri; dalam gudang senjata pikiran dia menempa senjata untuk menghancurkan dirinya sendiri; dia juga membuat alat yang digunakan untuk membangun bagi dirinya rumah surgawi berupa rasa suka cita, kekuatan, dan kedamaian. Dengan pilihan yang tepat dan penerapan pikiran yang benar, manusia bisa meningkat ke kesempurnaan surgawi.”

Lanjut ke sini.

Kekuatan Terbesar di Dunia (1)

Berhati-hatilah dengan pikiranmu, sebab ia akan menjadi kata-kata.
Berhati-hatilah dengan kata-katamu, sebab ia akan menjadi kebiasaan.
Berhati-hatilah dengan kebiasaanmu, sebab ia akan menjadi karakter.
Berhati-hatilah dengan karaktermu, sebab ia akan menentukan nasibmu.
Frank Outlaw


Apa kekuatan terbesar yang ada dalam diri setiap manusia? Atau, lebih tepat lagi, apa kekuatan terhebat yang dimiliki setiap manusia?

Saya mempercayai bahwa pikiran adalah salah satu unsur paling hebat yang dimiliki setiap manusia—kekuatan terbesar di dunia. Saya juga sangat meyakini bahwa pikiranlah yang membentuk kehidupan kita, dan bukan kehidupan kita yang membentuk pikiran kita. Orang yang sedang jatuh cinta akan tahu kenyataan itu ketika ia merasakan dunia begitu indah, dan kehidupan seolah selalu tersenyum kepadanya. Sementara orang yang frustrasi dan patah hati akan memandang dunia begitu kejam, dan kehidupan seolah mengejek dirinya.

Apakah kehidupan yang berbeda? Apakah realitas yang memang berubah? Saya lebih meyakini bahwa sebenarnya pikiran kitalah yang berubah. Bumi terus berputar semenjak pertama kali penciptaannya hingga hari ini, dan kehidupan pun tetap memberikan pagi saat matahari menyingsing, dan menyuguhkan senja saat matahari tenggelam. Realitas kehidupan tidak berubah, tetapi pikiran kitalah yang berubah. Karenanya, kehidupan hanyalah hasil dari pikiran yang ada dalam diri kita; kehidupan hanya mengikuti yang ada di dalam pikiran kita.

Marcus Aurelius, filsuf Kekaisaran Roma, menyatakan, “Kehidupanmu adalah seperti yang dibuat oleh pikiranmu.” Lebih jauh, bahkan John Milton mengungkapkan kekuatan pikiran itu dalam bahasanya yang menarik. Milton menulis, “Pikiran mempunyai tempatnya sendiri, dan pikiran itu sendiri bisa membuat surga dari neraka, atau neraka dari surga.”

Pikiran manusia adalah ciptaan paling hebat di dunia, dan dengan pikiran itu pula kita bisa menjadikan dunia sebagai neraka tempat berkumpulnya segala macam kemurkaan, kemarahan, kebencian, kesedihan dan penderitaan, atau juga menjadikan dunia ini sebagai surga tempat bersatunya segala macam keindahan dan kedamaian.

Kita memiliki dua pilihan; menggunakan pikiran—kekuatan terbesar kita—untuk menjadikan hidup sebagai surga, atau justru menjadikannya sebagai neraka. Tetapi bagaimana menjadikan pikiran bekerja untuk diri kita dan kehidupan kita? Bagaimana menggunakan pikiran agar selaras dengan tujuan hidup kita, yakni tercapainya kesuksesan dan kebahagiaan?

Selama berabad-abad lamanya, banyak orang membandingkan pikiran manusia dengan kebun. Filsuf Seneca menyatakan bahwa seumpama tanah, tidak peduli sesubur apa pun, tanah tidak bisa produktif kalau tidak digarap, demikian pula pikiran kita. Sir Joshua Reynolds menyebutkan bahwa pikiran kita hanyalah tanah tandus, yang akan segera kehabisan kandungan gizinya dan menjadi tidak produktif kecuali terus-menerus dipupuk dengan gagasan baru. Sementara James Allen menulis bahwa pikiran manusia seperti kebun yang bisa digarap dengan baik atau dibiarkan menjadi liar.

Tetapi apakah digarap atau dilalaikan, pikiran akan tetap berproduksi. Kalau tidak ada benih yang berguna untuk ditanam, maka akan banyak benih rumput liar tak berguna yang akan tumbuh di sana, dan hasilnya adalah tanaman liar, tak bermanfaat, sekaligus merugikan dan tidak murni. Dengan lain perkataan, apa saja yang kita biarkan memasuki pikiran kita selalu akan menghasilkan buah, menghadirkan kenyataan sebagaimana yang ada di dalam pikiran. Kebun akan menumbuhkan rumput bila tanahnya tak digarap, sebagaimana kebun pun akan menumbuhkan buah-buah segar bila kita mau menanamkan benihnya.

Lanjut ke sini.

Jumat, 11 Februari 2011

Larut Malam, Hujan, Kelaparan, Sendirian, Meriang, Kelayapan Cari Makan

Sabtu lalu saya benar-benar khusyuk bekerja di depan komputer, karena tanggal deadline sudah semakin dekat. Secara fisik, sebenarnya saya sedang tidak enak badan, karena hujan yang terus turun hari-hari ini. Well, tubuh saya memang rentan dengan cuaca. Kalau cuaca lagi dingin banget, atau lagi panas banget, badan saya pasti terpengaruh.

Dan itulah yang sedang saya alami. Selama berhari-hari, hujan bisa dibilang terus turun tanpa henti. Saya sih tidak terlalu peduli, karena jarang keluar rumah. Tetapi udara yang dingin itu menjadikan kepala saya berat, jidat terasa panas, badan jadi meriang, dan selama berhari-hari itu pula saya menjalani aktivitas sambil merasakan badan yang tidak fit.

Sebenarnya, dalam keadaan kurang enak badan seperti itu, kegiatan yang paling menyenangkan adalah duduk menyandar di atas springbed, sambil menghirup teh hangat dan menikmati rokok, serta ditemani sebuah buku bagus. Itu kegiatan favorit kalau saya lagi kurang enak badan. Tapi kegiatan favorit itu terpaksa tidak bisa saya lakukan, karena tanggal deadline sudah menjerit-jerit.

Jadi begitulah, meski merasakan badan yang kurang enak, tetap saja saya harus bekerja di depan komputer, demi untuk sesuap nasi. *mendramatisir*

Nah, pas Sabtu lalu saya benar-benar khusyuk bekerja, sementara di luar turun hujan nyaris tanpa henti. Kalau sudah khusyuk bekerja seperti itu, saya sering lupa hal lain—lupa waktu, lupa makan, bahkan lupa kalau sedang kurang enak badan. Sampai tak terasa, waktu ternyata sudah malam. Saya baru sadar kalau waktu sudah larut malam ketika duduk menyandar untuk melepas lelah sambil menyulut rokok.

Ya ampun, sudah jam sebelas!

Tadi siang, saya mulai bekerja sehabis bangun tidur, jam sepuluh pagi. Sejak bangun tidur, terus tanpa henti, duduk di depan komputer… dan sekarang sudah jam sebelas malam! Dan tiba-tiba saya merasa perut sangat kelaparan. Tentu saja itu wajar, karena sedari siang saya belum makan apa pun.

Biasanya, sehabis maghrib saya keluar untuk cari makan. Tapi tadi saya malas keluar karena hujan sangat lebat, dan saya juga lupa pada nasi selama asyik bekerja. Tapi sekarang perut sudah menyanyikan lagu keroncong, dan sepertinya saya harus segera makan.

Saya menengok ke luar rumah lewat jendela, dan di luar hujan masih turun cukup lebat. Kalau mau menuruti keinginan, saya tidak ingin keluar sama sekali! Tapi perut sepertinya tidak mau diajak kompromi. Sementara di rumah tidak ada persediaan makanan apa pun yang bisa digunakan untuk mengganjal perut.

Keluar… nggak… keluar… nggak… Saya bimbang untuk keluar buat cari makan, atau tetap bertahan karena malas keluar rumah. Tapi, aduh, perut semakin keroncongan! Dan seiring dengan detik jam, saya makin merasa perut semakin kelaparan. Jika bertahan tidak makan, saya khawatir kalau-kalau saya pingsan atau sampai… mati kelaparan!

Well, sepertinya memang harus keluar, putus saya akhirnya, meski dengan hati tidak ikhlas. Bagaimana bisa “ikhlas”? Wong waktu itu sudah larut malam, hujan turun cukup lebat, dan saya sedang tidak enak badan!

Jadi begitulah, dengan perasaan cukup tersiksa, saya pun keluar rumah, menembus hujan, untuk mencari makan. Satu-satunya tempat yang ada dalam pikiran waktu itu hanyalah kafe yang biasa saya datangi. Biasanya kafe penuh pengunjung di malam Minggu begini, tapi saya tak peduli. Saya tentunya tak bisa keluyuran ke tempat-tempat lain dulu di tengah hujan seperti ini.

Puji Tuhan, saya sampai di kafe itu dengan selamat, meski sedikit menggigil ketika berdiri di depan pintunya. Udara dingin menggigit, dan saya melihat ruangan kafe memang penuh.

“Ah, Mas Hoeda, selamat datang,” sambut pelayan kafe dengan senyum ramahnya. Para pelayan di kafe ini—entah bagaimana caranya—bisa mengetahui nama saya.

“Sepertinya ramai pengunjung. Masih ada kursi kosong?”

“Selalu ada kursi kosong untuk Anda,” sahutnya masih dengan ramah. “Mari.”

Dan saya pun mengikutinya. Kalau pun ternyata kursi kosong itu ada di dapur, saya tak peduli, pikir saya waktu itu. Yang penting saya bisa makan!

Tapi ternyata pelayan kafe tidak membawa saya ke dapur, tetapi ke sebuah sudut kafe yang ada di belakang. Bagian belakang ini memang jarang digunakan para tamu, jadi fungsinya memang seperti tempat cadangan darurat. Di situ tampak seorang cewek yang sedang duduk di depan laptop, sepertinya sedang asyik surfing dengan memanfaatkan fasilitas hotspot di sana.

“Silakan,” kata si pelayan kafe menunjukkan kursi. Dan setelah saya duduk dengan nyaman, dia pun menawarkan, “Menu seperti biasa?”

“Ya.” Saya tidak suka coba-coba atau gonta-ganti menu masakan, jadi pesanan favorit saya sudah dihafal para pelayan di kafe ini.

Setelah pelayan itu pergi, saya mengeluarkan rokok, untuk sedikit menghangatkan bibir. Cewek di depan laptop tadi mengangkat mukanya, dan sekilas melihat ke arah saya.

Nggak keberatan aku merokok?” sapa saya basa-basi. Padahal, kalau pun dia keberatan, saya tetap akan merokok!

Tapi cewek itu hanya mengangkat mukanya kembali, dan kali ini sambil tersenyum sekilas. Senyum yang manis di wajah yang cantik.

Saya pun menyulut rokok. “Lagi sibuk?” lagi-lagi saya basa-basi—kali ini karena ingin mendengar suaranya—karena saya tidak yakin cewek ini bisa bicara.

“Uh, nggak. Cuma update status, sambil baca-baca blog,” jawabnya.

Jadi dia bisa bicara, pikir saya dengan idiot. Cewek ini mengenakan t-shirt hitam yang ditutup jaket cokelat, rambutnya diikat ekor kuda—tipe cewek yang tidak jaim dan tidak suka ribet. Selama dia asyik di depan layar laptopnya, saya juga melihat dia berkali-kali senyum-senyum sendiri.

Akhirnya masakan pesanan saya pun datang. Lengkap. Dan tampak luar biasa. Sebenarnya sih biasa-biasa saja, tapi saya menatapnya dari mata yang sedang kelaparan.

Setelah semua menu tersaji di atas meja, dan pelayan sudah berlalu, saya pun segera pasang kuda-kuda untuk ‘memberantas’ semua yang ada. Tapi kemudian cewek-di-depan-laptop tadi nyeletuk sambil tersenyum menyaksikan semua hidangan di meja, “Sepertinya kamu lagi kelaparan?”

“Ya, kurang lebih,” sahut saya. “Mau nemenin makan?”

“Thanks, aku udah makan tadi.” Tapi mau tak mau matanya tetap tergoda dengan semua sajian yang ada di atas meja. Jadi dia curi-curi pandang ke arah piring yang menyajikan sesuatu yang mungkin masih asing di matanya.

“Apa ini?” tanyanya kemudian, sambil menyentuh piring itu.

“Peyek daun singkong.”

“Peyek daun singkong?” Dia tampak keheranan, karena mungkin cowok abad 21 tidak seharusnya memakan peyek daun singkong.

Saya sudah mulai makan. “Itu enak. Coba aja.”

Dan dia mencobanya. Mengambil sedikit peyek itu, dan kemudian mengunyahnya. Saya suka cewek yang tidak sok jaim seperti ini. Dan rupanya dia juga menyukai peyek daun singkong, karena setelah mencoba sedikit, dia mengambil lagi.

“Ya, ini enak,” ujarnya kemudian sambil senyum-senyum.

Dan dari situlah kemudian kami bercakap-cakap sambil saya terus makan.

Itu acara makan malam yang luar biasa bagi saya. Pertama, karena saya dalam keadaan kelaparan. Kedua, karena di luar sedang hujan, sementara saya ada di ruangan yang hangat dengan makanan favorit. Ketiga, karena saya merasa sedang makan dengan ditemani seorang cewek.

Meski saya tidak tahu siapa dia, dan dia tidak tahu siapa saya, tetapi pertemuan di ruangan itu seperti ‘menyatukan’ kami dalam acara makan bersama. Kapan kali terakhir saya makan dengan seorang perempuan? Sepertinya sudah lama sekali….

Setelah usai makan dan saya duduk menyandar sambil menikmati rokok, cewek tadi bertanya, “Kamu punya Facebook?”

“Kalau nggak salah, Facebook dipunyai Mark Zuckerberg?”

Dia tertawa. “Hehe, maksudku, kamu punya akun di Facebook?”

“Nggak.”

“Twitter?”

“Nggak.”

“Friendster?”

“Nggak.”

Dia menatap saya, dan mengajukan pertanyaan yang aneh, “Jadi, kamu ini orang apa?”

Saya tertawa mendengar pertanyaan itu. “Yeah, aku orang yang kelaparan di larut malam, dan terpaksa menembus hujan untuk bisa makan.”

“Nasibmu sangat malang,” ujarnya sambil tertawa. “Jadi, siapa namamu?”

“Hoeda. Kamu…?”

“Eliana. Hei, namamu mirip penulis favoritku.”

Saya tersenyum kikuk. “Really?”

“Ya.” Dan setelah itu dia berkata sambil memutar laptopnya. “Coba lihat. Namanya mirip namamu, kan?”

Saya melihat ke layar laptopnya, dan menyaksikan halaman blog saya terpampang di sana. Jadi rupanya sejak tadi dia sedang membaca blog ini.

Tiba-tiba saya merasa membeku—bukan oleh dingin malam, tetapi oleh suatu perasaan yang tak pernah dapat saya pahami.

....
....

Di luar kafe, hujan tampak mulai berhenti.


Update:
Sekarang saya punya akun Twitter, dengan nama @noffret

Mengemas, Merapikan Hidup



Pernahkah kita mengemas koper, dan memperhatikan masih berapa banyak lagi yang bisa kita muat ke dalamnya, kalau saja kita rapikan dan atur pakaian-pakaian itu daripada asal memasukkannya ke dalam koper?

Sungguh mengejutkan. Pakaian-pakaian yang tadinya berserakan dan rasanya sudah tak bisa muat lagi, kini bisa masuk secara rapi dalam koper itu.

Begitu juga dengan hidup ini.

Semakin baik kita menata diri, maka semakin banyak pula yang akan bisa kita ‘kemas’ dalam hidup. Penataan diri ini sering kali berhubungan dengan waktu dan diri sendiri. Semakin baik kita me-manage waktu yang kita miliki, dan semakin mampu kita mengendalikan diri, maka semakin banyak pula yang bisa kita lakukan dengannya.

Dengan mengemas hidup secara lebih baik, maka kita pun akan lebih banyak memiliki waktu untuk diri sendiri, lebih banyak waktu untuk keluarga, lebih banyak waktu untuk pekerjaan, lebih banyak waktu untuk lingkungan, lebih banyak waktu untuk hal-hal utama dalam hidup.


Hukum Surga Pertama



Keteraturan adalah Hukum Surga yang pertama.
(Alexander Pope)

Dunia ini teratur. Sekacau-balau apa pun yang terjadi di dalamnya, semuanya berjalan secara teratur, dan dengan teratur. Keteraturan adalah salah satu prinsip dan hukum kehidupan, karena dengan keteraturan inilah Tuhan menciptakan dunia dan seisinya.

Ada orang-orang tertentu yang mengatakan bahwa dunia ini terjadi dengan sendirinya. Mereka mengatakan bahwa dunia ini, bumi ini, adalah hasil dari suatu ledakan besar yang kemudian membentuk kehidupan. Ini sama saja dengan menafikan kehadiran dan penciptaan Tuhan—seolah-olah dunia lahir dengan ketidakteraturan.

Saya sering kali membuka kamus untuk keperluan penulisan buku-buku saya. Setiap kali membuka kamus, saya sering merasa kagum dengan pola penyusunannya yang begitu rapi, teratur, alfabetis, runtut dan... sekali lagi, sangat teratur. Tetapi tentu kamus yang begitu teratur itu tidak tercipta dengan sendirinya.

Karenanya, mengatakan bahwa tidak ada sumber kecerdasan dan kekuatan yang kita sebut sebagai Tuhan, adalah seperti mengatakan bahwa buku kamus adalah hasil ledakan dalam suatu percetakan, yang semua isinya terkumpul secara sempurna dan seimbang dengan sendirinya.

Dunia ini teratur—dan hidup diatur dengan Hukum Keteraturan—sekacau apa pun tampaknya.

Karena Tuhan Maha Teratur dan dunia yang diberikan-Nya ini diciptakan dengan Hukum Keteraturan, maka satu-satunya jalan menyelaraskan diri dengan kehidupan dan Tuhan adalah hidup dengan cara yang sama teraturnya.


The Behind of Cast



Hanya (…….) sedikit (…….) kau (…….) (…….) hidupmu.


Adegan 1

“Kita perlu membicarakan ini—maksudku, aku perlu membicarakan soal ini. Masalahnya, aku hanya… yeah, aku hanya…”

Adegan 2

“Dia bilang malam yang akan datang itu mereka akan tertukar. Uh, maksudku, akan ada pertukaran. Kau tahu, pertukaran.”

Adegan 3

“Ini tidak masuk akal! Analoginya sama dengan hal itu, kan? Kau datang, dan beberapa orang ada di sana, lalu… well, terjadilah.”

Adegan 4

“Sepertinya aku tidak akan melakukan hal semacam itu. Maksudku, aku merasa berat untuk melakukannya. Ini sangat absurd, menurutku.”

Adegan 5

“Padahal sudah kuduga kalau akan seperti itu hasil akhirnya. Di mana pun permainan poker selalu sama. Kau menang di awalnya, lalu bangkrut di akhirnya.”

Adegan 6

“Dia menyebut suatu istilah baru yang tidak kupahami. ‘Menggedo’, katanya. Apakah kau pernah mendengar istilah aneh semacam itu? Nah, itulah awal mulanya!”

Adegan 7

“Oh, bloody hell, kaupikir memang begitu? Jangan salah sangka, mereka akan mengubahmu hingga sama seperti mereka—itulah misinya!”

Adegan 8

“Tiga? Dan sekarang kita bisa melihat estimasinya. Coba lihat, berapa angka tertinggi dan terendahnya. Belum lama, aku malah mendengar angka lima puluh.”

Adegan 9

“Wah, tidak tahu, yang jelas memang semuanya berubah setelah kejadian itu. Yeah, damn, keaslian mereka mulai keluar dari dasar neraka.”

Adegan 0

“Seharusnya tidak seperti ini… Aku tak pernah tahu kalau akhirnya akan seperti ini… Dimana hidupku? Siapakah sebenarnya aku…?”

(…….) tak ubahnya (…….) permainan (…….) semangka.


Sabtu, 05 Februari 2011

Anri Suzuki, Asia Carrera, Maria Ozawa (3)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Seperti yang sudah dibayangkannya, Maria Ozawa mengangguk. Dan sejak itu dia menjadi fotomodel. Tetapi itu tidak cukup bagi Maria Ozawa. Dia menginginkan yang lebih hebat. Jadi, ketika tawaran main film datang kepadanya, Maria Ozawa pun tak punya alasan untuk menolak.

“Kalau kau ingin cepat terkenal,” ujar manajernya, “kau bisa membintangi film hardcore.”

“Hardcore…?” Maria Ozawa menajamkan pendengarannya.

“Yeah—hardcore. Itu jalan tercepat menuju popularitas. Selain itu, bayaranmu juga akan naik berkali lipat. Kalau mau membintangi film ini, kau akan mendapatkan 250.000 yen. Hardcore, hardcash.”

Maria Ozawa membayangkan, dengan uang sebanyak itu dia akan bisa bertamasya ke Amerika seperti yang diimpikannya. Tanpa sadar dia pun bertanya, “So, apa yang harus kulakukan dalam film itu?”

“Mudah saja,” jawab manajernya. “Kau hanya perlu buka baju, dan… yeah, kau tahu sendiri.”

Maria Ozawa tahu apa yang harus dilakukannya. Dan syuting film itu pun dimulai. Film itu berjudul “Miyabi”—sebuah film untuk bioskop, tetapi berkatagori XXX. Film itu menceritakan perempuan bernama Miyabi, sosok lembut nan sederhana, yang menjadi korban perkosaan liar. Karena berkatagori tripel X, maka adegan perkosaan dalam film itu pun dibuat “sesuai aslinya”—bukan hanya permainan kamera.

Film itu mencapai sukses besar, dan Maria Ozawa langsung menjadi buah bibir sebagai artis pendatang baru paling cantik sekaligus paling binal. Dan karena film itu pulalah kemudian Maria Ozawa mulai terkenal dengan sebutan “Miyabi”, hingga bocah-bocah di pelosok dunia menyangka namanya “Maria Ozawa Miyabi”.

Gara-gara film itu pula, orangtua Maria Ozawa shock—mereka tidak menyangka kalau anak gadisnya yang “kinyis-kinyis” itu asyik telanjang di layar bioskop, dan ditonton ribuan orang di Jepang. Mereka marah, dan meminta agar putri mereka kembali “ke jalan yang benar”, dan menjadi anak baik-baik seperti semula. “Hebat”nya, Maria Ozawa menolak—dia tetap akan main film berkatagori tripel X.

Karena pertengkaran itu, dan karena Maria Ozawa tak mau menuruti nasihat orangtuanya, dia pun diusir dari rumah—dan semenjak itu dia tak diakui lagi sebagai anak oleh orangtuanya. Tapi Maria Ozawa tak peduli. Dia pergi dari rumahnya, dan menyewa sebuah apartemen mahal. Dia tak perlu merisaukan hidupnya lagi—uang akan segera mengalir kepadanya.

Seperti yang sudah diduganya, tawaran film membanjir untuk Maria Ozawa sejak suksesnya film “Miyabi”. Ratingnya naik. Honornya naik. Dan katagori filmnya pun ikut naik. Kali ini, Maria Ozawa telah bertekad untuk “total” bermain film—dan selanjutnya adalah sejarah. Ratusan film kemudian dibintanginya, jutaan penonton telah menyaksikan aksinya, dan dia pun mengumpulkan uang jutaan dolar dari profesinya.

Hari ini, nama Maria Ozawa sudah menjadi legenda hidup dalam industri film bokep dunia.

Jadi, fellas, kita kembali ke topik awal—mengapa mereka menjadi bintang film bokep? Mengapa Asia Carrera yang berotak cerdas dan memiliki gelar doktor itu menjadi bintang bokep? Mengapa Anri Suzuki yang baik hati dan tidak sombong itu menjadi bintang bokep? Mengapa Maria Ozawa yang sangat cantik dan seharusnya menjadi “wanita salikhah” itu menjadi bintang bokep…?

Endapkan sejenak pikiranmu, dan coba terka… apa yang menggerakkan mereka?

Uang…? Sepertinya tidak. Jika memang uang yang menjadi tujuan ketiga cewek di atas, kita sama-sama sepakat bahwa mereka akan dapat memperoleh uang banyak tanpa harus menjadi bintang film bokep. Bagi cewek seperti mereka, mendapatkan suami milyuner bukan urusan sulit.

Popularitas…? Sepertinya juga tidak. Jika memang mereka menginginkan popularitas, terlalu banyak jalan lain yang dapat ditempuh. Jangan lupa, mereka cewek-cewek cantik yang punya otak. Jika cewek cantik yang tak punya otak saja bisa terkenal, apalagi cewek cantik yang juga ditunjang otak seperti mereka?

Seks…? Ini jawaban naif—karena jika memang seks yang mereka harapkan, tentunya mereka tidak perlu repot-repot berakting dalam film bokep. Kalau mereka mau, hampir bisa dipastikan antriannya akan melebihi antrian tiket di stasiun menjelang lebaran.

Jadi, mengapa mereka menjadi bintang film bokep?

Di sinilah titik penting hidup kita, kawan-kawan. Karena di sinilah batu ujian terbesar yang selalu dihadapi setiap kita, sesuatu yang menjadi hak setiap makhluk hidup bernama manusia. “Pilihan”—inilah yang menggerakkan mereka semua, juga kita semua.

Jadi, Anri Suzuki, Asia Carrera, dan Maria Ozawa, menjadi bintang film bokep, karena… mereka memang memilihnya!

Mereka memilih menjadi bintang film bokep—karena mereka memang memiliki hak untuk memilih, sebagaimana manusia lainnya. Tak peduli secantik apa pun Maria Ozawa, tak peduli sebaik apa pun Anri Suzuki, dan tak peduli secerdas apa pun Asia Carrera, mereka memilih menjadi bintang film bokep. Itu jalan yang memang dipilihnya—terlepas apa dan bagaimana reaksi atau sistem nilai yang ditimbulkannya.

Karena mereka “memilih”, maka mereka pun “menjadi”.

So, inilah hak terbesar dalam hidup kita—yakni hak untuk memilih. Hidup adalah soal pilihan, dan hidup seseorang selalu dinilai dan ditentukan dari pilihan-pilihannya. Siapa diri kita adalah apa yang kita pilih, seperti apa hidup kita tergantung bagaimana pilihan kita, dan sampai di mana tempat kita juga ditentukan oleh pilihan kita.

Karenanya, hati-hati dengan “pilihanmu”, karena pilihan itu akan “menjadikanmu”.

Anri Suzuki, Asia Carrera, Maria Ozawa (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Yang paling penting dicatat menyangkut Asia Carrera adalah fakta keberadaannya juga mematahkan mitos yang waktu itu telah berlaku “umum”, bahwa wanita cantik memiliki otak udang, bahwa cewek seksi lebih mengandalkan tubuhnya dibanding otaknya. Asia Carrera mematahkan mitos itu. Dia memiliki gelar doktor—dia lulusan S3 dengan disertasi yang lumayan berat, mengenai filsafat humaniora.

Secara otak, Asia Carrera adalah perempuan cerdas—terbukti disertasinya diterima dan disahkan, serta menjadi bagian dari kekayaan ilmu pengetahuan yang dipelajari banyak orang. Begitu pula Anri Suzuki. Mungkin, secara nurani, dia wanita baik hati—terbukti dia ingin melakukan sesuatu yang ia rasa dapat dijadikan sebagai “penebus dosa” leluhurnya—terlepas bagaimana cara dia melakukannya.

Nah, sampai di sini, pertanyaan yang mungkin muncul dalam kepala kita adalah, “Kalau memang Asia Carrera secerdas itu, kalau memang Anri Suzuki sebaik itu, lalu mengapa mereka menjadi bintang film porno?”

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita bisa membuka celana, eh, membuka kisah, tentang Maria Ozawa.

Siapa, dan bagaimana asal mulanya, sampai Maria Ozawa yang sangat cantik itu bisa menjadi bintang film bokep? Dalam tataran pikiran yang “umum”, mungkin kita bisa berpikir bahwa cewek secantik Maria Ozawa akan dapat memiliki apa pun yang diinginkannya tanpa harus menjadi bintang film bokep. Kawin saja dengan konglomerat—dan dunia sudah ada di telapak tangannya.

Jadi, mengapa Maria Ozawa sampai menjadi bintang film bokep?

Sebenarnya, Maria Ozawa adalah anak dari sebuah keluarga sederhana yang baik. Dia lahir pada 8 Januari 1986 di Hokaido, Jepang. Seperti anak muda pada umumnya, Maria Ozawa juga memiliki impian-impian setinggi langit. Dia ingin kuliah di Amerika, jalan-jalan ke luar negeri, menjadi orang terkenal, memiliki dunia, bertemu pangeran tampan…

Waktu itu Maria Ozawa masih SMA. Dan dia masih berseragam sekolah ketika suatu siang berjalan sendirian memasuki sebuah mall di dekat stasiun Ikebukuro, Jepang. Rencananya, dia ingin membeli suatu hadiah buat seorang temannya yang akan berulang tahun. Jadi dia melangkah sendirian di dalam mall itu, sambil matanya mencari-cari sesuatu yang sekiranya dapat ia jadikan kado untuk teman sekelasnya.

Dan di saat itulah sesuatu yang akan mengubah hidupnya mulai terjadi.

Ketika keluar dari lift, dan kakinya baru menapak lantai paling atas mall itu, Maria Ozawa melihat di salah satu sudut ruangan sedang ada acara pemotretan. Tampak dua perempuan cantik sedang bergaya di depan kamera, sedang dua fotografer tampan sibuk mengabadikan pose-pose mereka dengan kameranya.

Didorong naluri, Maria Ozawa mendekat. Dia tahu dirinya tidak kalah cantik dengan dua perempuan fotomodel yang sedang bergaya itu. Lebih dari itu, dia pun tahu bahwa pakaian kedua fotomodel itu “salah kostum”. Sebagai perempuan cantik—yang sadar dirinya cantik—Maria Ozawa tahu dia pun bisa menjadi fotomodel seperti mereka.

Dan itulah yang kemudian terjadi.

Ketika sesi pemotretan itu selesai, seorang fotografer di sana melihat Maria Ozawa, dan langsung menyapa, “Hei, kau cantik sekali! Kau mau jadi modelku?”

Lanjut ke sini.

Anri Suzuki, Asia Carrera, Maria Ozawa (1)

Kita berusaha menghindari membuat pilihan-pilihan dengan tidak
melakukan apa pun, tapi itu pun sesungguhnya suatu pilihan.
Gary Collins


Kita mungkin sudah tak asing dengan nama Maria Ozawa, bintang film porno yang namanya sudah menjadi semacam legenda. Nah, bagaimana dengan Anri Suzuki? Kenal dengan nama ini?

Di Jepang, Anri Suzuki disejajarkan dengan Maria Ozawa, sebagai sesama bintang bokep papan atas. Seperti juga Maria Ozawa, Anri Suzuki memiliki wajah yang imut dan lucu. Usia mereka juga tak jauh beda.

So, ada apa dengan Mbak Anri Suzuki?

Pada saat ini, Anri Suzuki sedang kuliah S2 dengan mengambil studi ilmu Sejarah. Seperti halnya orang lain yang akan segera lulus dari kuliah S2-nya, Anri Suzuki juga sedang sibuk menggarap tesis masternya. Dia menulis sebuah tesis, dengan judul “The History of the Japanese Invasion into China”.

Untuk keperluan penulisan tesisnya itu, Anri Suzuki melakukan riset yang terbilang cukup berat. Di dalam tesisnya, dia menguraikan topik sejarah di abad 20 tentang kekejaman tentara Jepang di Cina. Seperti yang kita tahu, invasi Jepang atas Cina menjadi invasi paling terkenal dalam sejarah, karena menciptakan tragedi yang menewaskan 300.000 rakyat Cina dalam pembantaian di Nanking.

Ketika melakukan riset dan penelitian untuk menulis tesisnya tersebut, Anri Suzuki mendapatkan fakta bahwa Jepang berkuasa di Cina antara kurun waktu 1937-1945. Selama kurun waktu tersebut, Jepang tidak hanya menciptakan pembunuhan massal atas rakyat Cina, tetapi juga perkosaan massal. Dan, hal terakhir itulah yang kemudian mengusik nurani Anri Suzuki.

Sebagai warga Jepang, Anri Suzuki merasa telah ikut berdosa atas perbuatan yang telah dilakukan leluhurnya kepada rakyat Cina, meski itu telah terjadi berpuluh tahun yang lalu—jauh sebelum dirinya dilahirkan. Karena “perasaan ikut berdosa” itu pula, Anri Suzuki kemudian bertekad untuk menebus dosa-dosa leluhurnya.

Lalu bagaimana cara dia menebus dosa leluhurnya itu? Ketika Anri Suzuki mulai menyatakan tekadnya dalam jumpa pers, para wartawan pun menanyakan hal itu, “Miss Suzuki, apa yang akan Anda lakukan untuk menebus dosa leluhur Anda terhadap rakyat Cina?”

Dengan wajah serius bak intelek sejati, Anri Suzuki menjawab, “Karena saya adalah bintang film porno, dan keahlian saya yang paling menonjol adalah memuaskan laki-laki, maka saya akan memberikan hal itu kepada para mahasiswa Cina yang saat ini sedang kuliah di Jepang.”

Sampai di sini, pikiran saya jadi “sakaw”. Belum jelas apakah “niat mulia” Anri Suzuki itu terlaksana atau tidak, tapi yang jelas saya langsung membayangkan yang “tidak-tidak”. Jangan lupa, Jepang melegalkan pornografi. Karenanya, pemerintah Jepang tidak akan ambil peduli jika Anri Suzuki benar-benar melakukan rencananya yang “mulia” itu—selama tidak mengganggu “ketertiban umum”.

Terlepas dari semua itu, Anri Suzuki telah mematahkan mitos yang menyebutkan bahwa “pelacur” adalah wanita tak bermoral. Terlepas dari apa yang ingin dilakukannya demi tujuan “menebus dosa leluhurnya”, niat Anri Suzuki telah menunjukkan kepada kita, bahwa bintang porno pun tetap memiliki nurani, sebagaimana manusia lainnya.

Ehmm, dua dekade yang lalu, sebelum Maria Ozawa ataupun Anri Suzuki dikenal dalam dunia “perbokepan”, ada seorang wanita yang juga menjadi bintang bokep legendaris, bernama Asia Carrera. Pada era 80-an sampai 90-an, Asia Carrera adalah ikon paling bersinar dalam dunia bokep Asia. Wajahnya yang santun berpadu dengan tubuhnya yang binal—dan dengan modal itu dia menundukkan industri bokep dunia.

Lanjut ke sini.

Cara Hidup Mengajar Kita



Dalam bukunya yang terkenal, 'Man’s Search for Meaning', Dr. Viktor Frankl mengisahkan pengalaman hidupnya selama tiga tahun menjadi tawanan di kamp konsentrasi Nazi. Dalam situasi mengerikan sekalipun, seperti saat itu, selalu ada orang-orang yang menghibur sesama tahanan yang lain sambil membagikan roti mereka yang terakhir. Orang-orang seperti itu mungkin hanya sedikit, namun itu telah menjadi bukti bahwa segala sesuatu boleh dirampas dari seseorang, kecuali kebebasannya untuk menentukan sikap dalam menghadapi keadaan apa pun.

Dr. Frankl juga menghadapi pilihan dalam menentukan sikap itu. Di dalam kamp konsentrasi itu ia menyaksikan seluruh keluarganya dibunuh dan istrinya dibantai. Ia bisa memilih untuk mengutuk nasibnya sendiri, mencaci-maki Nazi yang telah menyakitinya, menyalahkan kehidupan atau bahkan menyalahkan Tuhan.

Tetapi dia juga bisa memilih untuk menjadikan pengalamannya ini sebagai sarana untuk merenung secara positif, untuk menemukan hikmah di baliknya. Dan Dr. Frankl memilih yang terakhir. Di dalam kamp tahanan itu ia merenung dan merumuskan filsafat hidup yang kemudian dikenal sebagai logoterapi. Karena ini pulalah kemudian ia menjadi salah satu psikiater terkemuka di Eropa, dan sekaligus profesor tamu di Harvard University.

Hidup adalah serangkaian pelajaran yang tak pernah usai, dan pelajaran demi pelajaran yang ditawarkannya itu, disadari atau tidak, akan terus mendewasakan kita. Kehidupan adalah sekolah yang lebih besar, dimana semua yang ada di dalamnya adalah guru dan kita menjadi muridnya.

Apabila suatu pelajaran diberikan dan kita bisa memahaminya, maka pelajaran pun akan diganti dengan yang lebih besar. Kalau suatu pelajaran disampaikan tetapi kita tidak juga bisa memahaminya, maka pelajaran itu akan terus disampaikan secara berulang-ulang, dalam aneka wujud, dengan berbagai macam bentuk, dengan sekian banyak cara, sampai kita benar-benar bisa memahaminya.

Dan pelajaran-pelajaran itu biasanya berada tepat di bawah hidung kita, dan seringkali kita mengetahui benar pelajaran tersebut, namun susahnya, seringkali kita berharap bahwa seharusnya bukan itu pelajarannya!


Selasa, 01 Februari 2011

Manusia: Sejarah Tak Selesai

...tak ada yang pernah membicarakannya—mereka langsung melakukannya. Kalian menjalani hidup kalian, mengacuhkan tanda-tanda di sekitar... Lalu suatu hari ketika angin tak berhembus dan malam tiba, mereka mendatangimu. Saat itu kau pun sadar... pemusnahan sudah dimulai. Jangan melakukan kesalahan, Saudaraku. Mereka akan menyerang lebih dulu. Mereka akan memaksakan obat mereka pada kita. Pertanyaannya, akankah kalian bergabung dalam Persaudaraanku dan melawan... atau menunggu kiamat yang tak terelakkan? Kalian berada di pihak siapa? Manusia... atau kita?

(Orasi Persaudaraan Erick Magneto, dalam X-Men III)


Apakah Tuhan menciptakan manusia jahat? Sepertinya tidak mungkin. Manusia menjadi jahat karena dibentuk kehidupannya—suatu kehidupan yang dibentuk oleh manusia lainnya—dan manusia lainnya itu pun dibentuk oleh sistem sebelumnya. Kejahatan bukanlah sifat Tuhan, begitu pun bukan sifat manusia. Kejahatan adalah suatu bentuk yang diciptakan secara perlahan-lahan, dari waktu ke waktu, karena manusia membentuk diri mereka sendiri.

Lalu di manakah akar kejahatan itu…? Pada ‘ego’, kata Sigmund Freud. “Hasrat yang busuk,” kata William James. Dan… “Begitulah homosapiens!” rutuk Magneto. Tetapi, kata Goenawan Mohamad, inti masalahnya adalah karena manusia menciptakan ‘kita dan mereka’.

Manusia adalah sejarah kejahatan yang tak selesai, begitu pula sejarah kebaikan yang belum usai. Selama manusia masih berdiri di alam ini, pertarungan itu akan terus berlangsung. Dan pertarungan itu tak akan pernah berhenti, selama manusia masih terbagi dalam ‘kita’ dan ‘mereka’—kisah menyedihkan tentang makhluk yang diciptakan sama, tetapi saling bunuh karena merasa berbeda.

Seperti manusia yang ketakutan pada mutan, sementara mutan mencurigai manusia—kisah klasik tentang mayoritas dan minoritas, penguasa dan yang merasa tertindas. Erick Magneto tidak akan memerangi manusia, kalau saja dia tidak lahir di dalam diskriminasi—ketika kulit tubuhnya dibubuhi cap pada masa kanak-kanaknya, sebagai tanda bahwa dia berbeda—sosok mutan yang ‘tidak murni manusia’.

Magneto bukanlah sosok kejahatan. Ia adalah monster yang dibentuk oleh sistem yang diciptakan oleh manusia sebelumnya, suatu sistem yang membedakan antara ‘kita’ dan ‘mereka’.

Begitu pula monster-monster lain di dunia kita—mereka yang rela membunuh dan dibunuh demi keyakinan, demi kekuasaan—adalah monster sama yang diciptakan oleh sistem manusia, yang tak juga menyadari bahwa kita semua adalah makhluk yang sama.

Manusia menilai mutan sebagai ‘makhluk berbeda’, sementara mutan menganggap manusia sebagai ‘makhluk tak sempurna’—itulah sistemnya, akar kejahatan yang dinyalakan seperti api dalam sekam, nyala kecil yang tak disadari, bahwa di suatu saat kelak api tersembunyi itu akan berkobar dan menciptakan perang, dan darah tertumpah. Lagi-lagi manusia, keluh alam semesta, lagi-lagi manusia…

Selama beribu-ribu tahun, dunia menyaksikan bagaimana makhluk bernama manusia ini terus ribut dari waktu ke waktu, karena mempersoalkan hal remeh yang sama, dan lagi-lagi banjir darah melanda, jutaan tangis mengantar kepergian nyawa—harga yang terlalu mahal untuk sesuatu yang ditebusnya. Dan, lagi-lagi, akarnya terus-menerus sama… pembentukan sistem bahwa kita berbeda.

Magneto ditarik paksa dari kasih sayang ibunya, untuk dilukai oleh sistem penguasa, dan sisa hidup Magneto selanjutnya adalah tumpukan dendam serta trauma kepada manusia. Napoleon dihina dan direndahkan, diejek anak pelacur, dan dia tumbuh besar dengan dendam yang sama besarnya terhadap umat manusia. Hitler kecil menyaksikan siksaan dan perkosaan terhadap ibunya, dan dia membangun hidupnya dengan bara dendam membara kepada sesama manusia. Bahkan Voldemort pun menjelma sesosok monster paling mengerikan… karena perasaan tersisih dan terasing yang sama—akibat ulah manusia.

Begitulah kejahatan dibentuk, begitulah monster diciptakan, begitulah akar segala macam masalah dan peperangan manusia. Dan masing-masing dari kita, dengan dua tangan yang sama, ikut membentuk wajah dunia ini—entah disadari ataupun tidak. Tak ada biji yang sia-sia ketika ia dilemparkan ke wajah bumi, tak ada bunga yang batal mekar di bawah matahari. Tangan yang sama… yang mengulurkan bunga, atau yang menikamkan bara.

Setiap malam menjemput pagi, dan setiap kali sesosok bayi manusia terlahirkan ke muka bumi, Tuhan sedang menunjukkan bahwa Dia belum trauma dengan manusia—sejahat dan seburuk apa pun yang pernah dilakukan manusia. Dan kita semualah yang kelak akan membentuk bayi-bayi itu menjadi sesosok manusia, ataukah monster yang akan memusnahkan sesamanya.

Manusia membentuk kehidupannya—dan ia dibentuk kehidupannya. Sebuah tangan penuh kasih sama nilainya dengan sebuah tangan penuh bara, dalam membentuk wajah dunia, dan kita semua memiliki tanggung jawab di dalamnya. Tak pernah ada yang sia-sia dalam dekapan alam semesta.


Kita hidup di zaman kegelapan. Dunia penuh dengan rasa takut, benci, dan tanpa toleransi. Tapi di tiap zaman ada orang yang berjuang melawannya. Charles Xavier terlahir ke dalam dunia yang terbagi dua—dunia yang berusaha disembuhkannya. Misi yang tak pernah dilihatnya berhasil. Sepertinya sudah takdir manusia hebat—tak melihat tujuannya tercapai. Charles lebih dari seorang pemimpin, lebih dari seorang guru. Dia seorang teman. Saat kita takut, dia memberi kita kekuatan. Saat kita sendirian, dia memberi kita keluarga. Dia mungkin sudah pergi, tapi pengajarannya hidup dalam diri kita—murid-muridnya. Kemana saja kita pergi, kita harus membawa visinya.
Visi itu adalah dunia yang bersatu.

(Eulogi Pemakaman Charles Xavier dalam X-Men III)

Nimbang Badan di Apotik

Aku mengeluhkan sepatu yang usang,
hingga kemudian aku melihat orang yang tak punya kaki.
—Dale Carnegie


Apotik tak pernah sepi—jarang sekali saya menjumpai apotik dalam keadaan sepi, khususnya apotik langganan saya. Karenanya, setiap kali perlu membeli sesuatu di apotik, mau tak mau saya harus siap menunggu dan antri.

Untungnya, apotik selalu menyediakan tempat duduk, sekaligus kafetaria yang menyediakan aneka “kebutuhan mendadak” seperti minuman dan camilan.
Beberapa tahun yang lalu, ketika saya masih pelanggan baru di apotik ini, saya pernah melakukan kebodohan yang amat memalukan. Ceritanya, malam itu, saya baru dari rumah ortu, dan dititipi membelikan obat di apotik. Maka, dalam perjalanan pulang, saya pun mampir ke apotik tersebut untuk membeli obat yang dipesankan nyokap.

Apotik cukup ramai waktu itu, dan saya lalu duduk di kursi tunggu yang kosong. Karena menunggu cukup lama, saya pun bangkit dan menuju kafetaria untuk membeli minuman dan rokok. Lalu saya duduk lagi di kursi, menyeruput minuman, dan kemudian dengan tanpa dosa menyulut rokok.

Baru beberapa isapan, satpam apotik itu nongol, dan memandang ‘takjub’ pada asap rokok saya. “Maaf, Mas,” kata si satpam, “di sini dilarang merokok!”
Karena dongkol menunggu antrian, dan karena dongkol dilarang merokok, saya pun menjawab dengan sotoy, “Kok aneh peraturan di sini? Apotik ini jualan rokok, tapi saya nggak boleh merokok di sini!”

Dan satpam itu menjawab dengan tidak kalah sotoy, “Yeah, Mas, apotik ini juga jualan kondom, tapi nggak ada yang maksa makai kondom di sini!”

Itu kejadian beberapa tahun yang lalu. Sekarang saya sudah hafal peraturan itu, dan tak pernah lagi mencoba menyalakan rokok di sana. Sekarang, sambil menunggu antrian, saya biasanya akan mendekati timbangan yang ada di sudut apotik untuk menimbang badan. Saya tahu kegiatan ini sebenarnya sia-sia—karena berat badan saya tak pernah naik—tapi sok sibuk dengan menimbang badan, saya pikir lebih baik daripada duduk bengong.

Dan hal itulah yang saya lakukan kemarin malam, ketika memasuki apotik langganan ini. Saya melangkah menuju timbangan di sudut apotik, sambil dalam hati berharap ada kenaikan beberapa kilo. Di atas timbangan, tampak seorang cewek sedang berdiri menimbang berat badannya, maka saya pun berdiri di belakangnya, menunggu cewek itu selesai.

Mungkin, karena cewek itu tidak mengetahui saya ada di belakangnya, dia berkata dengan lirih, “Aduh, nggak ada penurunan sama sekali!”

Rupanya, berbeda dengan saya yang ingin tambah gemuk, cewek itu menginginkan tubuhnya tambah kurus. Ketika dia turun dari timbangan dan berbalik, dia terlihat malu mendapati saya ada di belakangnya.

“Nggak ada penurunan, ya?” saya berkata sambil tersenyum, agar dia tidak terlalu malu. “Berat badanmu udah ideal, kok.”

Cewek itu pun tersenyum, dan menjawab, “Uh, aku masih ngerasa ndut.”
“Menurutku kamu nggak ndut. Malah, kamu seksi.”

Itu benar—di mata saya cewek itu tidak gemuk atau kelebihan berat badan—dia seksi. Tapi mungkin cewek itu menginginkan dirinya lebih langsing seperti peragawati.

Nah, setelah itu saya pun naik ke atas timbangan, sementara cewek tadi duduk di kursi yang berdekatan dengan timbangan.

Ternyata harapan saya tinggal harapan. Begitu saya berdiri dengan anggun di atas timbangan, arah jarumnya tetap sama seperti kemarin-kemarin. Tetap sama, tidak ada peningkatan berat sedikit pun. Artinya, saya tetap saja masih kurus.

“Sama sekali nggak ada kenaikan!” ujar saya ketika turun dari sana.

Cewek tadi menyahut, “Kamu ingin nambah berat?”

“Ya, karena aku kurus gini.”

“Menurutku kamu nggak perlu nambah berat badan.”

“Kenapa?”

“Karena kamu terlihat keren.”

Saya tertawa. “Kamu pasti bercanda.”

“Suer. Cowok tuh terlihat keren kalau kayak kamu—jangkung, dan kurus.”

Jangkung dan kurus itu keren—itu membuat saya tersenyum. Tetapi, ketika saya akan membuka mulut lagi untuk meyakinkan diri, terjadi keributan kecil di pintu apotik. Satpam apotik terlihat berlari ke arah pintu, sementara beberapa orang yang sedang menunggu juga terlihat bangkit dari kursinya.

Dari tempat saya berdiri, saya pun segera tahu apa masalahnya. Rupanya ada seorang lelaki setengah baya yang masuk ke apotik dengan mengenakan kruk, dan kruknya tersandung undakan di pintu apotik hingga dia tergelincir dan jatuh.

Ketika akhirnya satpam apotik berhasil membantunya berdiri kembali, saya pun menyaksikan lelaki itu hanya memiliki satu kaki, dan sebelah tubuhnya disangga kruk. Dia lalu berjalan tertatih menuju ke salah satu kursi apotik, dengan satpam yang masih membantunya.

Saya dan cewek tadi tanpa sadar saling berpandangan. Waktu itu, entah mengapa, tiba-tiba saya merasa berat badan saya tidak penting lagi. Dan cewek itu pun mungkin berpikir sama. Sepertinya, berat badan jadi bukan masalah lagi, selama kita masih bisa berdiri dan berjalan dengan sehat di atas kedua kaki.

 
;