Minggu, 13 Februari 2011

Flèur l’Epàc

Bunga-bunga tumbuh berseri—mawar putih
Di atas tanah yang dijanjikan bisikan bumi
Kepada putik, kelopak, tangkai yang melambai
Tangis hujan bersama langit yang merintih


Aku mendengar bisikan yang seharusnya tak kudengar, memahami rahasia yang seharusnya tak kupahami, melihat kenyataan yang seharusnya tak kulihat, memimpikan bayangan yang seharusnya tak kuimpikan. Dan esok paginya aku menemukan setangkai mawar di atas bantalku, masih berembun… seperti baru dipetik dari taman tanah perjanjian.

Pagi cemerlang, dengan hidup di atas gelombang. Kemudian aku mendengar perahu yang karam, jangkar hilang, dan sederet mimpi buruk sepanjang perjalanan. Ada yang tenggelam… atau hilang. Sebagian berpegangan, tetapi siapa pun tahu itu keikhlasan yang dipaksakan atau keterpaksaan yang diikhlaskan. Awan-awan bergerak sunyi di atas mereka.

Ini seperti coda—ekor puisi. Kau meletakkan sejumput kata di tengah-tengah bait, dan kemudian mendapati kata-kata yang kausisipkan ternyata menjadi akhir dari rangkaian birama. Kau tidak bisa melepaskannya lagi, karena kata-kata itu telah menjadi bagian dari puisi, hanya saja terletak di bait paling akhir. Dan di sana gelap, dingin—gelap, sepi dan dingin…

Ada waktunya ketika hari itu tiba. Terpusat. Rindu. Kebingungan. Gembira dan meradang, lalu terpusat dan rindu dan kebingungan dan gembira dan meradang. Saat ketika hidup dianggap usai, impian hilang, kesejatian hanya fatamorgana. Kau akan selamanya di sana, menatap hari-harimu yang berlalu, pergi dan berlalu, dan tiba-tiba kau mendapati dirimu bukan lagi dirimu.


Bunga-bunga tumbuh berseri—mawar putih
Di atas tanah yang dijanjikan bisikan bumi
Kepada putik, kelopak, tangkai yang melambai
Tangis hujan bersama langit yang merintih

 
;