Minggu, 20 Februari 2011

Kuasa Memberi



Apakah salah satu rahasia hidup? Bagi saya, salah satu rahasia hidup adalah memberi. Ya, rahasia dalam hidup adalah Memberi. Ini bukan hanya rahasia kesuksesan, tetapi lebih dari itu, ini adalah rahasia menuju kebahagiaan. Apabila ingin menjalani hidup yang lebih baik dan berharga, kita harus memulainya dengan memberi.

Kebanyakan orang memulai hidupnya dengan tanpa apa-apa kecuali harapan untuk menerima dan keinginan untuk mendapatkan. Menerima memang bukan masalah, tetapi upaya memberi daripada sekadar berharap menerima akan mulai menggerakkan proses.

Ingat selalu, yang menggerakkan proses adalah memberi, dan bukannya menerima. Masalah dalam hidup tak pernah berhenti karena orang menginginkan sesuatu terlebih dulu sebelum memberi. Ini sama halnya dengan seseorang yang kedinginan di dalam goa kemudian berteriak kepada api, “Berikan aku kehangatan, nanti aku akan memberimu kayu bakar.” Bagaimana mungkin? Berikan dulu kayu bakar yang kita miliki, barulah api akan memberikan kehangatannya.

Atau, mungkinkah kita berteriak kepada tanah, “Hei, berikan kepadaku buah-buahan. Berikan kepadaku tanaman segar.”

Kalau tanah mampu menjawab, mungkin dia akan mengatakan seperti ini, “Sori, pal. Mungkin kau sedikit bingung. Kau mungkin baru di sini. Bukan begitu caranya.”

Ya, memang bukan seperti itu caranya. Untuk ‘mendapatkan’ buah atau tanaman yang kita inginkan, kita harus ‘memberikan’ biji atau benihnya terlebih dulu.

Di dalam kehidupan ini, sering kali kita menjumpai logika yang terbalik. Ada lebih banyak orang yang menginginkan menerima terlebih dulu, dan baru mau memberi belakangan. Hidup tidak menggunakan rumus logika semacam itu, karenanya tidak ada jalan lain selain hanya mengikuti rumus logika yang telah diberikan hidup untuk kita, dan mematuhinya. Berikan dulu, baru mengharapkan. Memberi dulu, baru mendapatkan.

Mungkin kita sudah tak asing lagi dengan ucapan orang yang mengatakan, “Bagaimana aku bisa bekerja dengan giat? Gajiku sangat sedikit dan tidak mencukupi. Kalau saja gajiku dinaikkan, aku mau bekerja dengan lebih giat.”

Bukankah itu logika yang terbalik? Bukankah lebih logis kalau seharusnya kita bekerja dengan lebih giat lebih dulu, baru mengharapkan kenaikan gaji?

Bukankah lebih logis kalau memberikan usaha maksimal terlebih dulu, baru kemudian mengharapkan hasil yang sama maksimalnya? Sekilas, logika yang terbalik semacam itu terdengar logis dan tidak salah. Tetapi selama logika itu masih tetap terbalik dan tidak diluruskan, maka selamanya orang hanya akan berputar-putar di tempatnya tanpa pernah bisa beranjak kemana-mana.

Salah satu penyakit psikologis dari peradaban kita saat ini adalah penyakit logika yang terbalik semacam ini. Lebih banyak orang yang percaya, bahkan yakin, bahwa jika gaji mereka dinaikkan maka mereka akan bekerja dengan giat, bahwa jika dosennya memberikan nilai yang banyak maka mereka akan tekun belajar, bahwa jika kehidupan mereka lebih baik maka mereka akan rajin beribadah.

Tetapi mereka tidak pernah sampai kemana-mana, karena hidup ini tidak memberlakukan logika seperti yang mereka yakini itu. Hidup hanya memberikan satu rumus baku yang mau tak mau harus diikuti oleh siapa pun yang masih ingin hidup, yakni memberi terlebih dulu, baru menerima.

Sepanjang sejarah yang dapat kita baca dan kita pelajari, tidak ada kemenangan tanpa perjuangan, tidak ada kedamaian tanpa pengorbanan, tidak ada pencapaian tanpa usaha, tidak ada hasil tanpa kerja. Semuanya harus memenuhi proses yang sama, memberi terlebih dulu, baru menerima. Dari semua yang paling besar sampai yang paling kecil, semuanya tetap mematuhi hukum itu.

Hanya dengan memberilah kita dapat memperoleh. Hanya dengan memberikan kita bisa mendapatkan.

Mengharapkan kemenangan tanpa perjuangan, mengharapkan kedamaian tanpa pengorbanan, mengharapkan hasil tanpa upaya, mengharapkan puncak tanpa pendakian, itu sama mustahilnya dengan mengharapkan kenyang tanpa makan, atau mengharapkan hidup tanpa dilahirkan.

Jika hidup adalah sekumpulan rahasia, saya percaya salah satu rahasianya adalah memberi. Dan, dengan memberi itulah, kita hidup.


 
;