Jumat, 11 Februari 2011

Larut Malam, Hujan, Kelaparan, Sendirian, Meriang, Kelayapan Cari Makan

Sabtu lalu saya benar-benar khusyuk bekerja di depan komputer, karena tanggal deadline sudah semakin dekat. Secara fisik, sebenarnya saya sedang tidak enak badan, karena hujan yang terus turun hari-hari ini. Well, tubuh saya memang rentan dengan cuaca. Kalau cuaca lagi dingin banget, atau lagi panas banget, badan saya pasti terpengaruh.

Dan itulah yang sedang saya alami. Selama berhari-hari, hujan bisa dibilang terus turun tanpa henti. Saya sih tidak terlalu peduli, karena jarang keluar rumah. Tetapi udara yang dingin itu menjadikan kepala saya berat, jidat terasa panas, badan jadi meriang, dan selama berhari-hari itu pula saya menjalani aktivitas sambil merasakan badan yang tidak fit.

Sebenarnya, dalam keadaan kurang enak badan seperti itu, kegiatan yang paling menyenangkan adalah duduk menyandar di atas springbed, sambil menghirup teh hangat dan menikmati rokok, serta ditemani sebuah buku bagus. Itu kegiatan favorit kalau saya lagi kurang enak badan. Tapi kegiatan favorit itu terpaksa tidak bisa saya lakukan, karena tanggal deadline sudah menjerit-jerit.

Jadi begitulah, meski merasakan badan yang kurang enak, tetap saja saya harus bekerja di depan komputer, demi untuk sesuap nasi. *mendramatisir*

Nah, pas Sabtu lalu saya benar-benar khusyuk bekerja, sementara di luar turun hujan nyaris tanpa henti. Kalau sudah khusyuk bekerja seperti itu, saya sering lupa hal lain—lupa waktu, lupa makan, bahkan lupa kalau sedang kurang enak badan. Sampai tak terasa, waktu ternyata sudah malam. Saya baru sadar kalau waktu sudah larut malam ketika duduk menyandar untuk melepas lelah sambil menyulut rokok.

Ya ampun, sudah jam sebelas!

Tadi siang, saya mulai bekerja sehabis bangun tidur, jam sepuluh pagi. Sejak bangun tidur, terus tanpa henti, duduk di depan komputer… dan sekarang sudah jam sebelas malam! Dan tiba-tiba saya merasa perut sangat kelaparan. Tentu saja itu wajar, karena sedari siang saya belum makan apa pun.

Biasanya, sehabis maghrib saya keluar untuk cari makan. Tapi tadi saya malas keluar karena hujan sangat lebat, dan saya juga lupa pada nasi selama asyik bekerja. Tapi sekarang perut sudah menyanyikan lagu keroncong, dan sepertinya saya harus segera makan.

Saya menengok ke luar rumah lewat jendela, dan di luar hujan masih turun cukup lebat. Kalau mau menuruti keinginan, saya tidak ingin keluar sama sekali! Tapi perut sepertinya tidak mau diajak kompromi. Sementara di rumah tidak ada persediaan makanan apa pun yang bisa digunakan untuk mengganjal perut.

Keluar… nggak… keluar… nggak… Saya bimbang untuk keluar buat cari makan, atau tetap bertahan karena malas keluar rumah. Tapi, aduh, perut semakin keroncongan! Dan seiring dengan detik jam, saya makin merasa perut semakin kelaparan. Jika bertahan tidak makan, saya khawatir kalau-kalau saya pingsan atau sampai… mati kelaparan!

Well, sepertinya memang harus keluar, putus saya akhirnya, meski dengan hati tidak ikhlas. Bagaimana bisa “ikhlas”? Wong waktu itu sudah larut malam, hujan turun cukup lebat, dan saya sedang tidak enak badan!

Jadi begitulah, dengan perasaan cukup tersiksa, saya pun keluar rumah, menembus hujan, untuk mencari makan. Satu-satunya tempat yang ada dalam pikiran waktu itu hanyalah kafe yang biasa saya datangi. Biasanya kafe penuh pengunjung di malam Minggu begini, tapi saya tak peduli. Saya tentunya tak bisa keluyuran ke tempat-tempat lain dulu di tengah hujan seperti ini.

Puji Tuhan, saya sampai di kafe itu dengan selamat, meski sedikit menggigil ketika berdiri di depan pintunya. Udara dingin menggigit, dan saya melihat ruangan kafe memang penuh.

“Ah, Mas Hoeda, selamat datang,” sambut pelayan kafe dengan senyum ramahnya. Para pelayan di kafe ini—entah bagaimana caranya—bisa mengetahui nama saya.

“Sepertinya ramai pengunjung. Masih ada kursi kosong?”

“Selalu ada kursi kosong untuk Anda,” sahutnya masih dengan ramah. “Mari.”

Dan saya pun mengikutinya. Kalau pun ternyata kursi kosong itu ada di dapur, saya tak peduli, pikir saya waktu itu. Yang penting saya bisa makan!

Tapi ternyata pelayan kafe tidak membawa saya ke dapur, tetapi ke sebuah sudut kafe yang ada di belakang. Bagian belakang ini memang jarang digunakan para tamu, jadi fungsinya memang seperti tempat cadangan darurat. Di situ tampak seorang cewek yang sedang duduk di depan laptop, sepertinya sedang asyik surfing dengan memanfaatkan fasilitas hotspot di sana.

“Silakan,” kata si pelayan kafe menunjukkan kursi. Dan setelah saya duduk dengan nyaman, dia pun menawarkan, “Menu seperti biasa?”

“Ya.” Saya tidak suka coba-coba atau gonta-ganti menu masakan, jadi pesanan favorit saya sudah dihafal para pelayan di kafe ini.

Setelah pelayan itu pergi, saya mengeluarkan rokok, untuk sedikit menghangatkan bibir. Cewek di depan laptop tadi mengangkat mukanya, dan sekilas melihat ke arah saya.

Nggak keberatan aku merokok?” sapa saya basa-basi. Padahal, kalau pun dia keberatan, saya tetap akan merokok!

Tapi cewek itu hanya mengangkat mukanya kembali, dan kali ini sambil tersenyum sekilas. Senyum yang manis di wajah yang cantik.

Saya pun menyulut rokok. “Lagi sibuk?” lagi-lagi saya basa-basi—kali ini karena ingin mendengar suaranya—karena saya tidak yakin cewek ini bisa bicara.

“Uh, nggak. Cuma update status, sambil baca-baca blog,” jawabnya.

Jadi dia bisa bicara, pikir saya dengan idiot. Cewek ini mengenakan t-shirt hitam yang ditutup jaket cokelat, rambutnya diikat ekor kuda—tipe cewek yang tidak jaim dan tidak suka ribet. Selama dia asyik di depan layar laptopnya, saya juga melihat dia berkali-kali senyum-senyum sendiri.

Akhirnya masakan pesanan saya pun datang. Lengkap. Dan tampak luar biasa. Sebenarnya sih biasa-biasa saja, tapi saya menatapnya dari mata yang sedang kelaparan.

Setelah semua menu tersaji di atas meja, dan pelayan sudah berlalu, saya pun segera pasang kuda-kuda untuk ‘memberantas’ semua yang ada. Tapi kemudian cewek-di-depan-laptop tadi nyeletuk sambil tersenyum menyaksikan semua hidangan di meja, “Sepertinya kamu lagi kelaparan?”

“Ya, kurang lebih,” sahut saya. “Mau nemenin makan?”

“Thanks, aku udah makan tadi.” Tapi mau tak mau matanya tetap tergoda dengan semua sajian yang ada di atas meja. Jadi dia curi-curi pandang ke arah piring yang menyajikan sesuatu yang mungkin masih asing di matanya.

“Apa ini?” tanyanya kemudian, sambil menyentuh piring itu.

“Peyek daun singkong.”

“Peyek daun singkong?” Dia tampak keheranan, karena mungkin cowok abad 21 tidak seharusnya memakan peyek daun singkong.

Saya sudah mulai makan. “Itu enak. Coba aja.”

Dan dia mencobanya. Mengambil sedikit peyek itu, dan kemudian mengunyahnya. Saya suka cewek yang tidak sok jaim seperti ini. Dan rupanya dia juga menyukai peyek daun singkong, karena setelah mencoba sedikit, dia mengambil lagi.

“Ya, ini enak,” ujarnya kemudian sambil senyum-senyum.

Dan dari situlah kemudian kami bercakap-cakap sambil saya terus makan.

Itu acara makan malam yang luar biasa bagi saya. Pertama, karena saya dalam keadaan kelaparan. Kedua, karena di luar sedang hujan, sementara saya ada di ruangan yang hangat dengan makanan favorit. Ketiga, karena saya merasa sedang makan dengan ditemani seorang cewek.

Meski saya tidak tahu siapa dia, dan dia tidak tahu siapa saya, tetapi pertemuan di ruangan itu seperti ‘menyatukan’ kami dalam acara makan bersama. Kapan kali terakhir saya makan dengan seorang perempuan? Sepertinya sudah lama sekali….

Setelah usai makan dan saya duduk menyandar sambil menikmati rokok, cewek tadi bertanya, “Kamu punya Facebook?”

“Kalau nggak salah, Facebook dipunyai Mark Zuckerberg?”

Dia tertawa. “Hehe, maksudku, kamu punya akun di Facebook?”

“Nggak.”

“Twitter?”

“Nggak.”

“Friendster?”

“Nggak.”

Dia menatap saya, dan mengajukan pertanyaan yang aneh, “Jadi, kamu ini orang apa?”

Saya tertawa mendengar pertanyaan itu. “Yeah, aku orang yang kelaparan di larut malam, dan terpaksa menembus hujan untuk bisa makan.”

“Nasibmu sangat malang,” ujarnya sambil tertawa. “Jadi, siapa namamu?”

“Hoeda. Kamu…?”

“Eliana. Hei, namamu mirip penulis favoritku.”

Saya tersenyum kikuk. “Really?”

“Ya.” Dan setelah itu dia berkata sambil memutar laptopnya. “Coba lihat. Namanya mirip namamu, kan?”

Saya melihat ke layar laptopnya, dan menyaksikan halaman blog saya terpampang di sana. Jadi rupanya sejak tadi dia sedang membaca blog ini.

Tiba-tiba saya merasa membeku—bukan oleh dingin malam, tetapi oleh suatu perasaan yang tak pernah dapat saya pahami.

....
....

Di luar kafe, hujan tampak mulai berhenti.


Update:
Sekarang saya punya akun Twitter, dengan nama @noffret

 
;