Selasa, 01 Februari 2011

Manusia: Sejarah Tak Selesai

...tak ada yang pernah membicarakannya—mereka langsung melakukannya. Kalian menjalani hidup kalian, mengacuhkan tanda-tanda di sekitar... Lalu suatu hari ketika angin tak berhembus dan malam tiba, mereka mendatangimu. Saat itu kau pun sadar... pemusnahan sudah dimulai. Jangan melakukan kesalahan, Saudaraku. Mereka akan menyerang lebih dulu. Mereka akan memaksakan obat mereka pada kita. Pertanyaannya, akankah kalian bergabung dalam Persaudaraanku dan melawan... atau menunggu kiamat yang tak terelakkan? Kalian berada di pihak siapa? Manusia... atau kita?

(Orasi Persaudaraan Erick Magneto, dalam X-Men III)


Apakah Tuhan menciptakan manusia jahat? Sepertinya tidak mungkin. Manusia menjadi jahat karena dibentuk kehidupannya—suatu kehidupan yang dibentuk oleh manusia lainnya—dan manusia lainnya itu pun dibentuk oleh sistem sebelumnya. Kejahatan bukanlah sifat Tuhan, begitu pun bukan sifat manusia. Kejahatan adalah suatu bentuk yang diciptakan secara perlahan-lahan, dari waktu ke waktu, karena manusia membentuk diri mereka sendiri.

Lalu di manakah akar kejahatan itu…? Pada ‘ego’, kata Sigmund Freud. “Hasrat yang busuk,” kata William James. Dan… “Begitulah homosapiens!” rutuk Magneto. Tetapi, kata Goenawan Mohamad, inti masalahnya adalah karena manusia menciptakan ‘kita dan mereka’.

Manusia adalah sejarah kejahatan yang tak selesai, begitu pula sejarah kebaikan yang belum usai. Selama manusia masih berdiri di alam ini, pertarungan itu akan terus berlangsung. Dan pertarungan itu tak akan pernah berhenti, selama manusia masih terbagi dalam ‘kita’ dan ‘mereka’—kisah menyedihkan tentang makhluk yang diciptakan sama, tetapi saling bunuh karena merasa berbeda.

Seperti manusia yang ketakutan pada mutan, sementara mutan mencurigai manusia—kisah klasik tentang mayoritas dan minoritas, penguasa dan yang merasa tertindas. Erick Magneto tidak akan memerangi manusia, kalau saja dia tidak lahir di dalam diskriminasi—ketika kulit tubuhnya dibubuhi cap pada masa kanak-kanaknya, sebagai tanda bahwa dia berbeda—sosok mutan yang ‘tidak murni manusia’.

Magneto bukanlah sosok kejahatan. Ia adalah monster yang dibentuk oleh sistem yang diciptakan oleh manusia sebelumnya, suatu sistem yang membedakan antara ‘kita’ dan ‘mereka’.

Begitu pula monster-monster lain di dunia kita—mereka yang rela membunuh dan dibunuh demi keyakinan, demi kekuasaan—adalah monster sama yang diciptakan oleh sistem manusia, yang tak juga menyadari bahwa kita semua adalah makhluk yang sama.

Manusia menilai mutan sebagai ‘makhluk berbeda’, sementara mutan menganggap manusia sebagai ‘makhluk tak sempurna’—itulah sistemnya, akar kejahatan yang dinyalakan seperti api dalam sekam, nyala kecil yang tak disadari, bahwa di suatu saat kelak api tersembunyi itu akan berkobar dan menciptakan perang, dan darah tertumpah. Lagi-lagi manusia, keluh alam semesta, lagi-lagi manusia…

Selama beribu-ribu tahun, dunia menyaksikan bagaimana makhluk bernama manusia ini terus ribut dari waktu ke waktu, karena mempersoalkan hal remeh yang sama, dan lagi-lagi banjir darah melanda, jutaan tangis mengantar kepergian nyawa—harga yang terlalu mahal untuk sesuatu yang ditebusnya. Dan, lagi-lagi, akarnya terus-menerus sama… pembentukan sistem bahwa kita berbeda.

Magneto ditarik paksa dari kasih sayang ibunya, untuk dilukai oleh sistem penguasa, dan sisa hidup Magneto selanjutnya adalah tumpukan dendam serta trauma kepada manusia. Napoleon dihina dan direndahkan, diejek anak pelacur, dan dia tumbuh besar dengan dendam yang sama besarnya terhadap umat manusia. Hitler kecil menyaksikan siksaan dan perkosaan terhadap ibunya, dan dia membangun hidupnya dengan bara dendam membara kepada sesama manusia. Bahkan Voldemort pun menjelma sesosok monster paling mengerikan… karena perasaan tersisih dan terasing yang sama—akibat ulah manusia.

Begitulah kejahatan dibentuk, begitulah monster diciptakan, begitulah akar segala macam masalah dan peperangan manusia. Dan masing-masing dari kita, dengan dua tangan yang sama, ikut membentuk wajah dunia ini—entah disadari ataupun tidak. Tak ada biji yang sia-sia ketika ia dilemparkan ke wajah bumi, tak ada bunga yang batal mekar di bawah matahari. Tangan yang sama… yang mengulurkan bunga, atau yang menikamkan bara.

Setiap malam menjemput pagi, dan setiap kali sesosok bayi manusia terlahirkan ke muka bumi, Tuhan sedang menunjukkan bahwa Dia belum trauma dengan manusia—sejahat dan seburuk apa pun yang pernah dilakukan manusia. Dan kita semualah yang kelak akan membentuk bayi-bayi itu menjadi sesosok manusia, ataukah monster yang akan memusnahkan sesamanya.

Manusia membentuk kehidupannya—dan ia dibentuk kehidupannya. Sebuah tangan penuh kasih sama nilainya dengan sebuah tangan penuh bara, dalam membentuk wajah dunia, dan kita semua memiliki tanggung jawab di dalamnya. Tak pernah ada yang sia-sia dalam dekapan alam semesta.


Kita hidup di zaman kegelapan. Dunia penuh dengan rasa takut, benci, dan tanpa toleransi. Tapi di tiap zaman ada orang yang berjuang melawannya. Charles Xavier terlahir ke dalam dunia yang terbagi dua—dunia yang berusaha disembuhkannya. Misi yang tak pernah dilihatnya berhasil. Sepertinya sudah takdir manusia hebat—tak melihat tujuannya tercapai. Charles lebih dari seorang pemimpin, lebih dari seorang guru. Dia seorang teman. Saat kita takut, dia memberi kita kekuatan. Saat kita sendirian, dia memberi kita keluarga. Dia mungkin sudah pergi, tapi pengajarannya hidup dalam diri kita—murid-muridnya. Kemana saja kita pergi, kita harus membawa visinya.
Visi itu adalah dunia yang bersatu.

(Eulogi Pemakaman Charles Xavier dalam X-Men III)

 
;