Selasa, 01 Februari 2011

Nimbang Badan di Apotik

Aku mengeluhkan sepatu yang usang,
hingga kemudian aku melihat orang yang tak punya kaki.
—Dale Carnegie


Apotik tak pernah sepi—jarang sekali saya menjumpai apotik dalam keadaan sepi, khususnya apotik langganan saya. Karenanya, setiap kali perlu membeli sesuatu di apotik, mau tak mau saya harus siap menunggu dan antri.

Untungnya, apotik selalu menyediakan tempat duduk, sekaligus kafetaria yang menyediakan aneka “kebutuhan mendadak” seperti minuman dan camilan.
Beberapa tahun yang lalu, ketika saya masih pelanggan baru di apotik ini, saya pernah melakukan kebodohan yang amat memalukan. Ceritanya, malam itu, saya baru dari rumah ortu, dan dititipi membelikan obat di apotik. Maka, dalam perjalanan pulang, saya pun mampir ke apotik tersebut untuk membeli obat yang dipesankan nyokap.

Apotik cukup ramai waktu itu, dan saya lalu duduk di kursi tunggu yang kosong. Karena menunggu cukup lama, saya pun bangkit dan menuju kafetaria untuk membeli minuman dan rokok. Lalu saya duduk lagi di kursi, menyeruput minuman, dan kemudian dengan tanpa dosa menyulut rokok.

Baru beberapa isapan, satpam apotik itu nongol, dan memandang ‘takjub’ pada asap rokok saya. “Maaf, Mas,” kata si satpam, “di sini dilarang merokok!”
Karena dongkol menunggu antrian, dan karena dongkol dilarang merokok, saya pun menjawab dengan sotoy, “Kok aneh peraturan di sini? Apotik ini jualan rokok, tapi saya nggak boleh merokok di sini!”

Dan satpam itu menjawab dengan tidak kalah sotoy, “Yeah, Mas, apotik ini juga jualan kondom, tapi nggak ada yang maksa makai kondom di sini!”

Itu kejadian beberapa tahun yang lalu. Sekarang saya sudah hafal peraturan itu, dan tak pernah lagi mencoba menyalakan rokok di sana. Sekarang, sambil menunggu antrian, saya biasanya akan mendekati timbangan yang ada di sudut apotik untuk menimbang badan. Saya tahu kegiatan ini sebenarnya sia-sia—karena berat badan saya tak pernah naik—tapi sok sibuk dengan menimbang badan, saya pikir lebih baik daripada duduk bengong.

Dan hal itulah yang saya lakukan kemarin malam, ketika memasuki apotik langganan ini. Saya melangkah menuju timbangan di sudut apotik, sambil dalam hati berharap ada kenaikan beberapa kilo. Di atas timbangan, tampak seorang cewek sedang berdiri menimbang berat badannya, maka saya pun berdiri di belakangnya, menunggu cewek itu selesai.

Mungkin, karena cewek itu tidak mengetahui saya ada di belakangnya, dia berkata dengan lirih, “Aduh, nggak ada penurunan sama sekali!”

Rupanya, berbeda dengan saya yang ingin tambah gemuk, cewek itu menginginkan tubuhnya tambah kurus. Ketika dia turun dari timbangan dan berbalik, dia terlihat malu mendapati saya ada di belakangnya.

“Nggak ada penurunan, ya?” saya berkata sambil tersenyum, agar dia tidak terlalu malu. “Berat badanmu udah ideal, kok.”

Cewek itu pun tersenyum, dan menjawab, “Uh, aku masih ngerasa ndut.”
“Menurutku kamu nggak ndut. Malah, kamu seksi.”

Itu benar—di mata saya cewek itu tidak gemuk atau kelebihan berat badan—dia seksi. Tapi mungkin cewek itu menginginkan dirinya lebih langsing seperti peragawati.

Nah, setelah itu saya pun naik ke atas timbangan, sementara cewek tadi duduk di kursi yang berdekatan dengan timbangan.

Ternyata harapan saya tinggal harapan. Begitu saya berdiri dengan anggun di atas timbangan, arah jarumnya tetap sama seperti kemarin-kemarin. Tetap sama, tidak ada peningkatan berat sedikit pun. Artinya, saya tetap saja masih kurus.

“Sama sekali nggak ada kenaikan!” ujar saya ketika turun dari sana.

Cewek tadi menyahut, “Kamu ingin nambah berat?”

“Ya, karena aku kurus gini.”

“Menurutku kamu nggak perlu nambah berat badan.”

“Kenapa?”

“Karena kamu terlihat keren.”

Saya tertawa. “Kamu pasti bercanda.”

“Suer. Cowok tuh terlihat keren kalau kayak kamu—jangkung, dan kurus.”

Jangkung dan kurus itu keren—itu membuat saya tersenyum. Tetapi, ketika saya akan membuka mulut lagi untuk meyakinkan diri, terjadi keributan kecil di pintu apotik. Satpam apotik terlihat berlari ke arah pintu, sementara beberapa orang yang sedang menunggu juga terlihat bangkit dari kursinya.

Dari tempat saya berdiri, saya pun segera tahu apa masalahnya. Rupanya ada seorang lelaki setengah baya yang masuk ke apotik dengan mengenakan kruk, dan kruknya tersandung undakan di pintu apotik hingga dia tergelincir dan jatuh.

Ketika akhirnya satpam apotik berhasil membantunya berdiri kembali, saya pun menyaksikan lelaki itu hanya memiliki satu kaki, dan sebelah tubuhnya disangga kruk. Dia lalu berjalan tertatih menuju ke salah satu kursi apotik, dengan satpam yang masih membantunya.

Saya dan cewek tadi tanpa sadar saling berpandangan. Waktu itu, entah mengapa, tiba-tiba saya merasa berat badan saya tidak penting lagi. Dan cewek itu pun mungkin berpikir sama. Sepertinya, berat badan jadi bukan masalah lagi, selama kita masih bisa berdiri dan berjalan dengan sehat di atas kedua kaki.

 
;