Rabu, 16 Maret 2011

Bugil di Depan Kamera

Tugas seorang intelektual bukan untuk mengubah dunia,
tetapi untuk tetap setia kepada cita-cita yang perlu dipertahankan
demi moralitas umat manusia.
Julien Benda

Dua hal memenuhi pikiranku dengan rasa takjub
dan terkesima; angkasa yang penuh bintang di atas sana,
dan hukum moral dalam diri manusia.
Immanuel Kant


Sony Adi Setyawan, alias Sony Set, menggalakkan kampanye agar tidak bugil di depan kamera. Kampanyenya itu dilengkapi dengan sebuah buku yang diterbitkan secara khusus untuk tujuan itu, berjudul 500+ Gelombang Video Porno Indonesia. Saat ini, sebagaimana yang ditulisnya dalam buku itu, ada lebih dari lima ratus potongan video porno yang diperankan anak-anak muda Indonesia.

Padahal fenomena video porno itu seperti gunung es, kata Sony, dan kita pun setuju. Bahwa keberadaan video porno yang dibuat secara amatir dan kemudian muncul di internet itu, hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan jumlah video porno yang mungkin ada. Artinya, masih ada sekian banyak video porno lainnya yang pernah dibuat, tetapi kita tidak tahu atau belum pernah melihatnya.

Karena keprihatinan itulah kemudian Sony Set menggalakkan kampanye agar “jangan bugil di depan kamera”. Sebuah kampanye yang tentunya layak kita apresiasi dan kita dukung, sebagai upaya perbaikan moral anak-anak muda di negeri kita, meski upaya itu mungkin tidak akan memberikan hasil yang banyak—karena ukuran moral tentunya tak bisa disandarkan pada keberanian bugil di depan kamera semata-mata.

Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat saya pada upaya luhur Bang Sony, saya berpikir bahwa inti masalah dalam fenomena banyaknya video porno yang dibuat secara amatir itu sebenarnya bukan pada video pornonya semata-mata, tetapi lebih pada tanggung jawabnya.

Maksud saya, bugil di depan kamera adalah hak setiap orang. Karenanya, melarang orang bugil di depan kamera sama saja melanggar hak asasinya. Tolong jangan ambil kalimat ini secara parsial. Ada banyak alasan mengapa seseorang sampai bugil di depan kamera—dari alasan narsis karena pemujaan terhadap keindahan tubuhnya sendiri, sampai alasan-alasan psikologis yang melibatkan teori-teori kelas berat.

Karenanya, melarang semua orang agar tidak bugil di depan kamera sama saja nggebyah uyah—tanpa mempedulikan latar belakang alasannya. Padahal, kalau si X merasa dirinya cantik dan seksi, dan kemudian berpikir ingin mengabadikan keindahan tubuhnya dengan foto atau video, lalu berpose bugil di depan kameranya dengan tujuan agar punya dokumentasi pribadi atas keindahan tubuhnya, maka dia punya hak untuk itu.

Apa yang dilakukan si X dalam ilustrasi di atas adalah hak asasinya. Dia punya hak dan kebebasan penuh untuk melakukan hal semacam itu (bugil di depan kamera), dan tentunya kita telah melanggar hak asasinya jika melarang seseorang untuk melakukan hal semacam itu. Dia tidak merugikan atau melakukan kejahatan kepada orang lain, dia pun tidak melanggar nilai moral masyarakat, karena foto bugil di depan kamera itu hanya untuk dokumentasi pribadi, yang dilakukannya di ruangan miliknya sendiri.

Ada batasan serta perbedaan penting antara ‘ruang privat’ dan ‘ruang publik’ di sini.

Persoalan ‘jangan bugil di depan kamera’ ini mengingatkan kita pada kontroversi undang-undang antipornografi beberapa waktu yang lalu. Para penentang undang-undang antipornografi tidak menyetujui undang-undang itu, karena dinilai melanggar hak privat masing-masing orang. Misalnya, di dalam undang-undang itu disebutkan bahwa setiap orang (sekali lagi, setiap orang) dilarang menonton film biru.

Ini sama saja nggebyah uyah tanpa mempedulikan siapa orang yang terlibat dalam acara menonton film biru itu. Kalau sepasang suami istri duduk berdua di dalam kamar mereka sambil menonton film biru dengan tujuan untuk foreplay, apakah negara harus menindak mereka?

Kalau menggunakan kata-kata Ayu Utami, “Yang lebih berbahaya dari itu adalah sikap dasarnya, yaitu tidak membedakan ruang privat dan publik. Sikap dasar ini sama dengan larangan untuk beriman sesuai agama masing-masing. Iman, seperti juga seks, memiliki dimensi yang sangat privat. Apa yang dilakukan manusia di kamar masing-masing, berdoa atau bersetubuh, atau berdoa sambil bersetubuh, sejauh tidak menyangkut penganiayaan dan pembunuhan, adalah hak pribadi orang tersebut.”

Nah, hal semacam itulah yang sekarang menjadi bahan pikiran saya menyangkut kampanye ‘jangan bugil di depan kamera’. Sebenarnya, bugilnya semata-mata itu tidak penting. Yang lebih penting adalah tanggung jawab seseorang dalam aktivitas bugilnya. Bahkan, kalau mau menggunakan logika yang mudah, bugil di depan kamera itu tak ada bedanya dengan bugil di kamar mandi.

Setiap orang mempunyai kecenderungan untuk narsis—dan itu sah. Naluri untuk narsis itu bisa disalurkan melalui foto dan video yang paling beradab sampai yang bugil ala manusia zaman prasejarah. Sekali lagi itu sah, karena itu hak setiap orang. Yang jadi intinya kemudian adalah tanggung jawab mereka atas perbuatan narsis yang telah mereka lakukan. Selama mereka bertanggung jawab dengan hal itu, dalam arti menyimpannya dengan baik sebagaimana dokumentasi pribadi lainnya, maka kita tidak bisa melarangnya.

Saya menyadari ini terdengar mudah dalam teori, tetapi sulit dalam praktiknya. Mengajarkan orang agar bertanggung jawab atas video bugilnya, sama sulitnya dengan mengkampanyekan agar jangan bugil di depan kamera. Dan tujuan saya menulis catatan ini pun bukan untuk mengajak agar orang-orang bugil di depan kamera, atau membela mereka yang telah bugil di depan kamera. Dasar pikiran saya menulis catatan ini hanya untuk menunjukkan adanya batasan antara ruang privat dan ruang publik, khususnya menyangkut aktivitas bugil di depan kamera.

Memang, seperti yang kita tahu, video-video mesum Indonesia yang banyak beredar itu diperankan (dan dibuat) oleh anak-anak remaja—dari anak-anak SMA sampai mahasiswa—yang mengambil objek diri mereka sendiri. Artinya, perilaku aktivitas mesum yang diabadikan lewat kamera itu sebagian besar melibatkan aktivitas pacaran yang dilakukan muda-mudi.

Ini, menurut saya, tidak semata-mata menunjukkan distorsi moral anak-anak muda, tetapi juga menunjukkan bahwa kita (guru, orang tua, dan pihak-pihak yang bersangkutan) kurang menanamkan pelajaran dan arti penting tanggung jawab.

Video bugil itu kebanyakan dibuat dengan menggunakan kamera ponsel—sedang kamera ponsel baru populer beberapa tahun yang lalu. Artinya, perilaku mesum seperti itu bisa saja telah terjadi bertahun-tahun sebelumnya, hanya saja mulai terkuak setelah adanya ponsel yang memudahkan orang menggunakan kamera. Dengan ditunjang mudahnya akses internet, maka gelombang video porno pun semakin mudah mengalir kemana-mana.

Jadi, yang menjadi inti sebenarnya, menurut saya, bukan perilakunya semata-mata, tetapi juga perlunya kita semua mengajarkan arti pentingnya tanggung jawab. Tanggung jawab atas perbuatan diri sendiri, tanggung jawab atas penggunaan teknologi, sampai tanggung jawab dalam hubungan pacaran. Teknologi, dari kamera, ponsel, sampai internet, hanyalah sarana. Bahkan tanpa semua teknologi itu pun manusia akan tetap dapat melakukan kemesuman di ruang publik jika tidak memiliki tanggung jawab.

Di Amerika, ada suatu aturan yang disebut National Dating Violence Abuse Protocol. Ini semacam MoU (Memorandum of Understanding) antara orang tua dengan orang yang menjadi pacar anaknya. Peraturan ini diberlakukan untuk semua remaja yang telah menginjak usia 14 tahun ke atas. Melalui aturan ini pula, orang tua dapat meminta identitas pacar anaknya, semisal meminta fotokopi KTP, sampai membuat perjanjian mengenai hal-hal yang dianggap perlu, semisal keseriusan dalam hubungan pacaran, dan lain-lain.

Dengan adanya peraturan itu, maka orang tua dapat mengadakan perjanjian dengan pacar anak gadisnya, mengenai apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam aktivitas pacaran mereka. Karenanya, jika kemudian diketahui bahwa aturan itu dilanggar, maka orang tua si gadis dapat menuntut tanggung jawab si laki-laki berdasarkan aturan itu.

Nah, aturan semacam itulah yang konon sedang diusahakan oleh Sonny Set, sehubungan upayanya dalam membendung arus video porno anak-anak muda Indonesia, dan kita semua berharap semoga upaya itu akan berhasil.

Jika aturan semacam itu sudah disepakati pemerintah, maka setidaknya aktivitas pacaran akan lebih bertanggung jawab, sekaligus lebih bermoral. Dan aturan semacam itu tentunya jauh lebih baik daripada sekadar melarang bugil di depan kamera, sekaligus lebih menanamkan nilai-nilai tanggung jawab.

Tetapi, persoalannya, apakah pemerintah kita yang sudah amat sibuk dengan dirinya sendiri itu masih memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap moral anak-anak muda negerinya…?

Selamat berjuang, Bang Sony!

 
;