Selasa, 15 Maret 2011

Curhat Novel (2)

Post ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Nah, saat ini saya bisa bernapas agak lega karena semua naskah yang dikejar deadline sudah beres, dan itu artinya saya bisa mengerjakan kembali novel drama tadi. Tetapi, ya ampuuuuuuun, novel ini benar-benar bikin saya frustrasi! Sekarang yang menjadi masalah bukan lagi ketebalan naskahnya, tetapi isi ceritanya! Saat ini, naskah novel itu tinggal 350-an halaman, tetapi saya tidak juga puas dengan isi ceritanya.

Berkali-kali saya membacanya, membacanya lagi, dan membacanya lagi, tapi selaluuuuuu saja ada yang sepertinya kurang beres.

Setiap kali membacanya, saya selalu saja menemukan kejanggalan atau hal-hal tak masuk akal yang dilakukan tokoh-tokoh yang saya ciptakan dalam novel itu. Jika tokoh-tokohnya sudah beres, maka jalan ceritanya yang saya rasa aneh. Lalu saya ubah lagi, revisi lagi, benahi lagi. Dan begitu terus-menerus. Sampai saat ini, mungkin saya sudah membaca naskah novel itu lebih dari seratus kali—tapi tetap belum merasa tenang.

Jujur, ini pertama kalinya saya mengalami kenyataan semacam ini. Ketika menggarap buku-buku yang lain, terkadang saya juga mengalami rasa frustrasi saat menulis dan menyempurnakannya. Tapi novel ini tidak hanya membuat saya frustrasi, melainkan juga membuat saya merasa hampir gila!

Yang susah, novel drama harus digarap dengan hati yang benar-benar tenang, agar jalan ceritanya bisa mengalir dengan sama tenangnya. Sialnya, setiap kali mulai membaca kembali naskah ini, hati saya tak bisa tenang karena luar biasa dongkol. Tidak jarang saya mengembuskan asap rokok di depan layar monitor dengan jengkel, lalu berteriak pada tokoh-tokoh yang saya ciptakan dalam novel itu, “Kenapa kamu berbuat hal-hal konyol seperti itu???”

Lalu saya perbaiki. Hal-hal yang terasa konyol saya ubah atau hilangkan. Lalu saya baca kembali, dari awal lagi, dan menemukan kejanggalan-kejanggalan lagi, kemudian dongkol lagi, mengubahnya lagi, lalu saya merasa ingin bunuh diri karena frustrasi.

Untuk menghilangkan niat bunuh diri, saya pun biasanya menutup naskah itu dari layar monitor. Lalu meneguk minuman dan menyulut rokok. Setelah mengembuskan asap rokok dan terlupa pada niat bunuh diri, saya pun membuka naskah novel itu lagi. Lalu… frustrasi lagi…!!!

Ya ampuuuuuuuuuun, pikir saya. Kapan novel ini akan selesai…???

Kalau kau berpikir menulis novel itu gampang, kau keliru. Orang kadang berpikir menulis novel lebih mudah dibanding menulis buku ilmiah atau nonfiksi, karena novel hanya berdasar imajinasi. Faktanya, bagi saya, menulis novel sama sulitnya—bahkan terkadang lebih sulit—dibanding menulis buku ilmiah atau nonfiksi.

Ketika menulis buku nonfiksi (ilmiah) dan kemudian terbentur pada fakta-fakta yang terasa janggal, si penulis bisa melacak dan menelusuri hal itu melalui literatur dan referensi. Dari situ biasanya masalah pun akan selesai—yang keliru dapat dibetulkan, yang janggal dapat diluruskan—dan si penulis pun bisa tenang kembali.

Nah, berbeda dengan menulis novel. Benar, menulis novel adalah kerja imajinasi karena novel memang cerita fiksi. Tetapi, justru di situlah letak masalahnya. Ketika alur cerita terasa tidak wajar, atau tokoh/karakternya terasa janggal, atau ada hal-hal lain yang tak masuk akal, si penulis harus meluruskannya dengan berdasar pada imajinasinya sendiri. Dialah yang harus mereka-reka sepenuhnya semua cara dan upaya agar cerita yang dibangun benar-benar tepat dan wajar serta masuk akal—dan kenyataan semacam itulah yang sekarang saya alami.

Seperti yang sudah saya katakan di atas, saya telah membaca naskah novel ini lebih dari seratus kali, tapi tetap merasa belum tenang. Kadang-kadang, ketika sudah merasa sangat frustrasi, saya pun berkata pada diri sendiri, “Ya sudahlah, mungkin novel ini memang tak ditakdirkan terbit.”

Tetapi, ya Tuhan, saya sudah telanjur sayang pada tokoh-tokoh yang saya ciptakan dalam novel itu, dan saya pun ingin melihat mereka “hidup” dalam sebuah buku. Maka, dengan menahan frustrasi dan keinginan untuk bunuh diri, saya pun—mau tak mau—kembali menggarap naskah novel itu, dan hari-hari berganti, sementara novel itu tak juga bisa dianggap selesai.

Di antara semua novel yang pernah saya tulis, novel ini saya rasa paling berat dalam penggarapannya. Dan saya tak pernah menyangkanya sama sekali! Ketika merancangnya dalam pikiran, saya membayangkan menggarap novel ini tak akan terlalu sulit. Tetapi, seperti yang saya bilang tadi, ternyata kenyataannya jauh berbeda.

Sialnya, bila sedang terjebak dalam penulisan yang bikin frustrasi seperti itu, saya jadi seperti orang tidak waras. Pertama, saya akan lupa mandi (sebenarnya sih malas!). Kedua, rumah saya akan berantakan sekali. Ketiga, puntung rokok akan memenuhi semua ruangan, dan asbak-asbak akan menggunung.

Sebenarnya ada hal keempat dan kelima, tapi saya malu menuliskannya. :D

Nah, kadang-kadang, untuk menghibur diri, saya pun membuka email-email yang masuk ke inbox sambil berharap menemukan email-email yang lucu. Tapi sialnya, yang saya dapati malah kata-kata, “Hei Hoeda, kamu pasti orang jenius, ya?”

Jenius apanya…??? Kalau saja kalian melihat isi rumah saya sekarang, kalian pasti akan berkata, “Hei Hoeda, kamu pasti tidak waras, ya?”

 
;