Minggu, 17 April 2011

Bingung Mau Nulis Apa

Setiap penulis atau blogger sepertinya hampir bisa dipastikan pernah mengalami kondisi ini—bingung mau nulis apa.

Kita sudah punya niat mau menulis suatu artikel untuk blog, atau menuliskan suatu ide tertentu yang ada dalam benak, kita juga sudah duduk di depan layar komputer atau laptop, tapi seiring waktu berlalu, artikel atau tulisan itu tetap saja tidak mampu kita buat. Yang terjadi, kita malah sibuk melakukan hal lain yang sama sekali tak ada sangkut-paut dengan rencana penulisan kita.

Menurut Dyah Ayu Purnamasari a.k.a Itik Bali, kondisi semacam itu disebut Phgstragetagtdeius Syndrome. Saya tidak tahu dari mana cewek manis nan pintar ini menemukan istilah tersebut, tetapi saya suka istilah ini, karena Phgstragetagtdeius Syndrome sangat sulit dibaca, apalagi diucapkan. Tepat seperti itulah kondisi ketika “bingung mau nulis apa”—suatu kondisi yang sulit diungkapkan atau diceritakan.

Well, tidak selamanya orang “bingung mau nulis apa” karena tidak punya ide. Yang sering, kondisi itu justru terjadi karena kita memiliki ide terlalu banyak—sebegitu banyaknya, sampai-sampai kita kebingungan mau menulis ide yang mana dulu. Rasanya, uuuh, bingung!

Bahkan, menurut saya, kondisi tidak punya ide malah lebih bagus daripada kondisi punya terlalu banyak ide. Kenapa? Karena ketika tidak punya ide, maka jalan kita lurus terbentang dengan jelas—yakni berupaya mencari ide. Begitu ide tertemukan, maka pekerjaan selanjutnya juga jelas, yakni menuliskan ide itu. Setelah itu selesai. Makan jadi enak, tidur jadi nyenyak.

Sebaliknya, ketika memiliki terlalu banyak ide, maka kita akan sering kebingungan karena menghadapi banyak jalan sekaligus. Ketika berhadapan dengan laptop atau komputer, kita bukannya menghabiskan waktu untuk suatu ide tertentu, tetapi seringnya malah menghabiskan waktu untuk menimbang, memikirkan, merenungkan, dan memutuskan ide mana yang sebaiknya ditulis lebih dulu.

Jadinya malah kita tidak bisa segera menulis, karena terlalu banyak memikirkan, terlalu banyak menimbang, terlalu banyak ragu. Ketika kondisi semacam itu sudah terjadi, makan pun jadi tidak enak, tidur jadi tidak nyenyak. Jika ini terdengar mendramatisir, maka saya akan mengaku bahwa saya sering mengalami kondisi semacam itu.

Dalam hal ide, mungkin bisa dibilang saya belum pernah kehabisan ide untuk menulis. Bahkan, jika dikira-kira, tumpukan ide dalam otak saya saat ini sepertinya cukup mampu menghidupi blog ini hingga lima tahun ke depan—satu post per hari tanpa henti—dengan catatan saya terus sehat, dan memiliki waktu yang cukup, dan kiamat benar-benar tidak terjadi pada tahun 2012. :D

Selain itu, seperti yang pernah saya ceritakan di post terdahulu, inbox email saya bisa dikatakan mirip bank ide—karena di sana terkumpul usul, ide, dan pertanyaan-pertanyaan atas berbagai hal, yang dikirimkan teman-teman pembaca blog ini, yang dapat saya ubah menjadi tulisan atau posting.

Karenanya, dengan modal ide yang sangat berlimpah seperti itu, problem saya bukan kekurangan ide atau kebingungan mencari ide, tetapi justru kebingungan memilah dan memilih ide mana yang sebaiknya digarap dan ditulis lebih dulu.

Sejujurnya, saya sering duduk lama di depan komputer dengan niat menulis sesuatu, tetapi kemudian malah asyik melakukan hal-hal lain yang tidak ada sangkut-paut dengan rencana penulisan itu. Jika saya introspeksi, hal semacam itu terjadi, seringnya, karena saya kebingungan mau menulis ide yang mana dulu, jadinya malah tidak menulis apa pun.

Itu baru ide untuk posting di blog. Belum lagi ide untuk rencana penulisan naskah buku. Sebagai penulis, saya sudah menyiapkan setumpuk ide untuk penulisan buku-buku saya hingga beberapa tahun ke depan. Tetapi melimpahnya ide itu pun rasanya bukan menjadikan saya tenang, tetapi justru membuat sering gelisah. Hampir setiap malam saya sulit tidur karena memikirkan, “Apa umurku cukup untuk menuliskan semua ide itu…?”

Ketika saya sampai pada pemikiran semacam itu, biasanya mata benar-benar sulit dipejamkan, meski sebenarnya sudah sangat mengantuk, meski badan rasanya sudah sangat capek. Yang biasanya terjadi, saya bangun dari tempat tidur, pergi ke dapur untuk membuat teh, lalu duduk sambil merokok, kemudian bengong. Menghitung waktu, mengukur usia, menakar datangnya kiamat.

Dan, saya pikir, waktu itulah saya mengalami Phgstragetagtdeius Syndrome, sebagaimana yang disimpulkan Itik Bali dalam satu postingnya.

Lalu bagaimana mengatasi Phgstragetagtdeius Syndrome ini...??? Itu pula pertanyaan yang selama ini saya cari-cari jawabannya.

Ehmm....

Di Spanyol, ada seorang penulis drama bernama Lope de Vega. Ia hidup antara tahun 1562 sampai 1635—satu angkatan dengan Pedro Calderon de la Barca, yang namanya mungkin lebih populer di kalangan anak muda.

Bagi para penulis dan dramawan, Lope de Vega adalah penulis paling “dahsyat” yang pernah lahir di muka bumi. Dia memiliki jumlah karya yang sulit dinalar akal sehat. Bayangkan, seumur hidupnya, dia telah menulis lebih dari 2.200 (dua ribu dua ratus) naskah drama—jumlah yang luar biasa banyak itu diimbangi dengan kualitas yang tidak memalukan. Dalam hal produktivitas, bahkan Shakespeare sekali pun tak ada apa-apanya dibanding orang ini!

Nah, saya penasaran setengah mati, bagaimana cara Lope de Vega bisa menulis sebanyak itu? Karenanya, saya pernah menghabiskan waktu cukup lama untuk melacak sumber-sumber yang dapat menguak rahasia produktivitasnya. Hasilnya, berdasarkan sumber-sumber literatur yang dapat saya pelajari, berikut inilah tiga rahasia di balik produktivitas Lope de Vega yang luar biasa.

Pertama, Lope de Vega tidak pernah menghabiskan waktu untuk surfing internet, tidak pernah update status di Facebook atau Twitter dan semacamnya, tidak pernah mengirim dan mengecek email, tidak pernah sibuk ngurusin blog, pendeknya tidak pernah online! Ya karena waktu itu internet memang belum ada! :D

Kedua, Lope de Vega tidak pernah disibukkan urusan menerima dan mengirimkan SMS dan segala tetek-bengek menyangkut ponsel, apalagi ngurusin SMS “Ketik REG” dan semacamnya, karena waktu itu memang ponsel belum diciptakan! :D

Ketiga, dan ini rahasia paling “masuk akal”, Lope de Vega nyaris tidak pernah tidur! Seumur hidupnya, dia terus aktif menulis, membaca, dan menulis lagi, dan untuk menunjang kegiatan itu dia hanya tidur dalam jumlah yang sangat sedikit, dalam waktu yang amat minim. Jadi kita bisa membayangkan, jika untuk tidur yang bisa dibilang sangat penting saja dia jarang melakukannya, apalagi untuk kegiatan lain yang tidak lebih penting dibanding tidur...?

Setelah mengetahui ketiga rahasia di atas, saya merasa tercerahkan sekaligus bingung. Tercerahkan, karena saya jadi tahu resep apa yang dibutuhkan untuk bisa produktif. Tetapi juga bingung, karena saya merasa kesulitan untuk dapat melakukannya!

Hari gini, ketika internet sudah ada dalam genggaman tangan, dan akses dunia maya tinggal disentuh ujung jari, rasanya sulit untuk bisa menghindarkan diri dari aktivitas online. Seperti yang dibilang Saykoji, dari bangun tidur sampai mau tidur kembali, rasanya kita terus ingin terhubung dengan dunia maya, karena sepertinya internet sudah menjadi kebutuhan (bukan lagi sekadar gaya hidup) manusia sekarang.

Begitu pula ponsel. Piranti mungil yang sangat cerdas itu pun sekarang fungsinya tidak lagi hanya untuk telepon dan SMS, tapi juga untuk kebutuhan akses internet dan lain-lain. Karenanya, rasanya sulit untuk mengikuti gaya hidup Lope de Vega yang benar-benar “steril” dari internet dan ponsel—setidaknya bagi saya.

Nah, bagaimana dengan resep ketiga, yakni mengurangi tidur? Sepertinya inilah resep “paling masuk akal” yang dapat dilakukan—dan inilah yang sedang coba saya praktikkan. Dalam hal menulis, sepertinya saya tidak lagi berkejaran dengan deadline semata, tetapi juga dengan umur saya. Saya tidak ingin mati dalam keadaan bingung karena masih ada ide yang belum sempat saya tuliskan selama masih hidup.

Nah, waktu saya curhat masalah ini pada Abigail, sohib saya yang agak sinting, dia menjawab, “Yeah, santai aja, pal, nggak usah khawatir. Kalau pun kamu keburu mati sebelum sempat menuliskan semua idemu, tulis aja ntar di akhirat. Siapa tahu di sana ada penerbit yang mau nerbitin tulisanmu.”

Tentu saja Abigail ngawur—karena dia memang suka ngawur. Tetapi, bagi para pembaca blog ini, mohon maaf kalau post ini agak tidak jelas juntrungnya, karena saya juga menulis post ini dalam keadaan dihinggapi Phgstragetagtdeius Syndrome!

 
;