Rabu, 11 Mei 2011

Obrolan Ibu-ibu Horor

Saya baru tahu kalau ternyata obrolan para ibu yang lagi ngerumpi bisa lebih mengerikan dari horornya Alfred Hithcock. Suer, saya sampai merinding sekujur tubuh waktu tanpa sengaja mendengar apa yang mereka obrolkan.

Siang itu saya masuk ke rumah makan yang belum pernah saya masuki, karena kebetulan sedang ada urusan di daerah itu. Rumah makan ini berdampingan dengan sebuah rumah sakit, dan tanpa prasangka apa pun saya masuk ke sana karena sudah lapar. Sampai pelayan rumah makan menghidangkan pesanan saya, semuanya berjalan baik-baik saja. Hingga kemudian muncul beberapa ibu-ibu yang masuk ke sana, dan… taraaa…!

“Jadi anaknya perempuan?” terdengar suara seorang dari mereka.

“Iya, perempuan,” sahut yang lainnya, “padahal Jeng Vika tuh pengin sekali dapet anak laki-laki.”


Lalu yang lain lagi menyahut dengan suara yang terdengar bijaksana, “Yang penting semuanya lancar—anaknya selamat, ibunya selamat.”


Saya masih duduk membelakangi mereka, waktu ibu-ibu itu masuk ke rumah makan yang pada mulanya sepi. Tanpa harus menengok, saya tahu ibu-ibu yang baru masuk itu ada lima orang.

Kelima ibu-ibu itu lalu duduk mengelilingi meja yang tak jauh dari tempat duduk saya. Mereka memesan minuman, beberapa juga memesan nasi, sementara yang lain hanya ingin ngemil. Sambil minum-minum dan ngemil itulah kemudian obrolan yang amat mengerikan mulai terdengar—dan saya jadi merinding disko sambil berusaha menghabiskan makan.

Jadi, kelima ibu-ibu itu mungkin baru saja dari rumah sakit karena seorang famili yang baru melahirkan. Karena suasananya masih suasana kelahiran anak, maka topik obrolan mereka pun jadi seputar proses melahirkan, dan hal-hal terkait lainnya—tak peduli waktu itu mereka ada di rumah makan, dan ada seorang cowok culun yang sedang makan sendirian.

“Eh, Jeng, apa bener kalau ngelahirin sama bidan tuh katanya veggy kita nggak dijahit?” suara seorang dari mereka—terdengar penasaran namun elegan.

“Ya nggak mesti,” ujar lainnya, dengan suara yang terdengar penuh pengalaman. “Dijahit enggaknya itu kan tergantung kondisi, ya. Ada juga bidan yang tetap ngejahit veggy sehabis ngelahirin, kok. Saya aja dulu dapet dua jahitan, padahal ngelahirin sama bidan tuh.”

Nasi dalam mulut saya seperti mulai sulit ditelan.

“Uh, Jeng,” terdengar suara lainnya lagi, “soal dijahit apa enggaknya itu kan juga tergantung pada veggy kita—digunting apa enggak. Kalau veggy digunting ya mesti dijahit lah, masak udah digunting terus dibiarin aja.”

Veggy digunting…??? Mendengar veggy dijahit saja saya sudah merinding—lha ini veggy digunting…? Dan mereka membicarakan hal itu dengan sangat santai, seolah sedang mengobrolkan harga cabai. Apa sebenarnya yang saya dengar ini…?

Karena takjub dan bingung mendengar hal barusan, beberapa percakapan setelahnya terlewat dari pendengaran saya, hingga…

“Wah, Jeng, kalau saya sih lebih suka digunting aja. Robekannya tuh lebih rapi. Beda banget kalau robek sendiri tuh, kadang robeknya nggak beraturan.”

“Saya sih sebenarnya nggak masalahin ya, mau digunting apa robek sendiri. Cuma waktu dijahitnya itu lho, uh… rasanya sakit sekali.”

“Sama, Jeng, saya juga suka ngeri kalau dengar istilah dijahit sesudah ngelahirin. Pas kelahiran anak saya kemarin, kebetulan ari-arinya putus dan ketinggalan. Mulanya dicoba diambil pakai tangan, tapi nggak berhasil. Akhirnya dikuret. Kan dibius tuh. Eh, waktu bangun rasanya jadi lega sekali, karena nggak ngerasain sakitnya dijahit.”

“Yah, Jeng, kalau saya udah bisa dibilang nggak ngerasain apa-apa waktu dijahit tuh, soalnya udah ngerasa sakit banget waktu ngelahirin, jadi sakitnya dijahit udah nggak kerasa lagi. Saya malah sampai ketiduran waktu lagi dijahit.”

Ketiduran sewaktu dijahit…? Oh my gosh, apa sebenarnya yang saya dengar ini???

“Eh, Jeng, kata famili saya yang di Amrik ya, di sana dokternya asyik-asyik tuh.”

“Asyik-asyik gimana, Jeng?”

“Gini, mereka tuh katanya makai cara yang lebih alami waktu ngebantu ibu yang lagi melahirkan, jadi prosesnya lebih mudah. Kalau nggak salah, katanya mereka ngolesin minyak gitu ke veggy, jadi lebih elastis dan nggak perlu digunting, dijahit atau diobras.”

“Wah, Jeng, Amrik telat tuh. Saya mah udah diajari metode kayak gitu sejak dulu.”

“Jeng Sita ngolesin minyak ke veggy?”

“Uh, bukan gitu. Cuma, setelah memasuki bulan kedelapan, saya biasanya meminum satu sendok minyak kelapa murni setiap hari, sampai waktunya ngelahirin. Itu resep yang cespleng lho, Jeng, karena hasilnya emang udah terbukti. Saya nggak pernah ngalamin masalah sewaktu melahirkan—mudah, normal dan lancar, juga nggak perlu digunting atau diobras.”

Dalam hati saya mencatat ucapan itu—kalau-kalau kelak diperlukan.

“Apa iya, Jeng?”

“Iya, itu resep dari emak saya yang didapet dari emaknya dulu. Emaknya dulu itu mungkin juga dapet resep itu dari emak-emaknya dulu.”

Dan dalam hati saya membayangkan, bahwa emaknya yang paling dulu itu mendengar resep tersebut dari suaminya, yang tanpa sengaja mendengar resep itu dari ibu-ibu yang lagi ngobrol, ketika sedang makan siang sendirian di rumah makan di samping rumah sakit.

Khayalan nakal saya terhenti ketika serombongan ibu-ibu lain terdengar masuk ke rumah makan itu. Kali ini jumlahnya cuma empat orang, tapi suara mereka terdengar lebih heboh dibanding ibu-ibu yang tadi.

“Denger-denger, dapet jahitan berapa, katanya?” terdengar suara seorang di antara mereka.

“Empat.”

“EMPAT…???” terdengar pekikan terkejut dari ibu-ibu itu.

Saya tidak paham mengapa mereka harus terkejut mendengar jahitan berjumlah empat itu—dan sumpah mati saya tidak ingin paham.

Buru-buru saya bangkit dari tempat duduk, membayar biaya makan, dan secepatnya kabur dari sana. Hampir bisa dipastikan ibu-ibu yang baru datang itu akan memiliki obrolan yang lebih horor dibanding ibu-ibu yang tadi. Dan rasanya saya tidak akan sanggup mendengarnya.

 
;