Jumat, 26 Agustus 2011

Cowok-cowok Idiot

Ehm, saya lagi stres, jadi sedang malas mikir hal-hal yang agak berat. So, saya bikin posting ini hanya untuk bersenang-senang dan menghibur diri sendiri. Kalau kalian mau membacanya dan ikut terhibur, saya ikut senang.

Posting ini juga saya tujukan buat “nyolek” dua sohib saya yang idiot tapi baik hati—Abigail dan Jonah. Ayo kita menertawakan keidiotan diri sendiri! :D

***

Setiap malam, saat Valentino melangkah di depan rumah Abigail untuk membeli nasi, dia melihat Abigail sedang khusyuk membaca buku. Itu cukup aneh bagi Valentino. Lebih aneh lagi ketika dia tahu bahwa buku yang dibaca Abigail adalah buku fisika.

Jadi, malam itu, ketika melangkah sambil menenteng nasi di depan rumah Abigail, Valentino pun kembali nyamperin, “Lagi belajar, folk?”

“Eh, iya nih, fel,” sahut Abigail. “Lagi belajar fisika.”

“Perasaan, dari kemarin kamu belajar fisika melulu?”

“Iya, soalnya fisika adalah pelajaran yang akan mengantarku menuju cita-cita.”

“Wah, hebat. Jadi kamu ingin jadi pakar fisika, gitu?”

“Uh, bukan gitu, sih,” jawab Abigail. “Aku ingin jadi penjual buku fisika.”

***

Jonah sangat suka nonton film, jadi dia pun menjadi member sebuah rental DVD. Siang itu dia pergi ke rental tersebut, karena ingin menyewa film terbaru. Meski siang itu panas sekali, dan jarak rental itu cukup jauh, Jonah tak peduli, yang penting dia bisa nonton film baru.

Sialnya, film yang diinginkannya kebetulan sedang keluar semua (dipinjam oleh penyewa lain). Akhirnya, sambil menahan dongkol, Jonah pun memelototi rak-rak DVD di sana, siapa tahu ada film bagus yang belum ditontonnya.

Di ujung salah satu rak, Jonah menemukan satu judul yang cukup menarik minatnya. Maka diambilnya DVD itu untuk disewanya.

Sesampainya di rumah, Jonah kesal bukan main karena DVD itu tidak bisa disetel! Ini pasti bukan salah playernya, pikir Jonah. DVD player itu belum lama dia beli dan masih bergaransi. Ini pasti DVD-nya yang tidak beres.

Maka, dengan dongkol, Jonah segera menelepon rental DVD itu untuk komplain.

“Mbak, ini kok DVD-nya nggak bisa disetel!” komplainnya langsung. “Udah capek-capek kepanasan ke sana, tapi nggak ada manfaatnya neeh!”

“Nggak bisa disetel gimana, Mas?” tanya petugas di rental DVD.

“Ya nggak bisa disetel! Nggak keluar gambar filmnya!”

“Masak sih? Tadi pinjamnya yang judul apa?”

Jonah pun meraih casing DVD di dekatnya, kemudian membacakan judulnya, “Head Cleaner!”

***

Sudah lama Valentino menderita insomnia. Hampir tiap malam dia tak bisa tidur. Nah, beberapa hari terakhir dia bisa tidur di malam hari, dan dia pun sangat bersyukur. Tetapi, kemudian, Valentino curiga kalau dirinya telah berjalan selama tidur. Bahasa kerennya, “sleepwalker”, gitu.

Ini berbahaya, pikirnya kemudian. Kalau seseorang berjalan dalam tidur, bisa-bisa dia melakukan hal-hal yang berbahaya, dan Valentino khawatir. Maka, dengan gelisah, Valentino pun menemui Abigail untuk curhat, siapa tahu sohibnya itu punya solusi yang bagus untuk mengatasi kehawatirannya.

Setelah mendengar curhat Valentino, Abigail mengangguk-angguk tanda mengerti. Yeah, memang sungguh berbahaya kalau orang jalan-jalan tanpa sadar gitu. Maka, sebagai sohib yang baik, Abigail pun merasa perlu menolong Valentino. Ia lalu mengambil sebuah kotak kecil dari dalam lemari di kamarnya.

“Kotak ini akan membantu menyelesaikan masalahmu, fel,” kata Abigail serius. “Setiap malam, saat kamu akan tidur, bukalah kotak ini dan taburkan isinya ke lantai kamarmu.”

“Wah, kotak apa ini, folk?” tanya Valentino penuh minat. “Apa ini sejenis serbuk penenang, gitu?”

“Bukan,” jawab Abigail, “itu kotak paku payung.”

***

Di ujung komplek perumahan tempat tinggal Abigail, ada seorang dokter tua yang berpraktek sebagai dokter gigi, bernama Dokter Suaidi. Beberapa minggu yang lalu, dokter ini libur karena sakit pikun, begitu kabarnya, dan sekarang mulai membuka praktek lagi setelah merasa sembuh.

Nah, kepada Dokter Suaidi itulah Abigail datang ketika merasakan giginya sakit tidak karuan selama dua hari.

Saat memasuki ruang praktek dokter itu, Abigail segera menjelaskan sakit giginya. Dokter Suaidi manggut-manggut, lalu meminta Abigail untuk melepas semua pakaiannya, dan menyuruhnya masuk ke dalam ruang periksa.

“Tapi saya ini sakit gigi, Dok,” kata Abigail mencoba menjelaskan, “kenapa pakaian saya harus dilepas?”

“Dilepas saja pakaiannya, terus masuk ke ruang periksa!” titah Dokter Suaidi.

Akhirnya, dengan terheran-heran, Abigail pun menuruti melepas pakaiannya dan memasuki ruang periksa.

Rupanya, di dalam ruang periksa itu sudah ada cowok lain yang juga telah melepas pakaiannya dan sedang menunggu. Abigail curhat sama cowok itu di ruang periksa.

“Saya heran,” kata Abigail pada cowok itu, “saya ke sini buat memeriksakan gigi, tapi saya kok disuruh lepas pakaian seperti ini.”

Si cowok di ruang periksa itu menyahut, “Situ sih masih lumayan. Saya ke sini cuma mau ngantar koran!”

***

Jonah dan Abigail sangat suka memancing. Siang itu, di bawah pepohonan rindang, kedua cowok tersebut duduk di pinggir sungai, sambil memancing.

Di pinggiran sungai itu, Jonah dan Abigail duduk diam sambil menatap aliran sungai yang tampak jernih mengalir...

“Kamu tahu, Jo,” kata Abigail pada Jonah yang duduk di sebelahnya, “hidup ini seperti air yang mengalir...”

“Bagaimana bisa hidup ini seperti air, Big?” tanya Jonah.

“Ya mana aku tahu! Aku kan bukan filsuf...!”

***

Ketika Jonah dan Abigail sedang memancing, Valentino baru saja masuk ke sebuah rumah makan untuk makan siang. Dilihat dari tampangnya, cowok itu sepertinya sedang kelaparan.

“Pesan apa, Mas?” sapa seorang pelayan saat melihat Valentino duduk di salah satu kursi.

Karena sedang kelaparan, Valentino pun segera bertanya penuh nafsu, “Bebek, ada?”

“Ada, Mas.”

“Ayam...?”

“Ayam juga ada.”

“Kambing?”

“Ada, Mas.”

“Burung, ada?”

“Hmm... ada.”

“Kerbau, ada?”

“Ada, Mas!”

“Suruh semuanya keluar dulu! Saya mau makan biar tenang!”

***

Sebuah museum membuka acara spesial, berupa pameran mumi-mumi tua dari Mesir. Karena penasaran dengan acara itu, Valentino pun mengajak Abigail untuk mengunjungi pameran tersebut.

Di salah satu bagian museum, Valentino dan Abigail berdiri di depan sebuah peti mumi tua. Mereka menyaksikan jasad sang mumi melalui kaca di atasnya. Di peti kaca itu terdapat sebuah kartu berukuran cukup besar, bertuliskan 2573 SM.

“Folk,” kata Valentino sambil memperhatikan kartu itu, “menurutmu, apa arti tulisan 2573 SM itu?”

“Mana aku tahu, fel,” sahut Abigail. “Mungkin itu nomor plat mobil yang menabraknya!”

***

Jonah masuk ke sebuah tempat praktek dokter yang terkenal, untuk mengkonsultasikan masalahnya. Di ruang tunggu tampak banyak orang yang tengah menantikan giliran dipanggil. Dengan langkah gontai, Jonah menemui seorang resepsionis cantik yang bertugas di situ.

“Apa keluhan Anda?” tanya si resepsionis pada Jonah.

Dengan blak-blakan, Jonah menjawab, “Ada yang tidak beres dengan penis saya, Mbak.”

Mendengar jawaban blak-blakan yang cukup keras diucapkan itu membuat si resepsionis jadi risih dan malu dengan orang-orang yang ada di ruang tunggu. Karenanya, sambil berbisik ia berkata pada Jonah, “Anda tidak boleh mengucapkan hal semacam itu secara blak-blakan di depan banyak orang seperti ini...”

“Lho, apa salahnya?” protes Jonah. “Anda kan menanyakan apa masalah saya, dan saya menjawab apa masalah saya. Kenapa kok saya salah...?”

Si resepsionis mencoba tersenyum dan menjelaskan, “Ng... begini, kami biasanya tidak menggunakan kata-kata semacam itu di sini.” Setelah melihat Jonah sepertinya memahami maksudnya, si resepsionis melanjutkan, “Nah, sekarang Anda keluar dulu, nanti balik lagi. Dan kalau saya tanya apa keluhan Anda, jawab saja telinga Anda yang bermasalah.”

Karena tidak ingin ribut, Jonah pun patuh. Ia keluar dari ruang itu beberapa saat, kemudian masuk lagi menemui si resepsionis.

Si resepsionis tersenyum, dan dengan sopan menanyakan kembali, “Apa keluhan Anda?”

Kali ini, dengan suara yang lebih keras biar terdengar oleh semua orang yang di sana, Jonah menjawab, “Ada yang tidak beres dengan telinga saya.”

“Ya? Kenapa telinga Anda?”

“Telinga saya tidak bisa kencing!”

Menjelang dan Hilang

….
….

“Tempo hari, waktu aku lihat daftarnya, kok nggak ada ya?”

“Nggak ada gimana?”

“Itu, maksudku, nggak ada garis seperti yang dulu aku lihat.”

“Yakin tuh, nggak ada?”

“Iya. Udah aku lihat bolak-balik. Malah dulu sempat hafal, karena sering lihat. Makanya, aku tuh heran banget pas kemarin lihat di sono kok udah nggak ada.”

“Nah, gimana ceritanya kok kamu sampai lihat daftar itu lagi?”

“Hehehe, sebenarnya sih nggak sengaja. Iseng aja waktu itu—terus aku lihat-lihat, dan sadar kalau memang udah nggak ada.”

“Kamu lihat ke sumbernya?”

“Ya.”

“Dan memang nggak ada?”

“Ya.”

“Kalau begitu memang nggak ada, dunk.”

“Makanya, aku kan heran, karena dulu aku yakin betul itu ada.”

“Kamu punya copy-nya? Maksudku, waktu masih ada something yang kamu lihat itu.”

“Ada. Kebetulan itu dulu tersimpan di memori. Aku kirim aja ya.”

“Sip. Aku tunggu.”

….
….

“Oke.”

“See…? Yang kamu lihat itu versi dulu, ketika masih ada. Sekarang aku kirimkan yang udah nggak ada.”

….
….

“Oke lagi.”

“Nah, nggak ada, kan?”

“Iya, bener. Nggak ada. Hei, tahu perbedaan ini kan sulit, tuh. Gimana kamu bisa membedakan yang dulu sama yang sekarang?”

“Kan udah kubilang tadi. Aku nemu itu tanpa sengaja, karena iseng.”

“Gitu ya.”

“So, menurutmu, kenapa bisa kayak gitu.”

“Wah, bisa ada banyak kemungkinan.”

“Yang paling logis aja deh.”

“Mungkin terbakar.”

“Ya, itu sangat logis—aku juga sempat berpikir begitu. Tapi kenapa?”

“Kalau opsimu?”

“Aku nggak yakin. Bisa saja itu terbakar karena pengaruh objek lain yang bersinggungan dengannya, tapi… aku nggak yakin kalau bisa serentan itu buat terbakar.”

“Eh, kamu tahu sejak kapan perbedaan ini terjadi?”

“Sejujurnya, nggak. Aku sama sekali nggak tahu dan nggak yakin kapan hal itu berubah. Aku cuma tahu bahwa dulu itu ada dan sekarang udah nggak ada.”

“Ini mengingatkanku pada sebuah frasa tertentu…”

“Ya…?”

“Pernah dengar frasa ‘Menjelang dan Hilang’?”

“Terdengar sinonim, ya?”

“Nah, maksudku, bisa saja kasus ini juga semacam itu—menjelang dan hilang.”

“Mungkin ya, tapi kita kembali pada pertanyaan sederhana, ‘mengapa?’ Maksudku, mengapa itu bisa hilang?”

“Oke, anggap saja kamu udah tahu jawabannya. Apa yang kemudian kamu lakukan untuk hal ini?”

“Tentu saja aku melakukan tepat sama seperti itu.”

“Menjelang dan hilang?”

“Ya, menjelang dan hilang. Dan itu sekarang udah kulakukan.”

“Really…? Bisa kamu katakan lebih jelas?”

“Kamu nggak perlu mendengarku mengatakannya. Kamu bisa melihatnya sendiri.”

….
….


*) Ditranskrip untuk kesenangan pribadi

Rabu, 24 Agustus 2011

Cara Mudah untuk Efektif

Pernahkah mendengar eksperimen batu besar? Ambillah sebuah ember dan isilah separuhnya dengan kerikil, lalu cobalah masukkan batu-batu besar ke dalamnya, di atas kerikil-kerikil tadi. Apa yang kita lihat? Batu-batu besar itu tak bisa masuk semuanya.

Sekarang kosongkan lagi embernya dan mulai lagi dari awal. Kali ini, masukkan dulu batu-batu besarnya, baru kerikilnya. Kita lihat, kerikil-kerikil itu bisa masuk semuanya, meski terkadang menyelip-nyelip di sela-sela batu yang besar. Tapi kali ini semuanya masuk. Apa bedanya? Perbedaannya ada pada urutan masuknya.

Ketika menyusun daftar jadwal harian atau mingguan, kita harus memprioritaskan pekerjaan-pekerjaan yang besar dan penting terlebih dulu sebelum mempertimbangkan pekerjaan lain yang kecil dan sepele.

Hal-hal kecil dan sepele semacam menonton teve, membaca koran, main game atau menerima telepon, bisa dilakukan di sela-sela pekerjaan kita yang penting, karena semua itu bisa menyelip-nyelip di tengah pekerjaan besar kita.

Metode ini akan membantu kita dalam hal efektivitas waktu, dan tetap menjaga kita agar tidak menyimpang dari jalur yang akan mengantarkan kita pada tujuan yang kita impikan.

Perubahan dan Pertumbuhan

Pertumbuhan selalu diawali dengan perubahan. Tidak ada yang pernah tumbuh tanpa adanya perubahan. Meski sering kali perubahan itu membuat kita merasa tidak nyaman, tapi itulah satu-satunya cara untuk terus tumbuh dan berkembang. Itulah satu-satunya jalan menuju kemajuan.

Induk elang harus memaksa anaknya untuk meninggalkan sarang dan terbang. Anak elang biasanya lebih suka tinggal dalam sarang yang hangat dan diberi makan serta dirawat.

Tetapi, kalau anak elang tetap berada di sarang, maka dia tidak akan menggunakan sayapnya yang lebar atau menikmati ketinggian yang telah ditakdirkan untuknya sebagaimana dia diciptakan. Karena itulah kemudian induk elang harus menendangnya keluar dari sarang, menangkapnya dengan sayapnya yang besar kalau dia jatuh terlalu jauh, dan melakukan itu sampai anaknya bisa belajar terbang sendiri.

Mudah sekali bagi kita untuk merasa nyaman di dalam sarang kita. Diperlukan keberanian untuk meninggalkan sarang kenyamanan yang selama ini kita diami untuk melakukan perubahan demi arah kemajuan yang kita inginkan.

Prinsip Energi

Ambillah sekotak balok es bertemperatur 50 derajat Celsius di bawah nol, kemudian panaskan. Selama beberapa saat, tak terjadi apa-apa. Energi bertambah banyak walau wujudnya tidak tampak. Tiba-tiba pada suhu nol derajat, es pun mencair menjadi air. Panaskanlah lagi. Lagi-lagi, energi bertambah banyak. Pada suhu sekitar seratus derajat Celsius, terjadi gelombang dan uap. Air mendidih!

Prinsipnya? Energi dapat berpindah ke suatu benda (es, karir, hubungan, pekerjaan, dan lain-lain) meskipun sepertinya tidak ada yang terjadi. Tetapi kenyataannya, energi yang kita keluarkan selalu menghasilkan perubahan, walaupun perubahan itu tidak langsung tampak dengan jelas.

Ketika kita menyelesaikan pekerjaan demi pekerjaan, hasilnya memang tidak langsung tampak. Ketika kita mempererat hubungan dengan orang lain, memang efeknya tidak akan langsung spontan. Tetapi teruskanlah memindahkan energi, dan kita akan mendapati perubahan, menghasilkan kemajuan.

Kita akan menemukan betapa pekerjaan yang telah kita selesaikan begitu banyak dan karir cemerlang telah hadir di depan mata. Kita akan menemukan sebuah persahabatan yang baik, hubungan dengan orang lain yang erat, dan kehidupan pun akan terasa lebih indah.

Jangan Takut pada Risiko

Banyak potensi besar yang kandas tak pernah muncul karena ketakutan pemiliknya terhadap risiko. Banyak impian hebat yang tak pernah terwujud karena pemiliknya tak berani menghadapi risiko. Banyak rencana mulia yang tak pernah terealisasi karena tak ada keberanian menghadapi risiko.

Nasihat lama sudah sering kali mengatakan, no pain no gain. Tak ada usaha, tak ada hasil. Untuk mendapatkan hasil, kita harus berusaha. Dalam melakukan suatu usaha, kita harus menghadapi risiko. Risiko, kemungkinan menderita kegagalan atau kerugian, itu sama pentingnya bagi sukses sebagaimana udara bagi kehidupan.

Bayangkan apa yang akan terjadi seandainya setiap orang memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa sampai ada jaminan hidup ini sudah bebas risiko. Kehidupan ini tidak akan ada apa-apa!

Petani tak akan menanam padi karena hujan bisa saja turun terlalu banyak atau terlalu sedikit, dan hama sawah bisa saja menyerang tanamannya. Usahawan akan menutup pabriknya karena bisa saja resesi akan terjadi dan membangkrutkannya. Televisi akan berhenti memproduksi program siaran karena bisa saja penonton tak menontonnya, dan pemasang iklan tak memasang iklannya. Para seniman akan berhenti berkreasi karena bisa saja kreativitas mereka tak mendapatkan apresiasi. Yang paling mengerikan, ibu-ibu bisa saja tak mau hamil lagi karena bisa saja bayinya sungsang, susah dilahirkan, atau lahir prematur, atau bahkan keguguran.

Mungkin ilustrasi itu terkesan konyol, tetapi keinginan memperoleh hasil tanpa ingin menghadapi risiko memang konyol. Karena risiko memang bukan untuk dihindari. Ia ada untuk dikelola dan disiasati.

Puzzle Hidup Kita

Kita tentu tahu permainan puzzle, suatu permainan menyusun gambar yang terpotong-potong untuk menjadi sebuah gambar yang utuh.

Bayangkanlah seribu potongan gambar puzzle, dan kita diminta untuk menyusunnya secara utuh. Kira-kira, mungkinkah kita dapat menyusunnya? Mungkin saja, kalau kita telah melihat gambar utuhnya, sehingga pikiran kita memperoleh bayangan yang pasti mengenai bagaimana gambar yang harus dibentuk dengan potongan-potongan puzzle itu. Tetapi kita tentu saja akan kesulitan atau bahkan tak dapat menyusun potongan puzzle itu, jika kita tidak pernah melihat gambar utuhnya.

Sekarang, mari kita bayangkan kehidupan yang akan kita jalani. Apakah kita sudah mempunyai bayangan, memiliki suatu gambaran tentang kehidupan seperti apa yang ingin kita miliki?

Hari-hari yang kita lalui ini adalah potongan-potongan puzzle yang harus kita rangkai, kita susun, agar mengutuh. Kita akan dapat merangkainya jika kita telah memiliki gambaran yang pasti tentang kehidupan macam apa yang kita inginkan. Tetapi kita akan menjalani hari demi hari dengan kacau dan tak terarah, jika kita sama sekali tak mempunyai gambaran apa pun tentang hidup yang ingin kita jalani.

Oh, memang kita bisa menyusun potongan puzzle tanpa ada gambar panduannya, dan mungkin saja kita berhasil menyusunnya. Tetapi itu akan membutuhkan waktu yang lebih lama, bahkan sangat lama, kan? Selain itu, tidak ada jaminan kalau kita akan bisa menyusunnya dengan benar, karena itu terlalu spekulatif. Dan apakah kita benar-benar rela mempertaruhkan kehidupan masa depan kita dengan cara spekulasi? Saya tidak. Bagaimana denganmu…?

Senin, 22 Agustus 2011

Malin Kundang: Sebuah Catatan

Anak-anakmu bukanlah milikmu, mereka putra-putri kehidupan
yang memiliki hidupnya sendiri. Lewat engkau mereka lahir,
namun tidak darimu. Mereka ada padamu, tetapi bukan milikmu.

Berikan kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu.
Sebab pada mereka ada alam pikiran sendiri.

Kau bisa memberikan rumah untuk raganya, tetapi tidak untuk jiwanya.
Sebab jiwa mereka adalah penghuni masa depan, yang tidak akan dapat
kaukunjungi, meski dalam impian.

Kau boleh berusaha menyerupai mereka, tetapi jangan membuat
mereka menyerupaimu. Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
pun tidak tenggelam di masa lampau.

Kahlil Gibran, The Prophet


Malin Kundang dikutuk ibunya menjadi batu, karena dianggap anak durhaka. Seperti yang kita tahu, Malin Kundang tidak mau mengakui ibunya sendiri lantaran malu—si ibu miskin papa, sedang si Malin kaya raya.

Saya tidak tertarik untuk menanyakan kenapa Malin Kundang tidak mau mengakui ibunya—tumpukan literatur psikologi dapat dicari untuk menemukan jawabannya. Saya lebih tertarik untuk menanyakan mengapa si ibu mengutuk anaknya sendiri menjadi batu.

So, kenapa seorang ibu sampai mengutuk anaknya sendiri hingga menjadi batu…?

Seperti umumnya cerita rakyat, kisah Malin Kundang pun membawa muatan misi tertentu yang dimaksudkan sebagai pelajaran moral—khususnya untuk anak-anak. Dalam konteks cerita Malin Kundang, dia dikutuk oleh ibunya karena dianggap anak durhaka, dan si pembuat/penutur kisah itu tentunya bermaksud mengajarkan agar anak berbakti kepada orangtuanya.

Tetapi ada satu hal kecil yang membuat cerita Malin Kundang menjadi rancu—yakni, seperti yang telah saya tanyakan tadi, mengapa ibu si Malin Kundang mengutuk anaknya menjadi batu…?

Oke, kita bisa mengajukan pelajaran moralnya. Si ibu mengutuk Malin Kundang karena dianggap durhaka. Tetapi mengapa dia harus sampai mengutuknya? Tidakkah fakta itu justru menunjukkan bahwa si ibu pun sosok yang “durhaka”? Jika misi cerita itu dimaksudkan sebagai pelajaran moral, fakta kutukan itu justru menjadikan si ibu cacat moral.

Di dalam konstruksi kisah konvensional, khususnya lagi cerita rakyat, bisa dikatakan selalu ada tokoh protagonis dan antagonis. Selalu ada si Baik dan si Jahat—dan kita pun diajarkan untuk meniru si tokoh baik dalam cerita tersebut. Nah, di dalam konteks cerita Malin Kundang, siapakah protagonis dan antagonisnya? Siapakah yang menjadi tokoh baik dan jahatnya?

Apakah Malin Kundang si tokoh jahat? Mungkin ya. Tetapi si Ibu juga tidak bisa dibilang sebagai tokoh baik. Karena, jika si Ibu memang tokoh yang baik, tentunya dia tidak akan mengutuk anaknya sendiri, apalagi sampai mengutuknya menjadi batu. Jika dia dimaksudkan sebagai si Baik, maka masih banyak jalan lain yang dapat dilakukannya dalam menghadapi seorang anak yang durhaka.

Kata pepatah bijak, “Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan.” Jika mengacu pada pepatah tersebut, maka ibu si Malin Kundang tidak bisa dikatakan ibu yang baik, karena dia tidak memiliki “kasih sepanjang jalan”.

Sebagaimana umumnya cerita rakyat, kisah Malin Kundang pun hidup dari rahim kebudayaan masyarakat yang melahirkannya. Meski diakui kisah ini berasal dari Sumatera Barat, tetapi konteks cerita itu (selama ini) dapat diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Di negeri yang menganut kebudayaan Timur semacam Indonesia, kultur hubungan antara anak dengan orangtua memang memiliki batas yang pasti, sehingga cerita Malin Kundang pun dapat diadopsi oleh seluruh provinsi. Para orangtua bangga menceritakan kisah Malin Kundang kepada anak-anaknya, dengan harapan anak-anak mereka menjadi anak “yang tidak seperti Malin Kundang”.

Tetapi bagaimana kalau ada seorang anak yang kemudian bertanya kepada ibunya, “Bu, kalau umpama aku durhaka kepada Ibu, apakah Ibu juga akan mengutukku menjadi batu…?”

….
….

Di dalam kultur masyarakat kita—mungkin tanpa kita sadari—ada semacam doktrin diam-diam yang menyatakan bahwa “anak berutang kepada orangtuanya”. Karenanya, para orangtua pun berharap anak-anak mereka “membayar utang” itu, sebagaimana anak-anak (yang baik) pun selalu berupaya “membayar utang mereka” kepada orangtuanya. Doktrin inilah yang sesungguhnya tersembunyi di dalam kisah Malin Kundang.

Ketika Malin Kundang dikutuk ibunya menjadi batu, sesungguhnya si Ibu sedang berkata, “Nak, kau berutang kepadaku. Karena kau tidak mau membayar utangmu, maka aku mengutukmu menjadi batu.”

Setiap anak memang dituntut—bahkan diwajibkan—berbakti kepada orangtuanya. Tetapi “berbakti” dan “membayar utang” adalah dua hal yang berbeda, bahkan berbeda jauh. Betapa pun juga, seorang anak tidak akan sanggup membayar kebaikan yang telah diterimanya dari orangtua—ayah dan ibunya. Karenanya, meski sampai titik darah penghabisan sekali pun, seorang anak tidak akan mampu “membayar utang” kepada orangtuanya.

Bakti seorang anak kepada orangtua ditunjukkan dengan kepatuhan atas hal-hal baik yang diminta orangtuanya. Tetapi jika ada orangtua yang menuntut anaknya untuk melakukan hal-hal buruk, atau meminta si anak untuk melakukan sesuatu yang jelas-jelas tidak diinginkan oleh si anak, maka orangtua sedang menagih utangnya. Sekali lagi, ada perbedaan esensial antara “berbakti” dengan “berutang”.

Orang-orang sering menyatakan, “Tidak ada orangtua yang ingin menyengsarakan anaknya. Karenanya, apa pun yang diminta orangtua pada si anak pastilah baik untuk si anak.”

Really…?

Lalu bagaimana dengan ibu yang menjual anaknya demi sejumlah uang? Bagaimana dengan orangtua yang memaksa anaknya untuk melakukan sesuatu yang nyata-nyata tidak diinginkan si anak? Bagaimana dengan anak-anak yang hidup tertekan dan jauh dari kebahagiaan karena mengerjakan sesuatu berdasarkan paksaan orangtuanya? Tidakkah orangtua semacam itu sedang menuntut anak-anak mereka untuk membayar “utang”—sama seperti ibu Malin Kundang yang mengutuk anaknya menjadi batu…?

Jadi, kewajiban anak kepada orangtua adalah berbakti, dan bukan membayar utang. Bakti diberikan berdasarkan kesadaran dan ketulusan, sementara membayar utang diberikan karena keterpaksaan—langsung ataupun tak langsung.

Jika memang seorang anak memiliki “utang” di dunia ini, maka sesungguhnya utang mereka bukanlah kepada orangtuanya, tetapi kepada anak-anaknya kelak. Kita tidak memiliki utang kepada orangtua, tetapi kita berutang kepada anak-anak yang kelak kita lahirkan, yang kelak akan kita miliki. Karena, sekali lagi, jika anak dianggap “berutang” kepada orangtuanya, maka sampai napas terakhir pun seorang anak tidak akan mampu membayar utangnya.

Setiap anak tentu ingin membahagiakan orangtuanya, membuat mereka tersenyum, bahkan bangga. Tetapi, sekali lagi, itu adalah bagian dari bakti seorang anak, dan bukan tuntutan pembayaran utang.

Artinya, jika ternyata si anak tidak mampu melakukan hal itu, orangtua tidak layak mengutuknya. Karena, jika orangtua mengutuk anaknya gara-gara si anak tidak mampu memberikan apa yang diinginkannya, maka itu tak ada bedanya dengan bank atau rentenir yang menyita hak milik seorang debitur karena tak mampu membayar utang.

Anak-anak yang lahir ke dunia ini tidak minta dilahirkan—mereka lahir karena keinginan si orangtua. Karenanya, jika harus ada urusan piutang di dalam hubungan tersebut, maka orangtualah yang berutang kepada si anak, dan si anak kelak akan berutang kepada anak yang akan mereka lahirkan.

Kita semua pasti ingin memberikan lebih banyak kepada anak-anak kita kelak—lebih banyak dari yang telah kita peroleh dari orangtua kita. Begitulah aturan mainnya, begitulah aturan “utang piutangnya”.

So, jika ibu si Malin Kundang hanya berharap anaknya berbakti dan bukannya meminta anaknya membayar utang, maka tentu dia akan berkata kepada anaknya, “Nak, sebagai ibumu, aku bahagia kau sekarang telah menjadi orang hebat. Meski kau tidak mau mengakui aku sebagai ibumu, aku akan tetap berdoa untuk kebaikanmu. Kau tidak punya utang apa-apa kepadaku. Dan menyaksikanmu seperti sekarang, aku bahagia pernah memilikimu.”

Kalau saja si Ibu mau menempatkan dirinya sebagai “Ibu yang Baik” seperti itu, bisa jadi Malin Kundang berubah menjadi “Anak Manis”… dan bukannya mati membeku menjadi batu.

Where the River Flows

Aku berkata pada diriku sendiri, “Ini yang terakhir.”

Tapi nyatanya aku tak pernah bisa, tak pernah mampu memenuhi janjiku sendiri.

Lain kali aku berkata lagi pada diriku, “Ini yang terakhir.”

Namun kemudian, lagi-lagi, itu hanya menjadi akhir dari sebuah permulaan baru.

Sekarang, aku berjanji pada diriku sendiri, “Ah, persetan! Biarlah sungai mengalir.”

Tabir

Orang yang paling kaucintai tidak mencintaimu. Orang yang paling mencintaimu tidak pernah merupakan orang yang paling kaucintai. Dan orang yang kauhabiskan hidup bersamanya, tidak pernah merupakan orang yang paling kaucintai atau orang yang paling mencintaimu—ia hanya orang yang datang ke tempat yang tepat pada waktu yang tepat.

Ketika tabir kegelapan terangkat dan tirai keangkuhan disingkirkan, orang akan sampai di sini.

Rabu, 17 Agustus 2011

Memiliki Blog itu Seperti Memiliki Anak

Blog, buat saya, adalah media untuk berlatih mencari ide, menulis, juga berbagi apa saja, termasuk ilmu. Seperti halnya hidup, blog merupakan tempat kita berlatih yang begitu luas, dalam kurun waktu yang tak kunjung putus.
Ndoro Kakung, Ngeblog dengan Hati


Memiliki blog itu seperti memiliki anak—setidaknya begitulah yang saya rasakan. Kita membuatnya dari nol, kemudian membesarkannya dengan memberinya makan dalam bentuk posting. Kadang setiap minggu, kadang setiap hari, kadang pula setiap beberapa jam. Akhirnya, blog yang pada mulanya masih bayi itu pun lama-lama tumbuh membesar… dan dewasa. Sesuatu yang pada mulanya tidak ada menjadi ada, dan dikenal orang-orang lainnya.

Sama seperti memiliki anak, ada orang yang lebih suka hanya memiliki satu anak—biasanya beralasan karena ingin memberikan seluruh perhatian pada si anak tunggal. Ada pula yang lebih suka memiliki dua, tiga, atau beberapa anak—biasanya berprinsip “banyak anak banyak rezeki”. Ada pula yang suka sekali membuat anak, tapi kemudian menelantarkannya—jenis terakhir ini hanya suka bikin tapi tak mau repot, hehe…

Omong-omong soal anak, eh, omong-omong soal blog, saya jadi ingat saat-saat awal membuat blog ini. Dulu, saya membuat blog ini dengan template standar dari Blogger. Berbeda dengan template standar sekarang yang tampak cantik bahkan mewah, template Blogger zaman dulu bentuknya benar-benar unyu (baca: lugu).

Sama seperti melahirkan dan membesarkan anak, saya juga membangun blog ini dari nol, dengan perlahan-lahan, hari demi hari, hingga akhirnya jadi seperti ini. Sekarang, di blog ini terkumpul lebih dari 500 (lima ratus) posting—jumlah yang tentu tak bisa dibilang sedikit. Kadang, kalau pas lagi iseng, saya melihat-lihat blog ini sendirian di tengah malam, membuka-buka postingnya, kemudian bengong dan berpikir, “Oh, nggak nyangka aku udah nulis sebanyak ini…”

Suatu hari, berbulan-bulan yang lalu, seorang teman mengirim SMS yang isinya seperti ini, “Edan! Blogmu sekarang udah dapet sitelink ya.”

Waktu itu saya belum tahu sitelink itu apa. Jadi dengan lugu saya membalas SMS itu, “Jangan maki-maki dulu! Sitelink itu apa?”

Lalu teman saya pun menjelaskan definisi sitelink dengan bahasa awam (karena saya memang awam dalam hal beginian). Menurutnya, sitelink adalah penghargaan khusus dari Google yang diberikan untuk blog-blog tertentu yang dianggap layak mendapatkannya. (Kalau kalian ingin tahu lebih jauh mengenai sitelink, silakan tanyakan pada orang lain yang lebih berkompeten, ya).

Intinya, menurut teman saya, Google memberikan sitelink kepada blog-blog tertentu yang dianggap memuat kata kunci unik, memiliki posting-posting orisinal sekaligus banyak dicari, dan—tentu saja—memiliki trafik yang tinggi. Berbeda dengan PR atau ranking Alexa yang dapat diakali atau dicurangi, sitelink benar-benar murni—ia sesuatu yang diberikan untuk blog yang memang dibangun dengan kejujuran dan tumbuh secara alami. Sistem penilaian untuk sitelink ini, hanya Tuhan dan Google saja yang tahu.

Ketika mendengar penjelasan itu, tiba-tiba saya merasa ingin mencium Google. :D

Tentu saja saya ngeblog tidak untuk bertujuan mendapat sitelink. Wong tahu bahwa blog ini ada yang baca saja sudah membuat saya terkejut. Tetapi fakta bahwa Google memberikan apresiasi semacam itu, mau tak mau, membuat saya terharu. Ini seperti… well, ini seperti kalau kau membesarkan seorang anak yang kausayangi tanpa berharap macam-macam, dan tiba-tiba mendengar bahwa anakmu mendapatkan prestasi yang tak pernah kausangka-sangka.

Kira-kira begitulah yang saya rasakan. Dan tiba-tiba saya merasa jadi orang tua yang telah menunaikan kewajiban dengan baik—yakni membesarkan anaknya dengan benar, hingga si anak benar-benar jadi orang. Halah!

Terus-terang, banyak hal yang telah saya dapatkan dalam perjalanan ngeblog selama ini. Meski blog ini adalah blog yang hening, dalam arti tidak menyediakan kolom komentar bagi pembaca atau pengunjungnya, tapi saya bersyukur ada cukup banyak pembaca blog ini yang mau meluangkan waktu untuk menyapa saya melalui email—dan dari sana saya mendapatkan banyak sahabat serta teman-teman baru.

Nah, omong-omong soal komentar di blog, kadang-kadang saya juga merasa telah berlaku tidak adil kepada pembaca. Meski membuka atau menutup kolom komentar adalah hak setiap blogger, tetapi saya menyadari bahwa ada kalanya seseorang membaca tulisan kita, dan kemudian ingin menyatakan atau menyampaikan sesuatu—entah berupa sanggahan, koreksi, ataupun pujian.

Karena itulah selama beberapa bulan terakhir ini, saya memikirkan cara yang dapat dijadikan sebagai jalan tengah. Dan jalan tengah yang kemudian saya anggap paling baik adalah membuat blog baru yang dapat dikomentari secara bebas.

Tetapi kemudian saya bingung. Kalau mau membuat blog lain, mau diisi apa blog baru itu? Kalau isinya sama dengan blog ini, maka percuma saja membuat blog baru. Karenanya, jika saya harus membuat blog lain, maka isi dan materinya harus seratus persen berbeda dengan blog ini. Lebih dari itu, saya ingin pembaca saya kali ini benar-benar terlibat dalam setiap post di blog tersebut.

Kalau kalian membaca posting sebelumnya, kalian pasti ingat kalau saat ini saya sedang memikirkan cara untuk dapat mengintegrasikan blog dengan Formspring. Saya menilai konsep Formspring itu sangat bagus, karena interaktif. Nah, pe-er saya selama ini adalah mencari cara memanfaatkan Formspring untuk blogging. Jika saya mampu memadukan kedua hal itu—blog dengan Formspring—saya yakin hasilnya pasti akan unik.

Dan sekarang blog baru yang saya bayangkan itu telah benar-benar lahir. Namanya Belajar Sampai Mati.

Seperti yang saya inginkan, blog baru itu benar-benar berbeda dengan blog ini. Jika blog ini lebih bersifat pemikiran, maka blog baru itu lebih bersifat pengetahuan praktis. Jika blog ini bersifat monologis, maka blog yang baru bersifat dialogis. Jika blog ini tak bisa dikomentari, maka blog yang baru bebas dikomentari. Yang lebih unik lagi, pembaca blog itu akan terlibat langsung dalam setiap tulisan yang diposting di sana.

Jadi beginilah konsep blog Belajar Sampai Mati—pengunjung/pembaca blog dapat memasukkan pertanyaan apa pun ke dalam kolom pertanyaan yang disediakan di sana, dan kemudian saya akan menjawabnya dalam bentuk posting, berdasarkan jawaban ilmiahnya. Dengan begitu, maka semua materi yang saya posting di blog tersebut adalah materi unik yang memang diinginkan dan dibutuhkan pembaca.

Selain itu, cara ini jauh lebih mudah dan lebih praktis dibanding mengirim email. Melalui blog baru tersebut, pengunjung/pembaca dapat memasukkan (mengetikkan) pertanyaan di kolom khusus yang disediakan di blog, lalu tinggal klik tombol send. Selesai. Jika ingin memasukkan pertanyaan lain, tinggal ketikkan pertanyaan lain, lalu klik tombol send lagi. Bahkan, nilai plusnya, orang dapat memasukkan pertanyaan melalui kolom khusus tersebut tanpa merasa malu atau segan, karena bersifat anonim.

Pertanyaan yang seaneh, selucu dan sekonyol apa pun, akan dijawab dan dibahas secara ilmiah berdasarkan perspektif akademisi, kecuali kalau memang tidak ada jawaban ilmiahnya. Setelah itu saya akan mempostingnya di blog. Berbeda dengan tanya-jawab di Formspring yang tidak bisa dikomentari secara bebas, maka tanya-jawab di blog tersebut dapat dikomentari semua pembaca.

Melalui kolom komentar pula, pembaca dapat memberikan tambahan jika jawaban saya kurang lengkap, atau mengoreksi jika ternyata ada kekeliruan, atau bahkan menyanggah jika ternyata ada jawaban lain selain versi jawaban saya. Aktif, interaktif, sekaligus mencerdaskan—itulah visi blog Belajar Sampai Mati.

Sebagai langkah awal, saya telah memposting pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya ada di inbox email saya. Nantinya, sambil jalan, pertanyaan-pertanyaan yang saya posting di sana hanya pertanyaan-pertanyaan yang dimasukkan di kolom pertanyaan di blog tersebut. Bagi saya, ini adalah blog versi 101—penggabungan mengasyikkan antara Formspring dengan blogging!

Nah, cukup cuap-cuapnya, sekarang ayo kita kunjungi blog baru… :D

Petuah Filsuf Gila (2)

Posting ini lanjutan dari posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman lebih baik, bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Si filsuf gila melanjutkan ucapannya, “Jadi itulah yang selama ini kaulakukan, Nak. Masyarakatmu melakukan sesuatu, dan kau mengikutinya. Masyarakatmu berdiri, duduk, nungging, dan kau pun ikut berdiri, duduk, nungging. Kau tidak mengikuti takdir agung yang diberikan Tuhan untukmu, Nak, kau justru mengikuti takdir yang diciptakan masyarakatmu. Jadi itulah kau sekarang—sosok yang datang kepadaku dengan penuh penderitaan, dan mengharapkan segumpal nasihat untuk mengobati penderitaanmu. Oh, alangkah malangnya nasibmu!”

“Tuan filsuf, apakah Tuan bermaksud menyatakan bahwa seharusnya saya tidak mengikuti masyarakat saya?”

“Oh ya, itulah yang kumaksudkan! Yang seharusnya kauikuti adalah takdirmu, dan bukan takdir orang lain! Tetapi kau tidak berbeda dengan kebanyakan orang lainnya, yang mati-matian mengejar takdir orang lain, tetapi justru meninggalkan dan melupakan takdirnya sendiri!”

“Oh, Tuan Filsuf, saya tentunya harus mengikuti kebiasaan masyarakat saya, kan?”

Harus? Harus? Harus…? Siapa yang mengharuskanmu? Demi langit beserta seluruh isinya, tidak ada yang menyuruhmu begitu, Nak.”

Si laki-laki sekarang berkata dengan marah, “Mungkin Anda tidak paham, Tuan. Saya hidup dalam lingkungan masyarakat, dan tentunya saya harus mengikuti kebiasaan masyarakat saya! Masyarakat saya menikah, dan saya pun menikah. Masyarakat saya punya anak-anak, dan saya pun punya anak-anak. Masyarakat saya melakukan sesuatu, dan saya pun melakukannya demi tidak berbeda dengan mereka!”

“Begitu.” Sang filsuf mengangguk-angguk. “Jadi, siapa sebenarnya yang memiliki hidupmu? Atau, biar kuperjelas, siapa sesungguhnya yang memiliki takdirmu? Dirimu sendiri? Atau masyarakatmu…?”

Si laki-laki terdiam.

Kemudian, dengan nada mengejek, si filsuf gila berujar, “Jadi, kau menikah karena masyarakatmu. Kau punya anak-anak karena masyarakatmu. Kau melakukan segala hal dalam hidupmu dengan tujuan agar sama dengan masyarakatmu. Nah, sekarang kau menyatakan dunia sedang menghimpitmu, dan sekarang kau justru datang kepadaku. Kenapa kau tidak datang saja pada masyarakatmu untuk meminta pertanggungjawaban mereka?”

“Tuan…”

“Hidup adalah soal pilihan, Nak. Seperti apa hidupmu, maka itulah yang sebenarnya telah kaupilih. Dan kau memilih untuk mengikuti masyarakatmu, demi tidak berbeda dengan mereka, maka terimalah takdir itu. Kau tidak perlu mengeluh, karena semua yang menimpamu sekarang adalah hasil pilihanmu. Manusia adalah pencipta takdirnya sendiri, Nak, dan masing-masing mereka akan menjalani takdir yang telah dipilihnya.”

“Tapi saya tidak menginginkan takdir seperti ini, Tuan! Saya tentunya tidak menginginkan keluarga saya kelaparan…”

“Kau masih berusaha mencari kambing hitam untuk dipersalahkan! Tidakkah kau malu…? Kau melakukan segala hal dalam hidupmu karena kehendakmu, dan kemudian kau berusaha mencari kambing hitam untuk dipersalahkan ketika menghadapi konsekuensi atas kehendakmu sendiri. Lihatlah dirimu sendiri, Nak. Kau diberi kebebasan untuk memilih dalam hidupmu—dan kau memilih untuk meniru orang lain. Sekarang, pilihanmu telah menjerumuskanmu, dan kau berupaya mencari kambing hitam. Apa atau siapa yang ingin kausalahkan sekarang…? Tuhan? Takdir? Alam semesta…?”

Laki-laki itu kini menunduk. Seperti berhadapan dengan film tentang dirinya sendiri, laki-laki itu kini menyadari betapa benarnya ucapan itu. Dia telah diberi kebebasan untuk memilih dalam hidupnya—tetapi dia menyalahgunakan pilihannya. Dan sekarang ia menyadari bahwa tidak ada satu pun kambing hitam yang dapat ia persalahkan atas kekeliruan pilihannya. Dia sendiri yang telah menciptakan takdirnya, berdasarkan pilihan-pilihannya.

“Jadi, Tuan Filsuf,” ujar laki-laki itu akhirnya. “Apa yang sebaiknya saya lakukan sekarang…?”

“Kau masih juga menginginkan nasihat,” ujar si filsuf sambil geleng-geleng kepala. “Baiklah, kuturuti keinginanmu. Sekarang dengarkan ini. Mulai hari ini, berhentilah mengikuti takdir orang lain, dan hanya ikuti takdirmu sendiri. Dan agar kau tidak lupa, biar kuulangi sekali lagi. Berhentilah mengikuti takdir orang lain, dan hanya ikutilah takdirmu sendiri. Manusia ditakdirkan lebih mulia dari malaikat—karena manusia memiliki hak dan kebebasan untuk memilih, sementara malaikat tidak. Jadi gunakan pilihanmu dengan bijak—yakni memilih untuk mengikuti takdirmu sendiri.”

….
….

Ketika kemudian laki-laki itu melangkah pergi, sang filsuf gila bergumam sendiri, “Ah, anak manusia. Hanya untuk sedikit nafsu, kau mempertaruhkan seluruh hidupmu…”

Petuah Filsuf Gila (1)

Perlihatkan lebih sedikit dari yang kaumiliki, tunjukkan lebih sedikit
dari yang kausimpan, bicaralah lebih sedikit dari yang kau tahu.
Wasiat para filsuf


Seorang laki-laki berwajah kuyu menemui seorang filsuf dengan penuh keputusasaan. Di hatinya ada luka, di pikirannya ada bencana. Ia mendatangi filsuf itu dengan harapan memperoleh pencerahan—tetapi ia tidak tahu filsuf yang didatanginya seorang gila.

“Tuan Filsuf,” katanya dengan penuh harap. “Saya menemui Tuan, karena saya sedang menghadapi masalah.”

Sang filsuf gila menatap laki-laki di hadapannya, dan bertanya, “Apa masalahmu, Nak?”

“Dunia sedang menghimpit saya!” pekik laki-laki itu.

“Oh, benarkah? Bagaimana dunia bisa sekejam itu kepadamu?”

“Tuan Filsuf, saya punya istri dan empat orang anak. Sudah beberapa bulan ini saya kehilangan pekerjaan, kehabisan uang, sementara persediaan makanan kami sudah habis. Saya terjerat utang, barang-barang sudah dijual dan digadaikan, dan sekarang keluarga saya dalam keadaan kelaparan. Apa yang harus saya lakukan sekarang…?”

Sekarang si filsuf gila tersenyum. “Maafkan aku, Nak. Aku tak bisa menolongmu.”

Laki-laki itu nyaris menangis. “Oh, Tuan Filsuf, bagaimana Anda bisa setega itu?”

“Nak, kalau seseorang tidak bisa menolong dirinya sendiri, maka orang lain dan seluruh dunia ini pun tidak akan ada yang bisa menolongnya. Jangankan aku yang hanya manusia sepertimu, bahkan Tuhan pun tidak akan bisa menolongmu, selama kau tidak bisa menolong dirimu sendiri. Aku melihat ketakutan dan kepasrahan dan kepedihan dan frustrasi dalam pikiranmu. Untuk mendapatkan pertolongan dari orang lain, kau harus dapat menolong dirimu sendiri terlebih dulu.”

“Lalu bagaimana saya bisa menolong diri sendiri, sementara saya sudah kehilangan segala-galanya…???”

“Biarlah itu menjadi bahan pikiranmu.”

“Oh, Tuan Filsuf, tidak maukah Anda memberikan nasihat untuk saya?”

“Nasihat…?!” tiba-tiba si filsuf gila berteriak. “Jadi itukah yang kauinginkan dariku? Nasihat…? Jadi itukah alasanmu menemuiku sekarang? Untuk mendapatkan nasihat? Oh, malang sekali nasibmu, Nak! Kau mengaku sudah kehilangan segala-galanya, dan keluargamu kelaparan, sementara kau malah membuang-buang waktumu hanya untuk mendapatkan nasihat…?!”

Si laki-laki kebingungan. Tetapi sebelum dia sempat membuka mulut, si filsuf gila sudah menyambung ucapannya. “Kalau kau mau mendengar nasihatku, Nak, maka nasihatku cuma satu. Jangan pernah percaya pada nasihat!”

“Maaf…?”

“Oh ya, kau tidak salah dengar! Semua nasihat dalam bentuk kata-kata tidak perlu kaudengar apalagi kaupedulikan! Semua nasihat yang baik tidak diucapkan atau dinyatakan—semua nasihat baik berteriak dalam diam. Oh, anak manusia, kau sudah kecanduan nasihat, karena selama ini kau telah dimanipulasi oleh para penjual nasihat—orang-orang yang sungguh pintar menasihati orang lain, tapi tak pernah mampu menasihati dirinya sendiri!”

“Uh, jadi… jadi apa yang harus saya lakukan sekarang, Tuan Filsuf?”

“Seperti yang kubilang tadi—aku tidak tahu. Hidupmu adalah pilihanmu, dan kau bertanggung jawab penuh atas pilihan itu. Semua masalah yang menimpamu sekarang tidak terjadi karena kehendak alam—tetapi karena kehendakmu sendiri. Jangan mengeluh, Nak. Dunia tidak menghimpitmu secara tiba-tiba—dunia menghimpitmu karena kau memintanya untuk menghimpitmu!”

“Tuan Filsuf, saya… saya tidak paham.”

“Kalau begitu dengarkan aku, Nak, biar kubuat kau paham.” Setelah menghela napas sejenak, dia berujar, “Sekarang jawab dengan jujur pertanyaanku. Semua hal yang kaulakukan dalam hidupmu selama ini—apakah kaulakukan karena memang kau ingin melakukannya, ataukah karena kaupikir kau ingin melakukannya?”

“Maaf, saya… saya tidak paham.”

“Mungkin kau memang perlu lebih banyak belajar, Nak. Tetapi kau tidak punya waktu untuk itu, kan? Kau tidak punya waktu untuk belajar, karena waktumu sudah habis untuk hal-hal lain selain belajar. Lebih dari itu, kau lebih memilih hal-hal lain dibanding belajar—karena lingkungan dan masyarakatmu tidak mendukungmu untuk belajar. Bagi masyarakatmu, banyak hal lain yang tampak lebih hebat dibanding belajar—dan kau pun ikut-ikutan.”

Si laki-laki seperti mulai memahami ucapan itu, tetapi dia tetap masih bingung.

Lanjut ke sini.

Sajak Langit

Mari kita pergi
Hanya kau dan aku
Nanti, saat senja tak kembali
Aku menunggumu di sini

Senin, 15 Agustus 2011

Kata Sartre, Buku Lebih Hebat Dibanding Tuhan

L’existence précède l’essence. L’homme est condamné
à être libre. L’enfer, c'est les autres.
Jean-Paul Sartre


Hei, apa yang ada dalam benakmu ketika membaca judul post ini? Tak perlu pusing atau marah-marah, juga tak perlu jadi freak hanya karena judul posting.

Well, ini post tentang buku. Berikut ini adalah pertanyaan dari teman-teman yang saya ambil dari inbox, dan kebetulan satu di antaranya menyinggung soal Jean-Paul Sartre, si filsuf Prancis kontemporer. Karena alasan etika, judul buku dan nama-nama di bawah ini terpaksa saya samarkan. Yang penting orang yang menanyakan soal ini bisa mendapatkan jawaban, dan teman-teman pembaca lainnya dapat mengetahui inti persoalannya.

***

Empat tahun yang lalu, saya membaca sebuah novel filsafat berjudul “S” yang ditulis oleh “M”—novel Indonesia yang diterbitkan penerbit Indonesia. Di dalam salah satu bab novel itu diceritakan tentang masa kecil Jean-Paul Sartre yang sedang ngobrol dengan kakeknya.

Kita tahu, Sartre mencintai buku sejak kecil, dan di dalam novel itu dikisahkan bahwa suatu hari Sartre berkata pada kakeknya, bahwa menurutnya buku lebih hebat dibanding Tuhan. Si penulis novel “S” itu menyatakan bahwa dialog antara Sartre dengan kakeknya tersebut terdapat di dalam buku biografi Jean-Paul Sartre. Artinya, dialog itu otentik—bukan hanya rekaan atau khayalan si penulis novel tersebut.

Nah, gara-gara membaca novel itu, saya jadi penasaran setengah mati ingin membaca langsung buku biografi Jean-Paul Sartre. Setelah dua tahun keluyuran kesana-kemari, akhirnya saya menemukan biografinya, berjudul “Les Mots” (edisi terjemahan Indonesia). Yang jadi masalah, di dalam buku itu sama sekali tidak ada dialog antara Sartre dengan kakeknya, sebagaimana yang saya baca di dalam novel di atas.

Sekarang, yang ingin saya tahu, apakah Sartre memiliki buku biografi lain selain “Les Mots”? Jika ya, apa judulnya? Dan jika tidak, kenapa si “M” yang menulis novel filsafat itu menyatakan bahwa dialog di dalam novelnya diambil dari buku biografi Sartre?

Coba kita luruskan dulu. Pertama, sejauh yang saya tahu, biografi Jean-Paul Sartre memang hanya “Les Mots”. Setidaknya, buku itulah yang selama ini dianggap sebagai biografi (mungkin lebih tepat jika disebut autobiografi) Jean-Paul Sartre.

Sekarang tentang novel filsafat “S” yang ditulis oleh “M”. Di dalam novel itu memang ada dialog antara Sartre dengan kakeknya (sebagaimana yang kamu baca), yang kata penulisnya berasal dari buku biografi Sartre. Kamu termasuk pembaca yang jeli, karena informasi mengenai sumber dialog itu hanya diselipkan dalam narasi—bukan dalam footnote atau daftar pustaka.

Nah, inti persoalannya, kenapa dialog itu tidak kamu temukan di dalam buku biografi Sartre yang kamu baca? Ini kesalahpahaman yang mungkin sepele, tapi mungkin tak terbayangkan—baik oleh pihak penulis novel tersebut maupun oleh penerbitnya.

Di dalam biografi Sartre edisi bahasa Prancis, dialog-dialog itu ada. Tetapi—entah kenapa—dialog-dialog itu dihapus atau ditiadakan dalam biografi Sartre edisi bahasa Indonesia. So…? Yang terjadi di sini tentu hanya kesalahpahaman. “M” yang menulis novel filsafat di atas mendasarkan rujukannya pada biografi Sartre edisi bahasa Prancis, sedangkan kamu merujuknya ke biografi Sartre edisi bahasa Indonesia.

Ini memang masalah yang mungkin belum terbayangkan dalam penerbitan novel di Indonesia. Selama ini, ada semacam kesepakatan di antara penulis dan penerbit untuk meniadakan sumber referensi (daftar pustaka) untuk novel-novel yang menggunakan rujukan atau referensi, karena novel dianggap berbeda dengan buku ilmiah. Jujur saja, saya pun begitu—tidak menuliskan sumber referensi dalam novel.

Namun, ketika terjadi kesalahpahaman seperti di atas, maka kita tentunya melihat perlunya mencantumkan referensi atau daftar pustaka yang dirujuk dalam penulisan sebuah novel—atau setidaknya mencantumkan footnote atau catatan kaki agar pembaca dapat memverifikasi secara langsung ke sumber rujukan.

Akhirnya, kalau kamu ingin membaca dialog antara Sartre dengan kakeknya sebagaimana yang kamu baca di dalam novel “S” tersebut, bacalah biografinya yang edisi bahasa Prancis.


Pertanyaan saya ini mungkin tidak penting, tapi saya benar-benar penasaran dan ingin tahu jawabannya.

Dulu, saya pernah membeli buku berjudul “X” yang diterbitkan Penerbit “Y”. Buku itu ditulis penulis terkenal Indonesia, yang saat ini masih hidup.

Nah, baru-baru ini, saya ke toko buku, dan mendapati buku “X” di atas diterbitkan oleh penerbit lain (Penerbit “Z”). Bagaimana hal seperti ini bisa terjadi? Apakah si penulis di atas memberikan naskahnya kepada dua penerbit sekaligus? Dan kalau memang seperti itu, apakah hal semacam itu diperbolehkan (dalam dunia penerbitan)?

Ini juga kasus kesalahpahaman. Deskripsi yang kamu berikan memang benar, bahwa buku “X” dulunya diterbitkan oleh Penerbit “Y”, dan sekarang diterbitkan oleh Penerbit “Z”. Bagaimana hal semacam itu bisa terjadi?

Ketika seorang penulis bekerjasama dengan sebuah penerbit, ada satu pasal di dalam surat kontrak mereka yang menyebutkan bahwa pihak penulis dapat mengalihkan hak penerbitannya ke penerbit lain jika telah mencapai batas waktu tertentu. (Penjelasan mengenai hal itu bisa berbeda-beda antar penerbit).

Intinya, jika sampai batas waktu tertentu yang disepakati dan pihak penerbit yang memperoleh hak penerbitan buku itu tidak akan mencetak lagi, maka pihak penulis dapat menarik hak penerbitan itu, dan mengalihkannya ke penerbit lain.

So, itulah yang (kemungkinan) terjadi pada buku “X” di atas. Buku “X” itu pertama kali diterbitkan oleh Penerbit “Y” sudah lebih dari dua belas tahun lalu. Bisa jadi Penerbit “Y” memutuskan untuk tidak akan mencetak buku itu lagi, dan kemudian mengembalikan hak penerbitannya kepada penulis. Oleh si penulis, hak penerbitan buku itu kemudian dialihkan ke Penerbit “Z”.

Jika memang seperti itu yang terjadi, maka “X” (si penulis) tentu saja tidak menyalahi aturan penerbitan. Dan, saya yakin, memang seperti itulah yang terjadi menyangkut penulis terkenal di atas.


Saya suka post tanya-jawab seputar buku di blogmu, karena baru kali ini saya menemukan yang seperti ini. Meski kesannya remeh, tapi jawaban dan penjelasanmu selama ini sangat detail, sehingga memberikan pengetahuan dan wawasan bagi pembaca, khususnya seputar buku dan dunia penerbitan.

Kalau boleh usul, bagaimana kalau isi tanya-jawabnya diperluas, dalam arti tidak hanya menyangkut buku saja, tapi juga membahas hal-hal lain, meski kamu tetap menggunakan buku sebagai acuan dalam menjawabnya?

Usulmu ini juga telah diusulkan oleh tiga juta empat ratus tiga puluh empat orang lainnya. *ngarang*

So, saya memposting usulmu di atas untuk mewakili usul teman-teman lain yang juga mengusulkan hal sama.

Sebenarnya, sebagian besar post yang ada di blog ini juga berasal dari pertanyaan-pertanyaan seperti yang kamu maksudkan di atas. Itulah kenapa kadang saya menulis topik-topik tertentu yang mungkin masih asing atau aneh—karena topik itu sebenarnya berawal dari pertanyaan teman-teman yang ada di inbox email saya.

Dulu, pada awal-awal blog ini lahir, saya biasanya menuliskan penjelasan bahwa topik itu berawal dari usul atau pertanyaan si anu atau si itu. Tetapi lama-lama penjelasan itu saya hilangkan karena sepertinya tidak terlalu penting, dan hasilnya seperti sekarang ini.

Nah, yang masih membuat saya bingung adalah pertanyaan-pertanyaan tertentu yang jawabannya cukup singkat, sehingga tidak mungkin dikembangkan menjadi sebuah posting. Untuk hal tersebut, saya sedang mencari formula yang tepat untuk mewadahinya.

Saat ini saya masih memikirkan cara yang paling mudah untuk mengintegrasikan blog dengan Formspring, sehingga teman-teman nantinya bisa langsung mengirimkan pertanyaan apa pun tanpa harus repot-repot menulis email secara khusus, juga tanpa harus membuka Formspring. Kemungkinan besar nanti wujudnya adalah sebuah blog baru yang benar-benar unik dan belum pernah ada sebelumnya. Dan blog baru itu akan segera lahir dalam minggu ini. Ditunggu ya... :)

Senin, 08 Agustus 2011

Penulis adalah Kreator

Siapa penulis favoritmu?

Kalau dari luar (negeri), aku suka Meg Cabot. Kalau dari Indonesia, aku suka Hoeda Manis.

Kenapa suka karya Hoeda Manis?

Dia unik—cara dan gaya menulisnya lain dari yang lain. Tulisannya juga selalu berbobot, tapi asyik. Dia tuh bisa menyebut nama-nama besar macam Kierkegaard, Nietchsze, Emerson, Rumi, Sartre, dengan cara yang sangat santai, seolah itu nama-nama sohibnya atau tetangganya sendiri. Hahaha... Pokoknya keren!

Lidya Renata, mahasiswi dan model iklan
dalam wawancara dengan majalah Voila! (Indonesia Edition),
Nomor 79, Agustus-September 2009


Lebih dari seminggu yang lalu, saya dihubungi editor Penerbit Gramedia, yang memberitahukan kalau buku saya, Mengapa Cewek Cantik Pacaran dengan Cowok Jelek, akan dicetak ulang. Oh, itu kabar yang menyenangkan. Dan saya pun berharap buku itu masih akan dicetak ulang setidaknya dua puluh kali lagi. :D

Well, ada yang ingin saya ceritakan mengenai buku tersebut, yakni latar belakang penulisannya, hingga buku itu kemudian ter-display di toko-toko buku, dan mungkin sekarang telah ada di tanganmu. Bukan soal bestseller-nya, melainkan proses kreatif selama penulisannya.

Selama lebih dari sepuluh tahun menjadi penulis, saya sampai pada kesimpulan pribadi bahwa penulis adalah seorang kreator—sama seperti pencipta musik atau pelukis.

Karena seorang kreator, maka tugas penulis bukan hanya menulis, melainkan juga merambah wilayah-wilayah baru yang belum terjamah dalam dunia kepenulisan, sehingga tidak hanya mampu menyuguhkan materi tulisan yang lebih baik, tetapi juga dapat menciptakan model atau gaya menulis yang baru.

Nah, hal terakhir itulah yang selama ini menjadi objek pemikiran saya. Dalam kultur penulisan fiksi dan nonfiksi, ada perbedaan yang sangat mencolok. Dalam penulisan fiksi, penulis memiliki keleluasaan dalam mengeksplorasi gaya penulisannya, sehingga dunia fiksi pun cepat berkembang dengan berbagai model atau gaya penulisan. Hasilnya, dunia penulisan fiksi terus dinamis, bahkan hingga di masa sekarang.

Sayangnya, kenyataan semacam itu sepertinya tidak terjadi dalam penulisan nonfiksi. Dalam dunia nonfiksi, gaya penulisan yang lazim sepertinya sulit diubah atau setidaknya dikembangkan—dengan berbagai alasan. Akibatnya, seperti yang dapat kita lihat, dunia nonfiksi pun kurang dinamis sebagaimana dunia fiksi. Banyak penulis baru lahir dengan berbagai buku nonfiksi mereka, tetapi gaya penulisan mereka tidak membawa banyak perubahan.

Poin itulah yang terus-menerus saya pikirkan beberapa tahun belakangan. Saya ingin menawarkan gaya atau model penulisan baru kepada para pembaca, sehingga buku nonfiksi dapat berkembang dan dinamis sebagaimana buku-buku fiksi. Lebih dari itu, saya juga ingin orang menikmati buku nonfiksi dengan asyik sebagaimana mereka menikmati novel atau buku fiksi.

Beberapa tahun yang lalu, saya membaca novel berjudul “No Way to Treat a First Lady” yang ditulis Christopher Buckley.

Di dalam novel ini, Buckley memadukan thriller dengan humor yang mampu membuat pembaca tegang sekaligus cekikikan. Bagi saya, itu adalah salah satu novel paling keren yang pernah saya baca, sehingga saya sampai tidak melakukan apa pun sebelum mengkhatamkannya. Selama membacanya, saya terus-menerus tegang sekaligus tertawa cekikikan—sesuatu yang tidak saya dapatkan di novel mana pun!

Yang dilakukan Christopher Buckley itu bisa dikatakan hal yang baru dalam dunia fiksi, karena memadukan thriller dengan humor adalah sesuatu yang langka, sulit, bahkan belum pernah dilakukan penulis lain sebelumnya.

Nah, saya membayangkan, bagaimana kalau formula semacam itu diterapkan dalam buku nonfiksi? Bagaimana kalau teori-teori ilmiah yang rumit dibuat sederhana, dan kemudian diolah bersama humor yang membuat pembacanya cekikikan? Sejauh yang saya tahu, tidak ada peraturan yang menyatakan bahwa buku nonfiksi harus ditulis dengan muka murung. Artinya, sejauh ini tidak ada larangan memasukkan humor ke dalam penulisan buku nonfiksi.

Selama ini memang ada buku nonfiksi yang mampu membuat pembacanya tertawa, tetapi penulisan buku itu memang ditujukan untuk hiburan. Yang saya inginkan adalah membuat buku nonfiksi yang serius dan ilmiah, namun mampu memberikan hiburan yang menyenangkan bagi pembaca—setidaknya membuat mereka cekikikan selama membaca dan mempelajarinya.

Hal itulah yang kemudian mulai saya terapkan di dalam buku Mengapa Cewek Cantik Pacaran dengan Cowok Jelek. Buku itu mengusung teori-teori psikologi yang berat dan rumit, tapi saya berupaya menguraikannya sesederhana mungkin, dan menyelipkan humor di sana-sini.

Selama menulis naskahnya, saya berkali-kali mengalami trial and error, atau bahkan error and error—karena memang tidak mudah memasukkan humor ke dalam topik-topik yang serius dan ilmiah, khususnya lagi yang memenuhi standar penerbit.

Ini memang bukan pekerjaan yang mudah, tapi setidaknya saya telah mulai melakukannya. Dan saya bersyukur buku pertama yang menggunakan formula tersebut dapat diterima publik pembaca dengan baik, sehingga langsung cetak ulang dalam tiga bulan—cukup prestisius untuk ukuran buku ilmiah yang ditujukan untuk anak muda.


Buku itu juga merupakan pintu pembuka bagi saya untuk semakin dalam mengeksplorasi dunia penulisan. Dalam menulis, saya tidak ingin hanya asyik pada topik yang saya tulis, tetapi juga dalam gaya penulisannya.

Meski sebagian pembaca mungkin telah mengenal ciri khas saya dalam menulis, namun saya ingin terus memperkaya dan mengembangkan gaya penulisan itu. Kalau menggunakan contoh dari dunia musik, saya ingin seperti gaya bermusiknya DEWA. Mereka mengubah-ubah gaya musik mereka setiap kali menelurkan album, meski ciri khas mereka tetap melekat.

Saya ingin sekali bisa seperti itu, dan melalui blog inilah saya mengasah kemampuan dalam hal itu. Kalau kalian perhatikan isi blog ini, dari posting ke posting, saya telah berulang kali menggunakan berbagai macam gaya penulisan yang berbeda, namun mengupayakan agar ciri khas saya tetap melekat. Mungkin memang belum sempurna, tapi setidaknya saya telah berusaha dan terus memperbaikinya.

Penulis adalah kreator, itulah keyakinan saya. Karenanya, selain harus terus memperkaya pikiran dan batin dengan ilmu pengetahuan baru, penulis juga harus mampu memperkaya gaya menulisnya, sehingga dapat terus memberikan kejutan menyenangkan bagi para pembacanya. Mengikuti tren mungkin bagus, tapi saya pikir menciptakan dan memulai tren baru jauh lebih bagus. Dan saya lebih suka memulai hal yang baru.

Lebih dari itu, saya memang menginginkan buku-buku saya sebagai karya yang “evergreen”, yakni buku-buku yang terus dibaca tanpa terikat waktu atau tren. Beberapa karya awal saya yang terbit pada tahun 2000-an telah mampu melakukan hal itu, sehingga buku-buku tersebut terus dicetak ulang meski sudah sepuluh tahun sejak diterbitkan.

Mungkin sungguh menyenangkan kalau buku karya kita mampu menciptakan kehebohan dan laris dalam waktu singkat. Tapi saya lebih senang jika buku saya tidak perlu menciptakan kehebohan macam-macam, namun terus dicetak ulang dan dibaca hingga bertahun-tahun… bahkan hingga saya telah meninggal. Buku adalah guru abadi bagi pembacanya, dan setiap penulis adalah jembatan di antara mereka.

Hari ini, saya membaca pemikiran-pemikiran Immanuel Kant, Jean Paul Sartre, Milan Kundera, Al-Ghazali, Sayid Qutub, Aldous Huxley, Muhammad Iqbal, Kahlil Gibran, bahkan Tan Malaka dan para pemikir lainnya, meski mereka telah berpuluh-puluh tahun meninggal dunia. Dan saya pun ingin… kelak, generasi yang akan datang tetap membaca buku-buku saya meski telah berpuluh-puluh tahun saya meninggal dunia.

Saya percaya bahwa setiap manusia pasti bertumbuh—tidak hanya fisiknya, tetapi juga pikirannya. Artinya, kalau sekarang mereka menyukai bacaan-bacaan ringan karena faktor usia mereka (baik usia fisik maupun usia psikologis), tapi mereka akan terus bertumbuh. Pada suatu saat, mereka akan melangkah dari bacaan ringan ke bacaan berat. Dan… saya ingin buku-buku saya menjadi jembatan tempat mereka menyeberang.

Jadi itulah misi saya dalam menulis. Dan untuk misi itu, saya tidak akan pernah berhenti belajar, agar tak pernah berhenti berproses. Setiap penulis adalah kreator, dan setiap kreator terus berproses. Untuk tumbuh… dan bukan membusuk.

Mengapa Cewek Cantik Belum juga Punya Pacar

Yeah, mana aku tahu...?

Kalau kamu punya teman yang kayak gitu, kenalin aku dunk. Siapa tahu dia mau jadi pacarku? :D

Tumbuh Setelah Ditanam

Konon, ada biji tomat yang sangat istimewa. Ini adalah biji tomat pilihan dalam varietasnya yang paling unggul.

Disebutkan bahwa biji yang kecil itu mampu menumbuhkan buah tomat yang hebat seberat 13 kilogram. Sebuah biji yang sangat kecil itu dengan mudah akan menghasilkan makanan yang baik dengan berat sejuta kali lipatnya. Tetapi benih dengan semua janjinya itu tidak akan menumbuhkan tomat satu pun... kecuali kalau ditanam.

Begitu pula dengan impian sehebat apa pun yang dapat kita bayangkan. Impian, gagasan, keinginan, dan cita-cita yang paling hebat di dunia tidak akan ada gunanya sebelum impian dan gagasan itu ditanam.

Dan setelah gagasan besar itu ditanam dalam pikiran yang sudah dipersiapkan dengan baik, hasil yang luar biasa pun akan didapat. Setiap pencapaian besar yang sekarang kita saksikan, semuanya berawal dari gagasan, dari sebuah impian yang ditanam. Harta kekayaan hakiki milik kita adalah gagasan yang diwujudkan dalam tindakan.

Perjalanan Proses

Orang-orang yang hidup di saat ini sudah terbiasa dimanjakan dengan segala sesuatu yang serba instan. Semuanya serba mudah, segalanya serba gampang. Orang sekarang tidak perlu menanam kopi untuk menikmati segelas kopi karena ada kopi instan. Orang sekarang tidak perlu menggiling tepung dan gandum untuk membuat mie, karena telah ada mie instan.

Karena itu pulalah ada banyak orang di zaman sekarang yang merasa asing dengan proses. Kebanyakan dari mereka ingin memperoleh banyak hal, ingin mencapai banyak tujuan, tapi mereka ingin dengan cara serba cepat, serba instan.

Meski makanan dan minuman telah dikemas dalam budaya instan, tetapi pencapaian hidup tidak ada yang instan. Itu membutuhkan proses, bahkan proses yang panjang, dari pembelajaran yang tekun sampai kerja keras siang malam. Memang mungkin orang bisa saja merebut kesuksesan yang instan, tapi kenyataan membuktikan pula bahwa segala sesuatu yang dicapai dengan cara cepat akan musnah dalam waktu yang cepat pula.

Sebagaimana jamur yang tumbuh dengan cepat saat musim hujan datang dan menghilang dengan cepat pula saat panas mulai menyengat, begitu pula kesuksesan atau apa pun yang diperoleh dengan cara instan.

Sebaliknya, pohon beringin tumbuh secara perlahan, sampai bertahun-tahun, dan dalam pertumbuhannya ia harus menghadapi kekerasan alam, panas matahari, dinginnya hujan, terpaan angin, gelegar petir dan halilintar, tetapi akhirnya ia mampu berdiri dengan kokoh dan mampu hidup hingga puluhan bahkan ratusan tahun.

Jangan pernah menghindari proses, karena proses itulah yang akan membawa kita menuju tujuan hidup jangka panjang.

Obrolan Telur di Pantai

Di pinggir pantai, dua buah telur bercakap-cakap. Mereka membicarakan tentang rencana mereka setelah menetas.

Telur yang pertama berkata, “Aku ingin menjadi tiram bila nanti sudah menetas. Seekor tiram hanya mengapung di air, dan tidak pernah membuat keputusan apa pun. Gelombang laut akan membawanya kesana-kemari, dan itu tidak perlu direncanakan. Air laut akan membawakanku makanan untuk hidup, dan aku membayangkan bahwa kehidupan semacam itulah yang paling menyenangkan.”

Telur kedua kemudian berkata, “Kalau aku, aku ingin menjadi elang setelah menetas nanti. Elang memiliki kebebasan untuk pergi kemana pun ia mau, dan bisa melakukan apa yang ia inginkan. Tentu ia memang harus bertanggung jawab untuk berburu mencari makanan dan membuat keputusan penting agar bertahan hidup, tapi ia juga bebas terbang setinggi awan. Elang menentukan hidupnya sendiri, dan bukan sekadar menjadi budak lingkungan hidupnya—dan kupikir, itu kehidupan yang menyenangkan.”

Sebagaimana dua butir telur itu, kita pun selalu memiliki dua pilihan yang sama. Kita selalu bisa memilih untuk menjadi tiram yang nyaman meski terombang-ambing oleh hempasan lautan, ataukah menjadi elang yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap hidupnya namun dapat terbang setinggi yang ia inginkan.

The Key

Dalam hidup, ada persoalan yang ringan, ada pula persoalan yang berat. Sering kali, yang menjadikan ringan atau beratnya persoalan itu bukan semata-mata persoalannya, tapi juga dari cara kita memandangnya. Jika kita berpikir suatu masalah dapat diatasi, maka begitulah yang terjadi. Sebagaimana jika kita berpikir bahwa itu masalah yang terkunci, maka itu pulalah yang biasanya terjadi.

Masalah dalam hidup pun bisa diibaratkan pintu yang terkunci, dan kadang kuncinya hilang hingga membuat kita kebingungan. Untuk dapat membukanya, kita membutuhkan kunci serep atau kunci cadangan. Jika kunci cadangan juga tidak ada, sementara kita butuh membuka pintu itu, maka kita pun biasanya memanggil tukang kunci.

Pernah melihat seorang ahli kunci bekerja? Ia dihadapkan pada sebuah kunci yang tak dapat dibuka karena anak kuncinya hilang entah kemana. Si ahli kunci datang dengan tanpa mengetahui anak kunci macam apa yang telah hilang itu. Tetapi ia akan melihat dan memperhatikan kunci yang tak bisa dibuka itu, mengamatinya sejenak, dan kemudian mulai mengambil beberapa anak kunci yang telah dipersiapkannya.

Beberapa kali dicoba namun tak juga dapat membukanya, lalu si ahli kunci ini melakukan sesuatu atas anak kuncinya. Ia mengikirnya pada beberapa bagian tertentu dari anak kuncinya, mencobanya lagi, menyempurnakannya lagi, dan kemudian... kunci itu pun dapat terbuka!

Begitulah cara mendapatkan apa yang kita inginkan. Kita harus melihat terlebih dulu apa yang sesungguhnya kita inginkan, mengamatinya secara benar, lalu mencoba mencari langkah untuk sampai ke sana. Pada beberapa percobaan ke arah sana mungkin tak akan langsung berhasil, kadang menemui beberapa kegagalan, tapi jangan patah semangat. Sempurnakan langkah-langkah itu, dan mulai melaju lagi, sempurnakan lagi dan melaju lagi, sampai tujuan benar-benar tercapai.

Kalau kita meminta hampir segalanya di dunia dengan cara yang tepat dengan cukup keyakinan dan kesungguhan, maka kita akan memperolehnya. Beberapa hal membutuhkan keyakinan dan kesungguhan yang lebih besar untuk mendapatkannya, namun kita selalu dapat memperolehnya... asal kita berusaha memperolehnya dengan benar.

Jumat, 05 Agustus 2011

Untuk Kesejuta Kalinya, Mengapa Blog Ini Tidak Bisa Dikomentari?

Saya sudah tidak bisa lagi menghitung berapa kali mendapat pertanyaan, “Kenapa blogmu kok tidak menyediakan kolom komentar?”

Sebenarnya, saya sudah menyiapkan “jawaban pamungkas” untuk setiap pertanyaan seperti itu. Di label About This Blog, setidaknya saya telah menyiapkan dua post yang secara khusus menjelaskan alasan kenapa saya tidak membuka kolom komentar di blog ini. Dua post itu adalah Blog yang Hening, dan Sumur Kearifan Dumbledore.

Namun mungkin para pengunjung blog ini tidak semuanya membuka label About This Blog, sehingga sampai menyempatkan diri menanyakan hal itu. Jadi, biasanya pula, saya pun memberikan link dua post tersebut sebagai jawaban untuk mereka. Nah, post ini merupakan post ketiga yang secara khusus kembali membicarakan tidak adanya kolom komentar di blog ini.

Mungkin blog ini memang aneh—dan saya rupanya baru sadar keanehan tersebut. Kalau saya “keluyuran” ke blog teman-teman, baik yang berbahasa Indonesia maupun yang berbahasa isyarat (memangnya ada?), saya belum pernah menemukan blog yang tertutup (tak bisa dikomentari) seperti blog ini.

Well, tentu saja membuka atau menutup kolom komentar adalah hak setiap blogger, apa pun alasannya. Ini sama halnya dengan hak untuk berkomentar di blog seseorang. Meski blog si A membuka kesempatan berkomentar bagi pengunjung, tapi tentu setiap pengunjung punya hak untuk memberikan komentar atau tidak, kan?

Tidak semua blog yang kita kunjungi pasti kita komentari, karena berbagai alasan. Bisa karena kita tidak paham topik yang dibahas di blog tersebut, bisa karena post itu memang tidak perlu dikomentari, bisa pula karena kebetulan kita sedang malas meninggalkan komentar. Apa pun alasannya, itu hak setiap pengunjung blog, dan itu sah-sah saja.

Saya sendiri termasuk orang yang tidak mau asal meninggalkan komentar. Tak peduli itu blog punya teman sendiri (maksudnya teman yang memang kenal di dunia nyata), saya tidak akan meninggalkan komentar kalau memang saya tidak ingin memberi komentar untuk postingnya.

Jujur saja, ada orang yang sampai marah sama saya gara-gara urusan sepele ini. Pasalnya, saya tidak pernah meninggalkan komentar di blognya sekali pun, padahal saya biasa aktif berkomentar di blog lain yang kebetulan juga dikenal oleh orang tersebut. Nah, si “orang tersebut” sampai berkirim email ke saya hanya untuk meminta agar saya mau meninggalkan komentar di blognya.

Oke, ini mungkin terdengar aneh dan lucu. Pada mulanya saya pun menganggap begitu. Tapi rupanya si “orang tersebut” benar-benar serius. Setelah beberapa kali berkirim email dan tetap saya cuekin, dia mulai marah-marah. Ini serius! Dia marah-marah sama saya via email. Tetapi tak peduli dia marah-marah seperti apa pun, saya tetap tidak mau meninggalkan komentar di blognya.

Sampai di sini, mungkin kalian berpikir, “Kenapa kok kamu sampai segitunya sih, pal? Apa susahnya sih, ninggalin komentar di blognya?”

Ada beberapa alasan kenapa saya tidak mau membaca apalagi meninggalkan komentar di blog seseorang, meski mungkin saya mengenal bloggernya. Di antara beberapa alasan itu, berikut adalah dua alasan pentingnya:

Pertama, karena loading blognya berat. Demi langit dan bumi, saya benci blog yang loading-nya berat! Jadi, tak peduli sehebat apa pun postingmu, mohon maaf, saya lebih suka membuka Google atau Wikipedia, daripada kena ambeien karena menunggu loading blog yang tidak juga selesai.

Kedua, karena saya tidak paham postingnya. Saya manusia biasa, dalam arti pengetahuan saya terbatas. Kalau sebuah blog membahas jeroan komputer atau ponsel, software atau hardware, CSS, HTML, atau semacamnya, saya benar-benar tidak paham. Jangankan bisa berkomentar, wong baca postingnya saja belum tentu saya ngerti.

Oke, back to topic. Kenapa blog saya tidak membuka kolom komentar? Jawabannya kembali pada motivasi ngeblog saya.

Bahwa saya ngeblog untuk berbagi—ya. Bahwa saya ngeblog untuk sharing pengalaman dan pengetahuan—ya. Tetapi di atas semuanya itu, saya ngeblog untuk kesenangan diri sendiri.

Blog ini bagi saya serupa buku diary, tempat saya menumpahkan pikiran, perasaan, kerisauan, kebahagiaan, dan hal-hal lain. Kalau kau kebetulan menemukan blog ini dan kemudian membaca isinya, maka yang saya inginkan hanyalah agar kau memahaminya—tanpa vonis, tanpa komentar apalagi tuduhan macam-macam, juga tanpa prasangka.

Blog ini adalah rekaman perjalanan hidup dan pikiran saya. Karenanya, kalau kau menemukan blog ini, maka itu tak jauh beda jika kau menemukan sebuah buku diary tergeletak di tengah jalan. Kau boleh memungutnya dan kemudian membuka serta membaca isinya, namun kau juga boleh membiarkannya saja. Yang jelas, apa pun isi diary itu, kau tidak boleh menghakiminya.

Jadi, itulah yang saya inginkan. Buka dan bacalah isi blog ini sebanyak yang kauinginkan, tapi nikmati saja dalam keheningan. Kalau kau menganggap isi blog ini memberikan manfaat bagimu, ambillah manfaat itu, gunakan bagi hidupmu, dan biarlah hanya Tuhan yang tahu. Jika itu memang bernilai positif dan membawa kebaikan, semoga itu menjadi amal kebajikan saya bagi sesama.

Sebaliknya, kalau kau merasa tidak cocok dengan isi blog ini, apa pun alasannya, tinggalkan saja. Masing-masing orang memiliki pikiran dan latar belakang yang berbeda, maka tentu sungguh wajar jika hasil pemikirannya juga berbeda-beda. Jika Tuhan sengaja menciptakan kita semua dalam bentuk dan pikiran berbeda, mengapa kita ngotot harus sama…?

Sekali lagi, blog ini serupa buku diary bagi saya. Kalau kau menemukan buku diary tergeletak di pinggir jalan, dan kemudian membaca isinya karena kebetulan halamannya terbuka, maka kau tidak perlu mengomentari apalagi menghakimi pemiliknya.

Itu motivasi saya dalam ngeblog, yang tentu bisa saja berbeda dengan kalian. Bagi saya tidak masalah. Saya juga sering kagum kalau menemukan blog yang memiliki banyak komentar. Yeah, mungkin, kapan-kapan saya juga sesekali akan membuka kolom komentar di blog ini—mungkin pas ada moment tertentu—siapa tahu?

Mungkin Teman Saya Seorang Filsuf

Setelah kami terdiam cukup lama, teman saya berkata, “Iya ya, kalau dipikir-pikir, memang benar apa yang dikatakan teman saya.”

“Ya?” saya langsung tertarik. “Apa yang dikatakan temanmu?”

“Itulah masalahnya. Saya lupa.”

Cara Mengalahkan Ketakutan

Sekian abad yang lampau, filsuf besar Plato mengatakan, “Kemenangan yang pertama dan terbaik adalah mengalahkan diri sendiri. Dikalahkan oleh diri kita sendiri, lebih daripada yang lain, adalah hal paling memalukan dan hina.”

Tetapi, berapa kali kita dikalahkan oleh rasa malas kita sendiri? Berapa kali kita ditundukkan oleh rasa cemas dan khawatir kita sendiri? Berapa kali kita dipecundangi oleh rasa takut kita sendiri?

Ketakutan adalah musuh kesuksesan nomor satu. Ketakutan menghentikan orang memanfaatkan peluang. Ketakutan meletihkan vitalitas fisik. Ketakutan benar-benar membuat orang sakit, menyebabkan gangguan organik, memendekkan umur, ketakutan menutup mulut kita ketika sebenarnya ingin berbicara.

Cara yang paling pasti untuk mengalahkan ketakutan adalah tindakan. Lakukan apa yang kita takutkan, dan rasa takut pun akan segera berlalu. Takut mencoba suatu peluang yang baru? Lakukanlah, dan ketakutan itu akan segera sirna. Takut saat akan berbicara? Lakukan saja, dan ketakutan itu pun akan menyingkir begitu kita mulai membuka suara.

Dulu, ketika pertama kali belajar renang, saya merasakan ketakutan yang teramat sangat saat akan terjun ke dalam kolam. Kaki saya seolah terpaku di pinggir kolam, dan saya benar-benar tak berani terjun ke bawah. Guru olahraga saya pun membentak agar saya segera terjun, agar saya tak perlu takut tenggelam karena pasti akan ditolong, tapi saya tetap ragu-ragu.

Sampai kemudian, setelah melihat guru saya habis kesabaran, saya pun nekat terjun. Dan sebagaimana yang sudah saya kira, saya langsung tenggelam ke dasar kolam, menghirup air yang masuk lewat mulut dan hidung, dan saya megap-megap saat ditolong naik ke atas kolam.

Tapi satu hal yang lewat dari perkiraan saya adalah, bahwa ternyata pengalaman tenggelam barusan tidaklah semengerikan yang telah saya bayangkan. Perut saya memang penuh air, tetapi ternyata tenggelam di dasar kolam “hanya begitu-begitu saja”. Dan sejak itu, saya pun tak takut lagi untuk terjun ke kolam.

Ketika akan memulai sesuatu, kita sering kali merasa takut dan ragu-ragu. Kita sudah membayangkan terlebih dulu bagaimana nanti kalau rencana kita gagal, bagaimana nanti kalau usaha kita tenggelam. Kalau menuruti apa yang kita “pikirkan”, sering kali kita tak akan pernah memulai. Jadi, terjun saja. Lakukan saja apa yang ingin kita lakukan, dan kita akan membuktikan bahwa yang kita takutkan itu sebenarnya tidaklah semenakutkan yang kita bayangkan.

Catatan yang Kutulis untuk Tugas di SMP

Perbedaan terbesar antara manusia dengan binatang adalah bahwa manusia bisa memiliki cita-cita, bisa memikirkan bagaimana hari esoknya, sementara binatang tidak bisa. Memiliki cita-cita itu tidak bodoh, yang bodoh adalah tidak memiliki cita-cita.

Cita-cita tidak hanya dibutuhkan untuk memberi motivasi pada diri kita, cita-cita juga penting untuk menjaga agar kita tetap hidup.

Kesuksesan akan mendatangi mereka yang mempunyai cita-cita dan terus mengejarnya, meskipun ada hambatan dan kekecewaaan. Dan setiap kesusahan yang mengiringinya mendatangkan benih keuntungan yang setara atau lebih banyak.

Karena itu, milikilah cita-cita!


*) Guruku memberi nilai A untuk tugas ini.

Wasiat Lao Tse

Alasan mengapa sungai dan laut menerima kehormatan dari seratus sungai di gunung adalah karena sungai dan laut berada di bawah mereka. Jadi, mereka bisa mengendalikan semua aliran sungai gunung.

Maka jika kau berharap untuk berada di atas orang-orang lain, kau harus mengambil posisi di bawah mereka. Bila kau berharap berada di depan orang-orang lain, kau harus menempatkan dirimu di belakang mereka.

Jadi, meskipun kau berada di atas orang-orang itu, mereka tidak merasakan beratnya. Meskipun tempatmu berada di depan orang-orang itu, mereka tidak merasa terhalangi pandangannya.

Senin, 01 Agustus 2011

Cara Memenangkan Debat Dimana pun, Kapan pun, dengan Siapa pun (2)

Post ini berkaitan erat dengan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Sampai suatu hari, majalah HAI menerbitkan liputan mengenai Eddie Brickel. Di dalam laporan yang ditulis HAI tersebut, secara jelas dan nyata wartawan HAI menyebutkan bahwa jenis kelamin Eddie Brickel adalah wanita. Saya membawa dan menunjukkan majalah HAI edisi itu kepada kawan saya, untuk membuktikan bahwa saya benar dan dia salah.

Dan, coba tebak, apa yang terjadi…?

Kawan saya tetap tidak mau mengakui kesalahannya…!!!

Dia tetap bersikukuh bahwa Eddie Brickel seorang laki-laki, dan dia bahkan menyatakan bisa saja wartawan majalah HAI itu keliru atau salah tulis.

Coba lihat, bahkan setelah bukti yang kuat dipaparkan dan diperlihatkan pun, orang yang berdebat tidak mau mengakui kesalahan atau kekeliruannya. Mengapa? Karena ini menyangkut ego—rasa penting diri.

Ketika orang di dalam suatu perdebatan menyatakan, “Inilah yang benar!” maka sampai kapan pun dia tidak akan peduli dengan kebenaran versi lain yang dikatakan orang lain. Mengapa? Karena jika dia mengakui bahwa dia salah, maka ego dan rasa penting dirinya akan terluka.

Seperti yang dilakukan kawan saya di atas tadi—dia tetap memegang teguh kesalahannya, meski kesalahan itu nyata-nyata salah. Artinya, meski saya jelas-jelas benar dan artinya saya memenangkan perdebatan, tetapi hakikatnya saya tidak memenangkan apa pun. Saya tidak merasa menang saat itu, bahkan sejujurnya saya justru merasa kalah.

Sekali lagi, itu pengalaman bodoh di masa remaja. Tetapi rupanya pengalaman bodoh itu tetap juga belum mampu menyadarkan diri saya. Ketika kuliah, saya masih juga membawa kebodohan itu, dan kembali melakukan kebodohan yang sama!

Kampus tempat saya kuliah menggunakan model pembelajaran student center, sehingga hampir seluruh aktivitas belajar dilakukan oleh mahasiswa dengan sarana makalah, sementara dosen hanya berperan sebagai pembimbing atau fasilitator.

Nah, setiap kali suatu mata kuliah diadakan, dan makalah dipresentasikan oleh suatu kelompok yang telah ditunjuk, semua mahasiswa di kelas akan membuka “kitabnya” masing-masing. Begitu pula saya. Ambisi masing-masing mahasiswa waktu itu adalah mengajukan argumentasi sekuat-kuatnya untuk mematahkan seluruh teori yang tertulis dalam makalah yang sedang dipresentasikan.

Jadi begitulah. Setiap kali makalah dipresentasikan, dan sebuah topik dilontarkan, maka yang terjadi selanjutnya adalah pertarungan teori yang begitu kejam. Ruang kuliah berubah menjadi arena gladiator, dan perbedaan persepsi menjadi perang yang berdarah-darah. Bodohnya, saya termasuk salah satu gladiator dalam pertarungan itu!

Semua mahasiswa yang bertarung dalam acara presentasi itu ingin menang—begitu pula saya. Akibatnya, hakikat presentasi yang seharusnya untuk berdiskusi jadi berubah menjadi sarana perdebatan. Dan kemudian, ketika sesi presentasi dianggap selesai karena jam kuliah sudah berakhir, siapakah yang kemudian menjadi pemenang…? Tidak ada!

Dalam beberapa kesempatan, saya memang (merasa) berhasil menghancur-leburkan semua teori yang tertulis dalam makalah yang dipresentasikan. Tetapi, saya pun menyadari, bahwa meski begitu pun saya tidak merasa menang. Saya tahu para mahasiswa yang saya kalahkan dalam presentasi itu sakit hati, dan kesadaran akan hal itu sama sekali tak bisa menjadikan saya merasa menang apalagi senang.

Jadi beginilah aturan yang terjadi di dalam perdebatan: Kalau kau kalah, kau akan sakit hati terhadap lawan debatmu, dan itu membuatmu kalah dua kali. Sebaliknya, kalau kau menang, lawan debatmu akan sakit hati kepadamu, dan kenyataan itu sama sekali tak bisa dijadikan sebagai kemenanganmu. Ayolah, kemenangan apa yang bisa kita rayakan jika untuk menang itu harus menyakiti perasaan orang lain…?

Ketika saya mulai menyadari kenyataan itu, saya pun bersumpah pada diri sendiri untuk tidak akan lagi berdebat di mana pun, kapan pun, dengan siapa pun. Karena perdebatan tidak akan menjadikan saya pemenang, tak peduli sebanyak apa pun lawan yang bisa saya kalahkan.

Jadi, bagaimana cara memenangkan perdebatan di mana pun, kapan pun, dengan siapa pun…? Jawabannya menjadi jelas, yakni tidak berdebat!

Ketika orang berdebat, dia membawa keyakinan-keyakinannya, persepsi-persepsinya, bahkan asumsi dan khayalan-khayalannya. Ketika orang berdebat, dia mempertaruhkan egonya, rasa pentingnya, bahkan martabat dan harga dirinya. Karenanya, sangat sulit untuk dapat menemukan orang yang mau mengalah dalam perdebatan, karena itu sama saja mempertaruhkan “nama baik” dirinya.

Ingat, perdebatan tidak sama dengan diskusi. Jika diskusi bertujuan untuk menemukan titik temu, maka perdebatan justru sebaliknya—ia sarana untuk memecah-belah. Diskusi dilakukan dengan kerendahan hati, sementara perdebatan dilakukan dengan keangkuhan dan tinggi hati. Diskusi dilakukan untuk mencari kebenaran bersama, sedang perdebatan dilakukan untuk menunjukkan kebenaran diri sendiri.

Perdebatan itu kontraproduktif—khususnya lagi perdebatan untuk soal-soal yang seharusnya tidak perlu lagi diperdebatkan.

Dale Carnegie, pakar komunikasi terbesar yang pernah dimiliki oleh sejarah, menyatakan, “Orang bodoh menganggap berdebat itu hebat. Orang bijak tahu berdebat itu tolol!”

Sedangkan Socrates, filsuf agung dari Athena, menyatakan, “Kalau kau berdebat dengan orang pintar, kau tidak akan menjadi pintar. Kalau kau berdebat dengan orang tolol, kau akan sama-sama tolol!”

Hari ini, ketika saya menulis catatan ini, saya ingin menyatakan kepada siapa pun bahwa mencari kebenaran itu sejuta kali lebih baik dibanding mencari kesalahan. Dan mencari kebenaran tidak bisa dilakukan melalui perdebatan. Ketika berdebat, kita hanya mengenal kebenaran diri sendiri yang relatif. Ketika berdebat, kita tidak lagi menghiraukan mana yang benar, tetapi hanya berambisi menjadi pemenang sekaligus berupaya untuk dapat mengalahkan.

Jangan berdebat—itulah cara paling mudah untuk memenangkan perdebatan di mana pun, kapan pun, dengan siapa pun.

Orang-orang bijak tidak berdebat—mereka menghargai pendapat orang lain, keyakinan orang lain, tanpa usaha untuk menyalahkan, selain berupaya memahami dan memaklumi. Kita semua memiliki keyakinan pribadi, dan tidak ingin satu orang pun di muka bumi ini menyalahkan keyakinan kita. Begitu pula dengan orang lain.

Mungkin di antara kita ada yang berpikir, “Tetapi jika orang itu jelas-jelas salah, kita perlu mengubahnya, kan?”

Saya setuju. Keinginan untuk dapat mengubah orang lain adalah niat mulia, dan keinginan yang sangat baik. Tetapi, saya pun setuju bahwa keinginan untuk mengubah diri sendiri adalah niat yang seribu kali lebih mulia dan seribu kali lebih baik. Jika ada orang yang harus diubah di dunia ini, maka orang pertama yang harus diubah adalah diri kita sendiri.

Cara Memenangkan Debat Dimana pun, Kapan pun, dengan Siapa pun (1)

Tidak ada sesuatu pun yang baik atau buruk,
hanya pikiranlah yang membedakannya.


Ada cukup banyak orang yang suka berdebat—dari memperdebatkan hal-hal remeh seperti kisah akhir sinetron favorit, sampai debat filsafat dan teologi yang bikin perut melilit. Kini, ketika internet telah menjadi bagian hidup sehari-hari, dan blog telah menjadi makanan pokok sebagian manusia beradab, debat pun masih dibawa-bawa. Tak peduli di zaman biadab atau di masa kehidupan beradab, masih banyak orang yang suka berdebat.

Dulu, ada sebuah website yang secara khusus dijadikan arena tempat orang beradu debat—mirip ring gladiator tempat para pendekar (atau yang merasa pendekar) bertarung sampai berdarah-darah. Karena website itu mengupas persoalan-persoalan religi dan teologi, maka hampir bisa dipastikan peminatnya langsung membludak—dan itulah yang terjadi dengan website itu.

Setiap hari, beratus-ratus orang berkumpul di website tersebut, saling mengajukan pemikirannya, argumentasinya, bahkan caci-maki dan sumpah serapahnya. Satu topik (posting) dilempar ke arena, dan ratusan orang itu pun langsung bertarung dengan membawa kitabnya masing-masing, dengan pikirannya masing-masing, dengan kecerdasan dan kebodohannya masing-masing.

Jika website itu berupa arena yang kasatmata, maka kita pasti dapat menyaksikan banyaknya darah yang tercecer dan terus mengalir. Dan perdebatan itu tak pernah selesai, tak kunjung berakhir.

Selama waktu-waktu itu, saya menyaksikan perdebatan demi perdebatan, satu posting demi satu posting, satu topik demi satu topik. Ajaibnya, orang-orang yang ada di sana tak pernah bosan berdebat. Mereka terus berdebat, terus berdebat… hingga kemudian website itu ditutup karena suatu alasan yang tidak jelas.

Hari ini, website yang pernah sangat kontroversial itu telah menjadi salah satu puing di bawah kuburan dunia maya.

Nah, selama menyaksikan perdebatan demi perdebatan yang pernah ada di sana, saya bertanya-tanya dalam hati, siapakah yang menjadi pemenang dalam perdebatan itu?

Jawabannya mungkin terdengar aneh, karena TIDAK ADA! Tidak pernah ada pemenang dalam sebuah perdebatan, karena siapa pun yang berdebat akan sama-sama kalah—diakui ataupun tidak.

Debat dan perdebatan bukanlah pertarungan untuk mencapai menang-kalah, itu adalah pertarungan untuk sama-sama kalah!

Dulu, ketika saya masih SMA, ada seorang penyanyi bernama Eddie Brickel. Orang ini memiliki lagu yang sangat hit waktu itu, berjudul “Good Times”. Bagi para remaja di era 90-an, “Good Times” bisa dibilang sebagai lagu harian, dan lagu ini sering disetel di radio mobil saat dalam perjalanan. Bagi para ABG waktu itu, lagu Eddie Brickel termasuk salah satu “identitas gaul”.

Nah, nama Eddie Brickel ini sempat menjadi bahan perdebatan antara saya dengan seorang kawan sekelas. Menurut kawan saya, Eddie Brickel seorang laki-laki, sementara saya berkeyakinan Eddie Brickel seorang wanita. Ini perdebatan yang amat bodoh—tetapi ketika hal itu terjadi bertahun-tahun yang lalu, saya tidak sadar kalau itu benar-benar bodoh.

Saya tahu Eddie Brickel seorang wanita, tetapi sekuat apa pun saya meyakinkan teman saya atas fakta ini, dia tidak mau percaya—dia tetap yakin bahwa Eddie Brickel seorang laki-laki. Susahnya, saya tidak punya bukti kuat yang dapat menunjang keyakinan saya, sehingga waktu itu saya hanya bisa ngotot dan berkata, “Pokoknya…!”

Padahal, dasar argumentasi kawan saya sangat lemah. Dia meyakini Eddie Brickel seorang laki-laki, hanya karena ada kata “Eddie” pada namanya. Menurut kawan saya, hanya laki-laki yang memiliki nama “Eddie”, dan karena itulah dia tetap yakin bahwa Eddie Brickel seorang laki-laki.

Sekali lagi, ini benar-benar bodoh. Tetapi bagi siapa pun yang suka berdebat, mereka tak pernah peduli sebodoh apa pun topik yang diperdebatkan.

Lanjut ke sini.

Saya Bukan Indo!

Seorang teman yang baru kenal pernah bertanya, “Hei Hoeda, kamu indo ya?”

“Haah…?” saya bengong. “Bukan!”

Setelah yakin saya bukan indo, si teman ini menjelaskan empat macam indo.

Yang pertama, orang yang memang indo, tapi tidak tahu dirinya indo. Jadi, orang-orang tahu dia indo, berdasarkan ciri-cirinya. Tapi si orang bersangkutan sama sekali tidak tahu dirinya indo. Orang semacam itu memang langka, tapi bukan berarti tidak ada.

Yang kedua, orang yang memang indo, dan sadar dirinya indo. Yeah, ini bisa dibilang umum. Orang jenis ini ada yang baik, ada juga yang sok. Tapi yang jelas dia indo, dan kita mengakui identitasnya.

Yang ketiga, orang yang bukan indo, tapi mirip indo. Cukup banyak orang seperti ini. Nah, orang jenis ini biasanya dibagi dua, yaitu orang yang jujur mengakui kalau dirinya bukan indo, dan orang yang berbohong dengan mengaku kalau dirinya indo.

Yang keempat paling parah. Jenis keempat adalah orang yang bukan indo, sama sekali tidak mirip indo, tapi merasa dirinya indo, dan mengaku-aku kalau dirinya indo. Belum cukup, orang ini juga suka berkeliling kesana kemari dan berkoar-koar kalau dirinya indo. Lebih konyol lagi, orang ini juga bergabung dengan organisasi atau komunitas indo, karena sangat yakin dirinya memang indo.

….
….

Ketika mendengarkan penjelasan di atas, saya bengong. Lalu bertanya pada si teman, “Memangnya ada, gitu?”

“Ada, pal. Bahkan nggak sedikit. Kayaknya itu malah sekarang jadi tren.”

“Jadi tren?” saya makin bengong.

“Iya. Sekarang ini ada organisasi atau komunitas indo yang secara khusus ditujukan untuk orang-orang yang merasa dirinya indo. Lucunya, tidak ada satu pun orang di dalam komunitas itu yang memang benar-benar indo. Kenapa? Karena orang yang benar-benar indo tidak punya komunitas semacam itu!”

….
….

Percakapan itu terjadi beberapa minggu yang lalu, tapi sekarang terngiang kembali di telinga saya. Beberapa hari terakhir, saya telah membuktikan apa yang dikatakan teman saya di atas, dan memang benar adanya. Seseorang mengaku kepada saya bahwa dirinya indo, padahal saya tahu dia sama sekali tidak punya ciri-ciri indo, bahkan jauh banget dari kesan indo. Uh, kenyataan itu menjadikan otak saya menyublim.

Si indo gadungan itu sangat pede ketika mengatakan, “Ah, saya indo, lho. Saya malah gabung dengan beberapa komunitas indo. Yah, gaul saya memang gaul indo.”

Saya bengong.

Si indo gadungan menegur, “Eh, kok kamu malah bengong gitu?”

“Uh…” saya tergagap. “Sebenarnya… sebenarnya indo itu apa?”

“Masak sih kamu nggak tahu? Googling dunk! Sekarang kan lagi musim indo.”

Saya bengong.

“Eh, kok malah bengong lagi?”

“Sepertinya… uh, sepertinya ada sublimasi di otak saya.”

“Sub… apa?”

“Sublimasi. Sublim.”

“Sublim? Sublim itu apa…?”

Halllaaahhh…!!! Katanya indo…??? Mosok sublim aja nggak tahu…???

 
;