Rabu, 17 Agustus 2011

Petuah Filsuf Gila (2)

Posting ini lanjutan dari posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman lebih baik, bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Si filsuf gila melanjutkan ucapannya, “Jadi itulah yang selama ini kaulakukan, Nak. Masyarakatmu melakukan sesuatu, dan kau mengikutinya. Masyarakatmu berdiri, duduk, nungging, dan kau pun ikut berdiri, duduk, nungging. Kau tidak mengikuti takdir agung yang diberikan Tuhan untukmu, Nak, kau justru mengikuti takdir yang diciptakan masyarakatmu. Jadi itulah kau sekarang—sosok yang datang kepadaku dengan penuh penderitaan, dan mengharapkan segumpal nasihat untuk mengobati penderitaanmu. Oh, alangkah malangnya nasibmu!”

“Tuan filsuf, apakah Tuan bermaksud menyatakan bahwa seharusnya saya tidak mengikuti masyarakat saya?”

“Oh ya, itulah yang kumaksudkan! Yang seharusnya kauikuti adalah takdirmu, dan bukan takdir orang lain! Tetapi kau tidak berbeda dengan kebanyakan orang lainnya, yang mati-matian mengejar takdir orang lain, tetapi justru meninggalkan dan melupakan takdirnya sendiri!”

“Oh, Tuan Filsuf, saya tentunya harus mengikuti kebiasaan masyarakat saya, kan?”

Harus? Harus? Harus…? Siapa yang mengharuskanmu? Demi langit beserta seluruh isinya, tidak ada yang menyuruhmu begitu, Nak.”

Si laki-laki sekarang berkata dengan marah, “Mungkin Anda tidak paham, Tuan. Saya hidup dalam lingkungan masyarakat, dan tentunya saya harus mengikuti kebiasaan masyarakat saya! Masyarakat saya menikah, dan saya pun menikah. Masyarakat saya punya anak-anak, dan saya pun punya anak-anak. Masyarakat saya melakukan sesuatu, dan saya pun melakukannya demi tidak berbeda dengan mereka!”

“Begitu.” Sang filsuf mengangguk-angguk. “Jadi, siapa sebenarnya yang memiliki hidupmu? Atau, biar kuperjelas, siapa sesungguhnya yang memiliki takdirmu? Dirimu sendiri? Atau masyarakatmu…?”

Si laki-laki terdiam.

Kemudian, dengan nada mengejek, si filsuf gila berujar, “Jadi, kau menikah karena masyarakatmu. Kau punya anak-anak karena masyarakatmu. Kau melakukan segala hal dalam hidupmu dengan tujuan agar sama dengan masyarakatmu. Nah, sekarang kau menyatakan dunia sedang menghimpitmu, dan sekarang kau justru datang kepadaku. Kenapa kau tidak datang saja pada masyarakatmu untuk meminta pertanggungjawaban mereka?”

“Tuan…”

“Hidup adalah soal pilihan, Nak. Seperti apa hidupmu, maka itulah yang sebenarnya telah kaupilih. Dan kau memilih untuk mengikuti masyarakatmu, demi tidak berbeda dengan mereka, maka terimalah takdir itu. Kau tidak perlu mengeluh, karena semua yang menimpamu sekarang adalah hasil pilihanmu. Manusia adalah pencipta takdirnya sendiri, Nak, dan masing-masing mereka akan menjalani takdir yang telah dipilihnya.”

“Tapi saya tidak menginginkan takdir seperti ini, Tuan! Saya tentunya tidak menginginkan keluarga saya kelaparan…”

“Kau masih berusaha mencari kambing hitam untuk dipersalahkan! Tidakkah kau malu…? Kau melakukan segala hal dalam hidupmu karena kehendakmu, dan kemudian kau berusaha mencari kambing hitam untuk dipersalahkan ketika menghadapi konsekuensi atas kehendakmu sendiri. Lihatlah dirimu sendiri, Nak. Kau diberi kebebasan untuk memilih dalam hidupmu—dan kau memilih untuk meniru orang lain. Sekarang, pilihanmu telah menjerumuskanmu, dan kau berupaya mencari kambing hitam. Apa atau siapa yang ingin kausalahkan sekarang…? Tuhan? Takdir? Alam semesta…?”

Laki-laki itu kini menunduk. Seperti berhadapan dengan film tentang dirinya sendiri, laki-laki itu kini menyadari betapa benarnya ucapan itu. Dia telah diberi kebebasan untuk memilih dalam hidupnya—tetapi dia menyalahgunakan pilihannya. Dan sekarang ia menyadari bahwa tidak ada satu pun kambing hitam yang dapat ia persalahkan atas kekeliruan pilihannya. Dia sendiri yang telah menciptakan takdirnya, berdasarkan pilihan-pilihannya.

“Jadi, Tuan Filsuf,” ujar laki-laki itu akhirnya. “Apa yang sebaiknya saya lakukan sekarang…?”

“Kau masih juga menginginkan nasihat,” ujar si filsuf sambil geleng-geleng kepala. “Baiklah, kuturuti keinginanmu. Sekarang dengarkan ini. Mulai hari ini, berhentilah mengikuti takdir orang lain, dan hanya ikuti takdirmu sendiri. Dan agar kau tidak lupa, biar kuulangi sekali lagi. Berhentilah mengikuti takdir orang lain, dan hanya ikutilah takdirmu sendiri. Manusia ditakdirkan lebih mulia dari malaikat—karena manusia memiliki hak dan kebebasan untuk memilih, sementara malaikat tidak. Jadi gunakan pilihanmu dengan bijak—yakni memilih untuk mengikuti takdirmu sendiri.”

….
….

Ketika kemudian laki-laki itu melangkah pergi, sang filsuf gila bergumam sendiri, “Ah, anak manusia. Hanya untuk sedikit nafsu, kau mempertaruhkan seluruh hidupmu…”

 
;