Rabu, 07 September 2011

Kuasa Kelembutan

Pada waktu SD, saya bersekolah di madrasah, jadi saya—dan murid-murid yang lain—memanggil guru-guru kami dengan sebutan Ustadz dan Ustadzah. Selama enam tahun bersekolah di madrasah tersebut, saya memiliki guru favorit bernama Ustadzah Anisah, sosok guru yang juga sangat dihormati sekaligus disayangi murid-murid yang lain. Dia guru terbaik yang pernah saya miliki, dan kepadanya pula saya berutang budi atas semua yang telah saya capai hari ini.

Semenjak kecil, saya sangat pemalu dan introver, jadi kurang bisa berkomunikasi dengan baik. Ustadzah Anisah tahu hal itu—tapi dia tak pernah mencela sedikit pun kekurangan saya. Dia mengajar pelajaran bahasa Indonesia. Setiap kali ada tanya-jawab di kelas, dan saya tergagap atau kesulitan saat menjawabnya, dia akan tersenyum sabar penuh pemakluman.

Sebaliknya, ketika ada tugas mengarang, dan saya mengerjakannya dengan baik, dia akan memberikan pujian dan penghargaan yang membesarkan hati, yang membuat saya tersenyum. Sampai hari ini, saya masih ingat bagaimana ekspresinya yang tulus saat memuji tugas karangan saya, dan sedikit pun tidak pernah memberikan kritikan yang mungkin menyakiti.

Suatu hari, bertahun-tahun yang lalu, dia menyerahkan tugas karangan saya di dalam kelas, dan berkata dengan tulus, “Karanganmu ini bagus sekali. Kamu memiliki bakat besar dalam menulis!”

Kelak, bertahun-tahun kemudian ketika saya telah dewasa, saya tahu betul bahwa tugas karangan yang saya tulis waktu itu BENAR-BENAR JELEK SEKALI. Tetapi di situlah kehebatan guru saya yang satu ini. Dia tidak pernah mencela, tidak pernah mengkritik atau mencemooh, sebaliknya dia selalu memberikan kata-kata yang membesarkan hati. Dan, untuk itu, saya benar-benar merasa berutang budi.

Pada waktu itu saya percaya pada ucapan Ustadzah Anisah—bahwa saya berbakat menulis. Dan, karena kepercayaan itu, saya pun semakin rajin menulis—membuat sajak, cerpen, dan apa pun yang bisa ditulis. Waktu itu saya masih kelas lima SD. Dan ketika guru kami di kelas bertanya apa cita-cita kami, saya pun dengan yakin menjawab, “Ingin jadi penulis!”

Sejujurnya, waktu itu saya tidak tahu karir macam apa yang disebut “Penulis” itu. Tetapi, karena dorongan positif dari Ustadzah Anisah yang meyakinkan saya berbakat menulis, saya pun memiliki kepercayaan bahkan keyakinan. Sejak itu saya semakin rajin belajar, semakin banyak membaca, semakin giat mengasah kemampuan dalam menulis. Dan, setiap kali tugas mengarang datang, saya akan bersemangat mengerjakannya.

Bertahun-tahun kemudian setelah saya lulus SD dan benar-benar menjadi seorang penulis yang telah menerbitkan lebih dari 20 buku, saya tahu bahwa pencapaian itu belum tentu saya peroleh jika saya tak pernah mengenal guru luar biasa saya semasa SD dulu. Tahun 2005, ketika Ustadzah Anisah meninggal dunia, saya menangisi kepergiannya hingga berhari-hari. Kedekatan kami selama saya di SD dulu telah menjadikan dia seperti ibu kedua bagi saya.

Pelajaran penting yang saya peroleh dari Ustadzah Anisah bukan hanya dalam proses menulis, tetapi juga dalam hal lain yang lebih besar. Tanpa dia mengucapkannya, saya mendapatkan pelajaran yang amat berharga tentang hidup, yakni kekuatan kelembutan. Selama bertahun-tahun menjadi muridnya, saya tidak pernah sekali pun mendengarnya mengkritik muridnya, atau mencemooh, apalagi sampai merendahkannya.

Ketika ada murid yang berbuat kekeliruan, dia akan menegurnya dengan halus, dengan kelembutan seorang guru yang bijaksana, sehingga si murid tidak malu apalagi marah dan sakit hati. Sebaliknya, ketika ada murid yang berbuat baik atau mendapatkan prestasi sekecil apa pun—semisal mendapatkan nilai 10 untuk suatu tugas—dia akan memberikan pujian serta penghargaan yang sangat membesarkan hati. Dia adalah guru dalam arti yang sebenarnya.

Seperti yang telah saya ceritakan di atas. Tulisan karya saya waktu itu sangat jelek sekali (jika saya nilai secara objektif hari ini). Tetapi, alih-alih mengkritik atau memberikan cemoohan, Ustadzah Anisah justru memberikan penghargaan dan kata-kata yang membesarkan hati. Sehingga, alih-alih saya merasa malu atau sakit hati, saya justru makin giat belajar dan semakin rajin memperbaiki diri.

Karena kelembutannya, dia telah mengubah diri saya yang waktu itu bodoh dan introver menjadi sosok yang jauh lebih baik. Tuhan tahu betapa besarnya cinta kasih saya untuknya, besarnya utang budi saya kepadanya.

Nah, memasuki SMP, terjadi pengalaman yang sangat bertolak belakang. Waktu itu saya memiliki seorang guru olahraga yang luar biasa galak, dengan cara mengajar yang—menurut saya—tidak layak digunakan oleh seorang guru.

Guru yang satu ini sangat hobi mengkritik muridnya, bahkan mencemooh serta merendahkan seorang murid di hadapan murid-murid lainnya. Jadi, kalau ada seorang murid yang tidak bisa melakukan suatu hal dalam pelajaran olahraga, guru satu itu bukannya memotivasi si murid agar semakin giat belajar, tetapi justru mengeluarkan setumpuk caci-maki, sindiran, dan ucapan yang merendahkan.

Sialnya, saya termasuk murid yang goblok dalam pelajaran olahraga. Akibatnya, saya sering menjadi korban “ocehannya” yang sangat tidak berpendidikan. Ketika saya dikritik, dicaci-maki dan disalahkan di depan kawan-kawan saya yang lain, apakah kemudian saya punya keinginan untuk memperbaiki diri? TIDAK! Saya justru menjadi benci pada pelajaran olahraga, juga kepada si guru tersebut!

Kenyataan itu juga dialami kawan-kawan saya yang lain, yang juga sering mendapatkan semburan si guru olahraga. Kami semua tidak menjadi lebih baik atau lebih benar gara-gara caci-maki itu, tetapi justru menjadi benci. Puncaknya, kami akan berusaha bolos setiap kali ada pelajaran olahraga. Ketika guru saya mengancam untuk tidak memberikan nilai untuk pelajaran olahraga, saya cuma diam, dan dalam hati berkata, “Peduli amat!”

Sampai hari ini, meski bertahun-tahun telah berlalu, saya masih ingat bagaimana ekspresi guru saya yang jahat itu ketika merendahkan dan mencemooh murid-muridnya. Dan, saya malu mengakuinya, saya tetap merasa benci kepadanya.

Kelembutan yang diberikan Ustadzah Anisah di masa SD dulu tetap membawa bekas hingga hari ini dalam hidup saya—tetapi bekas yang baik dan positif, bahkan mulia. Sebaliknya, kekerasan dan perilaku kebencian yang ditunjukkan guru olahraga saya di SMP juga membawa bekas dalam hidup saya—tetapi bekas yang buruk dan juga penuh kebencian.

Guru olahraga saya mungkin telah lupa pada apa yang dilakukannya terhadap saya dan murid-murid yang lain. Tetapi saya, dan murid-murid yang lain, tak pernah bisa melupakan tindakan buruknya. Hari ini, saya menyadari, bahwa jika saya berbuat buruk kepada seseorang, maka orang itu akan mengingatnya hingga bertahun-tahun, bahkan ketika saya sendiri telah melupakan perbuatan saya.

Kelembutan memberikan bekas, begitu pula kekerasan. Dan jika ada bekas yang ingin saya tinggalkan pada orang lain, saya berdoa dan berharap kepada Tuhan yang Maha Baik, semoga bekas itu adalah bekas yang baik dan positif.

....
....

Seribu lima ratus tahun yang lalu, seorang lelaki di Tanah Arabia ditanya para sahabatnya, “Ya Rasul, seperti apakah orang yang baik itu?”

Dan Muhammad, sang Rasul, menjawab, “Orang yang memiliki kasih sayang pada sesamanya.”

Lima ratus tahun sebelum Rasulullah Muhammad menyatakan kalimat mulia itu, seorang lelaki lain di Bukit Yudea ditanya murid-muridnya, “Guru, pelajaran apakah yang sebaiknya kami ingat selamanya?”

Dan Yesus, sang Guru, menjawab, “Perlakukanlah orang lain dengan lembut dan penuh kasih.”

Jauh-jauh hari sebelum Yesus menyampaikan pelajaran penting itu, Aesop di Yunani menceritakan analogi indah tentang kisah Angin dan Matahari.

Angin dan Matahari menyaksikan seorang lelaki yang memakai jubah tebal di tengah padang. Angin dan Matahari kemudian bertaruh untuk menentukan siapa yang lebih kuat, dan Angin berkata, “Aku akan membuktikan bahwa akulah yang terkuat. Aku akan memaksa lelaki itu melepaskan jubahnya yang tebal.”

Maka Matahari pun pindah ke belakang awan, kemudian Angin berhembus menciptakan badai. Tetapi, semakin keras dia berhembus, semakin erat pula lelaki itu mencengkeram jubah ke tubuhnya.

Akhirnya Angin pun menyerah, dan Matahari muncul dari balik awan. Matahari tersenyum ramah pada lelaki berjubah itu dengan sinarnya. Kini, tanpa diminta, lelaki itu menanggalkan jubahnya, menyeka alisnya, dan mulai mengipasi diri dengan topinya.

Matahari kemudian berbisik kepada Angin, “Kekerasan sering kali gagal, tapi kelembutan… selalu menang.”

 
;