Minggu, 20 November 2011

Gurat Natijah

dedicated to Ayu Utami

Dari saat aku jatuh ke lubang kelinci itu, aku diberi tahu harus melakukan apa dan harus menjadi siapa. Aku diperkecil, ditekan, dan disesakkan dalam poci teh. Aku dituduh jadi Alice dan tak jadi Alice, tapi ini mimpiku. Aku yang memutuskan apa yang terjadi selanjutnya... Aku yang menentukan takdirku.
Alice in Wonderland


Hari ketika Alice dihadapkan pada pilihan penting dalam hidup, ia diselamatkan oleh bencana. Di tengah tatapan ratusan orang yang siap bertepuk tangan untuk penyerahan dirinya kepada sang pangeran, Alice memilih untuk menunda, kemudian pergi sejenak. “Kurasa aku perlu waktu untuk berpikir,” kata Alice. Dia perlu waktu untuk “berpikir”, bukan untuk “merasakan”, atau “membayangkan”.

Karena Alice berpikir, maka sang Pikiran pun menuntunnya. Kepada Sang Absolem, Sang Mutlak. Tetapi untuk menemui Sang Mutlak itu, Alice harus terperosok ke lubang kelinci terlebih dulu, ketika kemudian wujudnya diragukan, ketika orang-orang di Wonderland berbisik-bisik, “Dia bukan Alice yang dulu,” dan sebagian lain meyakini, “Dia pasti Alice yang dulu.”

Hari itu semua orang tahu hidup Alice Kingsleigh akan selesai ketika mereka berkumpul di taman, dan Pangeran Hamish akan meminangnya. Semua orang tahu—kecuali Alice. Sesaat lagi mereka akan bertepuk tangan ketika menyaksikan satu lagi di antara mereka menjadi bagian dari mereka. Hidup Alice telah ditentukan—oleh kultur, oleh orangtua, oleh keluarga, oleh takdir masyarakatnya.

Bahkan kakak perempuannya sendiri berkata, “Kau tak akan mendapatkan yang lebih baik dari bangsawan. Usiamu menjelang 20 tahun, Alice. Wajah cantik itu tak kan awet. Kau tak mau berakhir seperti Bibi Imogene. Dan kau tentu tak mau jadi beban Ibu, kan? Jadi, kau akan menikah dengan Hamish. Kau akan sebahagia aku dengan Lowell, dan hidupmu akan sempurna.”

Tetapi Alice kemudian mendapati—di tengah keramaian itu—bahwa semua takdir yang telah dibangun untuknya adalah bangunan rapuh di atas fondasi fatamorgana. Ia tahu itu bukan takdirnya—itu adalah takdir masyarakatnya, takdir milik orang lain yang dipaksakan agar ia percaya bahwa itu juga takdirnya. Karena itu, ketika Hamish bersimpuh meminangnya, Alice pun berkata, “Aku perlu memikirkannya.”

Dan dia benar-benar memikirkannya.

Pikiran itu membawanya kepada seekor kelinci—sesosok kelinci putih yang hanya dilihat olehnya. “Apakah kau melihat seekor kelinci?” tanya Alice pada orang di sebelahnya.

Tidak ada yang melihat kelinci. Hanya Alice yang melihatnya, karena hanya ia yang memilih untuk melihatnya. Dan kelinci itulah yang kemudian menuntun Alice untuk sampai di Wonderland, negeri tak terbayangkan dalam dunia kasatmata manusia.

Tetapi Wonderland bukanlah surga, meski ia tempat menakjubkan di mana hewan dan tumbuhan bicara, sementara langit hanya ada di ujung tangan. Ketika Alice sampai di sana, wujudnya diragukan—bahkan oleh Sang Absolem sendiri. Sebagian orang berbisik, “Dia bukan Alice yang dulu.” Sementara yang lain menyatakan, “Coba kita beri dia kesempatan. Dia pasti Alice yang dulu.”

Wonderland menjadi tempat transisi hidup Alice untuk kembali kepada kemurnian kenangannya, dan ketidakjelasan mimpi-mimpinya. Di tengah-tengah transisi itu, ia dihadapkan pada kenyataan yang tak diinginkannya. Inilah dunia tempat Alice yang asli dan Alice yang palsu untuk menunjukkan jati dirinya—dan satu di antara mereka harus musnah. Karena yang sejati tidak bisa bersanding dengan yang palsu.

Suara-suara yang tak didengar Alice berkata, “Kau mengira dia akan ingat semua ini dari saat pertama… Kau telah membawa Alice yang salah... Bukan, dia gadis yang benar—aku yakin… Dia Alice yang salah… Berikan dia kesempatan…”

Dan kesempatan selalu ada, tak peduli di Wonderland atau bukan. Kesempatan selalu ada bagi yang percaya bahwa ia selalu diberi kesempatan—untuk berpikir, untuk memilih, untuk menemukan. Dan Alice menjalani proses itu. Ia berpikir sebelum pikirannya dipenjara oleh belenggu keadaan. Ia memilih sebelum pilihannya direnggut semua darinya. Ia pun menentukan selama ia masih bisa menentukan.

Di Wonderland, di tengah semua hal aneh yang menakjubkan di matanya, Alice semula menyangka segala yang disaksikannya hanya mimpi—bahkan ketika monster mengerikan siap melahapnya. Ia percaya akan terbangun dari mimpi itu, dan akan kembali ke dunianya. Tapi akhirnya ia tahu itu bukan mimpi, ketika cubitan di lengannya tetap tak mampu “membangunkannya”.

Di sana, bersama “takdir yang dipilihnya sendiri”, Alice akhirnya menyadari bahwa Wonderland bukanlah “mimpinya”, melainkan “kenangannya”. Di bawah tuntunan Absolem, Alice kemudian ingat bahwa dulu… dulu sekali ketika masih kecil… ia pernah ada di sana, bahkan dirinyalah yang menyebut tempat itu “Wonderland”.

Tidak ada Wonderland, karena semua yang hidup di sana tidak pernah menyebut tempat itu sebagai Wonderland. Alice-lah yang menyebut tempat itu Wonderland, ketika ia datang ke sana pertama kali, ketika masih sangat kecil, ketika ia masih semurni malaikat. Wonderland, bagi Alice, adalah tempat ketika ia merasa merdeka untuk menikmati puncak hidup… ketika ia dapat tertawa riang karena menjadi dirinya sendiri.

Ketika ia telah besar dan kembali ke sana, Wonderland telah berubah, karena tempat itu kini dikuasai oleh Ratu Merah. Di bawah kekuasaannya, semua orang harus tunduk kepada Sang Ratu, dan untuk itu mereka harus menjadi sosok-sosok palsu yang memasang hidung palsu, janggut palsu, perut palsu, payudara palsu, rambut palsu, dan kehidupan yang palsu. Wonderland bukan lagi Wonderland—tempat itu kini tak ada bedanya dengan tempat Alice sekarang, yang ditinggalkannya.

Jadi, di manakah Wonderland? Ia hanya ada di dalam pikiran Alice, sebentuk pemikiran murni ketika ia masih kecil dan semurni malaikat, ketika ia datang ke sana pertama kali dan Si Ratu Merah belum menjadi jahat, sehingga bersamanya ia dapat mewarnai bunga-bunga sambil bercanda penuh hikmat. Wonderland ada di setiap kedalaman kita semua, karena gambaran itu telah ditanamkan bersama kelahiran kita.

Tetapi, sebagaimana Alice, gambaran suci itu kemudian buram, dan mengabur, seiring makin dewasanya usia—ketika kehidupan mencengkeramkan setumpuk nilai untuk menghapuskan gambaran negeri indah yang semula menjadi keyakinan kita.

“Apakah kau tahu mengapa gagak seperti meja tulis?” tanya Hatter kepada Alice dalam perjamuan di tengah hutan. Dan teman-teman Hatter menyahut, “Gempur Si Kepala Besar!”

Si Kepala Besar! Sang Ratu Merah memiliki kepala yang besar, namun tak sebanding dengan ukuran otak dan hatinya. Ia menginginkan semua orang sama seperti dirinya, meski untuk itu mereka harus memasang semua atribut kepalsuan. Dan, jika kehendaknya ditentang, Si Kepala Besar akan berteriak, “Penggal kepalanya!”

Maka semua orang pun memilih untuk menuruti kehendak itu, meski harus meninggalkan kesejatiannya. Memilih sama, daripada harus kehilangan kepala. Inilah Wonderland yang dulu indah yang pernah dikenal Alice—sebuah Wonderland yang telah berubah. Dan, Alice mendatanginya kembali untuk mengembalikan Wonderland ke bentuk aslinya.

“Di Hari Frabjous,” kata Hatter, “saat Ratu Putih kembali memakai Mahkota sekali lagi, di hari itu aku akan berdansa Futterwacken dengan semangat.”

Alice melakukannya. Ia bertempur melawan “monster gagak hitam” dan mengembalikan mahkota ke kepala Ratu Putih. Ketika ia berhasil melakukannya, ia bukan hanya mengembalikan Wonderland ke bentuk murninya, tetapi juga mengembalikan dirinya sendiri kepada kemurniannya.

Ketika Alice kembali ke dunianya, dunia itu tak berubah—namun dirinya telah berubah. Segurat natijah paling murni kini menjadi miliknya, setelah ia terperosok ke lubang kelinci. Seperti yang dikatakannya sendiri, “Aku selalu suka kelinci—khususnya yang berwarna putih.”

Terberkatilah Sang Alice yang meyakini pilihannya, terpujilah hati yang kembali pada kemurniannya.


Selamat ulang tahun, Aunt Ayu Utami.
Semoga selalu dalam limpahan kasih Tuhan,
Semoga selalu diberkati ketetapan hati.

Dengan hormat dan kasih,
Hoeda Manis

Hukum Huruf

Sebuah huruf akan menarik huruf lainnya, dan berdekatan.

Atau setidaknya begitu.

Kesimpulan ini melemparkanku pada kesimpulan lain yang jauh lebih mengerikan—ternyata aku belum juga belajar!

Senin, 07 November 2011

Ternyata Telkomsel Memang Brengsek!

Kami menyatakan peringkat teratas operator telekomunikasi se-Indonesia
dengan jumlah keluhan konsumen terbanyak adalah Telkomsel.
Ketua Lisuma, dalam Media Indonesia


Satu minggu yang lalu, saya kira Telkomsel telah memperbaiki layanan internetnya, sehingga saya pun menulis posting yang menjelaskan hal itu, sebagai bentuk kejujuran saya pada para pembaca blog ini, juga kepada Telkomsel. (Silakan lihat post ini). Tapi ternyata saya keliru. Telkomsel tetap saja bosok seperti sebelumnya! Bahkan sekarang kebosokan itu tambah parah, sehingga saya perlu menulis post ini.

Ini masih seputar layanan internet SimPATI Fun Night, yang iklannya terus digembar-gemborkan tapi ternyata kualitasnya amat sangat menjengkelkan sekaligus merugikan pelanggan. Seperti yang sudah saya janjikan pada posting sebelumnya, saya akan terus menulis keluhan terbuka di blog ini, selama Telkomsel belum membenahi layanannya, sehingga pelanggan terus-menerus dirugikan.

Sejak seminggu yang lalu, terhitung sejak saya menulis post Oke, Ini Tentang Telkomsel, layanan internet SimPATI kembali bosok seperti semula. Setiap kali saya melakukan download, setiap kali pula proses download itu terputus di tengah jalan. Tingkat kegagalan download yang saya alami bahkan jauh lebih parah dibanding waktu-waktu sebelumnya.

Jika dulu proses download sering kali terhenti ketika memasuki 70-an MB, sekarang proses download itu terhenti secara acak. Kadang memasuki 120-an MB, kadang ketika sampai 200-an MB, kadang pula gagal ketika proses download itu seharusnya sudah selesai beberapa MB lagi. Jadi, tingkat kerugian yang saya alami gara-gara kebosokan layanan internet SimPATI kali ini jauh lebih besar dibanding sebelum-sebelumnya.

Sebagai contoh, coba lihat di bawah ini (klik untuk memperbesar).



Pada ilustrasi di atas, saya men-download data sejumlah 251 MB. Ketika proses download itu mulai berlangsung, semula lancar-lancar saja. Tetapi tiba-tiba proses download itu berhenti ketika memasuki 94% (235,94 MB). Artinya, kuota sejumlah 235,94 MB hilang sia-sia karena proses download gagal di tengah jalan. Dan hal semacam itu terjadi berpuluh-puluh kali. Saya ulangi, BERPULUH-PULUH KALI.

Kadang proses itu berhenti ketika memasuki 85%, kadang pula berhenti ketika mencapai 98%. Jadi sekarang kita bisa melihat sebanyak apa kerugian yang saya alami akibat bosoknya layanan internet SimPATI. Ini jelas-jelas layanan dengan tingkat kebrengsekan yang amat parah, sekaligus amat sangat merugikan!

Jika tingkat kegagalannya satu banding sepuluh, atau setidaknya dua banding sepuluh, itu masih bisa dimaafkan, atau setidaknya dimaklumi. Tetapi yang terjadi pada SimPATI benar-benar di luar kewajaran semacam itu. Untuk setiap sepuluh upaya download yang saya lakukan, hanya satu yang berhasil, sementara sembilan lainnya gagal. Jika dirata-rata, untuk setiap kuota 1 GB yang telah saya bayar, hanya 0,1 GB (100 MB) yang dapat saya peroleh. Apa yang lebih brengsek dari ini…???

Tetapi kebrengsekan Telkomsel SimPATI tidak berhenti di situ. Dalam tiga hari terakhir, tidak ada satu pun proses download yang saya lakukan bisa berhasil, alias SEMUANYA GAGAL. Dalam puluhan kali upaya download yang saya lakukan, tidak ada satu pun yang berhasil. Kesimpulannya, Telkomsel SimPATI telah sampai pada tingkat kebrengsekan yang tak termaafkan, yang jelas-jelas sangat merugikan pelanggan!



Proses download berhenti saat memasuki 73%.
(Data yang di-download 251 MB)




Proses download berhenti saat memasuki 88%.
(Data yang di-download 251 MB)

Yang lebih menjengkelkan lagi, tingkat kecepatan download yang diberikan benar-benar jauh dari yang mereka iklankan. Di dalam iklan, mereka menjanjikan bahwa kecepatan download mencapai 2 Mbps. Dalam kenyataan, tingkat kecepatannya jauh dari itu. Kadang-kadang memang mencapai 2 Mbps, tetapi sering kali di bawah 1 Mbps. Sebagai pelanggan, saya tidak hanya merasa telah dirugikan, tetapi juga telah dibohongi!

Sampai di sini, mungkin ada pembaca yang berpikir, “Yeah, kalau memang SimPATI Telkomsel benar-benar brengsek semacam itu, bagaimana kalau pindah saja ke operator lain yang lebih baik?”

Sekilas, itu memang terdengar praktis. Tinggalkan saja si Brengsek ini, dan ganti operator lain yang lebih baik dan lebih bertanggung jawab. Tetapi jika itu yang saya lakukan, maka saya benar-benar pecundang!

Jika saya berhenti menggunakan layanan internet SimPATI sekarang, maka itu sama saja melepaskan mereka dari tanggung jawab yang seharusnya mereka berikan kepada pelanggannya. Sebagai pelanggan, saya telah merasa amat sangat dirugikan oleh layanan mereka. Jika saya berhenti sekarang, maka Telkomsel akan terus melenggang santai dalam merugikan pelanggan lainnya.

Tidak, saya akan tetap menggunakan layanan internet SimPATI, agar saya memiliki alasan serta dasar hukum yang kuat dalam melancarkan protes terbuka seperti ini. Lebih dari itu, saya juga ingin membuktikan kepada Telkomsel SimPATI bahwa tidak semua pelanggan mereka dapat dirugikan dan dipecundangi secara mudah. Selama mereka masih merugikan pelanggannya, saya tidak akan berhenti menulis keluhan terbuka—sampai kapan pun.

Jika keluhan saya di blog ini tidak juga mendapatkan tanggapan baik dalam bentuk perbaikan layanan mereka, maka saya akan melangkah lebih jauh, yakni mulai menuliskan persoalan ini di berbagai media massa—baik cetak maupun elektronik—agar semakin banyak yang membacanya. Menulis adalah makanan pokok saya, dan media massa adalah kandang tempat saya bermain sehari-hari. Karenanya, seperti yang dikatakan Hannibal Lecter, “Kau ingin menari dengan iblis? Ayo menari!”

Saya tidak memaksudkan catatan ini sebagai gerakan global atau universal, ini adalah bentuk protes seorang pelanggan yang terus-menerus dirugikan oleh perusahaan yang selama ini gembar-gembor sebagai yang terbaik dan terbesar di Indonesia. Saya ingin tetap percaya kepada Telkomsel, karena itu saya ingin tetap menjadi pelanggannya. Tetapi, Telkomsel juga harus membuktikan bahwa mereka memang “terbaik dan terbesar”, sekaligus layak dipercaya.

Selama mereka masih melakukan penipuan dan kecurangan, maka saya juga tidak akan berhenti menulis protes dan keluhan. Semakin lama mereka merugikan pelanggannya, semakin banyak pula iklan buruk yang akan saya tulis untuk mereka. Kalau mereka merasa bisa seenaknya sendiri pada pelanggan, maka saya juga akan membuktikan bahwa pelanggan juga bisa berlaku sama pada mereka.

Bocah TK pun tahu, kalau kau menjanjikan sesuatu tapi mengingkari janjimu, maka itu adalah penipuan. Kalau pelanggan sudah membayar tapi kau tidak memberikan sesuai dengan yang mereka bayar, maka itu adalah kecurangan. Dan…

Untuk setiap usaha yang dibangun dengan merugikan sesama manusia,
sebuah tempat di neraka telah disiapkan untuknya.
Aristoteles

Sabtu, 05 November 2011

Manfaat Kucing Bagi Manusia

Betapa pun banyaknya kucing berkelahi,
selalu saja banyak anak kucing lahir.
Abraham Lincoln

Yang membuat jengkel bukanlah suara berisik kucing ketika berkelahi. Yang
membuat jengkel adalah tata bahasa yang dipakai kucing ketika berkelahi.
Mark Twain

Saya tak pernah paham mengapa wanita bisa mencintai kucing. Kucing suka kebebasan, tidak suka mendengarkan, cuek jika dipanggil, suka keluar malam, dan kalaupun di rumah lebih suka sendirian atau tidur. Dengan kata lain, kucing memiliki semua kebiasaan laki-laki yang dibenci wanita, tapi wanita tetap mencintai kucing.
Jay Leno

Kalau saja saya bisa menulis semisterius kucing.
Edgar Allan Poe


Waktu itu sudah dini hari, ketika saya masuk ke kamar dan mulai membaringkan tubuh yang letih di atas tempat tidur. Sebelum terlelap, mata saya sempat menangkap jarum jam di dinding kamar sudah menunjukkan pukul 01:01.

Satu jam kemudian, tidur saya terbangun karena suara ledakan. Suara ledakan itu sangat keras dan terdengar amat dekat, sehingga saya sampai terbangun meski sebenarnya tubuh sangat lelah. Yang membuat saya gelisah, suara ledakan itu terdengar berada di dalam rumah. Apa yang terjadi, pikir saya sambil keluar dari kamar dengan pikiran resah.

Saya segera menyalakan lampu-lampu rumah, dan seketika seisi rumah yang semula gelap gulita berubah terang benderang. Sambil mengantuk, saya memeriksa satu per satu sisi ruangan untuk mencari-cari sumber ledakan tadi. Kaca-kaca jendela tampak masih utuh, suasana dapur terlihat rapi seperti biasa, semua bagian atap tidak ada yang terlihat bocor atau berlubang. Jadi apa yang meledak tadi...?

Saya yakin suara ledakan tadi bukan mimpi. Jadi saya pun terus mencari kesana kemari di dalam rumah, untuk menemukan apa sebenarnya yang meledak, sehingga saya bisa tidur kembali dengan tenang. Semua pintu saya periksa, dan semuanya masih dalam keadaan terkunci.

Saat memeriksa ruang tengah, jantung saya berdetak makin cepat. Di sana, di atas karpet, tampak hamburan pecahan kaca berwarna hitam. Saya langsung tahu itu pecahan kaca yang semula menempel pada rak televisi. Tapi mengapa kaca itu bisa pecah, dan apa yang menyebabkannya meledak...?

Di ruang tengah rumah saya terdapat rak televisi seperti umumnya yang ada di rumah-rumah orang lain. Rak itu punya pintu kaca di bagian depannya, dan di bagian dalam terdapat susunan rak yang biasa digunakan untuk menyimpan CD dan lainnya. Nah, kaca rak itulah yang pecah berkeping-keping, yang tadi meledak sehingga suara ledakannya membangunkan saya dari tidur.

Dengan hati-hati saya mendekati serpihan kaca di atas karpet itu, dan dengan hati-hati pula memeriksa rak yang kini tak berkaca. Bagian dalam rak itu terlihat biasa-biasa saja, tak ada yang aneh. CD koleksi saya masih terjajar rapi di sana, dan sekali lagi tak ada yang aneh. Lalu mengapa kaca rak ini bisa pecah, dan meledak?

Tiba-tiba saya merinding.

Saya menengok ke jam dinding. Jarumnya menunjukkan pukul 02:02. Tiba-tiba seluruh rasa lelah seperti menguap, dan adrenalin membakar tubuh saya. Harus ada jawaban yang masuk akal, pikir saya dengan gundah. Harus ada jawaban yang logis mengapa kaca ini bisa meledak dan pecah.

Maka saya pun pergi ke dapur, membuat teh hangat, lalu duduk, dan menyulut rokok. Selama berjam-jam kemudian, saya mencari berbagai kemungkinan yang sekiranya dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan tadi. Tapi tak ada yang masuk akal. Sampai subuh terdengar, saya belum mampu menemukan jawaban apa pun. Ketika pagi menjelang, rasa kantuk yang tadi sempat pergi kini datang kembali, dan akhirnya saya pun tidur dengan rasa penasaran.

Saya bangun tidur selepas dhuhur, dan sejak itu benar-benar mengawasi seluruh isi rumah. Saya sudah bertekad untuk menemukan jawaban atas pecahnya kaca rak di ruang tengah. Dari siang sampai malam, sampai larut malam, saya terus duduk dengan tenang, sambil terus mengawasi seisi rumah.

Tepat pukul satu dini hari, mata saya terpaku ke arah rak televisi yang kemarin pecah kacanya, dan saya menyaksikan... seekor kucing keluar dari dalam rak itu!

Maka terjawablah sudah misteri sialan itu!

Selama ini memang ada seekor kucing berukuran cukup besar, yang kadang masuk dan berkeliaran di rumah. Selama ini saya membiarkan saja, karena saya pikir mungkin dia kesepian dan butuh kawan.

Jadi—dalam kerangka pikiran saya—kucing itu menggunakan ruangan di rak televisi untuk tidur atau beristirahat, tanpa sepengatahuan saya. Selama ini kelakuannya tidak saya ketahui sehingga dia bebas keluar masuk ke dalam rak itu tanpa terganggu—karena saya lupa menutup (mengunci) pintu kacanya. Nah, kemarin malam itu rupanya si kucing lagi apes. Ketika dia berada di dalam rak itu, saya menutup pintu kaca rak tersebut, tanpa mengetahui ada seekor kucing di dalamnya!

So, mungkin kucing itu kaget dan panik ketika bangun tidur dan mendapati pintu kaca tempat beristirahatnya telah tertutup dengan rapat. Kedalaman rak itu hampir satu meter. Kemudian, dengan menggunakan energi gerak berdasarkan hukum fisika yang rumusnya pasti akan memusingkan jika ditulis di sini, kucing itu akhirnya berhasil memecahkan pintu kaca rak itu, demi untuk bisa keluar dari dalamnya. Dan ledakan pecahnya kaca itulah yang kemarin malam saya dengar hingga terbangun dari tidur.

....
....

Oke, itu kisah yang terjadi setahun lalu. Tapi gara-gara kisah itu, saya kemudian berpikir dan terus berpikir mengenai kucing. Saya bertanya-tanya, apa sebenarnya manfaat kucing bagi manusia. Saya percaya, semua penciptaan di muka bumi ini memiliki unsur manfaat—eksplisit maupun implisit. Jadi, apa manfaat kucing...?

Kalau seseorang memelihara kucing persia atau kucing anggora di rumahnya, mungkin alasannya karena penampilan kucing itu memang indah dan rupawan. Artinya, kucing semacam itu dipelihara karena keindahannya. Tapi bagaimana dengan kucing kampung atau bahkan kucing garong? Apa manfaatnya...?

Yang lebih aneh lagi, selama ini ada semacam kepercayaan yang menyatakan bahwa kita tidak boleh membunuh kucing. Bahkan orang bisa panik kalau tanpa sengaja menabrak kucing di tengah jalan, dan biasanya dia akan mengurus pemakaman kucing itu dengan layak. Tapi apa sebenarnya kehebatan seekor kucing? Semakin lama memikirkan hal ini, semakin dalam rasa penasaran saya.

Beberapa tokoh terkenal dalam sejarah, ada yang sengaja menjauh dari kucing—bahkan sampai fobi terhadap kucing—karena tak ingin bermasalah dengannya. Napoleon Bonaparte, yang dikenal sebagai Singa Daratan Eropa, sangat berhati-hati, bahkan menjauh dari kucing. Dia berkata, “Aku lebih suka berhadapan dengan sekompi tentara musuh, daripada berurusan dengan seekor kucing!”

Julius Caesar, pahlawan legendaris yang gagah perkasa, juga sangat menghindari kucing karena tak ingin bermasalah dengan sosok hewan satu itu. Begitu pula Jengis Khan, Alexander the Great, dan Adolf Hitler. Mereka semua tidak ingin “berurusan” dengan kucing, karena sama-sama percaya bahwa hewan itu dapat mendatangkan masalah.

Ronald Reagan, aktor film Hollywood yang menjadi presiden Amerika, mengawali karir politiknya sebagai gubernur di California. Ketika menjabat sebagai Gubernur California, Reagan pernah mengeluarkan Perda (Peraturan Daerah) yang isinya melarang warga California menendang kucing.

Isaac Newton, bocah jenius penemu teori gravitasi, secara khusus membuat sebuah pintu kecil di rumahnya, demi agar kucing-kucing di sekitar lingkungannya dapat mudah keluar-masuk di rumahnya.

Lebih jauh lagi, Florence Nightingale, wanita yang berperan penting dalam konsep pembangunan rumah sakit modern, memelihara lebih dari 60 kucing selama hidupnya. Abraham Lincoln, presiden paling berpengaruh dalam sejarah kepresidenan Amerika, sangat menyayangi kucing. Winston Churcill, Perdana Menteri Inggris paling terkenal, juga memelihara kucing.

Jika ditarik ke abad-abad lampau, Mesir Kuno juga sangat dikenal sebagai pemuja kucing. Bagi bangsa Mesir Kuno, kucing adalah jelmaan dewa—karenanya mereka sangat menghormati kucing. Jika orang Mesir Kuno ditinggal mati kucing piaraannya, mereka akan mencukur rambut alis mereka sebagai bentuk duka cita.

Jadi, apa hebatnya seekor kucing, hingga orang-orang sampai “segitunya” sama kucing? Lebih spesifik lagi, apa sebenarnya manfaat kucing bagi manusia, sehingga manusia memeliharanya?

Di dalam hubungan antara manusia dengan hewan, biasanya hewan dipelihara karena memberikan manfaat bagi manusia. Kita lihat, ayam dipelihara karena telurnya. Sapi dipelihara karena susunya. Anjing dipelihara karena kesetiaannya. Kerbau dipelihara karena tenaganya. Kambing dipelihara karena dagingnya. Bahkan burung pun dipelihara karena suara kicaunya.

Lalu apa yang diperoleh manusia dari seekor kucing yang dipeliharanya...?

Dalam hal kesetiaan, kucing sering kali tidak setia kepada tuannya. Kau bisa membuat kucingmu kenyang dengan makanan mahal. Tetapi, begitu kau lengah, kucingmu bisa saja naik ke maja makan atau masuk lemari tempatmu menyimpan ikan. Dia tidak setia!

Kucing juga tidak memberikan manfaat yang jelas—bahkan suaranya pun lebih sering terdengar mengganggu daripada menyenangkan. Lebih parah lagi, dia tidak ambil pusing kalau mau buang kotoran. Akibatnya, kalau kita memelihara kucing, bisa jadi seluruh ruangan rumah kita akan menjadi tempatnya buang hajat. Lebih dari itu, kucing juga memiliki potensi bahaya bagi manusia, sehingga ibu hamil disarankan untuk menjauh dari kucing.

Apa manfaat kucing bagi manusia? Saya memikirkan pertanyaan itu hingga berbulan-bulan lamanya, namun tetap belum mampu menemukan jawabannya. Di antara banyak buku dan makalah-makalah ilmiah yang saya pelajari menyangkut objek ini, tidak satu pun yang menjelaskan manfaat kucing.

Jadi, itulah manfaatnya!

Sekarang, saya tahu apa manfaat kucing bagi manusia. Yaitu menunjukkan kepada kita, bahwa kadang-kadang di dunia ini ada sesuatu yang tidak bermanfaat. Kesimpulan ini, bagi saya, menunjukkan betapa anehnya selera humor alam semesta.

 
;