Minggu, 20 November 2011

Gurat Natijah

dedicated to Ayu Utami

Dari saat aku jatuh ke lubang kelinci itu, aku diberi tahu harus melakukan apa dan harus menjadi siapa. Aku diperkecil, ditekan, dan disesakkan dalam poci teh. Aku dituduh jadi Alice dan tak jadi Alice, tapi ini mimpiku. Aku yang memutuskan apa yang terjadi selanjutnya... Aku yang menentukan takdirku.
Alice in Wonderland


Hari ketika Alice dihadapkan pada pilihan penting dalam hidup, ia diselamatkan oleh bencana. Di tengah tatapan ratusan orang yang siap bertepuk tangan untuk penyerahan dirinya kepada sang pangeran, Alice memilih untuk menunda, kemudian pergi sejenak. “Kurasa aku perlu waktu untuk berpikir,” kata Alice. Dia perlu waktu untuk “berpikir”, bukan untuk “merasakan”, atau “membayangkan”.

Karena Alice berpikir, maka sang Pikiran pun menuntunnya. Kepada Sang Absolem, Sang Mutlak. Tetapi untuk menemui Sang Mutlak itu, Alice harus terperosok ke lubang kelinci terlebih dulu, ketika kemudian wujudnya diragukan, ketika orang-orang di Wonderland berbisik-bisik, “Dia bukan Alice yang dulu,” dan sebagian lain meyakini, “Dia pasti Alice yang dulu.”

Hari itu semua orang tahu hidup Alice Kingsleigh akan selesai ketika mereka berkumpul di taman, dan Pangeran Hamish akan meminangnya. Semua orang tahu—kecuali Alice. Sesaat lagi mereka akan bertepuk tangan ketika menyaksikan satu lagi di antara mereka menjadi bagian dari mereka. Hidup Alice telah ditentukan—oleh kultur, oleh orangtua, oleh keluarga, oleh takdir masyarakatnya.

Bahkan kakak perempuannya sendiri berkata, “Kau tak akan mendapatkan yang lebih baik dari bangsawan. Usiamu menjelang 20 tahun, Alice. Wajah cantik itu tak kan awet. Kau tak mau berakhir seperti Bibi Imogene. Dan kau tentu tak mau jadi beban Ibu, kan? Jadi, kau akan menikah dengan Hamish. Kau akan sebahagia aku dengan Lowell, dan hidupmu akan sempurna.”

Tetapi Alice kemudian mendapati—di tengah keramaian itu—bahwa semua takdir yang telah dibangun untuknya adalah bangunan rapuh di atas fondasi fatamorgana. Ia tahu itu bukan takdirnya—itu adalah takdir masyarakatnya, takdir milik orang lain yang dipaksakan agar ia percaya bahwa itu juga takdirnya. Karena itu, ketika Hamish bersimpuh meminangnya, Alice pun berkata, “Aku perlu memikirkannya.”

Dan dia benar-benar memikirkannya.

Pikiran itu membawanya kepada seekor kelinci—sesosok kelinci putih yang hanya dilihat olehnya. “Apakah kau melihat seekor kelinci?” tanya Alice pada orang di sebelahnya.

Tidak ada yang melihat kelinci. Hanya Alice yang melihatnya, karena hanya ia yang memilih untuk melihatnya. Dan kelinci itulah yang kemudian menuntun Alice untuk sampai di Wonderland, negeri tak terbayangkan dalam dunia kasatmata manusia.

Tetapi Wonderland bukanlah surga, meski ia tempat menakjubkan di mana hewan dan tumbuhan bicara, sementara langit hanya ada di ujung tangan. Ketika Alice sampai di sana, wujudnya diragukan—bahkan oleh Sang Absolem sendiri. Sebagian orang berbisik, “Dia bukan Alice yang dulu.” Sementara yang lain menyatakan, “Coba kita beri dia kesempatan. Dia pasti Alice yang dulu.”

Wonderland menjadi tempat transisi hidup Alice untuk kembali kepada kemurnian kenangannya, dan ketidakjelasan mimpi-mimpinya. Di tengah-tengah transisi itu, ia dihadapkan pada kenyataan yang tak diinginkannya. Inilah dunia tempat Alice yang asli dan Alice yang palsu untuk menunjukkan jati dirinya—dan satu di antara mereka harus musnah. Karena yang sejati tidak bisa bersanding dengan yang palsu.

Suara-suara yang tak didengar Alice berkata, “Kau mengira dia akan ingat semua ini dari saat pertama… Kau telah membawa Alice yang salah... Bukan, dia gadis yang benar—aku yakin… Dia Alice yang salah… Berikan dia kesempatan…”

Dan kesempatan selalu ada, tak peduli di Wonderland atau bukan. Kesempatan selalu ada bagi yang percaya bahwa ia selalu diberi kesempatan—untuk berpikir, untuk memilih, untuk menemukan. Dan Alice menjalani proses itu. Ia berpikir sebelum pikirannya dipenjara oleh belenggu keadaan. Ia memilih sebelum pilihannya direnggut semua darinya. Ia pun menentukan selama ia masih bisa menentukan.

Di Wonderland, di tengah semua hal aneh yang menakjubkan di matanya, Alice semula menyangka segala yang disaksikannya hanya mimpi—bahkan ketika monster mengerikan siap melahapnya. Ia percaya akan terbangun dari mimpi itu, dan akan kembali ke dunianya. Tapi akhirnya ia tahu itu bukan mimpi, ketika cubitan di lengannya tetap tak mampu “membangunkannya”.

Di sana, bersama “takdir yang dipilihnya sendiri”, Alice akhirnya menyadari bahwa Wonderland bukanlah “mimpinya”, melainkan “kenangannya”. Di bawah tuntunan Absolem, Alice kemudian ingat bahwa dulu… dulu sekali ketika masih kecil… ia pernah ada di sana, bahkan dirinyalah yang menyebut tempat itu “Wonderland”.

Tidak ada Wonderland, karena semua yang hidup di sana tidak pernah menyebut tempat itu sebagai Wonderland. Alice-lah yang menyebut tempat itu Wonderland, ketika ia datang ke sana pertama kali, ketika masih sangat kecil, ketika ia masih semurni malaikat. Wonderland, bagi Alice, adalah tempat ketika ia merasa merdeka untuk menikmati puncak hidup… ketika ia dapat tertawa riang karena menjadi dirinya sendiri.

Ketika ia telah besar dan kembali ke sana, Wonderland telah berubah, karena tempat itu kini dikuasai oleh Ratu Merah. Di bawah kekuasaannya, semua orang harus tunduk kepada Sang Ratu, dan untuk itu mereka harus menjadi sosok-sosok palsu yang memasang hidung palsu, janggut palsu, perut palsu, payudara palsu, rambut palsu, dan kehidupan yang palsu. Wonderland bukan lagi Wonderland—tempat itu kini tak ada bedanya dengan tempat Alice sekarang, yang ditinggalkannya.

Jadi, di manakah Wonderland? Ia hanya ada di dalam pikiran Alice, sebentuk pemikiran murni ketika ia masih kecil dan semurni malaikat, ketika ia datang ke sana pertama kali dan Si Ratu Merah belum menjadi jahat, sehingga bersamanya ia dapat mewarnai bunga-bunga sambil bercanda penuh hikmat. Wonderland ada di setiap kedalaman kita semua, karena gambaran itu telah ditanamkan bersama kelahiran kita.

Tetapi, sebagaimana Alice, gambaran suci itu kemudian buram, dan mengabur, seiring makin dewasanya usia—ketika kehidupan mencengkeramkan setumpuk nilai untuk menghapuskan gambaran negeri indah yang semula menjadi keyakinan kita.

“Apakah kau tahu mengapa gagak seperti meja tulis?” tanya Hatter kepada Alice dalam perjamuan di tengah hutan. Dan teman-teman Hatter menyahut, “Gempur Si Kepala Besar!”

Si Kepala Besar! Sang Ratu Merah memiliki kepala yang besar, namun tak sebanding dengan ukuran otak dan hatinya. Ia menginginkan semua orang sama seperti dirinya, meski untuk itu mereka harus memasang semua atribut kepalsuan. Dan, jika kehendaknya ditentang, Si Kepala Besar akan berteriak, “Penggal kepalanya!”

Maka semua orang pun memilih untuk menuruti kehendak itu, meski harus meninggalkan kesejatiannya. Memilih sama, daripada harus kehilangan kepala. Inilah Wonderland yang dulu indah yang pernah dikenal Alice—sebuah Wonderland yang telah berubah. Dan, Alice mendatanginya kembali untuk mengembalikan Wonderland ke bentuk aslinya.

“Di Hari Frabjous,” kata Hatter, “saat Ratu Putih kembali memakai Mahkota sekali lagi, di hari itu aku akan berdansa Futterwacken dengan semangat.”

Alice melakukannya. Ia bertempur melawan “monster gagak hitam” dan mengembalikan mahkota ke kepala Ratu Putih. Ketika ia berhasil melakukannya, ia bukan hanya mengembalikan Wonderland ke bentuk murninya, tetapi juga mengembalikan dirinya sendiri kepada kemurniannya.

Ketika Alice kembali ke dunianya, dunia itu tak berubah—namun dirinya telah berubah. Segurat natijah paling murni kini menjadi miliknya, setelah ia terperosok ke lubang kelinci. Seperti yang dikatakannya sendiri, “Aku selalu suka kelinci—khususnya yang berwarna putih.”

Terberkatilah Sang Alice yang meyakini pilihannya, terpujilah hati yang kembali pada kemurniannya.


Selamat ulang tahun, Aunt Ayu Utami.
Semoga selalu dalam limpahan kasih Tuhan,
Semoga selalu diberkati ketetapan hati.

Dengan hormat dan kasih,
Hoeda Manis

 
;