Minggu, 25 Desember 2011

Satu Wanita, Tiga Lelaki

Mungkin misi mereka yang mencintai umat manusia adalah untuk membuat
orang menertawakan kebenaran, untuk membuat kebenaran tertawa,
sebab satu-satunya kebenaran terletak dalam belajar membebaskan diri kita
dari kegandrungan gila-gilaan kepada kebenaran.
Umberto Eco


Tiga orang lelaki memiliki impian yang sama—menemukan seorang wanita yang namanya telah lama mereka dengar sejak masa kanak-kanak. Hanya saja, ketiganya memiliki definisi berbeda tentang nama wanita itu, berdasarkan yang mereka dengar dan pahami dari leluhurnya.

Lelaki pertama berasal dari Utara, dan sejak kecil mendengar leluhurnya menyatakan, “Nak, hidupmu akan lebih berarti setelah kau menemukan seorang wanita bernama Naja.”

Lelaki kedua lahir di daerah Barat, dan dia sudah hafal dengan pesan serta wasiat para leluhurnya yang cerdas, yang menyatakan pentingnya menemukan seorang wanita bernama Najia.

Sementara lelaki ketiga tinggal di daerah Timur, dan dia selalu mengingat-ingat salah satu misi hidupnya, yakni menemukan seorang wanita yang selalu didengungkan para leluhurnya, bernama Najana.

Masing-masing lelaki dari tiga belahan bumi itu mendengar tentang wanita yang sama, tetapi mereka mendengar nama yang berbeda. Hanya satu hal yang sama mereka ketahui, yakni bahwa wanita bernama Naja atau Najia atau Najana itu ada di daerah Selatan.

Jadi ketiga lelaki yang tidak saling tahu dan tidak saling kenal itu pun pergi meninggalkan tanah kelahirannya, dan menuju ke Selatan demi misi hidupnya.

Seiring perjalanan waktu, ketiga lelaki yang asing satu sama lain itu pun berjumpa di perbatasan daerah Selatan. Mereka saling berkenalan, dan akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan bersama setelah mengetahui misi mereka sama. Hanya saja, sesuatu yang masih mengganjal dalam benak dan hati mereka adalah nama si wanita.

“Jadi, kau juga ingin menemukan Naja?” sapa lelaki dari Utara pada dua teman asingnya.

“Naja? Bukankah namanya Najia?” sahut lelaki dari Barat.

Lelaki dari Timur menyatakan, “Setahuku namanya bukan Naja ataupun Najia, tetapi Najana. Itulah yang dikatakan leluhurku sejak zaman dulu.”

Perbincangan itu berhenti sampai di situ, tetapi ketiganya masih menyimpan rasa penasaran dan ketidakpuasan di hatinya masing-masing. Bertiga mereka melangkah pergi, mencari wanita misterius itu, dan jarak mereka pun semakin dekat dengan tempat yang telah disebutkan leluhur mereka atas keberadaan wanita yang mereka cari.

Tiba-tiba lelaki dari Utara nyeletuk, “Uh, mungkin leluhur kalian keliru menyebut namanya. Setahuku, yang benar, nama wanita itu Naja.”

“Bagaimana bisa?” sahut lelaki dari Barat. “Leluhurku adalah orang-orang cerdas—mereka tidak mungkin keliru. Validitas sebuah nama bagi kami setara dengan validitas sebuah takaran timbangan. Tak ada selisih lebih dan kurang. Jadi leluhurku tak mungkin salah. Nama wanita itu pastilah Najia.”

“Tunggu dulu,” ujar lelaki dari Timur sambil menatap lelaki dari Barat. “Kau boleh mengklaim kecerdasan leluhurmu. Tapi kalian hanyalah rumah tanpa isi jika tanpa leluhurku. Di tempat kamilah kearifan dan kebijaksanaan ditaburkan dan dituai. Jika validitas sebuah nama bagi kalian setara dengan takaran timbangan, maka bagi kami validitas sebuah nama setara dengan ukuran atom dalam molekul. Karenanya, leluhurku pasti tidak salah menyebut nama wanita itu, bahwa dia benar-benar bernama Najana.”

Melihat percakapan itu sepertinya akan mengarah pada perdebatan, lelaki dari Utara menengahi. “Maaf, ini salahku—akulah yang pertama kali meragukan kesahihan pesan leluhur kalian. Sekarang, kupikir, jangan-jangan wanita yang kita cari ini mungkin bukan wanita yang sama? Maksudku, mungkin memang ada tiga wanita yang memiliki tiga nama berbeda…”

“Tidak!” tukas lelaki dari Barat dengan tegas. “Jika merujuk pada ciri-ciri yang kita miliki—sebagaimana yang dipesankan leluhur kita—wanita yang kita cari memang wanita yang sama. Maksudku, hanya ada satu wanita yang sama-sama kita tuju. Tetapi, well, aku tidak tahu mengapa kita bisa berbeda dalam penyebutan namanya.”

“Aku sepakat denganmu,” ucap lelaki dari Timur. “Wanita yang kita cari dan kita tuju memang wanita yang sama—berdasarkan semua ciri yang telah kita ketahui. Tetapi aku juga tidak paham mengapa nama yang kita miliki berbeda-beda.”

Lelaki dari Utara terdiam, dan menimbang-nimbang. Hanya ada dua kemungkinan, pikirnya. Kemungkinan pertama, wanita yang mereka cari adalah wanita yang berbeda—atau kemungkinan kedua, nama-nama yang dibawa lelaki dari Barat dan Timur itu keliru. Lelaki dari Utara yakin seyakin-yakinnya kalau nama wanita itu Naja, sebagaimana yang disebutkan leluhurnya, dan ia tahu leluhurnya tidak akan salah.

Di tengah kebingungan ketiga lelaki itu, tiba-tiba mereka melihat sesosok wanita melangkah dengan anggun, seorang diri, ke arah mereka. Ketiga lelaki itu menyaksikan senyumnya yang merekah—dan, mereka sama-sama tahu bahwa itulah wanita yang mereka cari, bahwa itulah wanita yang telah membuat mereka rela menempuh perjalanan jauh demi untuk melihat dan menemuinya.

“Wanita itulah si Naja,” kata lelaki dari Utara dengan penuh takzim.

“Tidak,” sahut lelaki dari Barat, “itulah wanita bernama Najia yang dikatakan leluhurku.”

Lelaki dari Timur berkata, “Tak peduli apa pun kata kalian, bagiku dialah Najana, wanita yang telah membuatku sampai di tempat ini. Dia bukan Naja atau Najia, dia Najana.”

Ketiga lelaki itu masih akan terus berdebat mempersoalkan nama si wanita, tetapi ketiganya segera bungkam begitu si wanita sampai di hadapan mereka. Biarlah wanita itu sendiri yang akan menyebutkan namanya, pikir ketiga lelaki itu, dan setelah itu akan terlihat siapa yang benar dan siapa yang salah.

“Aku tahu kalian mencari-cariku,” sapa wanita itu dengan senyumnya yang cemerlang. “Selamat datang di Tempatku.”

Dengan antusias, lelaki dari Barat berkata, “Jadi, benarkah namamu Najia?”

“Kau pasti Naja,” ujar lelaki dari Utara pada si wanita, “benar, kan?”

Dan lelaki dari Timur segera menyatakan pendapatnya, “Apa pun yang dikatakan dua temanku ini, kita tahu mereka keliru. Kau pasti Najana, wanita yang selama ini dipesankan oleh leluhurku.”

Wanita itu menggelengkan kepalanya dengan senyum penuh kasih. “Tidak, tidak. Kalian sama-sama benar. Ada orang yang menyebut namaku Naja, Najia, juga Najana. Akulah yang selama ini kalian cari, dan kalian telah menemukanku—tak peduli dengan apa pun namaku dikenal oleh kalian.”

....
....

Seharusnya, kenyataan itu patut disyukuri oleh ketiga lelaki itu—karena mereka telah menemukan sesuatu yang mereka cari selama ini. Wanita inilah yang telah membuat mereka menempuh perjalanan jauh, demi untuk menemukannya—dan sekarang mereka telah menemukannya.

Tetapi, ketiga lelaki itu justru tidak puas. Ada yang salah di sini, pikir mereka. Tidak mungkin satu wanita memiliki tiga nama yang berbeda. Lebih dari itu, mereka sama-sama lebih mempercayai apa yang dikatakan leluhur mereka dibanding apa yang dikatakan wanita asing itu. Jika wanita itu memang memiliki tiga nama yang berbeda, maka mestinya leluhur mereka telah menyatakan fakta itu. Jadi wanita ini pasti penipu.

Kemudian… entah bagaimana awalnya, ketiga lelaki itu mencabut pedangnya, dan membunuh wanita itu. Mayat wanita itu pun terkapar di tanah, sementara darahnya berceceran di atas bumi.

Setelah itu, ketiga lelaki tadi melanjutkan perjalanannya, demi tujuan menemukan wanita yang dipesankan leluhur mereka. Dan, tanpa mereka tahu, wanita yang mereka cari-cari itu kini telah terbujur kaku dengan darah berceceran di belakang langkah-langkah mereka....

Akulah Sang Kebenaran

Tak ada manusia yang paling kutakutkan selain mereka yang
mereguk kebenaran dengan tergesa-gesa. Kebenaran yang tak ditimbang-
timbang. Kebenaran beku. Kebenaran yang hanya rindu bentuk rindu rupa,
dan karena itu sangat mengerikan. Aku takut dengan itu.
Jalaluddin Rumi


Kepala itu tertebas dari tubuhnya, dan darah memuncrat ke udara. Tetapi, sebelum jatuh ke tanah, kepala itu tertawa, menertawakan orang-orang yang telah menebas lehernya hingga terpisah dengan tubuhnya.

Syeh Siti Jenar atau Syeh Lemah Abang dipancung karena menganggap dirinya representasi Tuhan, bahwa Tuhan ada di dalam dirinya, bahwa dirinya adalah Tuhan. Namun dia bukanlah satu-satunya orang yang mengalami tragedi semacam itu. Al-Hallaj juga dipancung karena menyatakan dirinya Sang Kebenaran, ketika dia berteriak, “Ana al-Khaq…!”

Dan sama seperti Syeh Lemah Abang, kepala Al-Hallaj pun berputar di udara, kemudian menertawakan para pemancungnya.

“Kebenaran” yang dinyatakan Al-Hallaj maupun Syeh Lemah Abang bukanlah kebenaran personal yang menggunakan huruf ‘k’, melainkan kebenaran mutlak (absolut truth) yang menggunakan huruf ‘K’. Dan karena klaim atas kebenaran mutlak itulah kepala mereka dipenggal dari tubuhnya.

Tetapi, kalau kebenaran yang diklaim Al-Hallaj maupun Syeh Lemah Abang dianggap sebagai kesalahan, lalu kebenaran siapakah yang bisa dianggap sebagai benar?

Apakah para pemancung kepala mereka bisa dianggap benar dan mewakili kebenaran mutlak sehingga merasa punya hak untuk menyatakan bahwa itu benar dan ini salah? Apakah orang-orang yang menyatakan bahwa orang lain salah mewakili atas kebenaran yang dibenarkan? Dan di atas semuanya itu, kebenaran siapakah yang berhak menyatakan bahwa kebenarannya adalah benar, sementara kebenaran orang lain adalah salah...?

Terlepas dari perspektif teologi ataupun logika teosofi, saya lebih memilih untuk memahami apa yang dilakukan Al-Hallaj ataupun Syeh Lemah Abang dengan perspektif psikologi, bahwa apa yang mereka lakukan sesungguhnya adalah bentuk sindiran keras terhadap ego manusia.

Ketika kepala mereka berputar dan tertawa, sementara darah memuncrat ke udara, sesungguhnya mereka tengah menertawakan ulah kita, bahwa kalau kau memenggal kepalaku karena aku menyatakan kebenaran yang menurutku benar, maka kau pun tak jauh beda denganku.

Al-Hallaj ataupun Syeh Lemah Abang adalah martir bagi besarnya ego manusia atas klaim kebenaran.

Kita begitu rapuh dalam meyakini kebenaran, dan kemudian menghancurkan siapa pun yang mencoba menggoyang keyakinan kita atas kebenaran yang kita yakini. Kita tak yakin atas kebenaran kita sendiri, sehingga begitu ketakutan ketika ada orang lain yang menyatakan kebenarannya. Kita mengklaim bahwa kitalah satu-satunya pemilik sah atas kebenaran yang mutlak, sehingga mudah menudingkan jari kepada orang lain dan menganggap siapa pun yang tak sama dengan kita adalah salah.

Kita begitu meyakini bahwa surga hanya milik kita, sehingga siapa pun yang berbeda dengan kita beralamat di neraka. Kita terlalu tinggi hati sehingga tak bisa menerima kebenaran lain tanpa sempat menyangsikan apakah kebenaran yang kita yakini sudah benar. Kita mudah memenggal leher orang lain hanya karena mereka meyakini kebenarannya sendiri.

Lalu apa bedanya kita dengan Al-Hallaj dan Syeh Lemah Abang...?

Kalau kita memenggal kepala mereka dengan alasan karena mereka menganggap dirinya sebagai kebenaran dan kita tersinggung dan marah karenanya, sekali lagi, apa bedanya kita dengan mereka...??? Bukankah kita juga menganggap diri sebagai kebenaran, bahkan kebenaran yang mutlak, sehingga merasa punya hak untuk memenggal kepala mereka...???

Manusia sering kali naif ketika berhadapan dengan kebenaran, dan kenaifan itu sudah menunjukkan bahwa sesungguhnya kita belum tentu benar. Kesombongan apakah yang lebih sombong selain ketika meyakini diri sendiri sebagai benar dan yang lainnya adalah salah? Keangkuhan apakah yang lebih angkuh selain menganggap kebenaran hanya miliknya, dan orang lain salah semua?

Jika Tuhan berteriak bahwa siapa pun yang masih menyimpan kesombongan sebesar biji sawi diharamkan masuk surga, pantaskah mengharapkan surga hanya dengan berbekal kebenaran yang angkuh ini...? Masih layakkah menganggap diri patuh kepada Tuhan dengan memikul kebenaran yang sombong ini...???

Akulah Sang Kebenaran!

Kita meneriakkan mantra itu berulang-ulang ketika menghadapi sesuatu yang berbeda, dan kita takut karenanya. Dan untuk menutupi rasa ketakutan atau bahkan kepengecutan itu, kita pun menggunakan topeng pengakuan kebenaran sebagai tameng atas ulah kita untuk memenggal kepala siapa pun yang kita anggap berbeda dan tak sama dengan kebenaran kita.

Akulah Sang Kebenaran!

Kita menyanyikan lagu indah namun palsu itu, ketika ingin menutupi rasa rendah diri atas kepercayaan kepada kebenaran yang kita yakini sendiri, dan kemudian memilih untuk menebas batang leher siapa pun yang mencoba bersaing dengan diri kita, daripada mencoba berusaha dan belajar untuk bertoleransi.

Akulah Sang Kebenaran!

Kita begitu kukuh bahkan angkuh saat meneriakkannya, namun kemudian di balik kegelapan yang paling gelap di dalam jiwa kita, ada sesuatu yang mengusik-usik yang membuat kita terus-menerus bertanya-tanya kepada diri kita sendiri tentang kebenaran yang kita yakini.

Dan... sementara kita masih juga meragukan kebenaran yang kita pegang dengan teguh, kukuh, bahkan angkuh itu, kita pun terus bergerak memenggal leher siapa pun yang berbeda dengan kebenaran yang kita ragukan sendiri...

Alangkah malangnya kebenaran...!

Selasa, 20 Desember 2011

10 Buku Terbaik yang Saya Baca Sepanjang 2011

Buku seharusnya menjadi sebilah kapak es
yang sanggup memecahkan kebekuan di dalam diri kita.
Franz Kafka


Tahun ini saya tidak banyak membaca—kalau dihitung-hitung, hanya ada 92 judul buku yang saya khatamkan sepanjang 2011. Itu jauh lebih sedikit dibanding tahun-tahun sebelumnya yang biasanya sampai dua kali lipat dari jumlah itu. Banyaknya pekerjaan yang harus saya lakukan sepanjang tahun ini telah menyita waktu membaca saya.

Namun, meski begitu, saya ingin berbagi pengalaman atas buku-buku terbaik yang saya baca sepanjang tahun ini, siapa tahu berguna bagi teman-teman yang kebetulan masih bingung menentukan buku apa yang ingin dibaca.

Berikut ini—saya tulis secara alfabetis berdasarkan nama penulisnya—adalah 10 buku yang saya anggap terbaik dari 92 buku yang saya baca sepanjang 2011. Daftar berikut ini tidak saya maksudkan sebagai rekomendasi, namun sebagai apresiasi saya—yang tentunya bisa subjektif—atas buku-buku yang saya anggap bagus. Silakan disimak.


Dietmar Rothermund: Great Depression

Semula, saya hanya tahu bahwa Amerika pernah dilanda depresi besar pada tahun 1929, ketika bursa efek mereka runtuh, yang kemudian mengakibatkan dampak ke seluruh dunia. Masa itu, dalam sejarah, disebut zaman malaise. Namun pengetahuan saya baru sebatas itu. Karenanya, saya pun mencari buku yang sekiranya bisa menjelaskan hal tersebut secara detail.

Buku inilah yang kemudian saya temukan. Dalam buku ini, semua rasa penasaran saya terobati.

Di buku ini, kisah depresi besar itu diungkap dengan runtut, yang—menurut penulisnya—merupakan awal mula bangkitnya Fasisme Mussolini di Italia dan Nazi-Hitler di Jerman. Lebih dari itu, buku ini juga menjelaskan cukup detail persamaan antara depresi besar 1929 dengan masa resesi abad ini, yang sama-sama dimulai oleh kehancuran bursa saham Amerika. Great Depression adalah bacaan yang penuh wawasan.


Emile Durkheim: The Elementary 
Forms of The Religious Life

Bagi saya, ini adalah karya terbesar Emile Durkheim, sekaligus paling menggelisahkan pikiran. Dalam buku ini, Durkheim memuntahkan pemikiran-pemikirannya yang “asoy-geboy” tentang sejarah pembangunan agama-agama dan kepercayaan umat manusia. Dengan wawasannya yang menakjubkan sebagai pemikir ulung, Durkheim memetakan kerangka historis agama-agama dasar beserta implikasi-implikasi sosiologisnya, yang kemudian menjadi sandaran kepercayaan masyarakat.

Di dunia ini, para pemikir atas objek ini tidak hanya Durkheim. Tetapi dunia seperti telah bersepakat bahwa Emile Durkheim menempati peringkat paling atas dalam bidang ini karena teori-teorinya yang cemerlang, dan The Elementary Forms of The Religious Life adalah sebuah magnum opus dalam bidang studi agama yang diyakini akan terus dikaji dalam setiap generasi.

Buku ini tidak ditujukan untuk orang-orang “fanatik” yang terbiasa menganggap diri paling benar dan yang lain salah semua. Ini adalah buku yang menantang pikiran kita untuk mempertanyakan kebenaran-kebenaran yang telah kita kenal dan yakini, untuk mencari dan menemukan Yang Sejati.


Irish Chang: The Rape of Nanking

Ini buku sejarah kelam yang mendokumentasikan penjajahan dan kekejaman Jepang terhadap bangsa Cina, yang dimulai pada 13 Desember 1937—sejarah paling berdarah yang anehnya jarang diungkap para sejarawan lain. Kisah dalam buku ini sangat runtut, karena dibangun di atas investigasi bertahun-tahun dan pengumpulan data tak terhitung banyaknya.

Misi Irish Chang menulis buku ini adalah untuk membuka mata dunia bahwa Jepang juga telah melakukan dosa besar atas kemanusiaan, sebagaimana Nazi-Jerman melakukan hal sama dalam Perang Dunia II. Jika Jerman dikutuk karena telah melakukan pembantaian terhadap bangsa Yahudi, mengapa Jepang tidak mengalami hal sama padahal mereka juga melakukan pembantaian (dalam taraf yang sama) terhadap bangsa Cina?

Dalam perspektif sejarah, Jerman telah menjadi bangsa yang (lebih) baik karena mereka menanggung dosa sejarah masa lalunya, sehingga mereka pun terus berusaha memperbaiki diri. Hal ini tidak terjadi dengan Jepang, sehingga mereka terus menjadi bangsa yang—menurut Irish Chang—arogan dan sok suci, padahal sejarah mereka telah meninggalkan luka yang amat dalam sekaligus memalukan dan memilukan terhadap bangsa Cina.


John L. Esposito: Unholy War

Sebenarnya, ini buku lama yang juga telah lama ngendon di perpustakaan saya, namun baru sekarang dapat saya baca.

Bagi yang mungkin belum tahu, John L. Esposito adalah cendekiawan yang sangat disegani, baik di dunia Barat maupun Islam, dan dia adalah Profesor Agama dan Hubungan Internasional, serta Direktur Perintis Center for Moslem-Christian Understanding di Universitas Georgetown. Karenanya, ketika ia menulis buku ini, pemikiran-pemikirannya pun dibaca serta dipelajari—baik oleh pihak Barat maupun pihak Islam.

Unholy War membahas polemik paska peristiwa serangan teroris di Amerika pada 11 September 2001. Dengan kejernihan dan kehati-hatian seorang cendekiawan sejati, John Esposito memaparkan ajaran-ajaran Islam—al-Qur’an, keteladanan Nabi, hukum Islam, hingga tentang jihad—dan kemampuannya dalam hal itu benar-benar mengagumkan.

Ia bicara tentang agama, namun tidak dengan emosi atau fanatisme yang membuta, melainkan dengan kejernihan akal, fakta-fakta akurat, serta pendalaman yang menakjubkan. Meski topik inti yang dibahas dalam buku ini mungkin sudah berlalu, tapi otentisitasnya tetap berlaku.


Kolaborasi Penulis: Cinta Tak Pernah Mati

Ini buku yang sangat istimewa, karena bocah-bocah legendaris dalam dunia kepenulisan berkumpul di sini.

Dalam buku kumpulan cerpen ini, kita akan menikmati kisah-kisah yang ditulis para pengarang kelas dunia, dari Ryunosuke Akutagawa, Anton Chekov, Fyodor Dostoevsky, James Joyce, Rudyard Kipling, Edgar Allan Poe, W. Somerset Maugham, Guy de Maupassant, Rabindranath Tagore, Mark Twain, hingga Leo Tolstoy, dan beberapa lainnya.

Melihat deretan nama-nama besar itu, sepertinya saya tidak perlu menjelaskan kehebatan buku ini. Yang jelas, Cinta Tak Pernah Mati telah membuat saya jatuh cinta setengah mati.


Pledoi Omar Dani: Tuhan, Pergunakanlah 
Hati, Pikiran dan Tanganku

Omar Dani adalah salah satu korban Orde Baru yang dituduh terlibat dalam peristiwa Pemberontakan PKI (G 30 S/PKI), yang kemudian dipenjara selama hampir 30 tahun. Kini, melalui buku ini, Omar Dani mengungkapkan “apa yang sesungguhnya terjadi” pada masa-masa itu, dan bagaimana rezim Soeharto memanipulasi sejarah hingga jutaan orang tertipu.

Buku yang diterbitkan ISAI (Institut Studi Arus Informasi) ini ditulis oleh Benedicta A. Surodjo dan JMV. Soeparno, berdasarkan kisah dan dokumen-dokumen otentik dari sejarah serta penuturan Omar Dani—yang didukung oleh saksi sejarah lainnya. Ditulis dengan gaya memoar, buku ini dapat dijadikan rujukan penting jika ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi menyangkut ribut-ribut pemberontakan PKI.

Di halaman awal, sejarawan Asvi Warman Adam memberikan “pengantar panas” sebagai pembuka, dan buku ini merupakan literatur layak baca bagi yang ingin kembali belajar sejarah Indonesia.


Robert Matthews: 25 Gagasan Besar

Judul asli buku ini adalah 25 Big Ideas: The Science that’s Changing Our World. Ini bacaan berat yang dikemas dengan cara ringan, meski mungkin masih tetap membuat pembacanya mengerutkan kening.

Berisi 25 ide besar yang pernah lahir dalam peradaban manusia, buku ini menjelaskan tentang Kesadaran (Consciousness), Teori Dunia Kecil (Small World Theory), Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence), Teori Segalanya (Theory of Everything), hingga Teorema Bayes (Bayes’s Theorem), dan Ledakan Besar (Big Bang).

Membaca buku ini adalah berkelana ke lembah-lembah pemikiran besar yang mempesona—gelap dan membingungkan, tetapi membuat penasaran sekaligus menakjubkan.


Stephen Hawking: The Grand Design

Salah satu hal yang saya syukuri karena hidup di zaman ini adalah karena dapat menyaksikan ilmuwan terbesar abad 21. Stephen Hawking—saya yakini—akan tetap dikenang orang hingga berpuluh-puluh tahun mendatang, sama seperti kita di zaman ini mengenang Einstein, Newton, ataupun Galileo.

Dalam buku ini, Hawking menjelaskan teori awal mula alam semesta dan hal-hal lain tentang penciptaan dunia. Meski buku ini—menurut saya—tidak sebagus buku terdahulunya (A Brief History of Time), namun The Grand Design tetap mengasyikkan untuk dibaca.


Susan Wise Bauer: Sejarah Dunia Kuno

Buku ini luar biasa tebal, juga luar biasa mengasyikkan. Ini buku sejarah yang “tak seperti biasanya”. Dalam buku ini, Susan Wise Bauer mengisahkan kebangunan dan keruntuhan banyak kekaisaran dari masa lampau—Sumeria, Mesir, Akadia, Babilonia, Mesopotamia, Asia Kecil, Yunani, Romawi, Assiria, Cina, Athena, India, hingga Persia—dengan cara yang sangat mengasyikkan.

Kalau J.K. Rowling mampu menyihir kita melalui kisah-kisah Harry Potter yang diciptakannya, maka Susan Wise Bauer akan menyihir kita dengan kisah-kisah nyata yang digalinya dari puing-puing sejarah masa lalu dan peradaban kuno. Ini buku sejarah paling menakjubkan yang pernah saya baca, dan Sejarah Dunia Kuno benar-benar meledakkan orgasme di kepala saya.


Windy Ariestanty: Life Traveler

Selama ini, kalau membaca buku kisah perjalanan, saya hanya menjadikannya sebagai semacam “guide book”, karena—tentu saja—saya tidak bisa berharap menemukan kebijaksanaan Sulaiman dalam sebuah buku perjalanan.

Namun buku ini berbeda. Selain menceritakan kisah-kisah perjalanan penulisnya, Life Traveler juga sebuah bacaan yang cukup dalam.

Sejatinya, buku ini adalah kumpulan kisah perjalanan penulisnya dalam melanglang sebagian lekuk bumi—Ha Noi, Frankfurt, Paris, Amsterdam, dan lainnya. Namun, di sela-sela kisah perjalanan itu, Windy Ariestanty mampu memasukkan hal-hal yang “dalam” sehingga menjadikan pengalaman membaca jadi lebih menyenangkan. Ini tidak sekadar tentang “jadi di sana ada monumen”, tetapi juga tentang “jadi itulah yang kurasakan dan kupikirkan”—sebuah perjalanan hati yang diantar sepasang kaki.

Kisah yang paling saya sukai dalam buku ini adalah “Not Foreigners”. Itu kisah paling sederhana dalam buku ini, namun paling menghangatkan hati saya. Secara keseluruhan, buku ini hangat dan dalam. Dan saya menyukainya.

Sampai jumpa di Daftar 10 Buku Terbaik Tahun Depan!

Mengapa Tuhan Menciptakan Nyamuk

Tiada Tuhan tanpa sebuah dunia, dan tiada dunia tanpa Tuhan.
Friedrich Schleiermacher

Kita adalah pensil yang digerakkan oleh tangan Tuhan.
Mother Theresa


Sebagai manusia yang daif, kadang-kadang kita mempertanyakan alasan penciptaan yang kesannya tidak bermanfaat. Nyamuk, misalnya. Apa kira-kira alasan Tuhan menciptakan nyamuk? Makhluk kecil ini sangat mengganggu, membuat gatal, bahkan tidak jarang membawa penyakit. Di sisi lain, nyamuk—sepertinya—tidak memberikan manfaat apa pun.

Konon, nyamuk yang menggigit kulit kita adalah nyamuk betina, karena nyamuk jantan tidak pernah menggigit. Tapi tak peduli digigit nyamuk jantan atau betina, gigitan nyamuk sangat mengganggu sekaligus menjengkelkan.

Dalam suatu ceramahnya, Ustadz Zainuddin MZ (almarhum) pernah menjelaskan alasan Tuhan menciptakan nyamuk. “Dengan adanya nyamuk,” kata Ustadz Zainuddin waktu itu, “maka orang pun mencari cara untuk menghindari gangguan nyamuk. Lalu obat antinyamuk ditemukan. Setelah itu, pabrik obat antinyamuk berdiri, sehingga orang-orang pun mendapatkan lapangan kerja.”

Saya masih SD ketika mendengar ceramah itu, dan saya pun menyetujui ulasan tersebut. Sepertinya masuk akal, pikir saya waktu itu. Tetapi, seiring perjalanan waktu, saya mulai mempertanyakan kebenarannya. Apa iya Tuhan menciptakan nyamuk dengan tujuan agar orang bisa membangun pabrik? Jika benar begitu, sepertinya Tuhan juga punya sifat kapitalis.

Nah, kalau memang bukan itu alasan Tuhan menciptakan nyamuk, lalu apa latar belakang penciptaannya? Sampai bertahun-tahun lamanya saya tetap tidak menemukan jawaban yang sekiranya masuk akal dan dapat saya percaya. Bahkan, ketika menulis catatan ini pun, saya tetap masih ragu pada jawaban pastinya.

Suatu malam, ketika sedang membaca buku, seekor nyamuk menempel ke kulit lengan saya. Karena sedang khusyuk membaca, saya tidak menyadari keberadaan nyamuk tersebut. Sampai akhirnya, ketika mulai sadar pada gigitannya, lengan saya sudah ditumbuhi bentol merah yang cukup besar. Dan gatal. Dan menjengkelkan. Dan tiba-tiba saya mulai melihat alasan kenapa Tuhan menciptakan nyamuk.

Meski saya tidak bertubuh besar seperti Ade Rai, tetapi ukuran tubuh saya ribuan kali lipat lebih besar dibanding ukuran seekor nyamuk. Dan nyamuk yang amat kecil itu mampu menciptakan perubahan (bentol besar) pada diri saya yang ukurannya ribuan kali lipat lebih besar.

Oh, well, sekarang saya tahu kenapa Tuhan menciptakan nyamuk. Dan setiap kali saya merasa terlalu kecil untuk menciptakan perubahan, saya akan belajar kepada nyamuk.

….
….

Seratus enam puluh tahun yang lalu, ada seorang lelaki bernama William Lloyd Garrison, yang meneriakkan tuntutan agar perbudakan umat manusia dihentikan, karena menurutnya perbudakan adalah pelecehan terhadap penciptaan Tuhan, serta merendahkan harkat martabat manusia.

Pada masa itu, perbudakan adalah hal lazim di Amerika dan Eropa, sehingga ketika Garrison meneriakkan tuntutannya, ia dicibir, ditertawakan, bahkan ditentang habis-habisan oleh semua institusi di negaranya. Pemerintah Amerika menentang perjuangannya, masyarakat menertawakannya, sementara para ahli agama mengeluarkan fatwa bahwa perbudakan adalah bagian dari kehendak Tuhan.

Tetapi Garrison tak peduli. Sebagai jurnalis, ia terus menulis, meneriakkan protesnya tanpa henti, dan menyuarakan bahwa perbudakan adalah kejahatan, dan sudah saatnya manusia dibebaskan dari kebodohan, keterbelakangan, serta pengebirian dari sesama manusia lainnya.

Orang-orang yang menentangnya menyatakan bahwa perbudakan telah berjalan sekian ratus tahun, bahkan sekian ribu tahun sebelumnya, maka tak ada satu kekuasaan pun yang bisa menghapuskannya. Sementara Garrison berkeyakinan bahwa apa pun yang telah dilakukan sekian ratus atau bahkan sekian ribu tahun bukan berarti sesuatu itu benar dan bisa terus dibenarkan. Karena itu kemudian Garrison membulatkan tekadnya, dan memulai perjuangan yang telah dimustahilkan oleh jutaan orang di negaranya.

Seperti bola salju, tulisan-tulisan dan teriakan Garrison perlahan-lahan mulai memperoleh tanggapan positif dan dukungan dari masyarakat, dan gerakan yang pada mulanya diawali satu orang itu kemudian berubah menjadi kekuatan jutaan orang. Pada akhirnya, ketika Garrison meninggal dunia karena dimakan usia, perjuangannya diteruskan orang-orang lainnya, termasuk oleh Martin Luther King. Hari ini, perbudakan manusia dinyatakan sebagai kejahatan.

Mungkin, saya pikir, William Lloyd Garrison telah belajar kepada nyamuk.

Kamis, 15 Desember 2011

Rembulan Luka

Untuk Shirley Ardell Mason

Di sini sungai mengalir, langit membisu, dan gunung memuntahkan amarahnya. Di sini hati berdetak, rahasia tersingkap, dan kegelapan adalah leret cahaya. Pada kesunyian hidup, luka dan amarah tak terkatakan.

Aku bersimpuh di makammu sekarang, membayangkanmu, merenungkan perjalanan hidup yang harus kautempuh, hari-hari yang kaulewati, malam-malam penuh tangis dan kebingungan, hingga ajal menjemputmu, melepaskanmu dari semua derita, derita, derita...

Pertama kali mendengar kisah tentangmu, bertahun-tahun lalu, aku tahu kapan pun waktunya akan menziarahi makammu. Dan kini aku di sini, menatap tempat peristirahatan terakhirmu yang dilupakan, dengan setangkai anyelir, dengan hati yang berduka, dengan catatan kesedihan yang membayang di cakrawala.

Hidup adalah angin di antara rahang dan taring serigala, itu yang selalu kubayangkan. Seseorang menarikmu dari kesunyian yang nyaman, dan kau kemudian dilahirkan. Tanpa kauminta, tanpa kauinginkan. Kau lahir ke dunia asing yang tak kaupahami, tempat tangan-tangan lembut seharusnya menyentuhmu dengan kasih. Tapi kadang tangan-tangan lembut itu tidak kautemukan, dan kau justru menemukan tangan-tangan penuh api.

Bayi-bayi yang menangis karena dipaksa keluar dari kehidupan mereka yang lembut dan nyaman, untuk kemudian disakiti, dilukai, di sebuah dunia asing penuh amarah dan kemurkaan, tempat luka dan darah menjadi bagian dari peradaban.

Di tengah keramaian dan kebisingan dunia asing itu, kau tercampakkan, dilupakan, hingga terasing seperti rembulan di langit, sendirian menangisi hidup, menanggung luka yang tidak kaupahami. Dunia yang tidak kauinginkan telah mencampakkanmu, kehidupan yang tidak kauharapkan telah menyakitimu. Dan luka-luka itu begitu dalam, menggoreskan darah yang membutuhkan tahun-tahun panjang untuk mengering.

Pada luka, pada kerinduan, kau terasing.

Tidak ada yang memahamimu, bahkan orang yang telah menarikmu dari rahim keheningan, untuk kemudian melemparkanmu dalam dunia penuh kemurkaan. Bagi peradaban manusia kasatmata ini, kau adalah kutukan, dan mereka tak pernah sekali pun merenungkan bahwa merekalah yang menyebabkanmu lahir dalam keberadaan.

Dan kau tumbuh, besar, untuk kemudian menjadi manusia seutuhnya. Tetapi alam semesta tahu, kau tidak utuh. Ada bagian dalam dirimu yang terluka, berdarah dan bernanah, menjadi bukti yang terpahat abadi atas kejahatan dan kegelapan yang dapat terjadi dalam dunia manusia. Lalu dunia berteriak dengan angkuh, “Jadilah dirimu sendiri!

Dan kau menjawabnya dengan tangis, “Diriku yang mana?”

Oh, well, dirimu yang mana, karena kau memiliki enam belas diri yang terpecah menjadi serpihan-serpihan luka. Kata-kata itu menjadi kutukan bagimu, tetapi dunia tak pernah dapat memahamimu. Kau meradang, terasing, menangis sendirian di kegelapan langit, seperti rembulan luka.

....
....

Betapa panjangnya tahun. Kau merasakan panjang tahun di antara kebingungan, jeritan-jeritan dalam sunyi, dan kau berganti. Alam semesta menangisimu, tetapi peradaban manusia mencampakkanmu, dan menganggapmu kutukan, tanpa pernah menyadari bahwa mereka sendirilah yang melahirkan kutukan itu. Hidup adalah angin di antara rahang dan taring serigala.

Bagiku, hidup adalah jalan panjang menyatukan rahasia untuk menjemput takdir. Bagimu, hidup adalah jeritan panjang menyatukan dirimu yang terpecah dalam kemarahan. Selalu ada dasar neraka di balik kegelapan yang bisu, api membara yang terkunci dalam ketertindasan. Api itu menyala dalam dirimu, tanpa seorang pun tahu, dan api itu menciptakan badai siksa tak terkatakan.

Kau yang pertama, tetapi bukan yang terakhir. Bertahun-tahun setelah kematianmu, dunia yang tua ini masih terus melahirkan bayi-bayi lain untuk disakiti, untuk dilukai, untuk dicampakkan dan dilupakan. Mereka menangisi semua yang kautangisi, merindukan semua yang kaurindukan. Bayi-bayi yang sama, anak-anak yang sama, luka-luka dan derita yang sama.

Aku menyatakan ini tidak untuk mengganggu istirahatmu, aku menyatakannya untuk menunjukkan kepada dunia bahwa peradaban umat manusia belum juga belajar dari sejarahnya sendiri. Mereka masih menilai diri paling benar, paling tinggi, paling mulia, sehingga merasa dapat melakukan apa pun, termasuk merusak kemurniannya sendiri.

Kemarin aku menapaktilasi langkahmu, saat kau masih hidup, tempat kau menatap dunia yang tak kaupahami. Di bawah langit yang sama, aku membayangkan kau pernah melangkah di sana, mengunjungi sahabat terbaikmu, untuk kemudian menyatukan serpihan-serpihan yang terserak di dalam dirimu. Lalu kau mengutuh, seutuh ketika pertama kali lahir, dan kau hidup, sehidup seharusnya kelahiranmu.

Kini kau telah pergi, kembali pada kesunyian dan keabadian tempatmu dulu berasal, namun nama dan kisahmu telah menjadi bagian sejarah peradaban manusia, meski mereka berusaha menghapusnya, menyangkalnya, melupakannya.

Alam semesta tidak akan pernah melupakanmu, dan ia akan menjadi saksi tentang kapan dunia sampai pada titik kesadaran untuk mulai belajar, untuk tidak lagi merenggut bayi-bayi tak berdosa dari kedamaian mereka, hanya untuk dilukai dan dicampakkan.

Selamat beristirahat, Shirley. Kau layak mendapatkan waktu istirahatmu, setelah perjuangan panjang penuh luka yang telah kaujalani, dan pertempuran dalam sunyi yang telah kaumenangkan. Semoga waktu istirahat itu cukup untuk menghapus semua luka pada rembulan di hatimu.

Muhasabah: Self Potrait

Seorang teman bertanya pada saya, “Hei, pal, kenapa kau menyebut dirimu ‘Lajang, Pembelajar’?”

“Karena aku memang lajang. Aku tidak—atau belum—punya istri. Jadi aku memang lajang.”

Teman saya mengangguk. “Oke, itu tak perlu dibahas lagi. Bagaimana dengan ‘Pembelajar’? Kenapa kau menyebut dirimu sendiri seperti itu?”

“Kau tidak ingin mendengarnya.”

“Oh, ayolah, sumpah mati aku ingin tahu.”

“Jawabannya panjang.”

“Aku mendengarkan.”

....
....

Untuk mulai menjawab pertanyaan penting itu, saya menyulut rokok. Setelah menikmati asapnya beberapa saat, saya menatap teman saya tercinta, dan berkata perlahan-lahan, “Well... aku yang kaulihat ini, sebenarnya tidak seperti yang kaulihat. Aku ini iblis yang menyerupai manusia. Aku menyimpan kebusukan dan kejahatan di balik sosokku yang sekarang kaulihat.

“Aku berhati jahat dan busuk, tapi menutupinya dengan rapi di balik sikap yang elegan. Aku kotor dan keji, tapi mengaburkannya dalam senyum yang selalu kutebarkan. Aku penuh iri hati, dengki, dan kebencian, tapi menyembunyikan semuanya itu dalam ucapan yang kuusahakan terkesan baik dan lembut. Aku kasar, penuh amarah dan dendam, tapi semua itu terkamuflase di balik penampilanku yang tampak welas asih.

“Oh, well, kau tahu, aku ini tolol sekaligus bodoh dan dungu, tapi sok pintar dan sok tahu. Aku tidak tahu apa-apa, tetapi sok bicara macam-macam seolah tahu segalanya. Aku sangat suka menyalahkan, mengkritik, mencaci dan merendahkan orang lain, karena kupikir aku akan tampak hebat dengan melakukan semuanya itu. Setiap malam aku berpelukan dengan setan, tapi setiap hari berkoar-koar membawa nama Tuhan.

“Setiap kali aku punya kesempatan merendahkan orang lain, aku akan merendahkannya. Setiap kali ada kesempatan menertawakan orang lain, aku akan menertawakannya. Kau tahu, rasanya nikmat sekali kalau bisa mencerca orang lain, menertawakan orang lain, merendahkan orang lain. Kupikir, dengan cara seperti itu, aku akan tampak lebih hebat dibanding orang yang kucerca dan kurendahkan.

“Jadi itulah yang kemudian kulakukan. Kemana saja aku pergi, aku akan mencari kekurangan orang lain agar bisa mengkritiknya. Di mana saja aku berada, aku akan mencari kelemahan orang lain agar bisa merendahkannya. Jika tidak kutemukan, maka aku akan mencari-cari atau mengarang-ngarang apa saja agar punya alasan untuk dapat menertawakannya. Aku akan mengatakannya tidak ilmiah, tidak akademis, tidak agamis, ataupun tidak lainnya. Oh, well, aku sangat ahli dalam hal-hal semacam itu. Dalam hal mencerca orang lain, aku adalah pakarnya.

Aku sangat iri melihat kelebihan orang lain, aku cemburu melihat kesuksesan orang lain. Karena itu, untuk menutupi rasa iri dan cemburuku, aku akan merendahkan mereka, mencerca mereka, agar dapat mengobati rasa iri dan cemburuku sendiri. Aku terluka setiap kali mendapati ada orang lain yang lebih dariku. Karenanya, alih-alih mengagumi dan belajar pada kelebihannya, aku justru berusaha mencari cacat celanya. Dan untuk menutupi semua kebusukan serta kemunafikan itu, aku menutupinya dengan senyuman yang tampak tulus.

“Tapi itu belum semuanya. Selain sok pintar dan sok tahu, aku juga sangat sok alim. Yeah, kau tahu, aku sangat mencintai kekayaan dan kemewahan dunia, tapi aku menutupinya dengan sikap sok tidak butuh, meski diam-diam aku membangun sikap pelit dan kikir kepada sesama. Jadi aku suka berkoar-koar tentang akhirat, surga dan neraka, tapi setiap hari aku menyimpan setiap keping uang yang kumiliki, dan membiarkan tetanggaku kelaparan.

“Aku sangat suka bicara tentang agama, tapi aku hidup jauh dari ajarannya. Aku sangat suka menyebut-nyebut nama Tuhan, tapi hatiku menyimpan iri hati, kedengkian, dendam, dan kebencian. Aku sangat hobi menyitir ayat-ayat suci, tapi aku juga sangat hobi mencerca dan menyalahkan orang lain. Aku selalu berteriak agar orang lain belajar, tapi aku sendiri tidak pernah belajar. Aku sangat suka bersenggama dengan setan, tapi sok alim dengan berteriak-teriak menyebut nama Tuhan.

“Jadi, kaulihat sekarang...? Aku tidak seperti yang kaulihat. Aku ini iblis yang menyerupai manusia.”

....
....

Teman saya melongo dan berkata tergagap, “Bag-bagaimana... bagaimana kau tahu kalau kau sekotor dan sekeji itu?”

Saya menghembuskan asap rokok dari mulut, dan menjawab, “Karena aku belajar. Itulah kenapa aku menyebut diriku ‘Pembelajar’.”

Aku Tidak Suka Dirantai, Apalagi Dibelenggu!

Oh, well, kau suka. Lepaskan dulu rantai-rantai dan belenggumu, nanti ngomong lagi.

Minggu, 11 Desember 2011

Posting (Tidak) Penting

Ini post tidak penting yang hanya berisi curcol saya yang sama tidak penting. Tapi, meski begitu, saya ingin tetap menuliskannya.

Kalian yang biasa berkunjung ke sini mungkin agak pangling melihat tampilan baru blog ini. Template blog ini memang telah saya ganti, dan saya berharap tampilannya lebih baik daripada sebelumnya.

Kadang-kadang, dan sering kali, kita baru melakukan sesuatu kalau sudah dipaksa oleh keadaan. Begitu pula saya. Sebenarnya, sudah cukup lama saya ingin mengganti template blog ini, sehingga lebih baik dan lebih mudah digunakan para pembacanya. Tetapi, keinginan yang “mulia” itu lama tak terealisasi karena berbagai alasan yang—sebenarnya—saya cari-cari sendiri.

Sebelumnya, template blog ini sangat sederhana, dan saya menyukainya. Namun, meski saya menyukainya, sebagian pembaca blog ini merasa ada yang kurang. Yakni tidak adanya search engine yang dapat digunakan untuk mencari suatu artikel yang pernah diposting di sini. Akibatnya, beberapa pembaca yang ingin menemukan post terdahulu harus membuka-buka arsip dan memelototi deretan judul yang tak terhitung banyaknya. Itu tentu pekerjaan yang melelahkan.

Ketika menyadari pentingnya search engine di blog ini bagi para pembaca, saya sudah pernah mencoba memasangnya. Beberapa bulan yang lalu, saya mencoba memasang widget search engine yang disediakan Blogger, tapi entah mengapa search engine itu tidak berfungsi. Artinya, meski saya telah memasangnya di blog ini, search engine itu tak bisa digunakan. Setiap kali saya memasukkan kata kunci ke dalamnya, search engine tidak pernah bisa menemukannya. Akhirnya saya lepas kembali.

Saya awam dalam hal-hal begituan, jadi saya pun menanyakan masalah itu pada beberapa teman. Menurut mereka yang cukup ahli dalam masalah seperti ini, tidak berfungsinya search engine di blog saya tersebut karena script-nya bentrok dengan script anti-copas yang saya pasang di blog.

Saya pun kemudian melepaskan script anti-copas yang ada di blog ini, dan kembali memasang widget search engine. Namun, entah mengapa, search engine itu tetap tidak berfungsi. Berkali-kali saya memasukkan kata kunci ke dalam search engine tersebut, namun mesin pintar buatan Google itu tetap tidak dapat menemukan satu pun kata kunci yang saya cari. Kesimpulannya, search engine itu tetap tidak bisa digunakan di blog ini.

Karena tetap tidak tahu apa masalahnya, saya kembali bertanya pada teman-teman yang ahli. Kali ini, kata mereka, script search engine itu bentrok dengan script Google Analytics yang saya pasang di blog, sehingga tetap tidak dapat berfungsi. Karena yang mengatakan hal itu seorang ahli, saya pun percaya. Maka saya pun lalu melepaskan script Google Analytics dari blog, dan hasilnya adalah bencana.

Entah karena saya keliru menghapus script atau karena hal lain, tiba-tiba tampilan blog ini rusak. Memang tidak rusak-rusak amat, tapi tampilannya tidak serapi sebelumnya, alias jadi berantakan.

Oh, well, ini mengerikan, pikir saya. Bagaimana pun, tampilan blog yang berantakan itu tidak enak dipandang, sehingga saya pun jadi malas membaca-baca isinya. Ini tentu tidak bisa dibiarkan. Maka, akhirnya, saya pun dengan terpaksa mulai mencari template lain untuk menggantikannya.

Mencari template baru, bagi saya, adalah pekerjaan yang cukup melelahkan. Karena saya termasuk “rewel” dalam hal pemilihan template. Selain harus sesuai dengan keinginan dan kebutuhan saya, template pengganti itu harus memiliki loading yang ringan—atau bahkan kalau bisa sangat ringan. Tak peduli sebagus apa pun sebuah template, saya tidak tertarik jika loading-nya berat.

Dan rupanya saya berjodoh dengan template ini. Ya, template yang sekarang kalian lihat ini. Secara tampilan, template yang sekarang tentu jauh lebih bagus dibanding template terdahulu yang sangat sederhana. Template baru ini juga sangat fungsional, karena sesuai keinginan saya. Di atas semuanya itu, template baru ini juga telah memiliki widget search engine bawaan, sehingga saya tidak perlu memasangnya sendiri.

Tapi lagi-lagi search engine ini tetap menjadi masalah. Sama seperti dulu, search engine template ini pun tetap tidak mau berfungsi jika saya memasang script Google Analytics atau script anti-copas. Jika script-script itu saya pasang, maka saya bahkan tidak bisa memasukkan kata apa pun ke dalam search engine. Kesimpulannya, saya memang tidak boleh memasang script-script itu di blog ini.

Jadi begitulah. Saya pun akhirnya mengalah demi kenyamanan pembaca yang ingin mudah menemukan catatan-catatan lama saya di blog. Agar search engine di sini benar-benar dapat digunakan para pembaca, saya pun rela membuang script anti-copas maupun script Google Analytics. Saya berharap blog ini lebih nyaman sekaligus lebih mudah digunakan.

Akhirnya, saya pikir, script-script itu mungkin memang tidak terlalu saya butuhkan. Script anti-copas itu saya tanamkan dengan maksud agar tulisan saya tidak dibajak oleh orang lain.

Tetapi, akhirnya saya menyadari, bahwa pembajakan—dalam hal ini pembajakan tulisan—tidak bisa dibatasi dengan sebuah script, karena ada banyak cara untuk dapat menerobosnya. Pembajakan lebih berhubungan dengan moral pelakunya, karena ayam yang berkeliaran tanpa kandang pun tidak akan hilang di tengah masyarakat yang bermoral.

Begitu pun script Google Analytics. Sekarang saya pun menyadari bahwa sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkannya. Saya tidak menjadikan blog ini sebagai tempat berbisnis yang mengharuskan laporan pasti tentang berapa banyak orang yang “kesasar” ke sini dan berbagai laporan tentangnya. Saya menulis di blog ini sebagai sarana menuangkan pikiran, isi hati, kegelisahan, dan saya—sebenarnya—tak pernah peduli ada yang membacanya atau tidak. Jadi saya sama sekali tidak membutuhkan laporan dari Google Analytics.

Jadi, kawan-kawan, kalau kalian kebetulan termasuk orang yang suka membaca-baca catatan saya di blog ini, saya berharap tampilan baru blog ini dapat membuat kalian lebih nyaman menggunakannya. Akhir kata, terima kasih karena telah menjadi teman dalam perjalanan kegelisahan saya.

Selasa, 06 Desember 2011

Pusing Mikir Klitoris (2)

Catatan ini berhubungan dengan catatan sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Saya pusing mikir klitoris, karena benda ini terus-menerus menciptakan keributan yang—anehnya—justru menjauhkan pemiliknya dari tujuan penciptaannya. Belum lama, kita mendengar ribut-ribut tentang “sunat wanita” yang dalam prosesnya adalah memotong klitoris, kulit penutupnya, atau bagian apa pun darinya. Orang yang agresif menganjurkan hal itu biasanya berdalih karena ajaran agama (meski sebenarnya sangat diragukan).

Kita tidak tahu apa motivasi orang-orang yang tiba-tiba kembali meributkan sunat klitoris itu, tetapi yang jelas anjuran atau bahkan ajaran tentang “sunat wanita” hanyalah bentuk penindasan terhadap wanita. Jika sunat terhadap laki-laki memiliki tujuan medis yang jelas dan pasti, sunat pada wanita tidak memiliki dasar dan tujuan medis yang dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan WHO dengan kasar menyebut “sunat wanita” sebagai “mutilasi” (Female Genital Mutilation—FGM).

Mutilasi atas tubuh wanita, dalam hal ini klitoris, memang lebih didasarkan pada kultur atau budaya, atau bahkan agama, dan bukan karena indikasi medis. Karenanya, berdasarkan Konferensi Kaum Wanita Sedunia di Beijing, Cina, WHO telah memutuskan untuk melarang sunat pada perempuan. Pemerintah di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, juga telah membuat undang-undang larangan sunat perempuan. Di Belanda, pelaku sunat perempuan diancam hukuman 12 tahun penjara.

Bagaimana dengan Indonesia? Karena terikat dengan ketentuan WHO, maka tentu (semestinya) Indonesia juga harus melarang praktik itu. Karena selain membahayakan si wanita, karena tidak memiliki dasar medis, praktik itu juga melanggar hak asasi manusia. Tetapi, seperti biasa, negara kita adalah negara yang serba nanggung. Akibatnya, praktik yang jelas-jelas tidak bermanfaat itu pun tetap dihadapi dengan sikap nanggung.

Sepanjang 18 bulan—dari Oktober 2001 sampai Maret 2003—Population Council melakukan riset di enam provinsi yang ada di Indonesia, meliputi Sumatera Barat, Banten, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Hasilnya, berdasarkan riset mereka, praktik “sunat wanita” yang dilakukan di berbagai provinsi tersebut “menunjukkan adanya medikalisasi sunat wanita.”

Istilah “medikalisasi” mungkin sengaja digunakan untuk menghaluskan istilah aslinya yang mungkin “komersialisasi medis”. Tetapi saya tidak berani menuduh bahwa ada upaya semacam itu, karena, menurut Ina Hernawati, Direktur Bina Kesehatan Ibu dari Kementerian Kesehatan, “Selama ada demand, kita sebagai supplayer harus menyediakan. Kalau tidak, nanti mereka pergi ke orang yang tidak punya kompetensi, hingga malah berakhir dengan komplikasi, tindakan kekerasan, pemotongan, dan tidak aman.”

Pihak kedokteran Indonesia sendiri sebenarnya juga tidak menganjurkan sunat wanita, bahkan mengusulkan agar dilarang. Pengamat kesehatan dari Yayasan Kesehatan Perempuan, yang juga mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Kartono Muhammad, menyatakan agar sebaiknya praktik sunat wanita dilarang, untuk melindungi anak perempuan dari kekerasan, juga untuk melindungi dari kemungkinan infeksi, cacat, dan sebagainya.

Jadi, jika kita melihat kasus ini lebih utuh, adanya orang-orang yang melakukan “sunat wanita” tersebut bukan karena adanya indikasi medis yang memang mengharuskan mereka melakukannya, tetapi karena terdorong oleh anjuran sebagian pihak, yang—mungkin—menyatakan bahwa hal itu (sunat wanita) adalah ajaran agama. Ironisnya, agama yang digunakan sebagai dalih untuk praktik itu adalah Islam.

Tapi benarkah Islam memang mengajarkan praktik sunat pada wanita? Di Mesir, yang mayoritas penduduknya muslim, sekitar 90 persen wanitanya memang melakukan praktik sunat, dengan alasan “untuk kebaikan dan perlindungan terhadap perempuan”. Tetapi, yang perlu dicatat, mayoritas ulama di sana dengan tegas membantah bahwa itu bukan ajaran Islam. Sementara Lebanon dan Saudi Arabia—yang merupakan negara muslim—sama sekali tidak melakukan praktik sunat wanita.

Lebih dari itu, praktik sunat pada wanita sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh kaum muslim. Di Ghana, misalnya, yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani, juga melakukan praktik sunat wanita. Artinya, orang yang berdalih menyatakan bahwa sunat wanita adalah ajaran Islam perlu mempelajari kembali dalilnya.

So, dari mana sebenarnya asal usul adanya praktik sunat wanita tersebut? Budaya itu telah dimulai sejak beribu-ribu tahun yang lalu, jauh sebelum lahirnya Kristen atau Islam, dan telah mulai dipraktikkan ketika manusia masih hidup dalam budaya pagan. Sumber literatur paling tua tentang objek ini menyebutkan bahwa “sunat wanita” dimulai di Afrika.

Di Afrika, ribuan tahun yang lalu, ketika manusia masih hidup di goa-goa, sebagian besar laki-laki menghabiskan waktu berhari-hari untuk berburu binatang, sementara kaum wanita bertugas menjaga anak dan tempat tinggal. Karena khawatir mereka berselingkuh selagi suaminya berburu, para laki-laki itu pun kemudian memutuskan untuk memotong klitoris istrinya, karena menganggap benda itu sebagai sumber gairah seksual.

Maka wanita pun, sejak itu, mulai mengalami siksaan yang harus ditanggung, yakni merelakan klitorisnya dipotong atau dilukai demi dipercaya oleh pasangannya. Kelak, dalam dunia medis, hal itu disebut “klitoridektomi”. Dan praktik itu kemudian diwariskan turun-temurun, dari abad ke abad, dari generasi ke generasi. Ketika agama samawi mulai diturunkan, budaya itu pun masuk (teradopsi) dalam proses akulturasi. Tetapi, yang jelas, klitoridektomi atau “sunat wanita” bukan ajaran agama.

Kepercayaan bahwa klitoris sebagai sumber rusaknya moral wanita didasarkan pada fakta bahwa klitoris memang sumber rangsangan. Benda itu menyimpan jutaan sel saraf yang amat peka, sehingga wanita dapat merasakan kenikmatan seksual atas rangsangan pada klitorisnya. Karena itu pula, selain mengenal orgasme vaginal, wanita juga mengenal orgasme klitoral.

Tetapi menghilangkan atau melukai klitoris dengan alasan untuk “menjaga moral” sama artinya dengan menghilangkan tujuan penciptaan atas pemiliknya. Itu sama halnya dengan pengebirian. Para pakar seksualitas tahu betul bahwa tujuan penting kenapa wanita dianugerahi klitoris adalah karena tidak setiap mereka dapat merasakan orgasme vaginal bersama pasangannya, sehingga mereka diberi kemungkinan untuk tetap merasakan orgasme melalui klitorisnya.

Karenanya, klitoridektomi mengandung banyak implikasi—tidak hanya dalih moral semata, tetapi juga konsekuensi yang sama berbahayanya.

Angela Dewi—akrab disapa Dela—adalah wanita asal Sumatera Barat yang menjadi salah satu korban praktik klitoridektomi atau “sunat wanita”. Dia masih berusia 11 tahun ketika hal itu terjadi, dan dia masih ingat bagaimana seorang bidan melukai klitorisnya dengan silet, sementara bius yang disuntikkan ke tubuhnya ternyata tidak bekerja secara optimal.

Akibatnya, sakit tak tertahankan pun dirasakan olehnya, dan dia berteriak, meraung-raung kesakitan. Rasa sakit itu, diakuinya sendiri, hilang dalam beberapa hari. Tetapi trauma akibat peristiwa itu tak pernah hilang hingga bertahun-tahun. Akibatnya, ketika telah dewasa, hubungan intim dengan suaminya pun jadi terganggu. Belakangan, Dela bersumpah, tidak akan membawa anak-anak perempuannya untuk mengikuti ajaran keliru yang disebut “sunat wanita” itu.

Angela Dewi hanyalah satu di antara sekian banyak wanita lain yang menjadi korban atas ajaran tidak jelas tentang klitoridektomi. Beratus-ratus tahun yang lalu, di era Victoria yang kolot, wanita-wanita yang memiliki minat dalam seks dianggap memiliki kelainan jiwa, dan biasanya akan segera dibawa ke rumah sakit. Dokter pada masa itu biasanya akan memeriksa klitorisnya, dan jika ukuran klitorisnya dianggap besar maka si wanita akan dikurung berhari-hari di ruang pengasingan sampai klitorisnya mengecil.

Pada masa itu, berbagai cara digunakan untuk “menjaga moral” kaum wanita yang bersumber pada klitorisnya. Beberapa cara yang cukup “beradab” di antaranya adalah dengan memaksa muntah, bekam, memakaikan jaket pengaman, sampai menaruh lintah pada alat kelamin. Jika tindakan-tindakan pengobatan itu dirasa kurang memadai, maka klitoridektomi pun dilakukan, dan para wanita itu harus merelakan klitorisnya diambil melalui operasi yang primitif.

Pada masa itu pula, ada seorang dokter bedah dan ginekolog Inggris bernama Isaac Baker Brown (1812-1873). Ia berpendapat bahwa setiap perempuan yang bermasturbasi sebaiknya klitorisnya diangkat karena, menurutnya, masturbasi bisa menyebabkan penyakit mental, epilepsi, dan bahkan kematian. Untuk mengukuhkan tesisnya itu, dia menulis sebuah buku yang terbit pada 1886, berjudul “On the Curability of Certain Forms of Insanity, Epilepsy, Catalepsy, and Hysteria in Females”.

Di dalam buku tersebut, Isaac Brown menyatakan bahwa semua masalah kesehatan dan kejiwaan—khususnya pada perempuan—dapat diatasi dengan cara pengangkatan klitoris. Bertahun-tahun kemudian, para pakar tahu bahwa semua yang ditulis dan dinyatakan Isaac Brown hanyalah bualan omong-kosong yang tak berdasar, dan sekarang kita tahu dari mana munculnya mitos menyesatkan yang menyatakan bahwa masturbasi dapat mengakibatkan kebutaan dan hal lain yang tak relevan.

Dalam perspektif umum, klitoris adalah anugerah yang secara spesial diberikan kepada perempuan, khususnya dalam merasakan kenikmatan seksual, tetapi tidak berarti bahwa klitoris selalu berhubungan atau bahkan sampai menentukan moral pemiliknya. Tanpa bermaksud sok ustadz, ada banyak hal yang berhubungan dengan moral perempuan, tak peduli apakah klitorisnya kecil atau besar—sama halnya kerusakan moral seorang lelaki tak bisa diukur dari ukuran penisnya semata.

Ehmm… salah satu klitoris paling terkenal di dunia adalah klitoris milik Kyoka Ishiguro. Dalam industri bokep Asia, nama Kyoka Ishiguro selevel dengan Maria Ozawa, Risa Kasumi, Anri Suzuki, Yui Tatsumi, Meguru Kosaka, Nanako Mori, Ren Mukai, Yuki Kagami, Rei Minami, Yuria Satomi, Rio Hamasaki… ooouuh, stop it! :D

Yang menjadikan Kyoka Ishiguro sangat terkenal adalah ukuran klitorisnya yang tergolong besar. Karenanya, film-film yang dibintanginya hampir dapat dipastikan akan mengeskpos klitorisnya habis-habisan. Anehnya, film-film yang dibintangi Kyoka Ishiguro sebagian besar berkatagori hardcore, yang semakin menciptakan kesan kalau pemilik klitoris besar memang memiliki nafsu seks yang sama besarnya. Majalah Apple edisi bahasa Jepang bahkan menyebutnya sebagai nimfomaniak.

Jadi, benarkah ukuran klitoris memang berpengaruh pada moral seseorang? Atau, lebih umum lagi, benarkah klitoris memang memiliki hubungan dengan moral seseorang? Mungkin ya, tetapi sungguh naif jika kita menilai moral seorang wanita hanya didasarkan pada klitorisnya, dan kemudian melakukan mutilasi atau pengebirian atas tubuh mereka dengan dalih moral atau agama.

Itulah kenapa saya pusing memikirkannya.

Pusing Mikir Klitoris (1)

Ah, ya, bagian itu memang yang paling menggoda… dan menggairahkan.
Maria Ozawa, dalam majalah Apple (Japan Edition)


Satu dekade yang lalu, wacana seksualitas dunia dihebohkan oleh sesuatu yang disebut G-Spot, yang konon merupakan puncak kenikmatan dan penemuan paling dahsyat menyangkut seksualitas manusia, dan titik balik yang mengubah cara kita bercinta. G-Spot adalah sebuah zona di dalam vagina yang memiliki tingkat kepekaan seks luar biasa, sehingga seorang wanita dapat “terbang” ke tujuh lapis langit jika zona tersebut mendapat sentuhan yang tepat.

Orang yang pertama kali menemukan keberadaan zona tersebut adalah dokter sekaligus pakar seksualitas bernama Dr. Grafenberg, sehingga zona atau titik itu pun disebut G-Spot, yang merupakan singkatan atas namanya—Grafenberg Spot. Wacana G-Spot melengkapi wacana multi-orgasme, yang sebelumnya menjadi “wacana paling panas” seputar “gelinjang di ranjang cinta”.

Atas ribut-ribut soal G-Spot itu pula, tiga pakar seks dunia, Alice Kahn, Beverly Whipple, dan John D. Perry, mengupas tuntas soal G-Spot tersebut dalam buku karya mereka, berjudul “The G-Spot and Other Recent Discoveries about Human Sexuality”. (Kalau kepalamu tidak ingin pusing campur pening, sebaiknya jangan baca buku ini. :D)

Tetapi ribut-ribut tentang G-Spot ataupun multi-orgasme, dalam pandangan saya, tidak lebih dari wacana ala mahasiswa idealis. Artinya, wacana itu hebat dalam konsep, tetapi tidak mudah diaplikasikan—bisa karena kurangnya pengetahuan, situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan, ataupun karena hal lainnya. G-Spot ataupun multi-orgasme, mungkin hanya dapat dipraktikkan oleh orang-orang yang memang “punya banyak waktu” untuk urusan seks.

Giacomo Casanova adalah playboy paling terkenal sepanjang sejarah, karena bisa mengencani 2.415 wanita. Sementara pemain basket Amerika, Wilt Chamberlain, mengakui sendiri telah “tidur” dengan 20.000 wanita. Bintang bokep terkenal, Ron Jeremy, telah berhubungan seks dengan 4.000-an wanita. Sementara Hugh Hefner, bos sekaligus pendiri perusahaan Playboy, telah—menggunakan istilahnya sendiri—“bercinta” dengan ratusan wanita dari berbagai usia.

Contoh-contoh di atas dapat digolongkan sebagai “orang yang memiliki banyak waktu untuk urusan seks”, dan tidak menutup kemungkinan orang-orang semacam itu telah mampu mempraktikkan apa yang disebut multi-orgasme ataupun menemukan zona misterius dalam tubuh wanita yang disebut G-Spot. Tetapi mereka bukan kasus umum, dalam arti kebanyakan orang tidak memiliki waktu sebanyak mereka untuk urusan seks semata.

Dalam kultur umum, seks memiliki batasan-batasan tertentu, khususnya dalam batasan waktu dan tempat, pengetahuan dan pengalaman, bahkan batasan adab serta agama. Pada kasus tertentu, bahkan seks dibatasi dengan kemampuan melakukannya. Di dalam batasan-batasan itulah, wacana sekaligus pengetahuan seksualitas kebanyakan orang pun hanya “dari itu ke itu”. Mintalah seseorang untuk menyebutkan bagian apa saja yang menarik dalam seks, maka kita dapat meramalkan jawabannya.

Tetapi itu hal yang wajar, dan tidak masalah, karena hubungan seks (memang) tidak membutuhkan banyak intelektualitas atau pengetahuan—ia lebih membutuhkan banyak pengertian. Dan, tentu saja, kenikmatan serta kepuasan bersama. Tak peduli sehebat apa pun pengetahuan seseorang tentang G-Spot ataupun multi-orgasme, pengetahuan itu sia-sia jika hubungan seks hanya memberikan kenikmatan untuk satu pihak.

Selain untuk tujuan berketurunan, kita tahu bahwa hubungan seks juga dilakukan untuk rekreasi, membangun keintiman, dan merasakan kenikmatan. Itulah kenapa hubungan seks dikonotasikan sebagai “bercinta” atau making love. Dalam konteks itu, benda kecil-mungil-misterius yang disebut klitoris memiliki peran penting—dan karena hal itu pula yang sekarang membuat saya pusing.

Lanjut ke sini.

Jumat, 02 Desember 2011

Senandung Gerimis

setiap titik gerimis
bagai duri yang menikam
namun ‘ku masih bertahan
masih kugenggam janji kuberikan
padamu perawan

bila malam ‘ku diusik kenangan
bisikanmu menggoda perasaan
mataku pejam
wajah ayumu kubayangkan

senyummu, tawamu, riangmu
jadi penawar…

biar pun langkahku
sedang dibelit sengsara
seluruh hatiku digenggam derita
kau tak kulepas…

Search, Nantikan Gerimis


Gerimis turun di sini, ketika aku kembali mengenangmu—saat suara dan tawamu begitu dekat di hatiku. Kau, wujud terindah yang pernah kumiliki, menjadi jejak bayang-bayang setiap kali aku melewati tempat-tempat yang pernah kita datangi, lekuk-lekuk bumi yang pernah kita lewati. Menggenggam tanganmu, waktu itu, melangkah bersamamu, dan kini aku merasa kembali mendengar suaramu.

Kita pernah ada di sini, menatap langit yang menurunkan gerimis, dan aku ingat kau menyatakan itu gerimis termanis yang pernah kaulewati, membuatku merasa setiap titik gerimis seperti kelembutan mawar dari langit.

Kini, saat aku melewati jalan ini, aku merasa sedang menapaki jejak bayang-bayangmu, merasakan percik gerimis yang turun dari langit, dan aku ingin kembali mendengar suaramu, merasakan genggamanmu, menikmati riang tawamu. Berapa tahunkah waktu telah berlalu? Rasanya baru kemarin di hatiku, hingga masih dapat kuingat setiap jengkalnya, setiap kata yang kita ucapkan.

“Kau tahu kenapa gerimis ini tetap gerimis, dan tidak berubah menjadi hujan?”

Dan kau bertanya penasaran, “Kenapa?”

“Itu cara langit menyatakan restunya.”

Kau tertawa—aku selalu senang mendengar tawamu. Kemudian, saat aku mengeratkan genggamanku di tanganmu, kau berbisik, “Aku tak akan melupakan saat ini.”

Begitu pun aku—bahkan hingga tahun-tahun berlalu. Sekarang, saat aku melangkah sendirian di sini, satu-satunya yang kuinginkan hanyalah dirimu, dan hanya dirimu. Kau melengkapi ruang kosong dalam hidupku, kau bidadari yang selalu kuimpikan di masa kanak-kanakku. Bersamamu, aku merasakan hidupku lengkap, dan impianku terwujud. Duniaku sempurna bersamamu.

“Setelah kita hidup bersama nanti, kau tidak akan sering pergi-pergi lagi, kan?”

Dan aku meyakinkanmu, “Tidak akan. Kelak, aku akan lebih banyak di rumah, karena aku pasti akan sangat sibuk mencintaimu.”

Lalu kau tersenyum, dan memelukku erat, seolah meyakinkan diri bahwa aku memang tak akan pernah pergi.

Tetapi kemudian kau pergi—selamanya, dan tak pernah kembali. Kau pergi setelah perjalanan panjang bersama yang telah kita lewati, kenangan demi kenangan… kau pergi bersama langit yang menurunkan hujan, menepikanku pada malam-malam panjang, bersama tangis dan kerinduan. Menyebut namamu setiap malam, berharap, entah bagaimana caranya, semua itu hanya mimpi buruk dan esok pagi kau akan datang kembali, menjadi milikku.

Namun kau tak pernah kembali, bahkan untuk setiap gerimis yang berubah menjadi hujan. Kau tak pernah kembali, bahkan untuk setiap tangis yang membungkus kerinduan, untuk setiap hari yang kulewati bersama kenangan demi kenangan….

Dan hari-hari berlalu, sementara bayangmu di hatiku tak pernah berlalu. Pada tahun-tahun yang panjang, mengobati sakit rinduku, aku telah kembali pada tempat-tempat yang pernah kita singgahi, setiap jejak, setiap jengkal, untuk kembali memeluk bayangmu, untuk kembali mendengar suaramu, untuk kembali merasakan kedekatan bersamamu. Dan sekarang aku di sini, di tempat kita pernah menikmati gerimis, dan langit seperti tahu kerinduanku.

Gerimis kembali turun sore ini—gerimis yang sama, di tempat yang sama. Aku tahu, ada gerimis lain yang luruh di hatiku.


setiap titik gerimis
bagai duri yang menikam
namun ‘ku masih bertahan
masih kugenggam janji kuberikan
padamu perawan

bila malam ‘ku diusik kenangan
bisikanmu mendera perasaan
mataku pejam
wajah ayumu kubayangkan

senyummu, tawamu, riangmu
jadi penawar…

biar pun langkahku
sedang dibelit sengsara
seluruh hatiku dicengkam derita
kau tak kulupa…

Kamis, 01 Desember 2011

Doa Seorang Bocah

Seorang bocah berdoa dengan khusyuk, “Tuhan, tolong masukkan Superman, Batman, Spiderman, Iron Man, dan tokoh-tokoh X-Men ke surga, ya…”

Saya mendengar doa itu, dan diam-diam berbisik, “Amin.”

 
;