Kamis, 15 Desember 2011

Muhasabah: Self Potrait

Seorang teman bertanya pada saya, “Hei, pal, kenapa kau menyebut dirimu ‘Lajang, Pembelajar’?”

“Karena aku memang lajang. Aku tidak—atau belum—punya istri. Jadi aku memang lajang.”

Teman saya mengangguk. “Oke, itu tak perlu dibahas lagi. Bagaimana dengan ‘Pembelajar’? Kenapa kau menyebut dirimu sendiri seperti itu?”

“Kau tidak ingin mendengarnya.”

“Oh, ayolah, sumpah mati aku ingin tahu.”

“Jawabannya panjang.”

“Aku mendengarkan.”

....
....

Untuk mulai menjawab pertanyaan penting itu, saya menyulut rokok. Setelah menikmati asapnya beberapa saat, saya menatap teman saya tercinta, dan berkata perlahan-lahan, “Well... aku yang kaulihat ini, sebenarnya tidak seperti yang kaulihat. Aku ini iblis yang menyerupai manusia. Aku menyimpan kebusukan dan kejahatan di balik sosokku yang sekarang kaulihat.

“Aku berhati jahat dan busuk, tapi menutupinya dengan rapi di balik sikap yang elegan. Aku kotor dan keji, tapi mengaburkannya dalam senyum yang selalu kutebarkan. Aku penuh iri hati, dengki, dan kebencian, tapi menyembunyikan semuanya itu dalam ucapan yang kuusahakan terkesan baik dan lembut. Aku kasar, penuh amarah dan dendam, tapi semua itu terkamuflase di balik penampilanku yang tampak welas asih.

“Oh, well, kau tahu, aku ini tolol sekaligus bodoh dan dungu, tapi sok pintar dan sok tahu. Aku tidak tahu apa-apa, tetapi sok bicara macam-macam seolah tahu segalanya. Aku sangat suka menyalahkan, mengkritik, mencaci dan merendahkan orang lain, karena kupikir aku akan tampak hebat dengan melakukan semuanya itu. Setiap malam aku berpelukan dengan setan, tapi setiap hari berkoar-koar membawa nama Tuhan.

“Setiap kali aku punya kesempatan merendahkan orang lain, aku akan merendahkannya. Setiap kali ada kesempatan menertawakan orang lain, aku akan menertawakannya. Kau tahu, rasanya nikmat sekali kalau bisa mencerca orang lain, menertawakan orang lain, merendahkan orang lain. Kupikir, dengan cara seperti itu, aku akan tampak lebih hebat dibanding orang yang kucerca dan kurendahkan.

“Jadi itulah yang kemudian kulakukan. Kemana saja aku pergi, aku akan mencari kekurangan orang lain agar bisa mengkritiknya. Di mana saja aku berada, aku akan mencari kelemahan orang lain agar bisa merendahkannya. Jika tidak kutemukan, maka aku akan mencari-cari atau mengarang-ngarang apa saja agar punya alasan untuk dapat menertawakannya. Aku akan mengatakannya tidak ilmiah, tidak akademis, tidak agamis, ataupun tidak lainnya. Oh, well, aku sangat ahli dalam hal-hal semacam itu. Dalam hal mencerca orang lain, aku adalah pakarnya.

Aku sangat iri melihat kelebihan orang lain, aku cemburu melihat kesuksesan orang lain. Karena itu, untuk menutupi rasa iri dan cemburuku, aku akan merendahkan mereka, mencerca mereka, agar dapat mengobati rasa iri dan cemburuku sendiri. Aku terluka setiap kali mendapati ada orang lain yang lebih dariku. Karenanya, alih-alih mengagumi dan belajar pada kelebihannya, aku justru berusaha mencari cacat celanya. Dan untuk menutupi semua kebusukan serta kemunafikan itu, aku menutupinya dengan senyuman yang tampak tulus.

“Tapi itu belum semuanya. Selain sok pintar dan sok tahu, aku juga sangat sok alim. Yeah, kau tahu, aku sangat mencintai kekayaan dan kemewahan dunia, tapi aku menutupinya dengan sikap sok tidak butuh, meski diam-diam aku membangun sikap pelit dan kikir kepada sesama. Jadi aku suka berkoar-koar tentang akhirat, surga dan neraka, tapi setiap hari aku menyimpan setiap keping uang yang kumiliki, dan membiarkan tetanggaku kelaparan.

“Aku sangat suka bicara tentang agama, tapi aku hidup jauh dari ajarannya. Aku sangat suka menyebut-nyebut nama Tuhan, tapi hatiku menyimpan iri hati, kedengkian, dendam, dan kebencian. Aku sangat hobi menyitir ayat-ayat suci, tapi aku juga sangat hobi mencerca dan menyalahkan orang lain. Aku selalu berteriak agar orang lain belajar, tapi aku sendiri tidak pernah belajar. Aku sangat suka bersenggama dengan setan, tapi sok alim dengan berteriak-teriak menyebut nama Tuhan.

“Jadi, kaulihat sekarang...? Aku tidak seperti yang kaulihat. Aku ini iblis yang menyerupai manusia.”

....
....

Teman saya melongo dan berkata tergagap, “Bag-bagaimana... bagaimana kau tahu kalau kau sekotor dan sekeji itu?”

Saya menghembuskan asap rokok dari mulut, dan menjawab, “Karena aku belajar. Itulah kenapa aku menyebut diriku ‘Pembelajar’.”

 
;