Sabtu, 14 Januari 2012

The History of Love (2)

Tak ada sesuatu pun yang membuat kita
begitu kesepian melebihi rahasia-rahasia kita.
Oaul Tournier


Dua belas tahun kemudian.

Chapter 1

Mereka bertemu pertama kali di sebuah resepsi perkawinan—begitulah kisah ini dimulai. Convention hall itu penuh sesak oleh tamu undangan, sementara musik orkestra Yanni terdengar lembut melalui loudspeaker, mengiringi seremoni dan acara resepsi. Seharusnya kisah ini tidak terjadi, tetapi seorang perempuan di salah satu sudut ruangan yang terang-benderang itu merasa harus keluar untuk mendapatkan udara segar. Sesuatu sedang berkecamuk di dalam pikirannya.

Perempuan itu melangkah keluar dari ruangan, kemudian berdiri sendirian di teras sambil menikmati hembusan udara malam yang sejuk. Bintang-bintang menari di langit, dan perempuan itu seperti menikmati tarian mereka. Ketika itulah seorang lelaki muncul dari dalam, sambil membawa segelas es krim yang sepertinya ia ambil dari meja prasmanan.

Laki-laki itu melangkah santai sambil asyik menyendok es krim di tangannya, ketika melihat perempuan itu sedang berdiri sendirian. Sendok es krimnya terangkat ke mulutnya, tetapi ia menghentikan suapannya. Lelaki itu seperti tak menyadari ketika es krimnya mulai meleleh, ia bahkan seperti tak sadar ketika mulutnya terbuka, “Hei, di mana sayapmu?”

Perempuan itu menoleh ke arah si laki-laki, dan melihat sesosok wajah yang asing—seseorang yang sedang berdiri menatapnya, dengan tangan memegangi es krim seperti anak kecil. Perempuan itu menyadari pertanyaan tadi ditujukan kepadanya, tetapi dia tidak memahami maksudnya. Jadi ia pun bertanya dengan bingung, “Maaf…?”

Laki-laki itu tersenyum kikuk. “Aku sejak tadi melihatmu di dalam sana,” ujarnya kemudian. “Kupikir, kau pasti turun dari langit untuk menyaksikan acara perkawinan manusia. Jadi, di mana sayapmu?”

Perempuan itu tersenyum. Ia belum pernah mendengar yang seperti itu.

Ketika akhirnya mereka saling berkenalan, dan kemudian duduk berdua di teras depan malam itu, keduanya sama sekali tak menyadari bahwa sesuatu yang amat besar tak lama lagi akan terjadi. Jadi mereka pun bercakap-cakap di sana, sementara dari ruang resepsi terdengar orkestra Yanni sedang memainkan Santorini. Di langit, bintang-bintang masih menari.


Chapter 2

Setelah perjumpaan di malam resepsi perkawinan itu, keduanya tak pernah lagi bertemu atau pun berkomunikasi. Si laki-laki kembali ke dunianya, si perempuan juga kembali ke dunianya. Mungkin mereka bahkan sudah saling melupakan.

Si laki-laki berpikir, “Perempuan seperti dia pasti sudah punya pacar.” Dan si perempuan pun berpikir sama. Jadi mereka kembali menjalani hidupnya sendiri-sendiri, dan pertemuan di malam resepsi itu perlahan mengabur menjadi butir pasir bayang-bayang.

Tetapi orang memang tidak bisa menolak kehendak alam semesta. Dua bulan setelah pertemuan itu, mereka bertemu kembali—dan kali ini di sebuah konter buku di swalayan. Tempat yang sangat tidak tepat, pikir si laki-laki.

Si laki-laki baru melangkah dari elevator ketika tanpa sengaja melihat perempuan itu sedang berdiri sendirian di depan sebuah rak. Kedua kakinya seperti melangkah tanpa sadar ketika ia mendekati si perempuan, dan mereka pun saling menyapa dengan hangat. Kau tahu, alam semesta selalu punya selera humor yang aneh dalam hal-hal seperti ini. Kau akan melihatnya sesaat lagi.

Mereka melangkah perlahan-lahan, menyusuri rak demi rak, sambil bercakap dengan akrab seperti sepasang sahabat yang lama tak berjumpa. Si laki-laki menyadari kesendirian si perempuan, tetapi dia tak menanyakannya. Si perempuan menyadari si laki-laki juga sendiri, tetapi ia pun tak menanyakannya.

“Jadi, kau juga suka baca buku?” tanya si perempuan sambil terus melangkah menuju rak yang diinginkannya.

“Yeah, lumayan,” sahut si laki-laki.

“Siapa penulis favoritmu?”

Seharusnya aku berbohong, pikir si laki-laki. Tapi dia tak sempat melakukannya. Jadi dengan jujur ia menjawab, “Goenawan Mohamad.”

“Oh, berat!” ujar si perempuan dengan muka lucu. “Kalau penulis fiksi?”

“Sheldon. Sidney Sheldon.”

Mereka berhenti di depan salah satu rak buku di sana, dan si perempuan mulai sibuk mencari-cari buku yang diinginkannya. Si laki-laki sedang berencana untuk menanyakan siapa penulis favorit si perempuan, tetapi seketika bibirnya terkunci dan jantungnya berdebar-debar.

Perempuan itu mengambil empat buku dari rak—empat buah buku dengan judul yang berbeda, tetapi ditulis oleh orang yang sama. Dan si laki-laki tahu, nama yang tertera di sampul-sampul buku itu adalah namanya.

Lanjut ke sini.

 
;