Sabtu, 25 Februari 2012

Tidak Ada Judul

Saya berkawan karib dengan Livia. Ternyata, nyokap saya juga berkawan karib dengan nyokap Livia. Saya tidak menemukan judul yang pas untuk catatan ini, jadi post kali ini tidak ada judul.

Oke, saya ulangi. Saya berkawan karib dengan Livia. Ternyata, nyokap saya juga berkawan karib dengan nyokap Livia. Saya maupun Livia sama-sama tidak tahu hubungan nyokap kami, dan nyokap kami juga tidak tahu hubungan anak-anak mereka. Ini catatan tidak jelas tentang kisah tidak jelas dari hidup saya yang tidak jelas. Bahkan judulnya pun tidak jelas.

Kisah ini dimulai tiga tahun yang lalu, di suatu tempat yang cukup jauh. Saya menghadiri suatu acara di sana, dan bertemu Livia untuk pertama kali. Ketika kami tahu sama-sama berasal dari kota yang sama, kami segera merasa dekat. Jadi, kami pun berteman. Pertemanan itu terus berlangsung hingga kami pulang, dan perjalanan pertemanan itu kini telah mencapai waktu tiga tahun.

Di mata saya, Livia mirip Claire Danes, namun dalam versi Asia. Dia selalu tertawa kalau saya ngomong begitu. Faktanya, Livia memang seorang Chinese yang cantik. Dia seusia saya, dan saya merasa cocok bersahabat dengannya. Saya tidak pernah bosan ngobrol dengannya, dan kami memang banyak menghabiskan waktu bersama. Sebagai teman. Atau sahabat. Kami sama-sama merasa nyaman.

Karena sama-sama lajang, kami menghadapi masalah yang sama, khususnya kalau mendapatkan undangan pernikahan. Dalam hukum tak tertulis, menghadiri acara pernikahan sepertinya harus bersama pasangan. Karena itu, saya sering meminta Livia menemani jika saya kondangan, dan dia pun tidak jarang minta ditemani kalau mendapatkan undangan yang sama.

Sampai sejauh itu, kami sama-sama tidak tahu bahwa ternyata nyokap kami juga saling berhubungan, sebagaimana nyokap kami sama-sama tidak tahu kalau anak-anak mereka akrab berteman.

Suatu hari, saya dolan ke rumah ortu, lalu nyokap minta diantar belanja. Sebenarnya itu hal biasa. Nyokap punya toko langganan—kita sebut saja Toko SA—tempat nyokap membeli berbagai kebutuhan sembako. Meski sangat suka belanja di Hypermart, nyokap telah berlangganan di Toko SA sejak bertahun-tahun lalu, sampai-sampai dia akrab dengan pemiliknya.

Nah, hari itu, nyokap minta diantar ke sana, dan saya pun menyanggupi. Biasanya, kalau mengantar nyokap belanja seperti itu, saya tidak ikut masuk ke toko, tapi menunggu di tempat parkir. Soalnya, nyokap sering ngobrol-ngobrol dulu dengan pemilik toko, jadi saya akan merasa dicuekin. Siang itu, saya merasa kehausan, jadi saya pun masuk ke toko, dan mengambil minuman botol. Pada waktu itulah saya melihat Livia ada di toko itu, sedang melakukan sesuatu di kalkulator.

Sedang apa cewek itu di sini, pikir saya dengan heran. Saya pun mendekatinya, dan menyapa, “Liv, kamu ngapain di sini?”

Livia menatap saya kaget, dan balik bertanya, “Lhoh, kamu yang ngapain di sini?”

“Aku nganter nyokap belanja. Nah, kamu lagi ngapain?”

Livia cekikikan. “Ya nggak ngapa-ngapain. Ini kan toko punya ortuku.”

Sejak itulah saya tahu bahwa Toko SA langganan nyokap adalah milik orangtua Livia. Hari itu, ketika menjumpai Livia pertama kali di toko tersebut, kami pun lalu asyik ngobrol. Sementara itu, seperti yang sudah saya duga, nyokap saya juga terlihat asyik ngerumpi dengan nyokap Livia setelah acara belanja selesai. Ketika mereka sama-sama sadar anak-anak mereka juga sedang ngobrol asyik, kedua nyokap itu terlihat sama-sama bengong.

Dan begitulah awalnya.

Sejak itu, hubungan saya dengan Livia jadi semakin dekat, karena kadang kami saling menyampaikan pesan nyokap kami masing-masing. Tidak jarang, kalau saya pas bertandang ke rumah Livia, nyokapnya akan menyapa saya dengan ramah dan mengajak ngobrol. Begitu pula kalau Livia dolan ke rumah saya—dan kebetulan sedang ada nyokap—Livia pun akan tampak ngobrol asyik dengan nyokap.

Oh, well, kisah ini mungkin terdengar seperti novel-novel ala Mira W atau Fredy S. Tapi jangan salah sangka. Baik saya maupun Livia sama sekali tidak punya “perasaan” apa pun, selain kenyamanan dalam berteman—setidaknya begitulah yang sama-sama kami akui.

Livia bekerja sebagai staf peneliti untuk sebuah lembaga, dan baginya ruang laboratorium adalah tempat terindah yang tidak dapat digantikan apa pun. Meneliti spesimen baru, bagi Livia, jauh lebih mengasyikkan daripada berkencan dengan cowok. Jadi, kami memiliki basic tak jauh beda, karena saya pun lebih suka bercumbu dengan buku daripada SMS-an dengan cewek.

So, kami merasa benar-benar cocok. Kadang-kadang, obrolan kami memang tidak nyambung. Tetapi saya selalu suka mendengarkannya berbicara, sebagaimana Livia adalah pendengar terbaik yang pernah saya temukan. Kau boleh menyebut ini soulmate. Atau, lebih tepat lagi, soulmate yang platonis.

Suatu malam, saya datang ke rumah Livia, karena kami sama-sama akan menghadiri undangan pernikahan. Sambil menunggu ia berdandan, saya ditemani nyokap Livia. Di sela-sela percakapan itu, nyokap Livia berkata, “Da’, Tante tuh prihatin dengan Livia. Dia tuh seperti keasyikan dengan kerjanya, sampai-sampai lupa untuk nikah. Sekali-sekali itu Livia dinasihati, biar cepet nikah.”

Saya tertawa, “Uh, bagaimana saya bisa menasihati Livia agar cepet nikah, wong saya sendiri juga belum nikah?”

Anehnya, seminggu setelah itu terjadi peristiwa yang sama. Nyokap saya berbelanja ke Toko SA, dan di sana ketemu Livia. Karena sudah saling kenal, mereka pun lalu bercakap-cakap. Kata Livia, nyokap saya berkata kepadanya, “Vi, mbok sekali-sekali Hoeda diingetin agar cepet-cepet cari pacar, biar bisa segera nikah.”

Livia cuma cekikikan.

Pada suatu hari Minggu, Livia membangunkan tidur saya ketika ia menelepon dan mengabarkan berita duka. Bu Sumirah—pembantu di keluarga Livia—meninggal dunia. Bu Sumirah telah mengabdi pada keluarga Livia hingga puluhan tahun, bahkan sejak Livia belum lahir. Karenanya, keluarga Livia pun telah menganggap Bu Sumirah sebagai bagian keluarga mereka, apalagi Bu Sumirah memang tidak memiliki keluarga.

Beberapa hari sebelumnya, saya memang mendengar Bu Sumirah masuk rumah sakit, dan keluarga Livia pun mengurusnya dengan baik. Beberapa hari dirawat di rumah sakit, Bu Sumirah kembali sehat, lalu pulang kembali ke keluarga Livia. Namun, baru empat hari di rumah, Bu Sumirah meninggal dunia.

Yang jadi masalah, keluarga Livia tidak tahu bagaimana cara memakamkan Bu Sumirah secara muslim. Mereka umat kristiani, sementara Bu Sumirah seorang muslim. Keluarga Livia menyadari Bu Sumirah tentu ingin dimakamkan secara muslim, dan karena itulah Livia lalu menelepon saya untuk minta bantuan dalam hal itu.

Sebagai muslim, saya cukup tahu bagaimana mengurus hal itu. Jadi, saya pun menghubungi petugas pemakaman, mengundang seseorang yang biasa memandikan jenazah, juga seorang ustadz untuk mengantarkan kepergian terakhir Bu Sumirah dengan doa-doa. Setelah semuanya siap, Bu Sumirah pun lalu diantarkan ke pemakaman dengan ambulan.

Dan begitulah. Acara pemakaman itu berlangsung dalam kesunyian. Yang ada hanya dua orang penggali kubur, seorang ustadz yang membacakan doa-doa, lalu saya dan seorang teman. Keluarga Livia ikut mengantarkan jenazah Bu Sumirah, dan mereka berdiri tak jauh dari acara pemakaman berlangsung, dengan mata berkaca-kaca. Dua batu nisan kemudian tertancap di atas gundukan makam Bu Sumirah, dan kami lalu beranjak pergi meninggalkan makam yang lengang.

Ketika saya melangkah meninggalkan makam itu, entah mengapa, saya merasa baru saja menguburkan diri saya sendiri.

For If

Hayoooo, kamu baca blog aku, ya?

*Dekap guling, sembunyikan senyum malu*

Jumat, 17 Februari 2012

Beautiful Butterfly

Kita harus tahan terhadap ulat jika ingin dapat melihat kupu-kupu.
Antoine De Saint Exupery


Dalam film Captain America, kita menyaksikan seorang bocah kurus kering berubah menjadi sosok perkasa dalam waktu singkat. Dengan sebuah mesin aneh dan formula ajaib, bocah tak dikenal itu bisa berubah menjadi pahlawan dalam waktu semalam.

Ketika menyaksikan film itu, saya teringat pada tetangga saya, Mursidi. Sekarang Mursidi sudah punya anak-istri dan hidup di daerah lain, sehingga kami jarang ketemu. Tetapi dulu, sewaktu saya masih kuliah, kami sangat akrab dan sering menghabiskan waktu bersama. Pada waktu itu, kami memiliki kesamaan—sama-sama kurus.

Suatu hari, Mursidi mengajukan ide untuk ikut program fitnes di sebuah gim yang baru dibuka. Gim itu tidak terlalu jauh dari tempat tinggal kami, sehingga Mursidi pun tertarik ingin gabung ke sana. “Biar badan kita jadi gede,” ujar Mursidi waktu itu.

Sejujurnya, saya tidak terlalu tertarik. Membayangkan tubuh kami yang kurus bisa berubah menjadi besar, terdengar mustahil bagi saya waktu itu. Jadi, ketika Mursidi memutuskan untuk gabung di gim itu, saya hanya bilang, “Ntar deh, aku lihat-lihat dulu. Kalau kamu sukses, ntar aku ikut.”

Dan program itu pun dimulai. Setiap sore, Mursidi berangkat ke gim untuk berlatih, di bawah pengawasan seorang instruktur. Satu bulan semenjak ia berlatih di gim itu, saya menemuinya, dan melihat tubuhnya masih biasa-biasa saja—maksudnya tetap kurus seperti semula. Bahkan, waktu itu, Mursidi sempat mengeluh badannya capek dan pegal-pegal karena latihan yang harus dijalaninya.

Menyaksikan kenyataan itu, saya makin yakin kalau mengubah tubuh kurus kering menjadi besar dan kekar memang mustahil.

Tapi Mursidi percaya dengan tujuannya. Ia percaya latihan-latihan yang dijalaninya akan mengubah tubuhnya. Ia percaya pada instrukturnya, ia percaya pada kemungkinan impiannya. Maka ia pun terus berlatih, berlatih, dan berlatih, meski tiap malam harus merasakan capek dan pegal-pegal. Ia bahkan rela mencampakkan rokok yang biasa diisapnya setiap hari, demi terwujudnya tujuannya.

Seiring dengan itu, kami mulai jarang ketemu. Jam-jam latihan Mursidi semakin panjang, dan saya pun makin sibuk karena banyaknya tugas kuliah. Ketika Mursidi sedang mengangkat barbel di gim, saya sedang mengerjakan makalah di depan komputer. Ketika Mursidi sedang push up, saya sedang merokok. Ketika Mursidi sedang diteriaki instrukturnya, saya sedang pacaran.

Sekitar sepuluh bulan kemudian, saya ketemu Mursidi di sebuah resepsi pernikahan. Dan… well, saya nyaris tak mengenalnya!

Teman saya yang dulu kurus kering itu, sekarang benar-benar telah mencapai impiannya—tubuhnya terlihat besar, kekar, dan berisi. Hampir dapat dikatakan kalau ukuran tubuhnya sekarang lebih besar tiga kali lipat dari ukuran tubuhnya dulu. Bayangkanlah Doyok atau Aming berubah menjadi Arnold Schwarzenegger.

“Wah, hebat!” puji saya padanya waktu itu.

Mursidi cengengesan. Faktanya, dia memang tampak hebat. Kalau saja saya bukan temannya sejak dulu, saya pasti tidak percaya kalau cowok yang besar dan kekar itu dulunya kurus kering. Tapi itulah yang terjadi—yang benar-benar terjadi. Dengan latihan yang gigih, dia berhasil mengubah dirinya yang kecil dan kurus menjadi besar dan kuat.

“Kamu masih latihan kayak dulu?” tanya saya tertarik.

“Masih,” jawab Mursidi. “Tapi udah nggak seberat dulu. Sekarang cuma latihan untuk menjaga kebugaran aja.”

“Masih terasa capek dan pegal-pegal?”

Dia tertawa. “Nggak lagi. Capek dan pegal-pegal itu hanya terasa sekitar sebulan. Setelah itu, karena udah biasa, capek dan pegalnya hilang sendiri.”

Mendengar cerita-ceritanya, saya jadi benar-benar tertarik. Saya ingin mengikuti jejak Mursidi, biar saya juga memiliki tubuh yang besar dan kekar. Maka kami pun kemudian mulai membicarakan hal itu.

Besoknya, di kampus, saya membicarakan rencana itu dengan pacar. Waktu itu, saya pacaran dengan perempuan ini. Saya bilang padanya kalau saya akan ikut fitnes, biar badan saya tidak kurus lagi. Saya juga menceritakan perubahan yang terjadi pada Mursidi, serta keinginan saya untuk memiliki tubuh besar seperti dirinya. Di luar dugaan, pacar saya melarang.

“Jangan!” ujarnya waktu itu. “Kamu jangan ikut fitnes kayak gitu!”

“Lho, kenapa?” tanya saya heran.

“Nanti kamu nggak keren lagi!”

Hohoho, ternyata, bagi pacar, saya terlihat keren justru karena kurus. Mungkin itu terdengar aneh, tapi pacar saya benar-benar melarang—pokoknya saya tidak boleh membesarkan tubuh, karena dia lebih suka diri saya yang kurus seperti sekarang ini.

Akhirnya, demi membahagiakan pacar, saya pun tidak jadi ikut program fitnes di gim tempat Mursidi berlatih. Namun, meski begitu, saya mendapat pelajaran besar dari teman saya itu, bahwa tidak ada apa pun di dunia ini yang sanggup mengalahkan kegigihan dan ketekunan. Kalau seorang yang kurus kering bisa berubah menjadi besar dan kekar karena ketekunan dan latihan tak kenal lelah, begitu pun semua yang terjadi pada lainnya.

Sebodoh apa pun, orang bisa mengubah dirinya menjadi cerdas dan pintar. Semiskin apa pun, orang bisa mengubah dirinya menjadi kaya dan berkelimpahan. Segelap apa pun, kita selalu bisa menyalakan cahaya dan melahirkan terang. Seperti kepompong yang bermetamorfosa menjadi kupu-kupu, takdir masing-masing manusia ada di tangannya sendiri. Dan… dalam ketekunan dan kegigihan, tidak ada kemustahilan.

….
….

Suatu siang di bulan Mei, bertahun-tahun lalu, saya mendapatkan kiriman paket dari pos. Ketika saya buka, isinya t-shirt dari Tabloid Gaul—salah satu bacaan remaja paling terkenal di Indonesia. T-shirt itu berwarna merah, dan di bagian dada tertera logo “Gaul”. Besoknya saya pakai t-shirt itu ke kampus, dengan kemeja lengan panjang yang tidak dikancingkan—itu style saya waktu masih kuliah.

Teman-teman di kampus melongo melihat saya—maksudnya melihat t-shirt yang saya pakai—karena mungkin mereka pikir cuma para artis dan model iklan yang bisa memiliki t-shirt Gaul. Dan, yang tak bisa saya lupakan, pacar saya terlihat sumringah ketika kami bertemu hari itu. Dia berkata, “Nah, coba bayangkan kalau kamu berbadan besar kayak Arnold, pasti kamu nggak akan bisa sekeren ini lagi!”

Dia tersenyum.

Dalam ingatan saya, itu senyum paling bersinar yang pernah saya saksikan.

Visi ke Depan

Kehidupan yang besar selalu dimulai dengan impian yang besar. Tetapi impian itu tidak berhenti dalam impian, namun direalisasikan dengan tindakan, diwujudkan dengan gairah yang berkobar-kobar sampai impian itu terwujud menjadi kenyataan.

Ada orang-orang yang mengeluh bahwa mereka tak mungkin berani memiliki impian apa-apa karena kemiskinannya, atau karena kurangnya pendidikan, karena kesehatan yang tak sempurna, dan beberapa alasan lain.

Padahal, orang-orang sukses tidak melihat kepada kemiskinannya sekarang, atau pekerjaannya sekarang, juga tidak melihat dirinya apa adanya sekarang. Mereka melompat ke depan dan melakukan satu hal yang sederhana namun sangat besar; mereka melihat dirinya pada kehidupan sebagaimana yang ia inginkan!

Karenanya, jangan pernah berkecil hati jika kita sekarang berada dalam keadaan yang jauh dari apa yang kita inginkan. Yang penting bagi sebuah kesuksesan bukanlah apa adanya kita sekarang, tetapi diri kita mendatang sebagaimana yang kita pikirkan. Tetapi jangan berhenti di situ. Mulailah bergerak mewujudkan apa yang kita bayangkan, yang kita cita-citakan.

Tak Perlu Risaukan Bakat

Ada banyak kambing hitam yang dimiliki orang-orang gagal, satu di antaranya yang terkenal adalah mengkambinghitamkan bakat.

“Usaha saya bangkrut karena saya tidak berbakat jadi pedagang,” atau, “Dia bisa menjadi penyanyi hebat, karena dia memang berbakat!” atau, “Bagaimana saya bisa jadi penulis terkenal? Saya tidak mempunyai bakat menjadi penulis!” atau, “Kalau saja saya punya bakat memimpin, saya pasti bisa menjadi pemimpin yang sukses,” atau, “Saya ini orang yang tak berbakat, jadi mustahil bisa seperti itu.”

Bakat memang penting, tapi bukan yang terpenting. Bakat memang berguna, tapi bukan segalanya. Kalau sebuah kesuksesan mau dikalkulasi, maka bakat hanya menentukan satu persen, atau paling tidak sepuluh persen, sementara selebihnya adalah belajar tak kenal lelah, dan kerja keras yang pantang menyerah.

Bakat itu seperti pisau. Sebesar apa pun bakat yang dimiliki seseorang, bakat itu akan tumpul kalau tidak terus-menerus diasah. Sebaliknya, pisau yang tumpul pun akan bisa menjadi tajam kalau setiap hari, setiap saat, terus diasah dan diasah.

Mungkin Christine Hakim memang berbakat jadi pemain film. Mungkin Iwan Fals memang berbakat jadi penyanyi. Mungkin Arswendo Atmowiloto memang berbakat jadi penulis.

Tetapi mereka tak akan mencapai kesuksesannya masing-masing tanpa sikap yang positif, proses pembelajaran tanpa henti, dan kerja keras yang terus-menerus. Ikuti sejarah dan perjalanan karier mereka, dan kita akan tahu bagaimana mereka harus jatuh bangun terlebih dulu sebelum meraih kesuksesannya.

Dewi Fortuna Hanya Datang Sesekali

Pada umumnya, orang bukan berusaha mengubah dunia untuk memenuhi impian mereka, melainkan justru membatasi impian mereka sesuai ‘kesusahan’ dunia. Banyak orang mengatakan bahwa mencapai kesuksesan pada masa sekarang sudah sangat sulit, bahwa mencari uang pada masa sekarang lebih susah dibanding masa lalu.

Mereka bahkan meyakini hal itu dengan mengajukan sederet fakta-fakta. Dan kemudian mereka pun memilih diam, menjadi pasif, dan sangat yakin bahwa usaha apa pun yang akan mereka lakukan hanya akan sia-sia.

Mereka lalu menunggu keajaiban. Mereka menanti datangnya dewi fortuna. Mereka menjadi pemimpi apatis, yang bila impian tak tercapai, mereka akan semakin yakin bahwa hidup memang susah. Dan apabila impian berhasil tercapai, mereka pun masih meyakini bahwa keberhasilan itu karena keberuntungan dari dewi fortuna semata.

Barangkali keajaiban atau hoki dan dewi fortuna itu memang sekali-kali datang mengunjungi. Tetapi apakah kemudian kita harus menjalani hidup hanya dengan menantikan dan mengandalkan semua yang tak pasti itu...? Alangkah malangnya kehidupan bila hanya diisi dengan hal-hal semacam itu.

Sabtu, 11 Februari 2012

Dua Buku Baru

Baca-baca email di inbox, saya mendapati banyak pertanyaan yang isinya nyaris serupa, “Hei, Hoeda, kamu nulis teenlit juga, ya?”

Dalam dua bulan ini, memang ada dua buku terbaru saya yang terbit, berjudul Something Stupid dan Keajaiban Sebuah Ciuman. Dua buku fiksi itu diterbitkan oleh Diva Press, dan saat ini sudah terdisplai di toko-toko buku di seluruh Indonesia. Dan, mungkin, teman-teman yang bertanya via email itu sedikit heran karena melihat sampul buku-buku itu yang mirip teenlit.

Sebenarnya, Something Stupid maupun Keajaiban Sebuah Ciuman bukan teenlit. Biar kalian punya sedikit bayangan, berikut ini saya jelaskan saja. Yeah, biar kalian lebih mantap untuk membelinya, hehe…

Keajaiban Sebuah Ciuman adalah kumpulan kisah fantasi kontemporer, yang saya tulis dengan menggabungkan fantasi dan kenyataan. Ada lima kisah yang terkumpul dalam buku ini, yang semuanya ber-genre fantasi.

Penulisan buku ini dilatarbelakangi kegelisahan serta keinginan untuk mengeksplorasi imajinasi saya seliar-liarnya. Seperti yang pernah saya tuliskan di sini, saya sering iri kalau membaca novel atau menonton film-film Hollywood, karena mereka sepertinya sangat leluasa dalam mengeksplorasi imajinasi untuk memperkaya cerita—sesuatu yang sepertinya belum banyak digunakan para kreator di Indonesia.

Saya ingin bisa memuntahkan imajinasi seperti itu, dan—akhirnya—fiksi-fantasi menjadi pilihan yang saya pikir dapat mewadahinya.

Menulis Keajaiban Sebuah Ciuman benar-benar menyenangkan. Karena ber-genre fantasi, saya sangat leluasa dalam memilih tokoh, jalan cerita, serta pemilihan setting untuk lokasi cerita, dan saya benar-benar “menggila” ketika melakukannya. Meski tetap menggunakan setting lokasi yang benar-benar ada, namun saya mencampurnya dengan setting lokasi yang benar-benar khayali.

Di salah satu kisah yang terdapat dalam Keajaiban Sebuah Ciuman, misalnya, saya menciptakan lokasi khayali yang saya sebut “Semarang Bawah”. Kota khayalan itu ada di bawah kota Semarang yang kita kenal sekarang. Dalam kisah yang saya tulis, Semarang yang kita lihat itu bernama “Semarang Atas”, yang dihuni manusia, sedang “Semarang Bawah”, yang dihuni para kurcaci, adalah kota yang ada di bawah “Semarang Atas”.

Nah, seorang tokoh yang saya ciptakan dalam kisah itu terperosok ke “Semarang Bawah”, karena kecebur got yang terbuka di trotoar dekat Simpang Lima, dan menjalani petualangan mendebarkan di sana. Sedang kisah-kisah lainnya meliputi petualangan di negeri peri, kisah patung yang berubah jadi manusia di Yogyakarta, malaikat yang turun ke bumi, dan… silakan baca bukunya. :D





Kemudian, buku kedua, Something Stupid, adalah novel roman. Proses penulisan novel ini dulu pernah saya ceritakan di sini. Agar kalian juga punya gambaran mengenai novel tersebut, berikut ini saya tuliskan sedikit sinopsisnya.

Indra dan Ferry—dua tokoh dalam Something Stupid—adalah saudara kembar identik yang benar-benar mirip. Sebegitu miripnya, sampai-sampai orang sulit membedakan keduanya. Hal itu sering dimanfaatkan Indra dan Ferry untuk bermain “tukar tempat”, dan mereka tak pernah ketahuan meski berkali-kali melakukannya.

Ketika beranjak dewasa, keduanya tetap mirip, namun memiliki jalan hidup yang berbeda. Indra kuliah di sebuah universitas di Jakarta, sementara Ferry kuliah di kotanya sendiri, Semarang. Dua saudara kembar itu pun mulai berpisah.

Di Jakarta, Indra menjadi artis sinetron, menikmati hidup glamour, serta dikelilingi perempuan cantik. Wajahnya muncul di televisi, beritanya ada di koran, dan kehadirannya selalu mengundang perhatian. Sementara di Semarang, Ferry menjadi mahasiswa sederhana, kuliah di sebuah kampus tak terkenal, dan berpacaran dengan Anisa, mahasiswi sekampusnya.

Ketika libur semester tiba, Indra pulang ke Semarang, dan dua saudara kembar itu pun kembali bertemu. Dalam pertemuan itulah mereka kemudian merencanakan bertukar tempat, seperti yang dulu sering mereka lakukan.

Ferry ingin merasakan kehidupan glamour seperti yang biasa dinikmati Indra, sementara Indra ingin ‘beristirahat’ dengan menjadi orang biasa yang tak dikenal. Maka rencana itu pun dimatangkan, dan mereka akan bertukar tempat selama sebulan. Itu permainan berbahaya yang telah mereka pikirkan dengan sangat matang dan hati-hati—sebuah rencana yang sempurna.

Ferry berangkat ke Jakarta dengan membawa semua identitas Indra, sementara Indra menggantikan tempat Ferry di Semarang. Dua saudara kembar itu pun menikmati permainan mereka. Ferry menjalani kehidupan sebagai artis, bergaul dengan orang-orang terkenal, sementara Indra menjalani kehidupan sebagai mahasiswa yang pacaran dengan seorang perempuan sederhana.

Tetapi kemudian... sesuatu yang tak disangka terjadi.

Sebelum mereka sempat mengakhiri permainan itu, Ferry tewas dalam kecelakaan saat pulang dari sebuah pesta selebriti di Puncak, Bogor. Mobil yang ia tumpangi terperosok ke jurang, dan menewaskan semua orang di dalamnya, termasuk Ferry.

Indra yang ada di Semarang shock dan kebingungan. Seluruh dunia tidak ada yang tahu bahwa orang yang tewas dalam kecelakaan itu adalah Ferry, bahkan Anisa juga tidak tahu bahwa pacarnyalah yang tewas dalam tragedi itu.

Bagaimana Indra harus menjelaskan pada dunia bahwa dirinya masih hidup? Bagaimana ia harus menjelaskan pada Anisa bahwa kekasih yang amat dicintainya telah meninggal dalam permainan itu...?

Ehmm... meski novel roman, namun Something Stupid saya tulis dengan multi-plot dan alur kisah yang berjalan cepat, sehingga—saya berharap—pembaca akan dapat menikmatinya dengan asyik karena plot dan alurnya terus berganti secara simultan, sekaligus saling membelit, dan terus menghadirkan kejutan tak terduga. Novel setebal 440 halaman ini adalah roman paling panjang yang pernah saya tulis.

Untuk novel ini, editor Penerbit Diva Press berkomentar, “Ini kisah cerdas nan romantis, yang ditulis dengan alur penuh kejutan, dan sangat menarik!”

Wisdom of Esopus

Esopus, penyair besar Yunani, menyatakan bahwa nasihat yang baik sering kali ditolak karena diberikan secara tidak bijaksana. Berikut ini adalah petikan nasihat yang diambil dari lembaran-lembaran papirus karya Esopus, yang berisi nasihat-nasihat bijaksana dalam menjalani kehidupan.

Saya telah mendapatkan banyak manfaat dari petikan-petikan ucapannya berikut ini, dan saya harap begitu pula untukmu.

***

“Ucapan yang keluar dari mulut yang tidak berakal akan menjadi pertanda agar menjauhkan diri.”

“Jangan menyombongkan diri, karena selain tidak bermanfaat, juga menimbulkan perasaan tidak senang bagi siapa pun.”

“Menolong diri sendiri adalah pertolongan terbaik yang dapat diberikan.”

“Jangan membuang-buang waktu dan tenaga untuk hal-hal tidak penting, masih banyak hal lebih penting yang harus diselesaikan.”

“Jangan selalu meributkan kesalahan orang lain, apabila tidak mengetahui kesalahan diri sendiri.”

“Mengkritik sesuatu yang tidak kita ketahui hanya menjadikan kita tampak sombong, arogan, sekaligus tolol.”

“Jangan pernah menilai sesuatu, jika kita tidak tahu apa yang sedang kita nilai itu. Karena penilaian itu—tak peduli baik atau buruk—hanya menyesatkan orang lain yang tak tahu.”

“Kalau kau tidak suka dicerca dan direndahkan orang lain, jangan pernah lakukan hal itu pada orang lain.”

“Setiap kali ingin mengkritik seseorang atau sesuatu, tanyakanlah dulu pada kejujuran hatimu sendiri—apakah kau mengkritiknya karena itu memang layak dikritik, ataukah karena kau iri kepadanya sehingga membuatmu ingin mengkritik?”

“Nilai seseorang ada pada kejujuran hatinya. Tak peduli kita menebarkan senyum kemana pun, bau busuk akan menguar jika kita menyimpan bangkai.”

“Menyalahkan orang lain hanya karena dia berbeda pendapat dengan kita adalah perilaku paling tolol yang dapat ditunjukkan manusia.”

“Tidak perlu repot memvonis manusia lainnya sebagai benar atau salah—itu urusan Tuhan, bukan tugas manusia.”

“Orang yang suka mencari-cari kesalahan orang lain, sambil terus merasa dirinya paling benar sendiri, adalah bibit kerusakan bumi.”

“Hidup hanya sebentar. Jangan pernah menganggap dirimu Tuhan.”

“Pelajarilah kesalahan orang lain, dan jadikan itu sebagai pelajaran agar lebih baik di kemudian hari.”

Rabu, 08 Februari 2012

Kalau Hanya Senyum yang Engkau Berikan, Westerling pun Tersenyum (2)

Post ini adalah lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Nah, Westerling melanggar aturan kode etik itu. Ketika dia memerangi rakyat Sulawesi Selatan, dia menggunakan caranya sendiri yang jelas-jelas jauh berbeda dari buku pedoman yang seharusnya ia gunakan. Langkah awal ini saja sudah cukup untuk melemparkan Westerling ke Pengadilan Militer.

Lanjut. Setelah menyusun strateginya, Westerling bersama pasukannya mulai melakukan operasi mereka pada tengah malam, 11 Desember 1946. Sasaran mereka waktu itu adalah desa Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar, seperti desa Borong dan Patunorang.

Jadi, pada pukul 4 pagi itu, wilayah desa-desa tersebut telah dikepung, dan kemudian Westerling bersama pasukannya melakukan penggeledahan ke rumah-rumah penduduk. Semua orang digiring ke desa Batua. Pada waktu itu, 9 orang yang berusaha melarikan diri langsung ditembak mati. Sekitar pukul 8.45, seluruh penduduk dari desa-desa lain telah dikumpulkan di desa Batua. Tidak jelas berapa jumlah pastinya. (Kelak, Westerling menyatakan bahwa jumlah orang yang ia kumpulkan waktu itu antara 3.000 sampai 4.000 orang).

Setelah semua orang desa itu berkumpul, Westerling mulai mencari “kaum ekstremis, perampok, penjahat, dan pembunuh”. Westerling sendiri yang memimpin aksi itu, dan ia berbicara kepada penduduk di sana dengan bahasa Belanda, yang diterjemahkan ke bahasa Bugis.

Hasilnya, 35 orang yang dituduh langsung dibunuh di tempat. Metode yang digunakan Westerling itu disebut “Standrecht”, yang secara harfiah berarti pengadilan dan eksekusi di tempat. Dalam laporannya sendiri, Westerling menyebutkan jumlah yang ia bunuh waktu itu adalah 11 ekstremis, 23 perampok, dan 1 orang pembunuh.

Setelah itu, Westerling dan pasukannya melanjutkan pola yang sama di tempat-tempat lain di seluruh Sulawesi Selatan. Di desa Tanjung Bunga, pada malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946, mereka membunuh 61 orang. Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa Tanjung Bunga dibakar, sehingga korban tewas seluruhnya mencapai 81 orang.

Berikutnya, pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, mereka melakukan sweeping di desa Kalukuang yang terletak di pinggiran kota Makassar, dan sebanyak 23 orang ditembak mati. Di tempat inilah Wolter Monginsidi dan Ali Malakka disiksa, hingga kemudian tewas terbunuh. Selanjutnya, pada malam tanggal 16 menjelang tanggal 17 Desember, desa Jongaya yang terletak di sebelah tenggara Makassar menjadi sasaran, dan memakan korban tewas sebanyak 33 orang.

Pembantaian itu belum berhenti. Pada 19 Desember 1946, Westerling dan pasukannya memasuki desa Polobangkeng yang terletak di selatan Makassar, juga ke desa Renaja dan Ko’mara. Di sana mereka membantai 330 orang. Setelah itu, pada 26 Desember 1946 sampai 3 Januari 1947, wilayah Gowa di-sweeping, dan korban yang tewas sebanyak 257 orang.

Memasuki pertengahan Januari 1947, Westerling melakukan pembantaian di Parepare, Madello, Abbokongeng, Padakkalawa, Suppa, Enrekang, Talabangi, Soppeng, Barru, Malimpung, dan sebuah desa yang tak dikenal. Memasuki Februari, giliran pesisir Tanete yang di-sweeping, termasuk desa Taraweang dan Bornong-Bornong.

Setelah itu mereka masuk ke desa Mandar, membunuh 364 orang, lalu pindah ke desa Kulo, Amparita, dan Maroangin, dan kembali membunuh 171 penduduk—semua pembunuhan ini tanpa bukti atau dasar kejahatan apa pun. Setelah itu, Westerling dan pasukannya semakin haus darah. Mereka membunuh dan membantai siapa pun yang mereka inginkan.

Jadi, bagi Westerling dan konco-konconya, acara pembantaian ini seperti permainan gundu. Mereka mengumpulkan sejumlah orang di lapangan, lalu Westerling menyeringai senyuman iblis sambil menembakkan pistolnya ke kepala orang-orang tak berdosa itu, dan pasukannya akan mengikuti dengan memberondongkan senapan mesin mereka.

Peristiwa pembantaian paling mengerikan terjadi pada 2 Februari 1947, di Galung Lombok. Di tempat ini, jumlah korban kebiadaban Westerling dan pasukannya jauh lebih banyak dibanding di tempat-tempat sebelumnya. Pada peristiwa itu, orang-orang berpengaruh di Galung Lombok dibaringkan di lapangan, kemudian ditembak serentak dengan disaksikan para penduduk lainnya. Kemudian, Westerling juga menangkap orang-orang lainnya—lelaki dan perempuan—untuk ditahan dan disiksa, digantung dan dibunuh.

Pada 21 Februari 1947, keadaan di Sulawesi Selatan dianggap “telah aman dan terkendali”, dan pasukan Westerling pun kembali ke markas mereka di Jakarta sebagai pahlawan. Koran mingguan Belanda, Het Militair Weekblad, menyanjung mereka sebagai “Pasukan Turki yang Kembali”. Dan, berkat “prestasinya”, Westerling pun naik pangkat dan memegang komando pasukan yang lebih besar.

Pertanyaannya sekarang, berapa jumlah total orang yang menjadi korban kebiadaban Westerling? Masih simpang siur, tidak jelas. Pada tahun 1947, delegasi Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB, bahwa korban pembantaian terhadap penduduk yang dilakukan Raymond Westerling sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa.

Pihak Belanda “tidak terima” dengan jumlah itu. Pada tahun 1969, pemerintah Belanda melakukan “pemeriksaan”, yang pada akhirnya menghasilkan kesimpulan bahwa korban yang tewas selama aksi Westerling di Sulawesi hanya sebanyak 3.000 orang. Westerling sendiri, dengan gebleknya mengaku kalau dia “cuma” membunuh 600 orang. Dan, yang paling penting diperhatikan di sini, pemerintah Belanda tidak pernah menjatuhkan sanksi apa pun atas tindak indisipliner Westerling selama menjalankan operasinya.

Berdasarkan data-data otentik yang dapat diambil dari sejarah, pembantaian Westerling dan pasukannya di Sulawesi Selatan dapat digolongkan sebagai kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity). Artinya, kasus kejahatan ini sampai sekarang tetap dapat diajukan ke pengadilan internasional, karena kejahatan kemanusiaan—termasuk pembantaian etnis (genocide)—tidak memiliki masa kadaluwarsa.

Lalu adakah upaya pemerintah Indonesia atas hal itu? Jangan mimpi! Pemerintah kita sepertinya sudah terlalu sibuk mengurusi dirinya sendiri, juga terlalu asyik mengurusi persoalan-persoalan tidak jelas yang membelit seperti gurita yang sepertinya tidak ada habisnya, hingga mungkin bagi mereka ribuan nyawa tak berdosa di Sulawesi Selatan hanyalah bagian dari sejarah nina bobo.

Jangankan untuk korban di Sulawesi Selatan yang terjadi pada masa lampau, bahkan korban-korban lain yang terjadi di era sekarang pun sepertinya pemerintah kita tak terlalu peduli atau pura-pura lupa. Dan, setiap kali diingatkan, mereka biasanya akan menjanjikan, menjanjikan, menjanjikan, dan tersenyum. Padahal, kata Iwan Fals, kalau hanya senyum yang engkau berikan, Westerling pun tersenyum.


*) Semua data historis dalam catatan ini dapat diverifikasi ke semua sumber yang valid.

Kalau Hanya Senyum yang Engkau Berikan, Westerling pun Tersenyum (1)

Judul post ini saya pinjam dari salah satu kalimat dalam lagu “Pesawat Tempurku” yang dinyanyikan Iwan Fals. Saya tiba-tiba teringat pada kalimat lagu itu, karena membayangkan betapa cerdiknya Iwan Fals “mengkonfrontasikan” senyum dengan Westerling dalam lirik lagunya.

Siapakah Westerling…? Raymond Pierre Paul Westerling adalah bajingan Belanda yang membantai ribuan rakyat Sulawesi Selatan pada era perang kemerdekaan Indonesia, sejak Desember 1946 sampai Februari 1947, selama operasi militer yang ia namakan Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan). Jika kita membuka buku sejarah, kisah kekejaman itu dikenal sebagai “Pembantaian Westerling”.

Asbabun nuzul kisah ini berawal dari Insiden Bendera yang terjadi di Hotel Yamato, Surabaya. Insiden itu kemudian melahirkan peristiwa pertempuran besar-besaran yang kelak disebut “Serangan Umum 11 Maret”, yang menewaskan seorang tokoh terkenal bernama Bung Tomo. (Kisah selengkapnya silakan baca buku sejarah).

Nah, pertempuran besar di Surabaya pada 11 Maret itu kemudian merembet ke daerah-daerah lain, bahkan sampai ke luar pulau. Setelah Bandung menjadi lautan api karena dua ratus ribu warganya membakar kota sebagai bentuk perlawanan, giliran luar Jawa yang mengangkat senjata.

Pada waktu itu, pemerintah Indonesia sedang berunding dengan pihak Belanda, dengan mediator dari Inggris. Perundingan itu, oleh sejarah, disebut Perundingan Linggarjati—yang intinya adalah kesepakatan kedua pihak untuk tidak lagi saling serang. Namun, seiring Perjanjian Linggarjati sedang berlangsung, rakyat di daerah-daerah luar Jawa dan Sumatera terus mengadakan perlawanan. Hampir setiap malam terjadi serangan dan penembakan terhadap pos-pos pertahanan tentara Belanda.

Para pejabat Belanda sudah sangat kewalahan menghadapi serangan-serangan itu. Karenanya, mereka pun lalu meminta pimpinan militer Belanda di Jakarta, agar segera “mengurus” Sulawesi Selatan. Dan dari situlah kemudian kisah pembantaian paling berdarah terjadi di bumi Nusantara, dengan aktor utama si Westerling.

Pada 9 November 1946, Letnan Jenderal Simon H. Spoor dan Kepala Stafnya, Mayor Jenderal Dirk Cornelis Buurman van Vreeden, memanggil seluruh pimpinan pemerintahan Belanda di Sulawesi Selatan ke markas besar tentara di Jakarta.

“Obrolan” mereka lalu memutuskan untuk mengirim pasukan khusus di bawah pimpinan Raymond Westerling untuk menghancurkan kekuatan bersenjata di Sulawesi Selatan, serta mematahkan semangat rakyat yang mendukung Republik Indonesia. Untuk hal itu, Westerling diberi kekuasaan penuh untuk melaksanakan tugasnya dan mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu.

Westerling tiba di Makassar pada 5 Desember 1946, memimpin 120 orang Pasukan Khusus, yang bernama Depot Speciale Troepen. Dia mendirikan markasnya di desa Mattoangin, dan mulai menyusun strategi untuk Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan) dengan caranya sendiri.

Sebenarnya, di dalam aksi militer ada kode etik yang telah tertulis dalam sebuah buku pedoman, yang dalam istilah Belanda disebut “Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger” atau VPTL, yang artinya “Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di Bidang Politik dan Polisional”. Kode etik itu memiliki ketentuan mengenai tugas intelijen serta perlakuan terhadap penduduk dan tahanan, dan itu merupakan buku pedoman resmi untuk Counter Insurgency.

Lanjut ke sini.

Jumat, 03 Februari 2012

Obrolan di Bawah Hujan

L’enfer, c’est les autres.
Sartre

Hujan turun deras, seperti dicurahkan dari langit. Saya berlari melintasi jalanan, menuju sebuah halte yang memiliki atap cukup luas, untuk berteduh.

Seorang laki-laki tua tampak sedang duduk nyaman di bawah halte itu, dan saya pun segera duduk di bangku halte yang sama. Wajah laki-laki itu mengingatkan saya pada Magneto dalam film X-Men—tampak kukuh, meski gurat keriput di wajahnya tak bisa menyembunyikan usia yang sebenarnya.

Laki-laki itu hanya diam ketika saya duduk di dekatnya. Ia mengisap pipa dengan nikmat, dan membuat saya ingin melakukan hal yang sama. Maka saya pun merogoh saku celana dan mengeluarkan bungkus rokok. Saya ambil sebatang, menyelipkannya di bibir, lalu menyiapkan korek gas.

Korek gas itu tak mau menyala—sepertinya air hujan telah membasahi sumbunya ketika saya berlari tadi. Maka saya pun meminjam korek api pada si lelaki tua di sebelah saya. Dia mengambil korek api dari saku jaket panjangnya, lalu memberikannya pada saya dengan wajah datar. Waktu itu saya membayangkan diri saya John Pyro, yang menerima zippo melayang dari tangan Magneto.

Saya menyalakan rokok, mengisap asapnya sesaat, kemudian mengembalikan korek api pada si Magneto—well, saya tidak tahu siapa namanya, jadi kita sebut saja dia Magneto. (Sekadar catatan, Magneto adalah salah satu tokoh idola saya).

Magneto menerima korek apinya dengan muka datar. Saya mengucapkan terima kasih. Dia hanya mengangguk sekilas, dan memasukkan korek apinya ke dalam saku. Lalu kami duduk dalam diam. Saya mengisap rokok sambil memandangi hujan, Magneto juga tampak tenggelam dalam dunianya sendiri sambil mengisap pipanya. Hujan masih turun cukup lebat.

Sambil mengisap rokok, saya menyaksikan air got meluber ke jalanan, bercampur dengan air hujan yang membanjir, menjadikan sampah seperti ditebarkan di mana-mana. Bekas-bekas bungkus makanan dan minuman berserakan di sana-sini, menodai jalanan yang tadinya bersih, dan saya pun tanpa sadar menggumam, “Well… sampah di mana-mana.”

Magneto menoleh ke arah saya, dan menyahut, “Sampah di mana-mana itu masih bisa dimaklumi, Nak. Yang tidak bisa dimaklumi adalah nyampah di mana-mana.”

Saya tidak paham dengan maksudnya. “Maaf?”

Dia menatap saya, dan berbicara tanpa nada humor—khas Magneto, “Kau tahu perbedaan antara sampah dan nyampah?”

Saya mencoba tersenyum, “Anda tidak keberatan menjelaskannya?”

Maka dia pun menjelaskannya. “Sampah,” katanya, “adalah materi yang memang mau tak mau harus ada sebagai sisa atau hasil pembuangan. Kita tidak bisa melepaskan diri dari sampah, karena itu memang bagian dari kehidupan, khususnya kehidupan manusia. Bahkan tubuh manusia pun memproduksi sampah—kotoran—sebagai hasil sisa pencernaan dari semua yang telah kita makan.”

Setelah mengisap pipanya sejenak, dia melanjutkan, “So, keberadaan sampah dapat dimaklumi, bahkan dapat diterima sebagai bagian kehidupan. Tetapi nyampah adalah sesuatu yang tidak dapat—setidaknya sulit—untuk diterima dan dimaafkan, karena itu benar-benar sangat mengganggu.”

Dia menunggu respon saya. Maka saya pun merespon dengan sopan, “Apa yang dimaksud nyampah, Sir?”

“Nyampah,” katanya, “adalah perilaku membuat sesuatu yang tidak memiliki manfaat apa pun. Materi yang dibuat itu bukan sampah, tetapi memiliki sifat sampah, sehingga perilakunya disebut nyampah. Bahkan, sampah jauh lebih baik daripada kotoran hasil nyampah. Kau tahu, sampah dapat diolah menjadi kompos atau didaur ulang. Tapi nyampah…? Apa yang dihasilkan dari itu?”

Saya mengisap asap rokok dan menatapnya dengan muka bingung. “Uh, saya belum dapat mencerna yang Anda maksud, Sir.”

Dia menatap saya dengan muka datar, lalu berkata tanpa nada humor—khas Magneto. “Sepertinya kau perlu lebih banyak belajar, Nak.” Setelah terdiam sesaat, dia melanjutkan, “Kau mau mendengarkan ceritaku?”

Saya mengangguk. “Dengan senang hati.”

Magneto bercerita tentang tempat tinggalnya. Ia tinggal di sebuah komplek perumahan yang tenang dan asri. Meski kadang tidak saling mengenal, namun orang-orang yang tinggal di komplek perumahan itu saling menyapa ramah atau setidaknya tersenyum ketika berpapasan dengan tetangganya. Magneto senang tinggal di komplek itu, sebagaimana para tetangganya juga senang tinggal di sana.

Sampai suatu hari, muncul tetangga baru, seorang wanita. Kehadiran tetangga baru tidak menjadi masalah di komplek itu, karena rata-rata orang di komplek itu pun sama-sama pendatang. Tetapi ada yang tidak beres dengan si tetangga baru ini. Untuk memudahkan cerita, kita sebut saja si tetangga baru itu dengan nama Mystique.

Dalam film X-Men, Magneto dan Mystique bersahabat. Tapi tidak di dunia nyata, setidaknya di komplek tempat tinggal Magneto.

Setiap hari, menurut cerita Magneto, tetangga baru bernama Mystique itu selalu berkeliling ke sana ke mari untuk nyampah di halaman rumah orang-orang. Jadi, Mystique akan mengambili batu-batu, atau lumpur, atau rumput, atau apa saja yang ada di sekitar rumah tetangganya, kemudian melempar-lemparkannya ke halaman rumah si tetangga. Akibatnya, halaman yang tadinya bersih dan rapi segera kotor dan mengganggu pemandangan.

“Nah, itulah yang kumaksud nyampah,” ujar Magneto kepada saya. “Kau lihat, sesuatu yang pada mulanya bukan sampah, diubah menjadi sampah yang benar-benar sangat menganggu.”

Setelah nyampah di satu halaman rumah orang, Mystique akan pindah ke rumah tetangga yang lain, kemudian melakukan hal yang sama. Ia akan mengambili apa saja yang dapat ia pungut, lalu melempar-lemparkannya ke halaman rumah orang. Dan begitu terus-menerus. Setiap hari ia melakukan kegiatan aneh itu, dan hampir semua halaman rumah orang di komplek itu telah pernah disampahinya.

“Lalu bagaimana reaksi para tetangga, Sir?” tanya saya penasaran.

“Tentu saja kami marah!” sahut Magneto dengan muka berkerut. “Tetapi, orang-orang di komplek kami lebih memilih diam daripada ribut dengan tetangga. Jadi, kami pun lalu memasang pintu gerbang di depan rumah, agar dia tidak nyampah lagi di halaman rumah kami.”

“Dan itu efektif?”

“Hell, sayangnya tidak!”

Meski rumah-rumah di komplek itu telah dipasangi pintu gerbang, Mystique tetap melanjutkan aksi nyampahnya. Magneto menceritakan bagaimana Mystique rela memanjat pintu gerbang demi tetap bisa melempar-lemparkan sampah ke halaman rumah para tetangga. Akibatnya, meski telah dihalang-halangi pintu gerbang sekali pun, halaman-halaman rumah tetap saja kotor akibat perbuatannya.

Mystique tidak sadar bahwa keberadaan pintu gerbang itu ditujukan agar dia tidak lagi nyampah. Maka, untuk menyadarkan Mystique, orang-orang di komplek itu pun lalu bersepakat untuk memasang tanda besar di depan gerbangnya, berbunyi “DILARANG NYAMPAH DI SINI”.

Tulisan di depan gerbang itu memang menyadarkan Mystique. Sejak itu dia tidak lagi nyampah. Tetapi dia lalu marah-marah pada para tetangganya. Setiap berpapasan dengan tetangga, Mystique akan mengeluarkan ocehan yang tidak enak didengar, ataupun sindiran-sindiran menjengkelkan karena dia dilarang nyampah. Puncaknya, Mystique menyiapkan setumpuk sampah di depan rumahnya sendiri, lalu melempar-lemparkannya pada setiap tetangga yang kebetulan lewat.

Mendengar kisah itu, saya geleng-geleng kepala tak percaya. “Bagaimana ada orang yang seperti itu, Sir?”

“Aku tidak tahu, Nak,” jawab Magneto dengan gusar. “Seperti yang kukatakan tadi, kita masih bisa memaklumi keberadaan sampah. Tapi kita sulit memaklumi perilaku nyampah!”

“Well, dia masih melakukan hal itu?”

“Sekarang dia telah pergi dari komplek kami. Para tetangga pun merasa lega dengan kepergiannya, dan kehidupan kami normal kembali—bersih dan tertib seperti dulu—tanpa sampah-sampah menjengkelkan yang tak berguna.”

Saya jadi penasaran, “Anda tahu kemana dia pergi?”

“Aku tidak tahu, dan tidak ingin tahu! Tetapi, kata para tetangga, dia pindah ke komplek lain, dan kembali nyampah seperti ketika tinggal di komplek kami. Sepertinya, nyampah telah menjadi salah satu hal penting dalam hidupnya.”

Magneto mengisap pipanya dengan muka berkerut, sementara saya menatap hujan yang belum juga reda. Oh, well, rasanya saya ingin sekali bertemu Charles Xavier untuk mendengarkan kebijaksanaannya.

Hidup itu Lucu

Karena, kalau kita tidak mau menerima apa pun, kecuali yang terbaik, kita justru akan sering menerimanya.

Alam semesta, kadang-kadang, juga bermain petak umpet.

 
;