Rabu, 08 Februari 2012

Kalau Hanya Senyum yang Engkau Berikan, Westerling pun Tersenyum (1)

Judul post ini saya pinjam dari salah satu kalimat dalam lagu “Pesawat Tempurku” yang dinyanyikan Iwan Fals. Saya tiba-tiba teringat pada kalimat lagu itu, karena membayangkan betapa cerdiknya Iwan Fals “mengkonfrontasikan” senyum dengan Westerling dalam lirik lagunya.

Siapakah Westerling…? Raymond Pierre Paul Westerling adalah bajingan Belanda yang membantai ribuan rakyat Sulawesi Selatan pada era perang kemerdekaan Indonesia, sejak Desember 1946 sampai Februari 1947, selama operasi militer yang ia namakan Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan). Jika kita membuka buku sejarah, kisah kekejaman itu dikenal sebagai “Pembantaian Westerling”.

Asbabun nuzul kisah ini berawal dari Insiden Bendera yang terjadi di Hotel Yamato, Surabaya. Insiden itu kemudian melahirkan peristiwa pertempuran besar-besaran yang kelak disebut “Serangan Umum 11 Maret”, yang menewaskan seorang tokoh terkenal bernama Bung Tomo. (Kisah selengkapnya silakan baca buku sejarah).

Nah, pertempuran besar di Surabaya pada 11 Maret itu kemudian merembet ke daerah-daerah lain, bahkan sampai ke luar pulau. Setelah Bandung menjadi lautan api karena dua ratus ribu warganya membakar kota sebagai bentuk perlawanan, giliran luar Jawa yang mengangkat senjata.

Pada waktu itu, pemerintah Indonesia sedang berunding dengan pihak Belanda, dengan mediator dari Inggris. Perundingan itu, oleh sejarah, disebut Perundingan Linggarjati—yang intinya adalah kesepakatan kedua pihak untuk tidak lagi saling serang. Namun, seiring Perjanjian Linggarjati sedang berlangsung, rakyat di daerah-daerah luar Jawa dan Sumatera terus mengadakan perlawanan. Hampir setiap malam terjadi serangan dan penembakan terhadap pos-pos pertahanan tentara Belanda.

Para pejabat Belanda sudah sangat kewalahan menghadapi serangan-serangan itu. Karenanya, mereka pun lalu meminta pimpinan militer Belanda di Jakarta, agar segera “mengurus” Sulawesi Selatan. Dan dari situlah kemudian kisah pembantaian paling berdarah terjadi di bumi Nusantara, dengan aktor utama si Westerling.

Pada 9 November 1946, Letnan Jenderal Simon H. Spoor dan Kepala Stafnya, Mayor Jenderal Dirk Cornelis Buurman van Vreeden, memanggil seluruh pimpinan pemerintahan Belanda di Sulawesi Selatan ke markas besar tentara di Jakarta.

“Obrolan” mereka lalu memutuskan untuk mengirim pasukan khusus di bawah pimpinan Raymond Westerling untuk menghancurkan kekuatan bersenjata di Sulawesi Selatan, serta mematahkan semangat rakyat yang mendukung Republik Indonesia. Untuk hal itu, Westerling diberi kekuasaan penuh untuk melaksanakan tugasnya dan mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu.

Westerling tiba di Makassar pada 5 Desember 1946, memimpin 120 orang Pasukan Khusus, yang bernama Depot Speciale Troepen. Dia mendirikan markasnya di desa Mattoangin, dan mulai menyusun strategi untuk Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan) dengan caranya sendiri.

Sebenarnya, di dalam aksi militer ada kode etik yang telah tertulis dalam sebuah buku pedoman, yang dalam istilah Belanda disebut “Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger” atau VPTL, yang artinya “Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di Bidang Politik dan Polisional”. Kode etik itu memiliki ketentuan mengenai tugas intelijen serta perlakuan terhadap penduduk dan tahanan, dan itu merupakan buku pedoman resmi untuk Counter Insurgency.

Lanjut ke sini.

 
;