Jumat, 03 Februari 2012

Obrolan di Bawah Hujan

L’enfer, c’est les autres.
Sartre

Hujan turun deras, seperti dicurahkan dari langit. Saya berlari melintasi jalanan, menuju sebuah halte yang memiliki atap cukup luas, untuk berteduh.

Seorang laki-laki tua tampak sedang duduk nyaman di bawah halte itu, dan saya pun segera duduk di bangku halte yang sama. Wajah laki-laki itu mengingatkan saya pada Magneto dalam film X-Men—tampak kukuh, meski gurat keriput di wajahnya tak bisa menyembunyikan usia yang sebenarnya.

Laki-laki itu hanya diam ketika saya duduk di dekatnya. Ia mengisap pipa dengan nikmat, dan membuat saya ingin melakukan hal yang sama. Maka saya pun merogoh saku celana dan mengeluarkan bungkus rokok. Saya ambil sebatang, menyelipkannya di bibir, lalu menyiapkan korek gas.

Korek gas itu tak mau menyala—sepertinya air hujan telah membasahi sumbunya ketika saya berlari tadi. Maka saya pun meminjam korek api pada si lelaki tua di sebelah saya. Dia mengambil korek api dari saku jaket panjangnya, lalu memberikannya pada saya dengan wajah datar. Waktu itu saya membayangkan diri saya John Pyro, yang menerima zippo melayang dari tangan Magneto.

Saya menyalakan rokok, mengisap asapnya sesaat, kemudian mengembalikan korek api pada si Magneto—well, saya tidak tahu siapa namanya, jadi kita sebut saja dia Magneto. (Sekadar catatan, Magneto adalah salah satu tokoh idola saya).

Magneto menerima korek apinya dengan muka datar. Saya mengucapkan terima kasih. Dia hanya mengangguk sekilas, dan memasukkan korek apinya ke dalam saku. Lalu kami duduk dalam diam. Saya mengisap rokok sambil memandangi hujan, Magneto juga tampak tenggelam dalam dunianya sendiri sambil mengisap pipanya. Hujan masih turun cukup lebat.

Sambil mengisap rokok, saya menyaksikan air got meluber ke jalanan, bercampur dengan air hujan yang membanjir, menjadikan sampah seperti ditebarkan di mana-mana. Bekas-bekas bungkus makanan dan minuman berserakan di sana-sini, menodai jalanan yang tadinya bersih, dan saya pun tanpa sadar menggumam, “Well… sampah di mana-mana.”

Magneto menoleh ke arah saya, dan menyahut, “Sampah di mana-mana itu masih bisa dimaklumi, Nak. Yang tidak bisa dimaklumi adalah nyampah di mana-mana.”

Saya tidak paham dengan maksudnya. “Maaf?”

Dia menatap saya, dan berbicara tanpa nada humor—khas Magneto, “Kau tahu perbedaan antara sampah dan nyampah?”

Saya mencoba tersenyum, “Anda tidak keberatan menjelaskannya?”

Maka dia pun menjelaskannya. “Sampah,” katanya, “adalah materi yang memang mau tak mau harus ada sebagai sisa atau hasil pembuangan. Kita tidak bisa melepaskan diri dari sampah, karena itu memang bagian dari kehidupan, khususnya kehidupan manusia. Bahkan tubuh manusia pun memproduksi sampah—kotoran—sebagai hasil sisa pencernaan dari semua yang telah kita makan.”

Setelah mengisap pipanya sejenak, dia melanjutkan, “So, keberadaan sampah dapat dimaklumi, bahkan dapat diterima sebagai bagian kehidupan. Tetapi nyampah adalah sesuatu yang tidak dapat—setidaknya sulit—untuk diterima dan dimaafkan, karena itu benar-benar sangat mengganggu.”

Dia menunggu respon saya. Maka saya pun merespon dengan sopan, “Apa yang dimaksud nyampah, Sir?”

“Nyampah,” katanya, “adalah perilaku membuat sesuatu yang tidak memiliki manfaat apa pun. Materi yang dibuat itu bukan sampah, tetapi memiliki sifat sampah, sehingga perilakunya disebut nyampah. Bahkan, sampah jauh lebih baik daripada kotoran hasil nyampah. Kau tahu, sampah dapat diolah menjadi kompos atau didaur ulang. Tapi nyampah…? Apa yang dihasilkan dari itu?”

Saya mengisap asap rokok dan menatapnya dengan muka bingung. “Uh, saya belum dapat mencerna yang Anda maksud, Sir.”

Dia menatap saya dengan muka datar, lalu berkata tanpa nada humor—khas Magneto. “Sepertinya kau perlu lebih banyak belajar, Nak.” Setelah terdiam sesaat, dia melanjutkan, “Kau mau mendengarkan ceritaku?”

Saya mengangguk. “Dengan senang hati.”

Magneto bercerita tentang tempat tinggalnya. Ia tinggal di sebuah komplek perumahan yang tenang dan asri. Meski kadang tidak saling mengenal, namun orang-orang yang tinggal di komplek perumahan itu saling menyapa ramah atau setidaknya tersenyum ketika berpapasan dengan tetangganya. Magneto senang tinggal di komplek itu, sebagaimana para tetangganya juga senang tinggal di sana.

Sampai suatu hari, muncul tetangga baru, seorang wanita. Kehadiran tetangga baru tidak menjadi masalah di komplek itu, karena rata-rata orang di komplek itu pun sama-sama pendatang. Tetapi ada yang tidak beres dengan si tetangga baru ini. Untuk memudahkan cerita, kita sebut saja si tetangga baru itu dengan nama Mystique.

Dalam film X-Men, Magneto dan Mystique bersahabat. Tapi tidak di dunia nyata, setidaknya di komplek tempat tinggal Magneto.

Setiap hari, menurut cerita Magneto, tetangga baru bernama Mystique itu selalu berkeliling ke sana ke mari untuk nyampah di halaman rumah orang-orang. Jadi, Mystique akan mengambili batu-batu, atau lumpur, atau rumput, atau apa saja yang ada di sekitar rumah tetangganya, kemudian melempar-lemparkannya ke halaman rumah si tetangga. Akibatnya, halaman yang tadinya bersih dan rapi segera kotor dan mengganggu pemandangan.

“Nah, itulah yang kumaksud nyampah,” ujar Magneto kepada saya. “Kau lihat, sesuatu yang pada mulanya bukan sampah, diubah menjadi sampah yang benar-benar sangat menganggu.”

Setelah nyampah di satu halaman rumah orang, Mystique akan pindah ke rumah tetangga yang lain, kemudian melakukan hal yang sama. Ia akan mengambili apa saja yang dapat ia pungut, lalu melempar-lemparkannya ke halaman rumah orang. Dan begitu terus-menerus. Setiap hari ia melakukan kegiatan aneh itu, dan hampir semua halaman rumah orang di komplek itu telah pernah disampahinya.

“Lalu bagaimana reaksi para tetangga, Sir?” tanya saya penasaran.

“Tentu saja kami marah!” sahut Magneto dengan muka berkerut. “Tetapi, orang-orang di komplek kami lebih memilih diam daripada ribut dengan tetangga. Jadi, kami pun lalu memasang pintu gerbang di depan rumah, agar dia tidak nyampah lagi di halaman rumah kami.”

“Dan itu efektif?”

“Hell, sayangnya tidak!”

Meski rumah-rumah di komplek itu telah dipasangi pintu gerbang, Mystique tetap melanjutkan aksi nyampahnya. Magneto menceritakan bagaimana Mystique rela memanjat pintu gerbang demi tetap bisa melempar-lemparkan sampah ke halaman rumah para tetangga. Akibatnya, meski telah dihalang-halangi pintu gerbang sekali pun, halaman-halaman rumah tetap saja kotor akibat perbuatannya.

Mystique tidak sadar bahwa keberadaan pintu gerbang itu ditujukan agar dia tidak lagi nyampah. Maka, untuk menyadarkan Mystique, orang-orang di komplek itu pun lalu bersepakat untuk memasang tanda besar di depan gerbangnya, berbunyi “DILARANG NYAMPAH DI SINI”.

Tulisan di depan gerbang itu memang menyadarkan Mystique. Sejak itu dia tidak lagi nyampah. Tetapi dia lalu marah-marah pada para tetangganya. Setiap berpapasan dengan tetangga, Mystique akan mengeluarkan ocehan yang tidak enak didengar, ataupun sindiran-sindiran menjengkelkan karena dia dilarang nyampah. Puncaknya, Mystique menyiapkan setumpuk sampah di depan rumahnya sendiri, lalu melempar-lemparkannya pada setiap tetangga yang kebetulan lewat.

Mendengar kisah itu, saya geleng-geleng kepala tak percaya. “Bagaimana ada orang yang seperti itu, Sir?”

“Aku tidak tahu, Nak,” jawab Magneto dengan gusar. “Seperti yang kukatakan tadi, kita masih bisa memaklumi keberadaan sampah. Tapi kita sulit memaklumi perilaku nyampah!”

“Well, dia masih melakukan hal itu?”

“Sekarang dia telah pergi dari komplek kami. Para tetangga pun merasa lega dengan kepergiannya, dan kehidupan kami normal kembali—bersih dan tertib seperti dulu—tanpa sampah-sampah menjengkelkan yang tak berguna.”

Saya jadi penasaran, “Anda tahu kemana dia pergi?”

“Aku tidak tahu, dan tidak ingin tahu! Tetapi, kata para tetangga, dia pindah ke komplek lain, dan kembali nyampah seperti ketika tinggal di komplek kami. Sepertinya, nyampah telah menjadi salah satu hal penting dalam hidupnya.”

Magneto mengisap pipanya dengan muka berkerut, sementara saya menatap hujan yang belum juga reda. Oh, well, rasanya saya ingin sekali bertemu Charles Xavier untuk mendengarkan kebijaksanaannya.

 
;