Jumat, 17 Februari 2012

Tak Perlu Risaukan Bakat

Ada banyak kambing hitam yang dimiliki orang-orang gagal, satu di antaranya yang terkenal adalah mengkambinghitamkan bakat.

“Usaha saya bangkrut karena saya tidak berbakat jadi pedagang,” atau, “Dia bisa menjadi penyanyi hebat, karena dia memang berbakat!” atau, “Bagaimana saya bisa jadi penulis terkenal? Saya tidak mempunyai bakat menjadi penulis!” atau, “Kalau saja saya punya bakat memimpin, saya pasti bisa menjadi pemimpin yang sukses,” atau, “Saya ini orang yang tak berbakat, jadi mustahil bisa seperti itu.”

Bakat memang penting, tapi bukan yang terpenting. Bakat memang berguna, tapi bukan segalanya. Kalau sebuah kesuksesan mau dikalkulasi, maka bakat hanya menentukan satu persen, atau paling tidak sepuluh persen, sementara selebihnya adalah belajar tak kenal lelah, dan kerja keras yang pantang menyerah.

Bakat itu seperti pisau. Sebesar apa pun bakat yang dimiliki seseorang, bakat itu akan tumpul kalau tidak terus-menerus diasah. Sebaliknya, pisau yang tumpul pun akan bisa menjadi tajam kalau setiap hari, setiap saat, terus diasah dan diasah.

Mungkin Christine Hakim memang berbakat jadi pemain film. Mungkin Iwan Fals memang berbakat jadi penyanyi. Mungkin Arswendo Atmowiloto memang berbakat jadi penulis.

Tetapi mereka tak akan mencapai kesuksesannya masing-masing tanpa sikap yang positif, proses pembelajaran tanpa henti, dan kerja keras yang terus-menerus. Ikuti sejarah dan perjalanan karier mereka, dan kita akan tahu bagaimana mereka harus jatuh bangun terlebih dulu sebelum meraih kesuksesannya.

 
;