Minggu, 18 Maret 2012

Cinta Menembus Batas

Burung nuri, kura-kura, dan pohon jati, hidup lebih lama
dibanding manusia. Manusia hidup lebih lama dibanding anjing.
Anjing hidup lebih lama dibanding cinta.
Ovid


Tepi Pantai Malindi, Kenya, 27 Desember 2006.

Sehari sebelumnya, gempa berkekuatan 7 Skala Richter mengguncang tanah bumi, yang melahirkan tsunami dahsyat di Samudera Hindia. Gelombang ombak raksasa itu menghantam Asia dan Afrika—termasuk memporak-porandakan Aceh dan sekitarnya.

Satu hari setelah tragedi itu, wilayah tepi pantai Kenya seperti lautan sampah. Batu-batu dan pasir dan kerikil dan lumpur dan tulang belulang naik ke daratan, bersama mayat-mayat bergelimpangan—sebagian masih berpakaian, sebagian telanjang, sebagian bahkan telah berantakan.

Tugas besar dibebankan ke pundak mereka yang selamat, dan orang-orang yang terlepas dari bencana itu kini berusaha menyelamatkan yang masih bisa diselamatkan, menguburkan yang harus dikuburkan, membenahi yang harus dibenahi, sementara sebagian yang lain mencari-cari anggota keluarganya yang hilang sambil berurai air mata.

Berpuluh-puluh penduduk desa tepi Pantai Malindi bersama para aparat setempat bekerja bahu-membahu seusai bencana besar itu, mengangkat mayat-mayat, menguburkan anggota keluarga mereka, dan membersihkan lingkungan dari puing-puing, juga mencari-cari anggota keluarga yang hilang.

Di antara rombongan itu terdapat seorang anak muda bernama Owen Saubion. Ia mencari-cari anggota keluarganya yang hilang, dan menyusuri tepian pantai. Pada waktu itulah Owen menyaksikan pemandangan ganjil sekaligus mengenaskan yang membuat hatinya menangis. Di atas sebuah batu karang, seekor bayi kuda nil tengah meringkuk lemas. Usia hewan itu diperkirakan baru satu tahun, dan mungkin ia telah kehilangan induknya akibat bencana tsunami, sebagaimana Owen yang juga kehilangan keluarganya.

Kondisi kuda nil itu sangat memprihatinkan. Sebagai penduduk yang tinggal di desa itu, Owen dapat memastikan, kuda nil itu terjebak di antara gelombang laut dan derasnya air dari muara Sabaki River. Dengan lembut, Owen mengangkat bayi kuda nil itu, dan berusaha menolongnya, merawat luka-lukanya.

Setelah memberikan perawatan secukupnya, Owen membawa bayi kuda nil itu ke Haller Park dekat Mombasa, sebuah taman suaka margasatwa milik Lafarge Eco Systems East African Farm. Di suaka margasatwa Haller Park itulah, kisah cinta yang akan menggetarkan dunia dimulai.

Oleh pengurus suaka margasatwa, bayi kuda nil itu diberi nama Owen, sesuai nama penyelamatnya. Petugas di sana menempatkannya di sebuah area untuk hewan-hewan kecil, karena Owen masih tergolong bayi. Selain itu, jika Owen ditempatkan di lokasi kawanan kuda nil, dikhawatirkan ia akan diserang kawanan kuda nil lain yang tak mengenalnya. Kuda nil sangat agresif dan “fanatik” pada kawanannya, sehingga kuda nil yang dianggap asing bisa terbunuh.

Ketika pertama kali dilepaskan di tempat itu, Owen masih bingung, karena menempati lingkungan baru. Namun, setelah merasa sedikit nyaman, Owen langsung menatap dan tertarik pada seekor kura-kura bernama Mzee.

Mzee adalah spesies kura-kura Aldabran berusia 130 tahun, dengan berat 700 pound (320 kilogram). Dalam bahasa Swahili, Mzee memiliki arti “wise old man” (si tua bijaksana), dan kura-kura itu merupakan penghuni lama sebuah area yang dilengkapi kolam asri serta hutan buatan. Sebelumnya, selama bertahun-tahun, Mzee hidup sendirian. Pada kura-kura tua itulah kuda nil bernama Owen menunjukkan ketertarikannya.

Ketika pertama kali Owen mendekati Mzee, kura-kura itu sama sekali tak mempedulikannya. Tetapi Owen menunjukkan ketulusan ingin bersahabat dengannya, dan setiap hari Owen terus berusaha mendekatinya. Hari demi hari, Owen selalu mengikuti Mzee ke mana pun ia pergi, meski terus-menerus diacuhkan. Akhirnya, pelan namun pasti, Owen berhasil mengambil hati Mzee. Seiring waktu dan kegigihan Owen mendekatinya, Mzee akhirnya menerima kehadiran kuda nil muda itu.

Berminggu-minggu kemudian, keduanya sudah tampak akrab. Owen menganggap Mzee sebagai induknya, sementara Mzee menganggap Owen sebagai anak asuhnya. Tidak hanya sebatas kiasan, hal itu benar-benar terjadi dalam kenyataan. Mzee selalu menjaga Owen dengan kelembutan, sementara Owen selalu mematuhi dan senang bermain dengan Mzee.

Ikatan persahabatan mereka mengental bagai sebuah keluarga, meski keduanya jelas-jelas berbeda spesies. Para perawat hewan di Haller Park bingung dengan tingkah dua hewan itu, karena mereka benar-benar bagaikan induk dan anak dari satu spesies yang sama. Apa yang disantap Mzee juga disantap Owen, di mana Owen tidur di situ pasti ada Mzee. Mereka selalu bermain air di kolam bersama, makan bersama, tidur bersama, dan berjalan-jalan keliling area taman bersama-sama pula.

Satu tahun berlalu, dan kedua hewan beda spesies itu semakin lengket, tak terpisahkan lagi, bagaikan anak dengan orangtua kandungnya.

Kenyataan itu mengejutkan sejumlah besar ilmuwan di dunia yang mendengarnya. Bukan saja karena peristiwa seperti itu belum pernah terjadi, tetapi Owen dan Mzee juga telah mengembangkan “bahasa” mereka sendiri sebagai sistem komunikasi di antara keduanya. Bahasa komunikasi lewat suara yang mereka gunakan itu sama sekali belum pernah ditemukan dalam kelompok kuda nil ataupun kura-kura Aldabran.

Suara dalam nada tertentu dari Mzee, akan direspon oleh Owen secara tepat. Begitu pula sebaliknya, suara dalam nada tertentu dari Owen direspon Mzee secara tepat pula. Selain itu, keduanya juga mengembangkan bahasa tubuh yang hanya mereka berdua pahami, seperti gigitan lembut, sentuhan, dorongan, dan belaian, yang masing-masing direspon sebagai suatu kode untuk melakukan sesuatu atau ungkapan kasih sayang di antara keduanya.

Setelah mengejutkan para ilmuwan, keunikan persahabatan Owen dan Mzee pun menjadi fenomena yang menggemparkan dunia. Sepanjang sejarah dunia hewan, belum pernah ada kisah kasih yang begitu tulus di antara dua spesies berbeda, yang berlangsung hingga bertahun-tahun.

Tingkah laku dan komunikasi unik yang sama sekali baru dalam dunia zoologi itu membuat Owen dan Mzee menjadi selebritas dunia. Berbagai majalah meliput mereka, koran-koran memberitakan kisah keduanya, televisi menayangkan keindahan cinta itu, sementara sejumlah besar foto, film, dokumentasi, bahkan buku dan artikel, mengulas teka-teki besar persahabatan mereka.

Owen dan Mzee pun menjadi lambang cinta dan persahabatan yang tidak mengenal batasan fisik, ras, spesies, dan teritori. Owen, yang kehilangan induknya, menemukan pengganti yang bijak dan tulus, sementara Mzee yang sebatangkara menemukan anak asuh yang penuh kasih.

Kedua hewan itu bahkan telah melampaui cinta yang dimiliki manusia, yakni cinta yang menembus batas perbedaan yang terus-menerus menjadi akar peperangan di antara sesama anak manusia. Bagi Owen dan Mzee, ketulusan cinta kasih dan persahabatan tak mengenal perbedaan yang dikenal manusia.

 
;