Rabu, 27 Juni 2012

Perempuan Pemeluk Sunyi

berapa umur bumi ketika kutulis
cintaku padamu?

Omi Intan Naomi


Bayangkan seorang perempuan cantik, cerdas, berwawasan luas, dan fasih berbahasa asing. Mungkin sosok semacam itu biasa muncul di dunia selebritas dan hiruk-pikuk dunia hiburan yang memang menyuguhkan “keindahan ragawi”. Dan, mungkin pula perempuan yang memiliki kualitas semacam itu akan buru-buru pergi ke panggung selebritas—tempat yang mungkin ia pikir takdirnya berada.

Tapi tidak dengan Omi Intan Naomi. Putri penyair dan budayawan Darmanto Jatman itu memiliki semua kualitas yang dibutuhkan di dunia selebritas, namun ia memilih menjalani hidup yang sunyi.

Setelah lulus dari Jurusan Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Omi memutuskan untuk mulai menjalani hidup yang dipilihnya sendiri—dalam sunyi. Ia hidup sendirian, tanpa keluarga, dan dalam kesunyian itu ia melahirkan banyak karya—buku, esai, puisi, fiksi, artikel-artikel di web, dan menerjemahkan buku-buku kebudayaan untuk para penerbit di Yogya dalam jumlah tak terhitung banyaknya.

Bahkan skripsinya, yang berjudul “Analisis Kebebasan Pers Dalam Rubrik Pojok Surat Kabar Kompas dan Suara Karya” (setebal 330-an halaman) diterbitkan dalam bentuk buku, berjudul “Anjing Penjaga”.

Karena pengetahuan dan wawasannya yang amat luas, Omi menjadi salah satu ikon paling bersinar dalam belantara literasi dan budaya Nusantara. Tidak hanya kebudayaan Indonesia yang dikuasainya, Omi juga mendalami budaya-budaya negara lain, semisal Jepang, dan dia fasih membicarakan budaya Samurai, animasi, komik manga, serta semiotika budaya.

Kedalaman pengetahuan dan luasnya wawasannya juga terlihat dalam banyak buku karyanya—Gegar Gender (2000), Kata Kunci (2001), Planet Loco (2002), juga buku-buku berbahasa Inggris, yang salah satunya berjudul Dog Days Eve (2002). Jauh-jauh hari sebelum menerbitkan buku-bukunya, Omi juga telah menulis beberapa buku kumpulan puisi, di antaranya “Aku Ingin”, “Sajak-sajak Omi”, “Sajak sebelum Tidur”, dan beberapa antologi puisi bersama para penyair Indonesia.

Namanya mungkin tidak populer di kalangan remaja alay, mereka bahkan mungkin sama sekali tidak pernah mendengar namanya. Tetapi, bagi para kutubuku dan para pecinta bacaan berwawasan, nama Omi Intan Naomi adalah “jaminan mutu” yang karyanya harus dibaca dan dipelajari.

Karena banyaknya puisi dan esai-esai kebudayaan yang ditulisnya, hingga penyair Korrie Layun Rampan memasukkan namanya dalam buku “Sastrawan Angkatan 2000”. Namun, berbeda dengan ayahnya yang sering muncul di panggung-panggung publik, Omi memilih menarik dirinya dari publik.

Orang-orang membaca tulisan-tulisannya, orang-orang mengenal namanya, tetapi mereka tak pernah menyaksikan sosoknya—dan Omi memilih kondisi semacam itu. Sesekali, orang-orang juga menemukan namanya tertera di katalog-katalog pameran seni sebagai penerjemah, namun hanya sebatas itu. Sosoknya tak pernah terlihat, dan Omi sendiri tak pernah tergoda menjadi selebriti.

Bahkan ketika aktif di dunia maya sekali pun, Omi tetap memilih untuk menjadi sosok “tak dikenal”. Menyadari nama aslinya telah terkenal, dia memilih untuk menyamarkan namanya menjadi “Nina Wilhelmina”. Dan dengan nama itu ia membuat web, menulis banyak catatan (hampir semuanya berbahasa Inggris), serta aktif berkomunikasi dengan orang-orang dari seluruh dunia.

Melalui tulisan-tulisannya di web, Omi menjelaskan berbagai kebudayaan Indonesia—huruf-huruf Jawa, seni tari, makanan-makanan tradisional, politik serta budaya—dan semuanya itu ia lakukan karena kesadaran dirinya sendiri, bukan karena menjadi Duta Pariwisata karena terpilih menjadi Putri Indonesia. Dalam kesunyian yang dipeluknya, dia telah bersuara jauh lebih keras dibanding yang dapat dilakukan presenter televisi yang biasa meributkan gosip setiap hari.

Bagi para penulis Indonesia, Omi Intan Naomi adalah penulis super-produktif yang sulit ditandingi. Ia menulis nyaris 24 jam setiap hari, dan tulisannya tersebar dari buku, artikel koran, sampai catatan-catatan lepas di internet. Selebihnya, ia membiarkan publik hanya mengenal namanya—karena dari beribu-ribu orang yang pernah membaca tulisan-tulisannya, hanya segelintir saja yang pernah menyaksikan sosoknya.

Ia mencintai menulis dalam arti sesungguhnya—menulis karena cinta, tanpa pamrih, tanpa pretensi.

Ia hanya mencintai menulis, karena dalam menulislah ia menyentuh keheningan, memeluk kesunyian. Di antara sekian juta perempuan yang berdesakan di pintu panggung selebritas untuk menunjukkan diri pada dunia, seorang perempuan memilih menjauh dan membiarkan dunia lewat di hidupnya.

Padahal, banyak orang tahu bahwa jika Omi mau, dunia televisi dan panggung selebritas terbuka lebar untuknya. Dia mempunyai penampilan yang enak dipandang, memiliki kualitas otak yang tak diragukan, menguasai kemampuan menulis dan berbicara yang fasih—itu pun masih ditunjang nama besar ayahnya yang sangat dikenal publik Indonesia.

Tetapi, Tuhan tahu, bukan hiruk-pikuk ketenaran semacam itu yang diinginkannya, melainkan kekhusyukan dalam kesunyian. Alih-alih pergi ke Jakarta untuk menembus jantung popularitas, Omi lebih memilih tinggal di sebuah desa tak terkenal di Yogyakarta, yang mungkin bahkan belum masuk peta. Dalam hening dan sunyi, wajah dunia tak menarik lagi.

Dan keheningan serta kesunyian itu pun kemudian benar-benar mendekapnya. Suatu hari, saat bercakap dengan ibunya, ia berkata dengan nada bercanda, “Ibu, aku duluan meninggal.”

Ibunya tidak pernah membayangkan bahwa ucapan itu akan menjadi kenyataan. Omi tahu hidupnya tidak akan lama, dan dia telah menggunakan hidupnya yang amat singkat itu untuk melahirkan banyak karya, sebagai warisannya untuk dunia.

Pada tahun 2004, Omi Intan Naomi menulis karyanya yang terakhir, “Song of Silence”, dan itu menjadi tulisan terakhirnya di dunia fana, karena setelah itu ia tak mampu menulis lagi. Radang selaput otak atau meningitis mendamparkannya di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta—hingga saat kematiannya.

Pada 5 November 2006, pukul 19.40, bunyi panjang kardiografi di ruang perawatannya mengantarkan kepergiannya yang terakhir… menuju keabadian sunyi.


aku mencintaimu tanpa pernah berpaling
dan membandingkan kamu dengan yang lain

sebab udara yang kuhirupi itu ada di sini
air yang mengalir itu di sini
dan nyawaku tertanam di sini
entah kapan—tapi pasti.

Omi Intan Naomi

Membeli Kompor itu Penting

Suatu pagi, tiba-tiba saya mendapatkan ilham brilian. “Membeli kompor itu penting,” kata saya pada diri sendiri.

Maka, siang harinya, saya pun pergi ke pasar untuk membeli kompor.

Ketika sedang asyik memilih-milih kompor di sana, seorang kawan yang kebetulan lewat datang nyamperin, “Hei, pal, sedang apa kamu di sini?”

“Eh, ini, lagi beli kompor.”

“Beli kompor?” teman saya heran. “Uh, kenapa kamu beli kompor?”

Saya menjawab dengan yakin, “Karena membeli kompor itu penting!”

“Heh…?” teman saya makin heran. “Bisa kasih alasan kenapa membeli kompor itu penting?”

“Karena, setelah mati, kita tidak bisa membeli kompor.”

Lalu teman saya pun ikut membeli kompor.

Selasa, 19 Juni 2012

Bonasera Si Tukang Mayat

Kalian akan menangis seperti aku menangis—akan kubuat kalian
menangis sebagaimana anak-anak kalian membuatku menangis.
Amerigo Bonasera, dalam The Godfather


Amerigo Bonasera adalah warga New York yang berprofesi sebagai pengurus mayat. Bila ada orang meninggal dunia, keluarganya akan membawa si mayat kepada Bonasera untuk dipersiapkan sebelum dikuburkan. Sebagai bagian masyarakat, Bonasera adalah warga yang baik. Ia taat hukum, selalu membayar pajak, tak pernah melanggar lalu lintas, dan percaya pada keadilan negaranya, Amerika.

Bagi Bonasera, Amerika adalah surga tempatnya membangun hidup, memperoleh penghasilan, dan membesarkan anak-anaknya. Orang yang jujur dan polos, itulah Amerigo Bonasera. Ia selalu baik pada orang lain, dan menjauhi hal-hal yang dilarang. Ia pun selalu membayangkan dunia akan memperlakukannya secara baik, dengan jujur, sebagaimana ia tak pernah menyakiti siapa pun.

Tetapi bayangannya keliru. Suatu hari, anak perempuannya nyaris diperkosa dua orang pemuda berandal. Anak perempuan Bonasera berhasil melawan, tetapi tubuhnya hancur karena dihajar. Si anak perempuan masuk rumah sakit dengan luka-luka parah. Hati Bonasera hancur. Dengan segala itikad baik sebagai warga negara yang baik, ia pun melaporkan kejahatan yang menimpa putrinya ke kantor polisi.

Kantor polisi menindaklanjuti laporan Bonasera, dan dua berandal itu pun ditangkap, lalu diajukan ke pengadilan. Yang jadi masalah, berandal-berandal keparat itu rupanya anak-anak politisi Amerika. Si politisi—yang tentu tidak ingin putranya masuk penjara—mengatur supaya polisi dan hakim dan pengacara dan pengadilan membebaskan putranya.

Jadi begitulah. Dua berandal itu memang diajukan ke pengadilan, tetapi putusan hakim memberi mereka kebebasan. Bonasera patah hati. Dan sakit hati. Selama ini ia menjadi warga negara yang baik, jujur, tak pernah menyakiti siapa pun, dan percaya Amerika akan membalas semua kebaikannya. Tapi Amerika mengkhianatinya. Dua berandal yang telah merusak putrinya dibebaskan, sementara putrinya masih terkapar penuh luka di rumah sakit sambil terus mengerang.

Bonasera tahu, bajingan-bajingan itu telah menipu dirinya. Para politisi itu pasti telah menggunakan uang dan kekuasaannya, dan pengadilan yang disaksikannya hanya sandiwara.

Apa yang harus dilakukan Bonasera untuk mendapatkan keadilan? Pengadilan yang ia harapkan bisa memberinya keadilan ternyata telah menelikungnya. Dua berandal keparat yang seharusnya masuk penjara justru dibebaskan tanpa hukuman. Amerika yang dipercayainya sebagai surga telah menimpakan bencana untuknya. Apa yang harus dilakukan orang jujur dan lugu seperti dirinya?

Bonasera tidak mungkin datang ke kantor polisi, karena tugas polisi sudah selesai dan kasus itu telah dilimpahkan ke pengadilan. Ia juga tidak mungkin menuntut pengadilan yang telah berlaku curang, karena bisa jadi ia malah dituntut melakukan penghinaan pada pengadilan. Lebih dari itu, Bonasera juga tidak mungkin menemui si politisi yang anak-anaknya telah merusak putrinya, karena yang pasti dihadapinya hanyalah omong kosong birokrasi. Tak ada yang bisa ditemui Bonasera. Tak ada yang bisa diharapkannya.

Tetapi ia kemudian ingat. Masih ada Don Corleone, seorang teman yang dulu dikenalnya. Masih ada Sang Godfather. Maka ia pun datang kepada Sang Don, memohon pertolongannya. Saat itu, Bonasera percaya, dan tahu, hanya Don Corleone yang bisa memberikan keadilan untuknya.

Don Corleone adalah imigran Italia yang menetap di Amerika, dan membangun keluarga mafia. Kekuasaan Don Corleone sebagai pemimpin mafia nyaris menyamai kekuasaan petinggi negara. Ia memiliki uang dalam jumlah berlimpah, jaringan bisnis yang menjalar bagai gurita, orang-orang dalam jumlah tak terhitung yang sangat setia kepadanya, ia pun memiliki berbagai koneksi—dari kantor polisi sampai kantor menteri.

Hampir semua orang yang cukup waras di Amerika akan berpikir seribu kali jika ingin membuat masalah dengan Don Corleone. Bahkan namanya pun sudah cukup untuk membuat orang gentar mendengarnya. Kalau kau berteman dengannya, kau bisa yakin tak akan ada yang berani mengganggumu. Kalau kau mengkhianatinya, kau bisa mengucapkan selamat tinggal pada hidupmu.

Kepada orang itulah Bonasera datang, untuk minta pertolongan, agar Don Corleone membalaskan sakit hatinya. Kepada pemimpin mafia itulah, Bonasera berharap memperoleh keadilan sebenarnya, keadilan yang tidak diberikan Amerika kepada warganya yang lemah.

Yang jadi masalah, selama ini Bonasera menjauhi Don Corleone. Ia tahu Don Corleone bajingan berbahaya, dan Bonasera tidak ingin tersangkut-paut dengannya. Bonasera adalah warga taat hukum, tidak pernah melakukan pelanggaran apa pun, dan selama ini ia pikir berkawan dengan Don Corleone hanya akan mendatangkan masalah. Tetapi justru itulah sekarang yang jadi masalahnya.

Ketika Amerigo Bonasera datang menemuinya, sikap Don Corleone dingin. Ia tahu si pengurus mayat selama ini menjauh darinya, meski sebenarnya mereka saling mengenal. Sekarang, Bonasera memohon pertolongan sambil menangis, agar Don Corleone menolong membalaskan sakit hatinya. Berandal-berandal keparat itu harus mendapatkan balasan setimpal, kata Bonasera, suatu balasan yang tidak diberikan pengadilan Amerika.

“Kau menganggap Amerika surga,” sindir Don Corleone pada Bonasera. “Kau mendapat pekerjaan yang baik, kehidupan yang menyenangkan, kau berpendapat dunia tempat yang tidak berbahaya, tempat kau bisa mendapat kesenangan sesuka hatimu. Kau tidak pernah mempersenjatai diri dengan sahabat sejati. Toh polisi menjagamu, ada pengadilan, kau dan keluargamu tidak mungkin mendapat celaka. Kau tidak memerlukan Don Corleone. Bagus. Aku tersinggung, tapi aku bukan jenis orang yang suka memaksakan persahabatan pada mereka yang tidak menghargainya—pada mereka yang meremehkan diriku. Dan sekarang kau datang padaku.”

Kemudian, dengan lembut, Don Corleone berujar, “Kenapa kau awalnya takut memberikan persahabatanmu kepadaku? Kau pergi ke pengadilan dan menunggu berbulan-bulan. Kau mengeluarkan uang untuk membayar pengacara yang mengetahui kau akan dibodohi. Kau menerima keputusan hakim yang menjual diri seperti pelacur paling busuk di jalanan.”

Setelah terdiam sesaat, Don Corleone melanjutkan, mengenangkan masa lalu mereka, “Bertahun-tahun lalu, kalau membutuhkan uang, kita pergi ke bank dan membayar bunga yang mencekik leher, menunggu dengan topi di tangan seperti pengemis, sementara mereka mengendus-endus ke sana kemari dan memastikan kita bisa mengembalikan pinjaman. Tapi seandainya dulu kau datang kepadaku, dompetku akan menjadi milikmu. Seandainya kau dulu datang padaku untuk meminta keadilan, sampah masyarakat yang merusak putrimu pasti sudah mengalirkan air mata getir hari ini. Seandainya karena suatu kesialan orang jujur seperti dirimu mendapat musuh, mereka akan menjadi musuhku…”

Saat itulah, akhirnya, Bonasera menundukkan kepala dan menggumam dengan suara tercekik, “Jadilah sahabat saya. Saya menerima.”

“Bagus,” ujar Don Corleone. “Kau akan mendapatkan keadilan.”

Dan “keadilan” yang dijanjikan Don Corleone benar-benar keadilan yang “setimpal”. Suatu malam, di tempat yang telah ditentukan, dua bocah berandal anak para politisi itu dihajar habis-habisan oleh anak buah Don Corleone, hingga tak bisa dikenali lagi. Wajah mereka hancur, seluruh tulang mereka remuk, tubuh mereka rusak parah, dan bisa dipastikan mereka akan menginap di rumah sakit hingga berbulan-bulan, dengan selang-selang berseliweran dan operasi tambal sulam.

Itulah keadilan, pikir Bonasera. Karena Amerika mengkhianatinya, Bonasera pun memberikan kepercayaannya kepada pemimpin mafia. Jika negaranya tak bisa dipercaya, mafia adalah sahabat yang paling dapat dipercaya. Bagi birokrasi pemerintah, siapa yang berkuasa dan punya uang akan menang. Bagi keluarga besar mafia, siapa yang setia akan mendapat penghargaan setimpal.

....
....

Kisah di atas saya adaptasi dari novel klasik karya Mario Puzo, The Godfather. Itu salah satu novel terbaik yang pernah saya baca.

Selama membacanya, saya terpesona dan kagum pada tokoh-tokoh yang diciptakan Mario Puzo dalam novel itu. Selama membacanya pula, saya terus merasa dihimpit oleh paradoks—kebusukan pemerintah, dan kejujuran para bajingan. Jika kita harus memilih, manakah yang akan kita pilih? Berpihak kepada pemerintah korup yang memangsa rakyatnya, ataukah kepada para bajingan mafia yang dapat dipercaya?

Jika aparat negara yang ditugaskan mengayomi masyarakat justru menjadi monster menakutkan bagi masyarakat, jika pajak yang kita bayarkan pada negara ternyata dihambur-hamburkan dan hanya membuat kenyang segelintir orang, jika wakil rakyat yang kita pilih dan kita percaya justru berkhianat, jika pengadilan yang kita harapkan bisa memberikan keadilan ternyata menjadi tempat orang memainkan peran bayaran… masih mampukah kita mempercayai mereka?

Titik nadir sebuah negara adalah ketika lembaga yang seharusnya dihormati tak bisa menjaga kehormatan diri, ketika orang-orang yang seharusnya menjadi panutan justru menampakkan wujud bajingan, ketika uang dan kekuasaan menggerus kejujuran dan menindas si lemah, ketika para wakil rakyat justru sibuk menciptakan undang-undang untuk memeras rakyat.

Dan untuk apa pun yang telah sampai di titik nadir, sebuah paradoks tak terbayangkan selalu dimulai.

Menggalau Kepada Tuhan

Tuhan, apakah Kau masih menciptakan wanita yang seperti itu?

Bilang iya, Tuhan. Bilang Iya.

....
....

*Galau*
 
Kamis, 14 Juni 2012

Jadi, Bagaimana Hubungan Raffi dengan Yuni?

Lagi suka istilah ini: Eleganistas.
@noffret


Salah satu berita asmara paling hangat di Indonesia akhir-akhir ini adalah hubungan yang dijalin Raffi Ahmad dengan Yuni Shara. Sebenarnya sih berita percintaan antar artis bukan hal istimewa, karena beberapa artis sepertinya memang suka gonta-ganti pacar agar infotainment selalu punya berita. Tapi hubungan percintaan antara Raffi dengan Yuni jadi terkesan istimewa, karena latar belakang usia mereka.

Yuni Shara lahir pada 3 Juni 1972, dengan nama Wahyu Setyaning Budi. Sementara Raffi Ahmad lahir pada 17 Februari 1987, dengan nama Raffi Faridz Ahmad. Tak usah pedulikan nama asli atau nama lahir mereka, tapi perhatikan perbedaan tanggal lahirnya. Selisih usia antara Yuni dengan Raffi sekitar 15 tahun—Yuni jauh lebih tua (well, atau lebih dewasa) dibanding Raffi.

Karena perbedaan usia yang terlampau jauh itu pulalah yang menjadikan banyak orang gatal membicarakan hubungan mereka—termasuk saya. Umumnya, seperti kita tahu, cowok menjalin hubungan dengan cewek yang usianya relatif lebih muda darinya, atau setidaknya yang seumuran. Yeah, kalaupun tua ceweknya, paling-paling lebih tua satu atau dua tahun.

Raffi Ahmad “melanggar” aturan itu. Dia menjalin hubungan dengan perempuan yang lima belas tahun lebih tua darinya. Tentu saja Raffi tidak salah, karena—setidaknya sejauh ini—belum ada peraturan pemerintah yang menyatakan cowok harus pacaran dengan cewek yang lebih muda. Lebih dari itu, Yuni Shara oke-oke saja jalan sama Raffi, jadi apa salahnya?

Jika kita melihat “track record” Raffi Ahmad, kita tahu dia sebelumnya pernah “jalan bareng” dengan Laudya Chintya Bella, Bunga Zainal, Ratna Galih, Tyas Mirasih, Velove Vexia, dan beberapa lain yang mungkin terlewat dari ingatan saya. Cewek-cewek yang barusan disebutkan itu rata-rata usianya seimbang dengan Raffi—kalau tidak lebih muda, ya seumuran. So, kenapa kemudian Raffi “banting setir” memilih Yuni Shara yang usianya jauh di atasnya?

Sejujurnya, saya tertarik memperhatikan hubungan Raffi dengan Yuni, karena... itu seperti cermin tempat saya melihat diri sendiri. Jauh di lubuk hati, sebenarnya saya juga lebih tertarik pada wanita-wanita dewasa. Ya, ya, mungkin saya berbakat jadi berondong yang budiman. Tetapi, kata Agnes Monica, “Cinta kadang-kadang tak kenal logika.”

Wanita dewasa, di mata saya, entah mengapa jauh lebih mempesona dibanding cewek yang baru lahir kemarin. (Ya iyalaaaaah!). Maksud saya, wanita dewasa yang telah matang sepertinya lebih menarik dibanding cewek ABG yang masih alay. Umpama buah, wanita dewasa tuh seperti buah yang benar-benar matang. Sementara cewek ABG adalah buah yang masih hijau. Jika buah matang rasanya manis, buah yang masih hijau kadang-kadang masih kecut.

Tentu saja bayangan saya bisa keliru. Bisa saja ada cewek ABG yang benar-benar sudah matang dan dewasa melampaui umurnya. Tapi kebanyakan cewek ABG yang pernah saya lihat rata-rata masih alay. Jangankan bisa bersikap dewasa, bahkan menulis dengan baik dan benar pun mereka belum mampu. Mereka sepertinya masih rancu membedakan huruf dan angka, sehingga sering kali mencampur-campurkan keduanya. C0NtohNy4 5Ep3rti 1nI.

Tentu ada pula orang dewasa (dalam hal ini wanita) yang tetap saja alay. Secara umur mungkin dia sudah dapat dibilang dewasa, tapi secara sikap—dan mungkin pikirannya—masih sangat alay. Margaret Thatcher, wanita yang menjadi Perdana Menteri Inggris terkenal itu, pernah bilang, “Menjadi wanita dewasa tidak perlu dikatakan. Orang akan tahu apakah kau wanita dewasa atau bukan.”

I love you, Mrs. Thatcher. Dia merangkum penjelasan psikologi yang membutuhkan berlembar-lembar makalah dalam sebuah kalimat yang simpel. Menjadi wanita dewasa tidak perlu dikatakan, orang akan melihat dari sikap dan perbuatan yang dilakukan. Tak peduli seseorang gembar-gembor sudah dewasa, tapi orang akan mencibir jika sikapnya masih norak dan kekanak-kanakan. Orang dewasa, dalam hal ini wanita dewasa, mampu bersikap elegan.

Elegan—itulah sesuatu yang hanya dimiliki wanita dewasa.

Dan di hadapan wanita dewasa yang elegan, oh well, saya sering merasa... meleleh. Dulu saya tidak tahu apa yang menjadikan saya punya pikiran atau perasaan seperti itu, tapi entah kenapa saya selalu “meleleh” setiap kali bertemu atau berhadapan dengan wanita yang seperti itu—dewasa, dan elegan.

Dalam teori psikoanalisisnya, Sigmund Freud menyatakan bahwa kecenderungan terhadap wanita yang secara usia lebih dewasa dapat digolongkan sebagai oedipus complex. Itu, menurut Freud, adalah desakan dari bawah sadar seorang anak lelaki terhadap kecintaan pada ibunya. Saya pikir, Freud sedang ingin lebay ketika menyatakan teori itu. Kenyataannya dia kemudian meralat teorinya sendiri. Tetapi teori itu pula yang kemudian menuntun saya untuk instrospeksi, dan bertanya pada diri sendiri, mengapa saya punya kecenderungan terhadap wanita dewasa.

Jika saya introspeksi, mungkin dorongan yang membuat saya tertarik pada wanita yang secara usia lebih dewasa, adalah karena jauh di lubuk hati saya menginginkan seorang kakak perempuan. Dalam bayangan saya—yang mungkin keliru—kakak perempuan adalah sosok ideal bagi seorang bocah lelaki.

Seorang ibu mungkin wanita sempurna untuk bocah lelaki, tetapi hubungan antara ibu dengan anaknya pasti terpaut umur yang (sangat) jauh. Berbeda dengan kakak perempuan. Dengan usia yang tak terlalu jauh, seorang kakak perempuan dapat lebih memahami kehidupan adik lelakinya karena hidup pada zaman yang sama, dan menghadapi fenomena sosial yang sama. So, sekali lagi dalam bayangan saya, kakak perempuan adalah tempat sempurna untuk mendapatkan nasihat, juga pelajaran berharga, khususnya dalam hal hubungan antar lawan jenis.

Itulah yang tidak pernah saya miliki, yang sungguh-sungguh ingin saya miliki. Seorang kakak perempuan. Tempat saya dapat bertanya tentang perempuan. Tempat saya bisa memperoleh jawaban yang benar tentang perempuan. Tempat saya belajar untuk dapat benar-benar mengerti dan memahami perempuan. Juga tempat saya bisa curhat menumpahkan beban pikiran dan perasaan tanpa rasa sungkan.

Sejak dulu, saya selalu iri jika melihat teman-teman saya bisa asyik bercanda dengan kakak perempuannya. Saya tidak pernah mengalami pengalaman manis semacam itu karena tidak memiliki kakak, khususnya kakak perempuan. Meski kadang teman-teman saya bercerita mereka lagi dongkol pada kakak perempuannya, tapi saya pikir jauh lebih baik punya kakak perempuan daripada tidak punya. Kakak perempuan, bagi saya, adalah figur wanita ideal.

Mungkin bayangan saya di atas keliru. Tapi mungkin pula karena bayangan itulah kemudian sosok wanita dewasa begitu mengendap di bawah sadar saya, hingga kemudian menciptakan dorongan-tak-sadar untuk selalu “jatuh hati” pada wanita dewasa. Ketika mulai pacaran, saya pun ingat bahwa daya tarik paling besar yang menjadikan saya memilih mereka sebagai pacar adalah karena faktor kedewasaan yang mereka miliki, meski usianya sepadan atau di bawah saya.

Wanita dewasa itu menenteramkan, itulah kesan saya. Tentu saja mereka mungkin masih keluar manjanya—namanya juga wanita. Tapi bahkan kemanjaannya pun terlihat mempesona bagi saya. Mereka itu... oh, well, elegan. Ya, ya, mungkin saya memang berbakat jadi berondong idaman.

So, ketika mendengar berita Raffi Ahmad menjalin hubungan dengan Yuni Shara, saya pun sempat terpikir, “Apakah mungkin Raffi juga merasakan sesuatu seperti yang saya rasakan?”

Mungkin—sekali lagi, mungkin!—Raffi tidak mendapatkan kedamaian yang ia harapkan dari cewek-cewek sebaya yang pernah jalan bareng dengannya. Dan kemudian, dia menemukan Yuni Shara, dan menyaksikan sosok yang sebenarnya ingin ia temukan—sesosok yang entah bagaimana mengendap di bawah sadarnya. Dan menyaksikan Yuni Shara, mungkin Raffi menyadari bahwa itulah sesungguhnya sosok wanita yang diinginkannya.

Yuni Shara tentu berbeda jauh dengan cewek-cewek yang sebelumnya pernah jalan dengan Raffi. Bukan hanya dalam usia, tetapi juga dalam kematangan sikap dan cara menjalani hubungan yang elegan.

Cewek ABG, kau tahu, suka mengirim SMS ke pacarnya hingga berpuluh kali dalam sehari hanya untuk bilang, “Kangeeeeen.” Sekali dua kali mungkin menyenangkan. Tapi setelah puluhan kali, SMS seperti itu benar-benar menjengkelkan juga membosankan. Nah, saya pikir, wanita dewasa mengetahui kenyataan itu, sehingga mereka akan menelepon sepantasnya, mengirim SMS secukupnya, dan bilang kangen tanpa membuat bosan pasangannya.

Wanita dewasa itu mendamaikan. Seperti yang terlihat dalam puluhan foto di internet, saya mendapatkan kesan ekspresi Raffi Ahmad begitu “tenteram” di sisi Yuni. Perhatikan kata dalam tanda kutip itu—tenteram, bukan bangga atau sekadar cengengesan.

Itu berbeda sekali dengan foto-foto pasangan artis yang sebaya. Mereka memang tampak bahagia, mungkin berpose sambil tertawa-tawa—tapi hanya itu. Dalam foto-foto yang membingkai Raffi dan Yuni, memancar aura ketenteraman. Raffi Ahmad tampak lebih dewasa dari umurnya, dan Yuni Shara terlihat matang serta bijaksana. Jika saya menjadi juri pasangan ideal Indonesia, saya akan memilih mereka.

Tapi kemudian saya mendengar hubungan mereka merenggang. Tak tahulah. Dan kemudian muncul berita lagi kalau hubungan mereka kembali erat seperti semula. Tak tahu juga saya. Yang jelas, di antara banyak orang yang mungkin merestui hubungan mereka, saya termasuk yang ikut bahagia di dalamnya. Dan jika mereka memang berjodoh, saya pun berharap dan berdoa, semoga mereka dapat melangsungkan ikatan itu hingga akhir hayat nanti.

Jadi, omong-omong, bagaimana kabar hubungan Raffi dengan Yuni?

Perbedaan Wanita Dewasa dengan Cewek ABG

Tentu saja wanita dewasa dan cewek ABG jelas berbeda, wong umurnya saja sudah berbeda. Tetapi yang membedakan mereka tidak semata usia, karena ada pula cewek ABG yang dapat bersikap dewasa, dan ada wanita dewasa yang sikapnya masih seperti ABG. Menjadi tua itu kepastian, kata pepatah, tapi menjadi dewasa adalah pilihan.

Ada banyak cewek ABG yang memilih untuk dewasa, sehingga mereka pun lebih dewasa dari umurnya. Sebaliknya, ada pula wanita dewasa yang memilih tetap seperti ABG, sehingga mereka pun lebih kekanak-kanakan dibanding usianya. Menjadi tua, secara biologis, adalah kepastian. Tapi menjadi dewasa, secara psikologis, adalah pilihan. Dan rupanya tidak semua orang memilih menjadi dewasa.

Berikut ini perbedaan-perbedaan antara wanita dewasa dengan cewek ABG. Catatan ini hanya opini saya yang tentu subjektif, dan tujuannya hanya untuk lucu-lucuan. So, kalau kenyataannya ada cewek ABG tapi memiliki sifat-sifat serta sikap wanita dewasa, saya ingin menyatakan, “I love you, Girl!”


Ketika bangun tidur

Wanita dewasa: Pergi ke kamar mandi.
Cewek ABG: Update status pakai hape.


Dalam bersikap

Wanita dewasa: Kalem dan elegan.
Cewek ABG: Sok jaim tapi pecicilan.


Menghadapi cowok

Wanita dewasa: Bersikap apa adanya, tidak sok jaim apalagi sok alim.
Cewek ABG: Suka overacting, sok jaim, bahkan tidak jarang sok alim.


Ketika jatuh cinta

Wanita dewasa: Merasa bahagia.
Cewek ABG: Merasa jadi Cinderella.


Ketika pacaran

Wanita dewasa: Bilang kangen setiap hari.
Cewek ABG: Bilang kangen setiap detik.


Urusan kawin

Wanita dewasa: Kawin karena pilihan.
Cewek ABG: Kawin karena sinetron.


Ketika ditolak cowok

Wanita dewasa: Memahami, introspeksi, lapang hati.
Cewek ABG: Tak bisa disebutkan—pokoknya ngeri!


Ketika tertawa

Wanita dewasa: Hahahaaaaa… (tertawa wajar).
Cewek ABG: Nyiahahahaaaa… (dibuat unyu).


Ketika putus

Wanita dewasa: Nangis, tapi menerima dengan lapang.
Cewek ABG: Histeris, memaki-maki mantan di timeline.


Soal pribadi

Wanita dewasa: Percaya diri meski jomblo.
Cewek ABG: Panik gara-gara jadi jomblo.


Soal pacaran

Wanita dewasa: Jujur mengatakan belum pernah pacaran.
Cewek ABG: Belum pernah pacaran, tapi mengaku banyak mantan.


Dalam hidup

Wanita dewasa: Tahu mana urusan pribadi dan mana urusan publik.
Cewek ABG: Mencampurkan urusan pribadi dan urusan publik.


Doa soal jodoh

Wanita dewasa: “Tuhan, berikanlah aku jodoh yang baik.”
Cewek ABG: “Tuhan, berikanlah aku pacar yang funky.”


Ketika membaca catatan ini

Wanita dewasa: Senyum-senyum.
Cewek ABG: Misuh-misuh.

Sabtu, 09 Juni 2012

Seperti Intan, seperti Mutiara (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Pertanyaannya sekarang, mengapa sampai ada seorang cewek 19 tahun yang rela melakukan “penipuan” semacam itu? Mengapa ada orang yang mau-maunya melakukan sesuatu yang tak masuk akal untuk menciptakan kehebohan demi menarik perhatian orang?

Jawabannya telah tampak pada pertanyaan di atas. Untuk mendapatkan perhatian. Kita semua adalah manusia yang lapar—bukan hanya lapar makanan, tetapi juga lapar perhatian, lapar cinta. Karenanya, lawan kata cinta bukan benci, melainkan tidak peduli. Ketidakpedulian adalah musuh cinta, dan ketidakpedulian inilah yang sering menjadi masalah kita, hingga sampai ada orang yang rela melakukan penipuan demi mendapat perhatian dan dipedulikan.

Kita semua butuh diperhatikan—diakui atau tidak. Kadar kebutuhan itu mungkin kecil, karena kita mungkin telah mendapatkan cukup perhatian. Namun, ada pula orang-orang yang sangat membutuhkan perhatian, karena mungkin selama ini jarang atau bahkan tidak pernah diperhatikan apalagi dipedulikan sesamanya. Pameran foto di Facebook, update status bertumpuk di Twitter, salah satunya adalah usaha kita untuk mendapatkan perhatian, untuk dipedulikan—meski mungkin dengan kadar berbeda.

Semakin besar kadar kebutuhan untuk diperhatikan, semakin besar pula upaya yang biasanya dilakukan. Untuk hal itu, ada yang sangat demonstratif memamerkan foto-fotonya, ada yang berteriak-teriak dengan lantang meneriakkan apa saja, sampai ada yang mengaku dapat mengeluarkan butiran-butiran kristal dari air mata. Semuanya sama—ingin diperhatikan, ingin dipedulikan.

Sekitar tahun 2004, ada kasus yang pernah menghebohkan Indonesia, yakni kemunculan sosok yang disebut Kolor Ijo. Makhluk misterius itu digambarkan sebagai siluman bertampang jelek, tubuhnya bulat, perutnya besar, telinganya panjang, mulutnya monyong seperti babi, mukanya bulat, dan memakai celana pendek berwarna hijau. Seorang wanita di Bekasi mengklaim didatangi makhluk itu, dan nyaris diperkosa.

Kabar itu berembus dengan cepat, makin lama makin besar. Televisi dan surat kabar berpesta pora, karena Kolor Ijo sangat laku dijual. Ketika kemudian ada wanita-wanita lain yang mengaku sama—didatangi Kolor Ijo—hampir seluruh Jakarta dicekam kengerian. Pada waktu-waktu itu, ada banyak rumah di Jakarta dan sekitarnya yang sampai memasang potongan bambu kuning dan daun kelor yang ditancapkan di depan rumah, sebagai upaya untuk “menangkal kehadiran Kolor Ijo”.

Tanpa diketahui siapa pun, pihak kepolisian melakukan penyelidikan diam-diam yang tidak diungkap ke media massa. Sejak awal kasus Kolor Ijo merebak di Jakarta, polisi sudah melihat banyak keanehan dan kejanggalan kasus itu, dan diam-diam mereka menelusuri pokok akarnya. Hasilnya terungkap bahwa tiga wanita pertama yang sengaja mengaku didatangi Kolor Ijo terbukti berbohong.

Makhluk misterius yang membuat kegemparan dan ketakutan banyak orang yang disebut Kolor Ijo itu tidak pernah ada. Wanita-wanita itu—secara terpisah—mengakui bahwa mereka telah berbohong. Kepolisian pun kemudian mengumumkan hal itu secara resmi kepada media massa, dan sejak itu masyarakat Jakarta dan sekitarnya mulai dapat bernapas lega, sementara isu keberadaan Kolor Ijo perlahan-lahan mereda.

Sekali lagi, pertanyaannya, mengapa ada orang-orang yang sampai berbohong hingga menimbulkan ketakutan bahkan kepanikan banyak orang lainnya? Sekarang kita telah mengetahui jawabannya. Kita semua lapar perhatian, kita semua ingin dipedulikan. Tetapi sayangnya, di zaman ini, perhatian dan kepedulian memiliki harga yang amat mahal, hingga ada orang-orang yang sampai melakukan hal-hal tak masuk akal untuk mendapatkannya.

Salah satu hal penting menyangkut psikologi manusia adalah kebutuhan untuk diperhatikan. William James menyebutnya “keinginan untuk menjadi hebat”, John Dewey menyebutnya “keinginan untuk menjadi penting”, sementara Sigmund Freud menyebutnya “keinginan untuk menjadi besar”.

Itu fitrah manusiawi, dan keinginan-keinginan itu pun manusiawi. Karena adanya keinginan-keinginan itu pula, manusia berkembang, masing-masing individu berusaha memperbaiki diri, melakukan pencapaian demi pencapaian, berusaha menjadi yang terbaik, demi untuk “menjadi hebat”, “menjadi penting”, atau “menjadi besar”, yang semuanya adalah wujud keinginan untuk diperhatikan dan dipedulikan sesamanya.

Kita melihat orang-orang yang sudah kaya-raya terus berusaha menumpuk harta kekayaannya, tak peduli meski telah disebut dalam golongan “orang paling kaya di dunia”. Kita menyaksikan atlet-atlet menguras tenaga dan berlatih habis-habisan untuk mencapai prestasi mustahil demi bisa disebut “pemecah rekor dunia”. Kita bahkan memiliki tetangga-tetangga yang terus memperbaiki dan memperbesar rumahnya yang sudah mirip istana.

Untuk apa...? “Untuk menjadi penting,” kata John Dewey. “Untuk menjadi hebat,” kata William James. “Untuk menjadi besar,” kata Sigmund Freud.

Karena keinginan-keinginan itu pulalah yang menjadikan orang mengumpulkan banyak gelar, menumpuk-numpuk uang, berbelanja barang-barang mewah, mengoleksi mobil mahal, berusaha masuk televisi dan nampang di koran-koran, sampai berupaya mendapatkan banyak follower di Twitter. Tujuannya sama saja—untuk memuaskan hasrat manusiawi kita yang lapar perhatian, butuh dipedulikan.

Semuanya, tentu saja, sah dan manusiawi. Orang berhak mendapatkan perhatian sebesar-besarnya dengan cara apa pun yang diinginkannya, selama tidak menipu atau bahkan sampai merugikan sesamanya. Bahkan, keinginan untuk diperhatikan itu pula, yang telah mengantarkan banyak orang menjadi besar dan terkenal karena dibakar oleh keinginannya.

Untuk menjadi hebat hingga mampu menarik perhatian dunia, kita tidak perlu mengaku dapat mengeluarkan butiran kristal dari air mata, karena kita dapat mengeluarkan sesuatu yang jauh lebih hebat, lebih berharga, dan lebih mulia, yang sebelumnya tersembunyi di dalam diri kita.

....
....

Lebih dari seratus tahun yang lalu, ada seorang cowok cupu bernama Albert. Lengkapnya Albert Einstein. Cowok itu sering minder di sekolahnya, karena sadar tampangnya jelek, tubuhnya tidak atletis, dan guru-guru di sekolah menganggapnya bodoh. Dengan “modal” yang ancur-ancuran itu, Albert Einstein tahu dia tidak akan mendapakan perhatian apa pun dari teman-temannya, khususnya dari cewek-cewek.

Jadi, ketika menyaksikan cowok-cowok ganteng di sekolahnya asyik bercanda dengan cewek-cewek, Einstein hanya bisa bengong. Ketika teman-temannya yang hebat menjadi pusat perhatian di sekolah, Einstein hanya bisa jadi penonton. Pendeknya, Einstein adalah sosok yang tak pernah dipedulikan, apalagi sampai menjadi perhatian orang-orang. Tetapi, diam-diam, bocah itu bersumpah untuk “balas dendam”.

Menyadari tampangnya jelek, Einstein pun tahu dia tak bisa berharap melakukan make over. Dia juga tidak suka olahraga, dan itu artinya dia tak perlu berharap bisa memiliki tubuh atletis. Einstein pun menyadari, satu-satunya modal miliknya yang masih dapat digunakan untuk menjadikannya hebat hanya otaknya. Meski guru-gurunya menganggapnya bodoh, Einstein tak peduli. Dia akan menggunakan otaknya untuk mendapatkan perhatian dunia.

Jadi begitulah. Sejak itu, Einstein mengubah dirinya menjadi kutu buku, dan mendidik dirinya sendiri dengan amat keras. Ketika teman-temannya asyik bercanda di kantin, Einstein sibuk membaca buku. Ketika teman-temannya sedang pacaran, Einstein sibuk membaca buku. Ketika teman-temannya bolos sekolah, Einstein sibuk membaca buku. Ketika teman-temannya nonton opera sabun atau sedang membeli sabun atau main-main sabun, Einstein sibuk membaca buku.

Einstein mengeluarkan sesuatu yang sebelumnya tersembunyi di dalam dirinya, yakni kecerdasan yang sebelumnya tak dikenal teman-teman dan para gurunya, bahkan yang sebelumnya tak dikenalnya sendiri. Dan ketika ia berhasil mengeluarkan kelebihan yang dimilikinya, efek yang ditimbulkannya jauh lebih dahsyat dari kehebohan yang diciptakan butiran kristal air mata. Seperti intan, seperti mutiara, Einstein menjelma menjadi sosok bersinar, dan sinarnya menarik perhatian dunia, bahkan hingga ia telah meninggal dunia.

Kita semua memiliki intan yang sama, mutiara yang sama, yang sekarang mungkin masih tersembunyi di dalam diri kita. Keberadaannya mungkin belum dikenali, tersembunyi jauh di dalam diri kita, dan masing-masing kita punya hak untuk mengeluarkan serta menunjukkannya kepada dunia.

Ketika masih mentah, intan dan mutiara tak ada bedanya dengan bebatuan biasa. Tampak kusam, dan tak menarik. Orang yang tidak ahli bahkan kadang tak menyadari itu batuan berharga. Tetapi, setelah digosok berulang-ulang, digosok berulang-ulang, dan digosok berulang-ulang, intan dan mutiara yang masih mentah itu pun perlahan-lahan mengeluarkan sinarnya, semakin bercahaya, dan makin mempesona. Ketika itu terjadi, tanpa diminta, dunia akan memperhatikannya.

Seperti Intan, seperti Mutiara (1)

Kita semua memiliki mutiara.
Namun kadang tak tahu di mana tempatnya
Noffret


Baru-baru ini kita dihebohkan berita seorang cewek yang mengeluarkan air mata berbentuk kristal mirip intan atau mutiara. Munculnya air mata kristal itu, konon, sudah terjadi sejak setahun lalu. Kepada siapa pun, cewek ajaib itu menantang, “Kalau ada orang yang tidak percaya, terserah saja!” Dan cewek itu benar-benar mengeluarkan butiran-butiran kristal dari matanya, bahkan hingga seratus butir lebih.

Berdasarkan penuturannya sendiri, ia menangis dan mengeluarkan kristal-kristal itu, jika sedang bahagia, sedang sedih, sedang kesal atau marah. Cewek 19 tahun asal Sumedang itu mungkin keturunan Putri Duyung, sehingga dapat mewujudkan keajaiban tak masuk akal tersebut.

Nyatanya memang tak masuk akal, karena akhirnya terbukti itu cuma akal-akalan. Butir-butir kristal yang diklaim sebagai butir air mata itu semuanya imitasi, dan si cewek pembuat heboh itu dapat mengeluarkan butiran kristal dari matanya dengan trik sederhana—menyelipkannya di balik kelopak mata.

Sebelum kebohongan itu terbongkar, banyak orang berspekulasi dan mengajukan pendapatnya—dari yang paling logis sampai yang paling sinting. Sebagian orang menyatakan bahwa itu pertanda gaib akan datangnya bencana, sementara yang lain berseru, “Itulah bukti kebesaran Tuhan!”

Akhirnya terbukti semuanya sia-sia, dan sekarang semua komentar itu terdengar konyol. Bukan pertanda apa pun, juga bukan bukti kebesaran siapa pun, karena—seperti yang disebutkan di atas—butiran-butiran kristal itu palsu, air mata mutiara itu hanya trik sulap, semua kehebohan itu hanya kebohongan. Satu lagi kisah manusia, dan sudah saatnya kita kembali belajar tentang manusia.

Sebenarnya, secara medis, manusia memang dapat mengeluarkan air mata kristal. Ada tiga kasus medis yang dapat menyebabkan hal itu, dan ketiganya disebut cystinosis, dacryolith, dan conjunctival lithiasis.

Yang pertama, cystinosis, disebabkan kelainan metabolisme dan penyakit genetik. Akibat kelainan itu, terjadi penumpukan kristal—yang berasal dari penumpukan asam amino cysteine dari berbagai organ tubuh—pada kornea conjunctiva (garis dan permukaan mata).

Pengidap cystinosis dapat mengeluarkan butiran-butiran kristal dari matanya, namun ukurannya sangat kecil, sehingga pengidap masalah ini sering kali merasa matanya kemasukan pasir. Kasus terakhir yang sempat terekam atas masalah medis ini adalah kasus yang menimpa Judie Smith, seorang wanita asal Boston, Inggris, yang mengeluarkan kristal-kristal bening seukuran pasir dari matanya.

Yang kedua, dacryolith, adalah kelainan karena keberadaan batu pada saluran pengeluaran air mata, sehingga menimbulkan benjolan di kulit wajah, di bawah kelopak mata. Ketika dikeluarkan, batu-batu kristal itu berwarna kekuningan dan tidak beraturan bentuk serta ukurannya.

Sedang yang ketiga, conjunctival lithiasis, adalah munculnya kristal putih pada selaput lendir mata. Biasanya berupa benjolan berwarna kekuningan di bagian dalam kelopak mata, dan umumnya disebabkan penyakit radang mata yang telah lama serta kronis. Jika dikeluarkan, kristal itu berukuran sekitar 3 milimeter, berwarna kusam kekuningan.

Pada tahun 1996, di Lebanon ada seorang cewek berusia 12 tahun bernama Hasnah Mohammed. Cewek itu mengeluarkan butiran-butiran kristal dari matanya, dan menggemparkan dunia kedokteran. Pasalnya, butiran-butiran kristal itu sama sekali tidak seperti butiran kristal seperti yang layaknya terjadi pada ketiga kasus di atas. Sampai kemudian terbukti bahwa “air mata kristal” itu hanya rekayasa.

Kisah cewek Lebanon itulah yang mungkin “mengilhami” cewek Sumedang di atas untuk melakukan hal yang sama. Dan, seperti yang terjadi di Lebanon, Indonesia pun gempar akibat kemunculannya. Berdasarkan berita-berita yang saya baca, cewek itu “sungguh-sungguh” dalam aktingnya. Ia bahkan dengan meyakinkan bercerita tentang bagaimana proses keajaiban itu sampai terjadi pada dirinya, yang menurutnya berawal dan berasal dari mimpi. Sebuah kisah yang hebat, dan fantastis.

Ketika akhirnya kebohongannya terkuak, dan para dokter membuktikan semua ulahnya hanya rekayasa, saya benar-benar tak tahu lagi bagaimana kabarnya.

Lanjut ke sini.

Déjà vu

Saya ingin sekali menulis tentang déjà vu. Tapi... uh, setiap kali mau menulis topik itu, tiba-tiba saya merasa pernah menulisnya. Jadinya saya merasa déjà vu.

Minggu, 03 Juni 2012

Selera Makan, Selera Baca

Penilaian yang baik datang dari pengalaman.
Pengalaman penting datang dari keputusan keliru.
@noffret


Ternyata, selera makan tidak selalu sama dengan selera baca. Ada orang yang selara makannya sangat mewah, tapi selera bacanya sederhana. Atau, ada pula yang selera makannya sederhana, tapi selera bacanya sangat mewah. Saya termasuk yang kedua. Selera makan saya sederhana, tapi selera bacaan saya (mungkin) tidak sederhana.

Dalam hal makan, saya tidak macam-macam. Asal nasinya keras (tidak lembek), makan dengan lauk apa pun rasanya sudah cukup. Bahkan, sejujurnya, saya tidak terlalu paham—dan mungkin juga tidak doyan—makanan-makanan yang namanya aneh-aneh itu. Karena itulah saya sangat jarang—itu pun kalau terpaksa—masuk ke restoran-restoran mewah.

Pengetahuan dan “kedoyanan” saya seputar makanan sangat sederhana—mungkin hanya sebatas sayur sop, soto ayam, sayur asem, pecel lele, lalapan, dan semacamnya. Di luar itu, mungkin saya akan kebingungan, dan agak ragu-ragu untuk memakannya. Sekadar catatan, saya termasuk orang yang “sulit” dalam hal makan. Jika tidak benar-benar doyan, sering kali saya memang tidak doyan. Dalam hal makan, saya sangat sederhana.

Tapi “sayangnya” kesederhanaan semacam itu tidak terjadi dalam selera baca saya. Membaca buku apa pun, saya akan cepat bosan kalau materinya terlalu mudah, tidak menawarkan hal baru, dan sebagian besar isinya sudah saya tahu. Bahkan, tidak jarang saya sudah mulai bosan ketika baru membaca kalimat pembuka di awal bab, karena menggunakan kata atau kalimat klise.

Kata dan kalimat adalah “alat vital” tulisan. Tulisan bagus tidak hanya ditunjang isi atau materi yang bagus, tetapi juga penggunaan kata serta kalimat yang sama bagusnya, dan tidak klise. Segala yang klise sudah kuno, dan tidak menarik. Jika kita menggunakan kalimat klise, apalagi di bagian awal tulisan, selera pembaca pun segera lenyap.

Bagaimana kita tahu suatu kata atau kalimat tergolong “klise” atau “tidak klise”? Mudah saja, semakin banyak kita membaca, semakin kita tahu mana yang klise dan mana yang tidak klise. Karena itulah semua penulis (atau yang ingin jadi penulis) wajib banyak membaca.

Balik ke selera baca. Dalam membaca novel pun, selera saya agak “sulit”. Semakin rumit plot dan alur kisahnya, saya justru makin bergairah. Saya paling suka novel yang beralur cepat, multi-plot, dengan banyak karakter, setting yang kaya, dan jalan cerita yang berbelit serta tidak mudah diduga. Pokoknya, semakin rumit sebuah cerita, saya makin suka. Contoh sempurna untuk hal ini tentu novel-novel Dan Brown dan Sidney Sheldon.

Sebaliknya, saya sering kali “tersiksa” kalau kebetulan membaca novel yang alurnya datar, ceritanya lambat, bertele-tele, jumlah tokohnya segelintir (sehingga yang diceritakan hanya itu-itu saja), serta jalan ceritanya mudah ditebak—happy ending. Omong-omong, saya lebih suka kisah yang sad ending tapi hebat, daripada happy ending tapi klise dan mudah ditebak.

Klise—inilah musuh utama para penulis. Klise—inilah yang paling dibenci para pembaca, khususnya yang telah banyak membaca. Seorang teman yang berprofesi sebagai editor bahkan sampai bilang, “Untuk tahu apakah sebuah naskah ditulis penulis pemula atau bukan, lihat saja kalimat pembukanya. Jika klise, kemungkinan besar ditulis penulis pemula.”

Seperti apa contoh kata atau kalimat pembuka yang klise? Jika kita membaca sebuah novel, dan bab awalnya diawali dengan suara atau dering telepon, itu klise! Atau si tokoh bangun tidur dan mau sekolah. Atau diawali dengan kalimat “Pada zaman dahulu kala”, atau semacamnya. Bahkan, tulisan yang diawali dengan “Beberapa waktu yang lalu,” saat ini sudah mulai klise—karena seringnya digunakan dan terus-menerus digunakan banyak orang.

Intinya, sesuatu akan dianggap klise apabila telah sering dan banyak digunakan orang. Artinya, untuk membuat tulisan yang baik, kita harus benar-benar orisinal. Untuk dapat orisinal, tentu kita harus banyak belajar, banyak membaca, banyak latihan, dan menulis dengan ciri khas kita sendiri. Kata atau kalimat yang mungkin hebat ketika digunakan orang lain, belum tentu akan hebat pula jika digunakan kita.

Apakah tulisan bagus harus berisi hal-hal hebat? Tidak mesti! Tulisan bagus bukan tentang apa isinya, tetapi lebih pada cara kita menyuguhkannya.

Tulisan bagus bisa berisi hal-hal sederhana, bahkan remeh-temeh, tapi disampaikan dengan baik, dituturkan dengan runtut, sistematis, menggunakan kata dan kalimat yang terpilih, tidak berlebihan (baca: norak), serta sesuai dengan karakter khas kita. Memang akan lebih bagus jika tulisan itu dapat memberikan nilai tambah bagi pembaca—misal wawasan, pengetahuan, inspirasi, atau setidaknya menghibur.

Kadang ada yang menyatakan, “Tidak ada tulisan yang baik atau buruk, yang ada hanya selera masing-masing orang.”

Mungkin memang benar, bahwa selera orang bisa berbeda-beda. Tulisan yang bagus bagi satu orang, belum tentu bagus pula bagi orang lainnya. Tapi dalam standar ukuran profesional, tentu ada batasan yang jelas. Begitu pula dalam standar penilaian tulisan yang bagus. Kalau tidak ada standar yang jelas, dunia penerbitan akan kacau.

Ini tak ubahnya dengan benar dan salah, kan? Bisa saja kita menyatakan, “Tidak ada perbuatan yang benar atau salah, yang ada hanya penilaian masing-masing orang.”

Sekilas, ucapan semacam itu terdengar benar. Tapi jika memang begitu kenyataannya, maka pengadilan akan bubar, pengacara akan jadi pengangguran, polisi dan hakim dan jaksa dan hansip dan satpam akan alih profesi jadi seniman, sementara moral masyarakat akan sampai di tepi jurang. Dalam hidup, tentu ada batasan antara perbuatan benar dan perbuatan salah.

Begitu pula dalam dunia literasi dan penerbitan. Tentu saja ada tulisan bagus dan tulisan buruk. Kalau kita menulis dengan buruk dan ngotot bahwa “tidak ada tulisan baik atau buruk, karena yang ada hanya selera masing-masing orang”, maka sampai kiamat pun kita tidak akan bisa menulis dengan baik. Untuk dapat menulis dengan baik, pertama-tama kita harus mengakui terlebih dulu adanya sistem nilai, dan secara objektif menerimanya.

Jangankan yang masih pemula, bahkan yang telah bertahun-tahun menulis pun kadang masih terjebak menulis dengan buruk. Contohnya saya.

Saya telah menulis secara profesional sejak SMA, karena sejak SMA sudah mulai menulis untuk majalah yang diterbitkan secara profesional, dan saya dibayar secara profesional. Itu artinya sudah lebih dari sepuluh tahun saya menulis. Pengalaman selama sepuluh tahun menulis tentu memberikan banyak pelajaran bagi saya, kan? Nyatanya saya kadang masih menulis dengan buruk.

Apa buktinya? Buktinya saya kadang masih ditolak penerbit. Setiap kali menerima penolakan, dan menerima penjelasan atas kekurangan naskah yang saya tulis, saya pun melihat dan menyadari bahwa saya belum luput dari kekurangan. Dan saya berusaha belajar dari situ, untuk memperbaiki diri, memperbaiki tulisan, sehingga dapat mengurangi—atau bahkan menghilangkan—yang minus, dan mempertahankan—atau kalau bisa meningkatkan—yang sudah bagus.

Mungkin saya punya hak untuk berteriak pada penerbit yang menolak, misalnya dengan mengatakan, “Hei, pal, tidak ada tulisan baik atau tulisan buruk, yang ada hanya selera pembaca!”

Tetapi kalau itu yang saya lakukan, saya akan jadi penulis paling konyol sedunia. Lebih dari itu, saya tidak akan pernah belajar, karena tidak mau menerima dan menyadari kekurangan saya sendiri. Daripada mengutuk penolakan, saya lebih memilih untuk belajar kepadanya. Meski penolakan mungkin menyakitkan, tetapi—jika kita mau berbesar hati menerimanya—akan membuka pikiran kita yang mungkin sebelumnya tertutup karena kita keras kepala.

Nah, omong-omong, kalau kalian ingin melihat contoh konkrit seperti apa tulisan yang buruk, tulisan inilah contohnya. Tulisan yang sedang kalian baca ini adalah salah satu contoh nyata tulisan yang buruk.

Bagaimana tidak buruk? Tulisan ini berjudul Selera Makan, Selera Baca. Di paragraf awal, saya konsisten menjaga tulisan agar sesuai judul. Tapi makin ke bawah, saya makin ngelantur, sehingga makin tidak konsisten dengan judulnya. Ngelantur, kita tahu, adalah hal buruk dalam tulisan.

Sekarang, daripada makin ngelantur dan tidak jelas, sebaiknya saya akhiri saja tulisan ini. Sepertinya saya sudah perlu makan karena perut keroncongan. Dan, seperti yang tertulis di atas, selera makan saya sederhana. Mungkin sebentar lagi saya akan makan pecel lele dengan sambal terasi dan lalapan. Dan segelas teh hangat.

Oh, well, dunia ini rasanya indah sekali jika bisa menikmati nasi keras yang hangat, pecel lele, sambal terasi, lalapan, dan teh hangat dengan jeruk nipis. Apalagi kalau ditemani Maria Ozawa dan Anri Suzuki. Ya, ya, ini makin ngelantur!

Pulang

Pada akhirnya, kita akan berhenti di suatu belokan titik.
@noffret


Aku bisa melemparkan angan ke tempat paling jauh, dan mengikutinya. Aku bisa melangkahkan kaki ke tempat paling jauh, dan menikmatinya. Aku bisa pergi ke ujung mana pun paling tersembunyi, lekuk dunia paling sunyi. Aku pun bisa menyeberangi samudera atau melintasi langit mana pun untuk menjejakkan kaki di tempat yang kuinginkan. Tetapi, pada akhirnya, kapan pun waktunya, aku harus pulang.

....
....

Selalu tiba waktunya untuk pulang, karena jalan sepanjang pertanyaan. Menatap masa lalu yang semakin menjauh, dan menatap esok yang luas terbentang. Selalu ada masanya untuk pulang.

Pada waktu bayangan itu datang, bertahun-tahun lalu, aku membayangkan pada akhirnya adalah permulaan. Sebuah awal untuk mengakhiri, sebuah jeda untuk reffrain tarikan napas.

Dan hari-hari itu berjalan, melangkah. Atau berlari. Pernah ada suatu waktu ketika aku pergi, sendirian, dan memutuskan untuk mengakhiri segalanya. Menyelesaikan mimpi buruk yang tak kunjung selesai—teriakan sunyi kepada langit. Dan luka. Dan tangis.

Satu per satu datang dan pergi. Datang dan pulang. Pada waktu itu aku ingin ikut bersama mereka—pergi, atau pulang, meninggalkan larut gelap malam. Tapi aku bertahan, menyatakan pada diri sendiri bahwa jalan masih panjang…

Berapa panjang waktu itu telah berlalu…? Kadang-kadang, saat duduk sendirian, membayangkan semua itu berkelebatan dalam benak, aku ingin tersenyum dan memaki, menyebutkan apa saja yang dapat kukatakan. Lalu hilang. Hilang lagi.

Mungkin sebenarnya kuhilangkan, karena ingin kulupakan. Tapi ketika malam datang dan kesunyian merobek langit, suara dan bayangan dan mimpi buruk itu kembali bermunculan seperti roh-roh kegelapan dari negeri yang tak kukenal.

Dan sekarang kembali datang. Kembali datang…

Aku rindu. Dan menangis. Aku ingin kembali. Aku ingin pulang.

Pulang kepada pulang.

Makhluk Tuhan Paling Elegan

Di kepalaku.

 
;