Rabu, 27 Juni 2012

Perempuan Pemeluk Sunyi

berapa umur bumi ketika kutulis
cintaku padamu?

Omi Intan Naomi


Bayangkan seorang perempuan cantik, cerdas, berwawasan luas, dan fasih berbahasa asing. Mungkin sosok semacam itu biasa muncul di dunia selebritas dan hiruk-pikuk dunia hiburan yang memang menyuguhkan “keindahan ragawi”. Dan, mungkin pula perempuan yang memiliki kualitas semacam itu akan buru-buru pergi ke panggung selebritas—tempat yang mungkin ia pikir takdirnya berada.

Tapi tidak dengan Omi Intan Naomi. Putri penyair dan budayawan Darmanto Jatman itu memiliki semua kualitas yang dibutuhkan di dunia selebritas, namun ia memilih menjalani hidup yang sunyi.

Setelah lulus dari Jurusan Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Omi memutuskan untuk mulai menjalani hidup yang dipilihnya sendiri—dalam sunyi. Ia hidup sendirian, tanpa keluarga, dan dalam kesunyian itu ia melahirkan banyak karya—buku, esai, puisi, fiksi, artikel-artikel di web, dan menerjemahkan buku-buku kebudayaan untuk para penerbit di Yogya dalam jumlah tak terhitung banyaknya.

Bahkan skripsinya, yang berjudul “Analisis Kebebasan Pers Dalam Rubrik Pojok Surat Kabar Kompas dan Suara Karya” (setebal 330-an halaman) diterbitkan dalam bentuk buku, berjudul “Anjing Penjaga”.

Karena pengetahuan dan wawasannya yang amat luas, Omi menjadi salah satu ikon paling bersinar dalam belantara literasi dan budaya Nusantara. Tidak hanya kebudayaan Indonesia yang dikuasainya, Omi juga mendalami budaya-budaya negara lain, semisal Jepang, dan dia fasih membicarakan budaya Samurai, animasi, komik manga, serta semiotika budaya.

Kedalaman pengetahuan dan luasnya wawasannya juga terlihat dalam banyak buku karyanya—Gegar Gender (2000), Kata Kunci (2001), Planet Loco (2002), juga buku-buku berbahasa Inggris, yang salah satunya berjudul Dog Days Eve (2002). Jauh-jauh hari sebelum menerbitkan buku-bukunya, Omi juga telah menulis beberapa buku kumpulan puisi, di antaranya “Aku Ingin”, “Sajak-sajak Omi”, “Sajak sebelum Tidur”, dan beberapa antologi puisi bersama para penyair Indonesia.

Namanya mungkin tidak populer di kalangan remaja alay, mereka bahkan mungkin sama sekali tidak pernah mendengar namanya. Tetapi, bagi para kutubuku dan para pecinta bacaan berwawasan, nama Omi Intan Naomi adalah “jaminan mutu” yang karyanya harus dibaca dan dipelajari.

Karena banyaknya puisi dan esai-esai kebudayaan yang ditulisnya, hingga penyair Korrie Layun Rampan memasukkan namanya dalam buku “Sastrawan Angkatan 2000”. Namun, berbeda dengan ayahnya yang sering muncul di panggung-panggung publik, Omi memilih menarik dirinya dari publik.

Orang-orang membaca tulisan-tulisannya, orang-orang mengenal namanya, tetapi mereka tak pernah menyaksikan sosoknya—dan Omi memilih kondisi semacam itu. Sesekali, orang-orang juga menemukan namanya tertera di katalog-katalog pameran seni sebagai penerjemah, namun hanya sebatas itu. Sosoknya tak pernah terlihat, dan Omi sendiri tak pernah tergoda menjadi selebriti.

Bahkan ketika aktif di dunia maya sekali pun, Omi tetap memilih untuk menjadi sosok “tak dikenal”. Menyadari nama aslinya telah terkenal, dia memilih untuk menyamarkan namanya menjadi “Nina Wilhelmina”. Dan dengan nama itu ia membuat web, menulis banyak catatan (hampir semuanya berbahasa Inggris), serta aktif berkomunikasi dengan orang-orang dari seluruh dunia.

Melalui tulisan-tulisannya di web, Omi menjelaskan berbagai kebudayaan Indonesia—huruf-huruf Jawa, seni tari, makanan-makanan tradisional, politik serta budaya—dan semuanya itu ia lakukan karena kesadaran dirinya sendiri, bukan karena menjadi Duta Pariwisata karena terpilih menjadi Putri Indonesia. Dalam kesunyian yang dipeluknya, dia telah bersuara jauh lebih keras dibanding yang dapat dilakukan presenter televisi yang biasa meributkan gosip setiap hari.

Bagi para penulis Indonesia, Omi Intan Naomi adalah penulis super-produktif yang sulit ditandingi. Ia menulis nyaris 24 jam setiap hari, dan tulisannya tersebar dari buku, artikel koran, sampai catatan-catatan lepas di internet. Selebihnya, ia membiarkan publik hanya mengenal namanya—karena dari beribu-ribu orang yang pernah membaca tulisan-tulisannya, hanya segelintir saja yang pernah menyaksikan sosoknya.

Ia mencintai menulis dalam arti sesungguhnya—menulis karena cinta, tanpa pamrih, tanpa pretensi.

Ia hanya mencintai menulis, karena dalam menulislah ia menyentuh keheningan, memeluk kesunyian. Di antara sekian juta perempuan yang berdesakan di pintu panggung selebritas untuk menunjukkan diri pada dunia, seorang perempuan memilih menjauh dan membiarkan dunia lewat di hidupnya.

Padahal, banyak orang tahu bahwa jika Omi mau, dunia televisi dan panggung selebritas terbuka lebar untuknya. Dia mempunyai penampilan yang enak dipandang, memiliki kualitas otak yang tak diragukan, menguasai kemampuan menulis dan berbicara yang fasih—itu pun masih ditunjang nama besar ayahnya yang sangat dikenal publik Indonesia.

Tetapi, Tuhan tahu, bukan hiruk-pikuk ketenaran semacam itu yang diinginkannya, melainkan kekhusyukan dalam kesunyian. Alih-alih pergi ke Jakarta untuk menembus jantung popularitas, Omi lebih memilih tinggal di sebuah desa tak terkenal di Yogyakarta, yang mungkin bahkan belum masuk peta. Dalam hening dan sunyi, wajah dunia tak menarik lagi.

Dan keheningan serta kesunyian itu pun kemudian benar-benar mendekapnya. Suatu hari, saat bercakap dengan ibunya, ia berkata dengan nada bercanda, “Ibu, aku duluan meninggal.”

Ibunya tidak pernah membayangkan bahwa ucapan itu akan menjadi kenyataan. Omi tahu hidupnya tidak akan lama, dan dia telah menggunakan hidupnya yang amat singkat itu untuk melahirkan banyak karya, sebagai warisannya untuk dunia.

Pada tahun 2004, Omi Intan Naomi menulis karyanya yang terakhir, “Song of Silence”, dan itu menjadi tulisan terakhirnya di dunia fana, karena setelah itu ia tak mampu menulis lagi. Radang selaput otak atau meningitis mendamparkannya di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta—hingga saat kematiannya.

Pada 5 November 2006, pukul 19.40, bunyi panjang kardiografi di ruang perawatannya mengantarkan kepergiannya yang terakhir… menuju keabadian sunyi.


aku mencintaimu tanpa pernah berpaling
dan membandingkan kamu dengan yang lain

sebab udara yang kuhirupi itu ada di sini
air yang mengalir itu di sini
dan nyawaku tertanam di sini
entah kapan—tapi pasti.

Omi Intan Naomi

 
;