Minggu, 29 Juli 2012

Tarian Takdir (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah posting sebelumnya terlebih dulu.

***

Terus terang saya terkejut mengetahui topik obrolan mereka. Obrolan tentang buku mungkin “biasa-biasa saja” bagi orang-orang yang biasa bersetubuh dengan buku. Tetapi saya tahu bocah-bocah di kantin itu bukan tipe kutu buku atau biasa akrab dengan buku. Selama bertahun-tahun bergaul dan akrab dengan mereka, saya cukup tahu mereka tidak dekat dengan buku, dan tidak suka membaca. Sebagian besar dari mereka biasa datang ke rumah saya, dan melihat koleksi buku saya. Dan mereka, selama ini, tidak pernah tertarik pada buku apa pun.

Tapi sekarang mereka asyik mengobrolkan sebuah buku, dengan gaya meluap-luap, yang bahkan mengalahkan gaya para kutu buku sekalipun!

Jadi, bocah-bocah itu sedang mengobrolkan sebuah novel—yang kita sebut saja—berjudul X. Berdasarkan pendengaran saya atas obrolan mereka, novel X adalah novel paling hebat yang pernah mereka baca, dan mereka bahkan sanggup mengingat detil-detil kisah dalam novel itu, yang sekarang mereka obrolkan dengan seru.

Hebat, pikir saya sambil terus menyimak obrolan mereka. Betapa bocah-bocah yang tak pernah kenal buku itu sekarang sedang mengobrolkan (atau bahasa akademisnya: mendiskusikan) sebuah novel, dan mereka mampu mengingat detil-detil di dalamnya. Apa yang terjadi dengan mereka?

Setelah melihat saya selesai makan, mereka pun bertanya apa pendapat saya mengenai novel yang mereka bicarakan itu. Dengan jujur, saya menjawab belum pernah membacanya. Dan mereka terbelalak, tak percaya. “Masa kamu belum baca novel itu?” tanya mereka sambil menyatakan, “Semua orang udah membacanya!”

Sebenarnya, dua bulan sebelum itu saya pernah membaca ulasan atas novel tersebut di sebuah majalah. Dalam ulasan yang saya baca, novel itu dinilai buruk. “Cerita dalam novel ini mengalami kesalahan logika yang tak termaafkan,” bunyi salah satu bagian ulasan tersebut.

Ulasan yang saya baca itu ditulis seorang wartawan sekaligus pembaca buku berpengalaman, dan ulasan-ulasannya selama ini terkenal jernih, objektif, serta menjadi rujukan banyak pembaca buku sejati. Saya sendiri tidak terlalu tertarik pada novel X, karena membaca ulasan tersebut.

Tapi kini bocah-bocah yang saya kenal di kampus memuji-muji novel itu setinggi langit. Apa yang salah di sini? Dengan penasaran, saya pun terus menyimak obrolan mereka tentang novel X di atas, hingga kemudian dosen yang akan saya temui menelepon, “Saya sudah selesai ngajar, Mas. Saya tunggu di kantor, ya.”

Jadi saya pun meninggalkan kantin, dan menuju kantor si dosen. Kami ngobrol di sana sekitar dua jam, lalu saya pun pulang. Di perjalanan, saya mampir ke toko buku, dan membeli novel X yang tadi dipuji-puji oleh teman-teman di kantin. Sesampai di rumah, saya langsung membaca novel itu, dan mengkhatamkannya dalam waktu enam jam. Dan, dengan sepenuh objektivitas serta kejujuran, saya harus mengakui, novel itu biasa-biasa saja. Bahkan saya setuju dengan ulasan yang saya baca di majalah, bahwa novel itu, “mengalami kesalahan logika yang tak termaafkan.”

Untuk menguji penilaian di atas, saya meminta pendapat teman-teman di milis yang biasa mendiskusikan buku, dan rata-rata mereka juga memberikan penilaian yang sama seperti saya. Beberapa orang—yang bisa dibilang pakar—bahkan menyatakan, “Kenyataan bahwa novel itu disukai masyarakat, bahkan dipuji-puji setinggi langit, adalah misteri tak terbayangkan dalam dunia penerbitan.”

Jadi, apa yang terjadi di sini?

Rasa penasaran saya tergelitik, dan saya pun kemudian melacak serta menelusurinya. Berdasarkan penelusuran itu, saya mendapatkan setumpuk cerita yang semakin membuat saya kebingungan dan nyaris tak percaya. Beginilah yang terjadi pada novel X di atas, dan mari kita lihat bagaimana takdir tak terbayangkan ikut menari dalam perjalanan sebuah buku.

Mulanya, si penulis novel X mengirimkan naskah novelnya ke sebuah penerbit. Novel itu ditolak, dan dikembalikan. Si penulis kembali mengirimkannya ke penerbit lain. Naskah itu dibaca oleh editor di sana, dan si editor menilai novel itu buruk.

Naskah itu tidak dikembalikan, karena kebijakan penerbit tersebut tidak mengembalikan naskah yang mereka tolak. Jadi, setelah membaca naskah novel itu, si editor berencana membuangnya bersama tumpukan naskah lain yang juga mereka tolak. Tetapi, entah bagaimana caranya, naskah itu terbawa ke dalam tas si editor, dan ikut terbawa pulang.

Di rumah, istri si editor menemukan naskah tersebut dalam tas suaminya, kemudian membacanya. Semalaman istri editor itu membaca naskah tersebut, dan menyukainya. Dia memuji novel itu, dan meminta suaminya (si editor) agar menerbitkan naskah tersebut. Tentu saja si editor menolak, karena—berdasarkan penilaian profesionalnya—novel itu dinilai buruk dan tidak layak terbit. Dan menerbitkan naskah buruk adalah hal terakhir yang diinginkan penerbit mana pun.

Tetapi—juga entah bagaimana caranya—hati si editor luluh oleh permintaan istrinya. Singkat cerita, naskah yang telah ia nilai buruk itu pun akhirnya terbit, meski dalam jumlah terbatas. Seperti yang sudah dibayangkan si editor, penjualan novel itu biasa-biasa saja, terlebih novel itu ditulis seorang pemula yang namanya tidak dikenal di kalangan pembaca mana pun. Jadi, ia sama sekali tak terkejut ketika mendapati novel itu tidak laku.

Seiring dengan itu, si penulis novel X berusaha mengenalkan novelnya ke masyarakat melalui bedah buku. Acara-acara bedah buku itu pun tidak terlalu diminati, karena penulis maupun karyanya sama sekali tak dikenal masyarakat.

Di acara bedah buku yang diselenggarakan di sebuah kampus di Semarang, misalnya, hanya ada 12 orang yang datang. Dari 12 orang itu, hanya 6 yang telah membaca novel tersebut. Dari 6 orang yang telah membacanya, hanya 2 orang yang telah membeli novel X, sementara lainnya membaca dari hasil minjam. (Data ini saya dapatkan dari seorang tokoh perbukuan nasional, yang menjadi moderator dalam acara bedah buku tersebut).

Sejak awal diterbitkan, novel itu memang telah diprediksi tidak laku. Jadi, kenyataan itu sama sekali tidak mengejutkan penerbitnya. Tetapi, sebuah takdir yang sangat aneh terjadi… dan novel yang pada mulanya tak dikenal itu tiba-tiba menjadi sesuatu yang fenomenal, bahkan membuat teman-teman di kampus saya yang tidak doyan buku ikut membacanya.

Sekarang, sambil menulis catatan ini, saya bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya kita harus meletakkan penilaian “bagus” atau “tidak bagus”? Dan siapa yang paling layak melakukannya? Para editor dan pembaca berpengalaman mungkin bisa menyatakan sebuah buku tidak bagus, tetapi bagaimana jika masyarakat luas menilai buku itu bagus? Para editor mungkin bisa membuang naskah ke tempat sampah karena dinilai buruk, tetapi bagaimana jika takdir memungutnya kembali…?

Dan ketika takdir mulai ikut bermain, sesuatu yang paling mustahil pun menjadi mungkin. Takdir itu seperti Joker. Ia terselip dan tersembunyi dalam tumpukan kartu, kemudian muncul tak terduga sambil menari sinting. Alam semesta, kadang-kadang, membuat kepala beberapa orang menjadi pusing.

Tarian Takdir (1)

Takdir itu seperti Joker.
Ia terselip dan tersembunyi dalam tumpukan kartu,
kemudian muncul tak terduga sambil menari-nari.
@noffret


Pada tahun 1957, seorang mahasiswa pascasarjana fisika bernama Hugh Everett III menunjukkan secara matematis apa yang selama tiga puluh tahun membuat pusing para fisikawan kuantum. Pada waktu itu, para fisikawan kuantum dibingungkan oleh fakta dunia makro yang sangat berbeda dengan dunia mikro (atom). Dunia mikro memiliki semua potensi, dan semua kemungkinan itu bisa terjadi. Tetapi, ketika mewujud, hanya satu dari sekian banyak kemungkinan tersebut yang terlahir ke dalam realitas.

Einstein menyatakan, “Tuhan kadang-kadang bermain dadu.” Tetapi, kemudian ia meralat ucapannya sendiri, dan menyimpulkan, “Tuhan tidak bermain dadu.” Secara fisika, kenyataan yang terjadi dalam dunia mikro disebut keruntuhan fungsi gelombang—sebuah himpunan segala kemungkinan keadaan atom yang dengan sempurna diwakili sebentuk fungsi gelombang, harus pecah, runtuh, hingga tinggal satu manifestasi.

Seratus tahun setelah Albert Einstein mengeluarkan tesisnya tentang Tuhan yang bermain dadu, Stephen Hawking menyatakan, “Tuhan tidak hanya bermain dadu. Ia bahkan kadang melemparkannya ke tempat-tempat yang tidak kita tahu.”

Dadu Tuhan, dalam bayangan saya, adalah takdir yang menari. Kadang-kadang, kau tidak tahu apa yang akan kaudapatkan dari apa yang kaulakukan, dan takdir yang tidak kaukenal menelikung jalanmu, mengejekmu... atau mendukung dan menggandeng tanganmu.

....
....

Sekitar dua tahun setelah drop out dari kampus, saya dihubungi seorang dosen, dan kami janjian untuk bertemu di ruang kantornya. Waktu itu saya sedang menulis sesuatu yang rencananya akan diterbitkan sebuah lembaga nasional. Kampus saya juga memiliki lembaga penerbitan yang menerbitkan buku-buku kuliah, dan mereka menginginkan agar naskah yang sedang saya tulis diterbitkan lembaga mereka. Karena itulah kemudian saya dihubungi untuk membicarakan hal tersebut.

Jadi, jam sepuluh pagi itu saya datang ke kampus. Waktu itu belum banyak perubahan terjadi di sana, dan saya pun merasa familier dengan lingkungan kampus tempat saya dulu pernah kuliah di dalamnya. Waktu itu juga masih banyak mahasiswa yang mengenal saya—kawan-kawan seangkatan yang belum lulus, juga adik-adik angkatan yang sempat mengenal muka saya. Rasanya seperti bernostalgia.

Seperti rencana dari rumah, saya langsung menuju ke ruang kantor tempat dosen yang kemarin menelepon. Tapi orang bersangkutan tidak ada di ruangannya. “Orangnya masih mengajar, Mas,” kata seorang dosen lain yang saya temui di ruangan itu. “Mungkin satu jam lagi dia bebas (selesai mengajar).”

Tidak masalah, pikir saya. Maka, sambil menunggu si dosen selesai mengajar, saya pun menuju kantin untuk sarapan. Kantin kampus biasa menyediakan soto dan bakwan panas yang enak, dan dulu saya sering menikmatinya sambil merokok, sambil ngobrol dengan teman-teman, atau sambil mojok dengan pacar. Sekali lagi, rasanya seperti bernostalgia.

Kantin tampak cukup ramai, seperti biasa, seperti dua tahun lalu. Dan begitu saya masuk ke sana, perasaan nostalgia yang sejak tadi saya rasakan semakin menguat. Di sana ada segerombolan bocah yang dulu pernah sekelas atau seangkatan dengan saya. Bocah-bocah itu tampak sedang asyik ngobrol, dan seketika kaget melihat saya masuk kantin.

Kami pun saling menyapa dan berhaha-hihi dengan akrab seperti dulu, seperti ketika masih kuliah bersama. Saya duduk bersama mereka, menikmati kebersamaan yang dulu pernah saya rasakan, hingga pelayan kantin datang menanyakan pesanan saya. Karena belum sarapan, saya pun meminta soto dan teh hangat. Si pelayan kantin membawakan pesanan itu, plus senampan bakwan seperti yang saya bayangkan.

“Untuk soto dan bakwan inilah aku datang ke kampus,” ujar saya pada teman-teman yang sejak tadi bertanya-tanya tujuan saya ke kampus. Dan, tentu saja, mereka tidak percaya. “Lanjutin obrolan kalian, aku dengerin sambil makan.”

Lalu saya pun menikmati sarapan, sementara bocah-bocah itu kembali melanjutkan obrolan yang tadi terpotong karena kedatangan saya. Mereka kembali mengobrol seru, dan saya ikut menyimak obrolan mereka sambil terus makan. Di luar dugaan, mereka ternyata sedang mengobrolkan buku!

Lanjut ke sini.

Pijakan Diri

Belum lama, saya melihat sebuah iklan mobil di majalah edisi lama yang mengajukan motto, “You are what you drive”. (Harga) dirimu ditentukan oleh (mobil) yang kaukendarai.

Sepertinya tidak masuk akal. Bahkan lebih dari itu, motto atau slogan tersebut seperti merendahkan atau setidaknya meremehkan derajat harga diri manusia. Bagaimana kalau kebetulan kita tak punya mobil seperti yang diiklankan itu? Apakah berarti harga diri kita begitu rendah, atau setidaknya lebih rendah dibanding orang yang memiliki dan menaiki mobil tersebut?

Orator cemerlang, Paul H. Dunn, dalam salah satu pidatonya menyindir, “Kalau engkau mendasarkan harga dirimu, perasaan berhargamu, pada apa pun di luar kualitas hati, pikiran, atau jiwamu, maka engkau mendasarkannya pada pijakan yang sangat labil.”

Harga diri manusia, saya pikir, terlalu tinggi untuk ditentukan hanya oleh sebuah mobil, semewah apa pun desainnya, sehebat apa pun teknologinya, semahal apa pun harganya. Lagi pula, kalau siapa saya tergantung apa yang saya punya, dan apa yang saya punya sudah tidak ada, lalu saya ini siapa...?

Minggu, 15 Juli 2012

Catatan Mahasiswa Drop Out

Saya tidak akan membiarkan
sekolah mengganggu belajar saya.
Mark Twain


Salah satu pilihan penting sekaligus berat yang pernah terjadi dalam hidup saya adalah ketika akan memutuskan drop out dari kampus. Waktu itu saya kuliah S1, dan hampir lulus. Semua teori mata kuliah sudah saya selesaikan, tinggal KKN dan menggarap skripsi. Jika saya meneruskan kuliah yang tinggal seuprit itu, maka selangkah lagi saya akan wisuda, dan mendapatkan gelar. Dan, bisa jadi, saya akan meneruskan S2 dan seterusnya.

Dan di situlah saya harus menjatuhkan pilihan yang amat sulit.

Di satu sisi, saya tahu orang tua sangat menginginkan saya lulus kuliah. Betapa pun juga mereka tentu ingin bangga menyaksikan anaknya diwisuda. Namun, di sisi lain, ada sesuatu yang mengusik-usik hati dan pikiran saya, yang terus-menerus menarik diri saya untuk segera melepaskan bayangan itu.

Kuliah atau tidak kuliah adalah hak setiap orang, begitu pun lulus kuliah atau tidak. Kebetulan, saya kuliah dengan biaya sendiri, sehingga—meski tetap merasa terbebani oleh harapan orangtua yang menginginkan saya wisuda—namun akhirnya saya tetap menempuh jalan yang saya pilih; drop out.

Rencana drop out itu pertama kali saya utarakan pada dosen wali, dan kebetulan kami cukup akrab. Dia terkejut ketika mendengar rencana itu, dan sangat menyayangkan, dan mencoba menahan serta meminta agar saya membatalkan rencana gila itu. Dia bahkan sempat menyatakan bahwa masa depan saya akan terjamin jika mau meneruskan kuliah hingga lulus. Oh, well, kampus saya akan dengan senang hati menerima saya sebagai dosen jika saya mau melamar ke sana setelah lulus kuliah.

Tapi suara hati saya terus memanggil-manggil, dan saya memilih untuk mengikutinya. Dan, suara hati itu meminta saya agar drop out.

“Mengapa?” tanya dosen wali. “Coba jelaskan dengan akal sehat, mengapa kamu memilih drop out, dan mencampakkan masa depanmu sendiri?”

Saya pun bercerita kepadanya tentang kisah Thariq bin Ziyad. Pada 12 Juli 711, Thariq bin Ziyad bersama sejumlah pasukannya memasuki wilayah Andalusia (Spanyol)—itu merupakan awal keberhasilan penaklukannya atas wilayah-wilayah di Eropa.

Thariq bin Ziyad memasuki Spanyol dengan melewati selat di antara Maroko dan Spanyol, yang kelak diberi nama sesuai namanya, yaitu Jabal Thariq. Selat itu menghubungkan Samudera Atlantik dengan Laut Mediterania. Thariq bin Ziyad bersama pasukannya harus melalui lautan untuk sampai di daratan itu.

Setelah berminggu-minggu berada di lautan dan kemudian sampai di daratan, Thariq bin Ziyad harus menghadapi kenyataan yang amat menakutkan—jumlah pasukan musuh yang harus dihadapinya jauh lebih banyak dibanding jumlah pasukannya.

Dia ataupun pasukannya tahu, pertempuran itu hanya sarana bunuh diri, karena jumlah mereka yang jauh lebih kecil. Karenanya, dalam keadaan kritis itu, Thariq bin Ziyad memutar otaknya untuk menghadapi pertempuran yang amat sangat tak seimbang. Dan cara yang kemudian ditempuhnya benar-benar tak masuk akal—dia memerintahkan pasukannya untuk membakar kapal-kapal mereka.

Kelak, sejarah mencatat, strategi yang digunakan Thariq bin Ziyad itu ditiru oleh para pemimpin besar lain, baik di Barat maupun di Timur. Selama kapal-kapal itu masih tersedia untuk digunakan, maka konsentrasi pasukan akan terpecah—antara terus bertempur atau melarikan diri. Karenanya, agar konsentrasi pasukannya benar-benar fokus pada pertempuran, semua sarana untuk melarikan diri harus dibakar dan dihancurkan.

Jadi itulah yang terjadi. Setelah semua kapal dibakar, Thariq bin Ziyad dan pasukannya tidak punya pilihan lain, selain bertempur sampai titik darah penghabisan—untuk menang, atau untuk mati sebagai pahlawan. Dan jika manusia memiliki tujuan yang jelas, kata para filsuf, maka alam semesta akan berkonspirasi untuk membantu tujuannya.

Lalu perang itu pun pecah. Itu perang yang sangat tidak seimbang, karena satu tentara Thariq bin Ziyad harus melawan puluhan tentara musuh. Tetapi keajaiban terjadi. Thariq bin Ziyad beserta pasukannya berhasil memenangkan pertempuran, bahkan secara gemilang. Dan “keajaiban” itu terjadi karena besarnya semangat serta fokus pada tujuan.

“Jadi itulah mengapa saya drop out,” kata saya pada dosen wali.

Jika saya meneruskan kuliah dan mendapatkan gelar, maka separuh diri saya akan menggantungkan diri pada gelar itu, sehingga saya tidak akan fokus pada tujuan hidup sesungguhnya yang ingin saya capai. Sebaliknya, jika saya drop out dan “membakar” gelar yang mungkin akan saya miliki, maka saya akan benar-benar fokus pada tujuan yang ingin saya capai, karena sarana melarikan diri telah tak ada lagi.

Akhirnya, meski berat hati, dosen wali merelakan saya drop out dari kampus.

Saya menulis catatan ini tidak bermaksud untuk mengajak siapa pun agar drop out dari kampus. Kalau kau saat ini sedang kuliah, teruskanlah kuliahmu, karena tujuan hidupmu belum tentu sama dengan tujuan hidup saya. Setiap orang memiliki jalan dan tujuan hidupnya masing-masing, dan bisa jadi tujuan kita jauh berbeda. Yang baik bagi saya belum tentu baik bagi orang lain.

Ehmm... pada September 2000, Yale University, USA, mengadakan acara wisuda bagi para mahasiswa tingkat sarjana angkatan tahun itu, dan universitas tersebut mengundang Lawrence ‘Larry’ Ellison (CEO perusahaan Oracle) yang dinobatkan sebagai orang kaya nomor dua di dunia, untuk memberikan kata sambutan kepada para wisudawan.

Nah, di hadapan para wisudawan yang mengenakan jubah dan toga itu, di hadapan para dosen, rektor, dan juga para tamu undangan—para wali dan orangtua mahasiswa—Larry Ellison menyampaikan pidato sambutan yang benar-benar “gila”. Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau kata-kata sambutan semacam itu disampaikan di kampus mana pun di negeri ini.

Berikut ini kata-kata sambutan yang disampaikan Larry Ellison dalam acara wisuda itu. Karena bahasanya cukup mudah dimengerti, berikut ini saya tulis transkripnya sesuai aslinya. Ingat, jangan tergoda untuk drop out—tetaplah teruskan kuliahmu!

....
....

“...Graduates of Yale University, I apologize if you have endured this type of prologue before, but I want you to do something for me. Please, take a good look around you. Look at the classmate on your left. Look at the classmate on the right. Now, consider this: Five years from now, ten years, even thirty years from now, odds are the person on your left is going to be a loser. The person on your right, meanwhile, will also be a loser. And you, in the middle? What can you expect? Loser. Loserhood. Loser Cum Laude.

“In fact, as I look out before me today, I don’t see a thousand hopes for a bright tomorrow. I don’t see a thousand future leaders in a thousand industries. I see a thousand losers.

“You’re upset. That’s understandable. After all, how can I, Lawrence ‘Larry’ Ellison, college drop out, have the audacity to spout such heresy to the graduating class of one of the nation’s most prestigious institutions?

“I’ll tell you why...

“Because I, Lawrence ‘Larry’ Ellison, second richest man on the planet, am a college drop out, and you are not.

“Because Bill Gates, richest man on the planet—for now, anyway—is a college drop out, and you are not.

“Because Paul Allen, the third richest man on the planet, dropped out of college, and you did not.

“And for good measure, because Michael Dell, No. 9 on the list and moving up fast, is a college drop out, and you, yet again, are not.

“Hmmm... you’re very upset. That’s understandable. So let me stroke your egos for a moment by pointing out, quite sincerely, that your diplomas were not attained in vain. Most of you, I imagine, have spent four to five years here, and in many ways what you have learned and endured will serve you well in the years ahead. You’ve established good work habits. You’ve established a network of people that will help you down the road. And you’ve established what will be lifelong relationships with the word ‘therapy’.

“All that of is good. For truth, you will need that network. You will need those strong work habits. You will need them because you didn’t drop out, and so you will never be among the richest people in the world.

“Oh sure, you many, perhaps, work your way up to No. 10 or No. 11, like Steve Ballmer. But then, I don’t have to tell you who he really works for, do I? And for the record, he dropped out of grad school. Bit of a late bloomer.

“Finally, I realize that many of you, and hopefully by now most of you, are wondering, ‘Is there anything I can do? Is there any hope for me at all?’

“Actually, no. It’s too late. You’ve absorbed too much, think you know too much. You’re not 19 anymore. You have a built-in cap, and I’m not referring to the mortar boards on your heads.

“Hmm... you’re really very upset. That’s understandable. So perhaps this would be a good time to bring up the silver lining. Not for you, Class of ’00. You are a write-off, so I’ll let you slink off to your pathetic $ 200,000-a-year jobs, where your check will be signed by former classmate who dropped out two years ago.

“Instead, I want to give hope to any underclassman here today. I say to you, and I can’t stress this enough: leave. Pack your things and your ideas and don’t comeback. Drop out. Start up. For I can tell you that a cap and gown will keep you down just as surely as these security guards dragging me off this stage are keeping me down...”

Naza’

Aku ingin, di saat terakhirku
Mendengar bulan dalam bahasaku

Selasa, 10 Juli 2012

Cowok-cowok Idiot (3)

Flashback sejenak ke masa SD Valentino. Waktu itu, seorang guru di kelas mengajak murid-muridnya untuk melakukan permainan interaktif dengan cara meminta murid-murid menebak sesuatu yang dipegangnya. Menurutnya, itu akan menguji daya imajinasi anak-anak didik.

“Nah, Anak-anak,” kata ibu guru, “saat ini saya memegang sesuatu di balik punggung saya. Benda yang saya pegang ini berbentuk bulat dan berwarna merah. Coba, siapa yang bisa menerka benda apakah yang saya pegang ini?”

Valentino mencoba menjawab, “Buah apel, Bu Guru!”

“Salah,” sahut gurunya sambil tersenyum. “Yang Ibu pegang buah manggis. Tapi tak mengapa, sekarang Ibu jadi tahu apa yang ada dalam pikiranmu.”

Lalu Valentino berkata, “Bu Guru, apakah saya boleh bertanya dan Bu Guru yang menerka?”

“Oh, tentu saja boleh,” sahut ibu gurunya.

Dari tempat duduknya, Valentino lalu menyatakan, “Saat ini saya memegang sesuatu yang panjangnya sekitar lima sentimeter, dengan ujung agak besar berwarna merah kehitaman. Coba terka benda apakah yang saya pegang ini, Bu?”

“Valent!” hardik ibu gurunya, “kamu tidak boleh main tebakan seperti itu!”

Tapi Valentino menjawab dengan kalem, “Yang saya pegang ini korek api, Bu Guru. Tapi tak mengapa. Sekarang saya jadi tahu apa yang ada dalam pikiran Bu Guru.”

***

Kejadian di atas terjadi saat Valentino duduk di bangku SD. Anehnya, kejadian yang mirip terjadi lagi saat dia duduk di bangku kuliah.

Hari itu, pada mata kuliah psikologi, ibu dosennya memberikan pertanyaan dengan tujuan untuk melihat cara berpikir mahasiswanya. Sang dosen mengajukan pertanyaan ini, “Apabila di sebuah pohon ada tiga ekor burung yang sedang bertengger, dan kemudian ada seorang pemburu menembak satu burung itu, berapa yang masih tinggal di pohon?”

Para mahasiswa tahu pertanyaan itu memiliki cukup banyak jawaban, karena memang pertanyaan jebakan. Namun Valentino nekat mengacungkan jarinya untuk menjawab.

“Ya...?” sang dosen menatap ke arah cowok itu.

Valentino pun menjawab, “Karena yang satu telah tertembak, maka di pohon itu kini tinggal dua burung, Bu.”

“Salah!” sahut ibu dosennya. Dan seperti yang telah dibayangkan para mahasiswa lainnya, dosen itu pun menjelaskan, “Yang benar, di pohon itu sudah tak ada burung lagi, karena yang dua pasti kabur ketakutan. Tapi tidak apa-apa, Valent. Saya suka cara berpikirmu yang jujur.”

Kemudian Valentino mengacungkan jarinya lagi. “Apakah saya boleh mengajukan pertanyaan, Bu?”

“Tentu saja,” jawab dosennya sambil tersenyum.

“Di sebuah gerai es krim ada tiga wanita yang tengah menikmati es krim. Wanita pertama menggunakan sendok untuk menikmati es krimnya. Wanita kedua mencolek es krimnya dengan jari tangan. Sementara wanita ketiga menjilati dan mengulum es krim itu dalam mulutnya. Nah, di antara ketiga wanita itu, yang manakah yang sudah menikah?”

Dengan yakin sang dosen menjawab, “Jawabannya tentu wanita ketiga, yang menjilati dan mengulum es krimnya.”

“Salah!” sahut Valentino. “Yang benar adalah yang memakai cincin kawin di jarinya. Tapi tidak apa-apa, Bu. Saya suka cara berpikir Ibu yang jujur.”

***

Sejak lulus SMA, Jonah tak pernah lagi bertemu Gito, salah satu karibnya di SMA dulu. Karenanya, ketika tanpa sengaja mereka berpapasan di jalan tak jauh dari kampus Jonah, dia pun girang banget.

“Hei, Git!” sapanya dengan hangat. “Apa kabar?”

“Baik, Jo,” sahut Gito. “Kabarnya kamu kuliah di kampus itu, ya?”

“Iya, kamu sendiri, kuliah dimana sekarang?”

“Di kampus biru.”

“Wah, hebat dong,” komentar Jonah. “Ngambil apa di sana?”

“Yah... nggak mesti, Jo.”

“Nggak mesti...? Nggak mesti gimana?”

“Yaah, kadang ngambil kacamata, kadang ngambil dompet, kalau beruntung sih bisa ngambil motor. Emang kamu mau pesan apa, Jo?”

***

Abigail dikirim oleh kampus untuk mewakili mereka dalam suatu acara yang tidak ilmiah (karena itulah Abigail yang dikirim!). Di dalam pertemuan tidak ilmiah yang diadakan di sebuah hotel itu, rupanya ada banyak mahasiswa yang datang dari berbagai negara.

Pada waktu acara istirahat, Abigail ngobrol-ngobrol dengan mahasiswa dari Italia. Si Italia bisa berbahasa Indonesia sedikit-sedikit.

“Kalau kamu punya waktu, kapan-kapan berkunjunglah ke negeri kami,” kata si Italia. “Kamu akan menyaksikan sesuatu yang menakjubkan di sana.”

Abigail tertarik. “Hmm... memang apa sih yang menakjubkan itu?”

“Menara Pisa.”

Dasar Abigail, dia tidak kenal dan tidak tahu menara Pisa yang terkenal itu. Dengan culun dia malah bertanya, “Menara...? Apa anehnya sebuah menara? Di kotaku saja, ada banyak menara yang dibangun!”

“Tapi Menara Pisa ini lain,” ujar si Italia. “Menara itu miring, hingga orang merasa ngeri kalau melihatnya. Pokoknya dijamin kamu akan takjub kalau melihatnya!”

“Ah, kamu ini ada-ada saja,” ujar Abigail sok cool. “Menara miring aja kok menakjubkan. Di kampusku, ada banyak mahasiswa yang miring, dan kami sama sekali nggak pernah takjub!”

***

Valentino punya teman yang sudah bisa dibilang sukses, bernama Firman. Meski masih kuliah, Firman sudah punya usaha toko bahan bangunan. Karena tertarik dengan kesuksesan kawannya, suatu hari Valentino bertanya bagaimana ceritanya hingga Firman bisa mengelola sebuah usaha seperti itu.

“Kenapa kamu pilih usaha bahan bangunan, Fir?” tanya Valentino penuh minat.

“Itu bermula sejak bertahun-tahun yang lalu, Val,” jawab Firman dengan semangat. “Ceritanya berawal dari warung bubur ayam tempatku biasa sarapan.”

“Kok bisa...?” sahut Valentino dengan heran. “Gimana tuh ceritanya?”

Firman pun lalu menceritakannya. Dan inilah kisahnya....

Sudah sejak lama Firman jadi pelanggan bubur ayam di depan gang kompleknya. Ketika pertama kali menikmati bubur ayam di sana, Firman mendapati sebuah sekrup di dalam mangkuk bubur ayamnya. Karena sedang lapar, Firman tak menghiraukannya. Diambilnya sekrup itu, dan diteruskannya menikmati bubur ayam.

Besoknya, saat membeli bubur ayam di sana lagi, Firman mendapati dua buah paku di dalam mangkuk bubur ayamnya. Sekali lagi Firman tak menghiraukan. Diambilnya dua paku itu, dan diteruskannya makannya.

Karena melihat Firman menjadi pelanggan tetapnya sampai bertahun-tahun, suatu hari si penjual bubur ayam mendekati Firman, dan bertanya, “Dik, kayaknya saya lihat situ cocok sekali dengan bubur ayam saya?”

“Sebenarnya bukan gitu sih, Pak,” jawab Firman, “cuma, sejak saya langganan bubur ayam di sini, saya bisa memiliki toko bahan bangunan.”

Begitulah ceritanya.

***

Jonah terkejut mendengar Ervina, salah satu cewek yang akrab dengannya, tewas karena kecelakaan tadi malam.

Untuk menunjukkan duka citanya yang mendalam, Jonah pun segera menghubungi jasa penyediaan karangan bunga agar membuatkan bunga duka cita khusus untuk pemakaman Ervina.

“Gunakan pita warna putih yang besar,” kata Jonah melalui telepon pada tempat jasa pembuatan karangan bunga, “dan tulis kata-katanya dengan huruf warna biru. Isi tulisannya: ‘Istirahatlah dengan tenang dan damai’, pada kedua sisinya. Dan kalau masih ada tempat: ‘Kita akan bersama lagi di surga nanti’.”

Jonah juga meminta agar karangan bunga itu langsung diantarkan ke rumah duka nanti sore.

Ketika karangan bunga itu diantarkan, semua orang yang hadir pada acara pemakaman itu benar-benar terkejut melihatnya.

“Ya ampun, kok aneh sekali bunyi teksnya,” komentar Abigail saat membaca tulisan yang ada di bunga duka cita itu.

Di sana tertulis: ISTIRAHATLAH DENGAN TENANG DAN DAMAI PADA KEDUA SISINYA, DAN KALAU MASIH ADA TEMPAT KITA AKAN BERSAMA LAGI DI SURGA.


Kisah-kisah lain tentang mereka bisa dibaca di sini.

Definisi Tradisi

Seperti roti dan cinta, bahasa digunakan bersama-sama
dengan yang lain. Dan umat manusia berbagi tradisi.
—Carlos Fuentes


Gadis itu baru berusia 10 tahun. Perutnya membuncit, karena ada sesosok bayi di dalamnya, dan kehamilan itu telah berusia 39 minggu. Dengan tubuh berkeringat, ia melangkah tertatih sendirian menuju rumah sakit karena mengalami perdarahan dan nyeri hebat akibat kontraksi.

Gadis itu baru berusia 10 tahun. Cukup mengejutkan menyaksikan gadis sekecil itu hamil. Yang lebih mengejutkan, baru hari itulah ia datang ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungannya. Sejak hamil, baru saat itulah ia datang ke rumah sakit—itu pun karena keluhan rasa nyeri dan perdarahan.

Setelah yakin kondisi fisik gadis itu cukup baik, para dokter di rumah sakit itu pun memutuskan untuk melakukan operasi caesar. Jadi begitulah, gadis berusia 10 tahun itu berjuang sendirian melahirkan anaknya, tanpa orangtua, tanpa didampingi suami atau pacarnya yang entah siapa dan di mana.

Si bayi terlahir dengan selamat, meski tanpa melalui persalinan normal, dan berjenis kelamin perempuan. Kelak, si bayi hanya selisih usia 10 tahun dengan ibunya. Berdasarkan kasak-kusuk masyarakat di sana, lelaki yang menjadi ayah bayi itu masih berusia 15-an tahun.

Kisah di atas mungkin terdengar luar biasa bagi kita, tetapi tidak bagi sebagian warga Kolombia. Di wilayah La Guajira Peninsula, yang terletak di bagian utara Kolombia, ada sebuah koloni masyarakat bernama suku Wayuu, yang merupakan penduduk asli Kolombia. Masyarakat suku itu mendiami beberapa kota yang ada di sana, termasuk kota Manaure, dan gadis yang diceritakan di atas juga berasal dari sana.

Bagi masyarakat suku Wayuu, setiap orang dibebaskan menjalankan tradisi leluhur, yang salah satunya adalah menikah dalam usia (sangat) muda, dan melahirkan di usia (sangat) muda pula. Pemerintah Kolombia memberikan hak otonomi bagi masyarakat suku tersebut, juga menghormati tradisinya, sehingga siapa pun—termasuk para aparat—tidak bisa menindak atau menghalang-halangi siapa pun anggota di sana yang ingin kawin dan hamil meski usianya masih sangat muda. Contohnya gadis 10 tahun di atas.

Efrain Pacheco Casadiego, direktur rumah sakit yang merawat gadis itu, membenarkan bahwa kasus semacam itu sering dijumpai di kalangan suku Wayuu. Jadi, bagi sebagian orang Kolombia, menyaksikan bocah perempuan hamil bukan hal luar biasa. Anak-anak yang sudah punya anak-anak adalah pemandangan biasa di sana. So, kota Manaure di Kolombia termasuk tempat yang menghasilkan ibu-ibu paling muda di dunia.

Sebenarnya, kawin dan hamil dalam usia berapa pun adalah hak masing-masing orang, terlepas apakah itu tradisi atau bukan tradisi. Tetapi, urusan kawin—khususnya lagi yang diikuti hamil—membawa konsekuensi yang tidak ringan bagi pelakunya. Kehamilan di bawah umur, semisal masih 10 tahun seperti kasus di atas, tidak jarang berakhir dengan hal-hal tak diinginkan, yang paling gawat adalah kematian.

Sekarang, sambil menulis catatan ini, saya berusaha sekuat tenaga untuk dapat memahami makna dan definisi tradisi, meski mungkin saya masih membutuhkan waktu lebih lama lagi.

Rabu, 04 Juli 2012

Pusing Mikir Perempuan (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah posting sebelumnya terlebih dulu.

***

Sejujurnya, saya bukan orang yang sangat menjaga kebersihan atau kesehatan. Tapi membayangkan bakwan favorit saya ada di hadapan dua orang yang makan mie ayam sambil bercakap-cakap, benar-benar membuat selera saya hilang.

Yang membuat heran, kenyataan seperti itu selalu terjadi pada perempuan. Seperti yang disebut di atas, pengunjung lelaki mengambil bakwan seperlunya. Sementara pengunjung perempuan membawa nampannya sekaligus. Ketika mendapati kenyataan itu satu kali, saya cuek beibeh. Ketika hal itu terjadi dua kali, insting saya mulai bekerja. Ketika akhirnya hal sama terjadi tiga kali, saya mulai memperhatikan.

Bocah-bocah yang bekerja dalam bidang intelijen sangat hafal doktrin penting dalam pekerjaan mereka, “Tidak ada kebetulan.” Ketika bocah-bocah itu akan dilepas ke dunia luas untuk mulai bekerja, instruktur mereka akan mengingatkan dengan tegas, “Jangan pernah percaya pada kebetulan. Di dunia ini, khususnya dalam pekerjaan kita, tidak ada makhluk absurd bernama kebetulan!”

Saya tidak bekerja dalam bidang intelijen, jadi saya percaya adanya kebetulan di dunia ini. Seaneh apa pun, suatu peristiwa bisa saja hanya kebetulan, jika terjadi satu kali, atau dua kali. Tetapi jika suatu peristiwa terjadi tiga kali—apalagi berturut-turut di tempat sama, dan berhubungan dengan hal yang sama—hampir bisa dipastikan itu bukan kebetulan. Temuan-temuan penting dalam bidang medis dan psikologi banyak yang berawal dari hal semacam itu.

Jadi, ketika berkali-kali mendapati kejadian nampan bakwan berpindah tempat dari meja tengah ke meja lain setelah adanya pengunjung perempuan di warung mie ayam itu, saya pun mulai memperhatikan. Ternyata kejadian itu terus berulang, dan terus berulang.

Ada banyak waktu ketika saya sengaja duduk lama di warung itu, hanya untuk membuktikan hal tersebut. Kadang, sehabis menikmati bakwan dan mie ayam, saya tidak langsung pergi, tapi duduk santai sambil menikmati rokok. Lalu menunggu pembeli lain datang, untuk memuaskan rasa penasaran saya.

Nyatanya memang terjadi—tepat seperti yang saya perkirakan. Ketika pembeli laki-laki datang, dan melihat bakwan panas di meja tengah, dia akan mengambil bakwan sesuai keperluannya, lalu menikmati di mejanya. Tetapi, ketika pembeli perempuan yang datang—khususnya jika lebih dari satu orang—mereka akan mengambil nampan beserta seluruh bakwan ke mejanya. Atau, jika yang datang laki-laki dan perempuan (biasanya sepasang pacar), si perempuan juga akan mengambil nampan itu, dan membawa semua bakwan ke meja mereka.

Bukankah ini aneh…?

Memang, saya harus mengakui, ada beberapa perempuan yang “tahu diri”. Ketika mereka pengin bakwan di warung itu, mereka hanya mengambil seperlunya saja, dan meninggalkan nampan bakwan tetap di tempat semula. Tetapi, jujur pula harus saya katakan, prosentasenya sangat kecil. Dari dua puluh perempuan, mungkin hanya satu yang tahu “sopan santun” semacam itu, sementara yang lain bertingkah seolah bakwan-bakwan itu hanya disiapkan untuknya.

Apakah kenyataan di atas sudah bisa digunakan untuk menarik kesimpulan? Tentu saja belum, karena yang saya lihat hanya satu lokasi. Artinya, bisa jadi peristiwa yang panjang lebar saya jelaskan di atas hanya kasuistis. Karena itu pula, untuk memuaskan rasa penasaran, saya pun sengaja berkeliling ke warung-warung pinggir jalan—khususnya yang juga menyediakan menu gorengan atau semacamnya—untuk melihat apakah kasus aneh itu juga terjadi di tempat-tempat lain.

Ternyata memang terjadi.

Kemana pun saya masuk warung, hal pertama yang akan saya perhatikan adalah letak gorengan atau jajan lain semacamnya yang ditaruh di atas nampan—khususnya nampan berukuran kecil atau sedang, sebagaimana yang ada di warung mie ayam yang saya gunakan sebagai sampel awal. Kemudian, saya akan memperhatikan pula orang-orang yang masuk, dan menyaksikan reaksi mereka ketika akan mengambil gorengan.

Keanehan itu terjadi di mana-mana. Pembeli laki-laki melihat gorengan di atas meja, lalu mengambil beberapa biji, dan membawanya ke tempat duduknya. Tetapi, pembeli perempuan selalu menunjukkan reaksi berbeda. Mereka biasanya akan duduk sambil bercakap-cakap dengan temannya, lalu—ketika mulai tengak-tengok dan melihat gorengan—mereka akan langsung mengangkut nampan gorengan itu ke mejanya!

Apa yang terjadi di sini? Seperti yang telah disebutkan di atas, sesuatu mungkin saja kebetulan jika hanya terjadi satu kali dua kali. Tapi jika terjadi lebih dari tiga kali, apalagi terus-menerus dan di tempat-tempat berbeda, jelas itu bukan kebetulan lagi. Pasti ada yang tidak beres di sini. Dan tentu saja yang tidak beres bukan bakwannya.

Nah, dalam beberapa kesempatan, saya pernah nekat menanyakan hal itu pada beberapa perempuan yang kebetulan melakukan “perbuatan tidak sopan” seperti di atas. Saya tanya apa motivasi mereka memindahkan nampan bakwan itu ke meja mereka, padahal yang mereka butuhkan hanya sebiji atau dua biji? Dan, well, kalian tahu apa reaksi mereka?

Beberapa perempuan itu mendadak heran. Beberapa lagi mengaku tidak sadar telah melakukan hal itu. Sebagian lagi dengan jujur menjawab bahwa perbuatan itu—mengangkut senampan bakwan dengan tanpa dosa ke meja mereka—adalah hal biasa. Sementara beberapa yang lain menyatakan, “Lhoh, memangnya nggak boleh, ya?”

Jawaban terakhir itu membuat saya bengong.

Inti paling penting dalam hal ini bukan bakwannya semata-mata. Tapi kesadaran untuk tidak mengambil sesuatu yang sebenarnya milik publik, dan menguasainya seolah-olah milik pribadi. Oh, well, tentu saja setiap orang masih boleh mengambil bakwan ketika nampan bakwan itu ada di depan perempuan yang sedang makan mie ayam. Tapi saya tidak punya selera melakukannya karena alasan yang telah saya sebutkan. Memangnya siapa yang masih punya selera menyantap bakwan jika tahu telah “tercemar” muncratan partikel dari mulut orang lain?

Dan bakwan hanyalah kasus kecil dalam hal-hal semacam itu. Dalam kehidupan kita yang luas, ada banyak sarana publik yang sengaja diambil dan dikuasai seolah-olah itu milik pribadi. Trotoar, misalnya. Itu kan sarana milik publik, khususnya untuk para pejalan kaki. Tapi sarana yang jelas ditujukan untuk publik itu kini telah beralih seolah milik pribadi, hingga sebagian orang merasa punya hak untuk menggunakan, bahkan menguasainya, sementara sebagian lain merasa terganggu ketika akan menggunakannya.

Yang paling menyedihkan dalam hal ini, sering kali kita tidak sadar ketika telah merampas milik publik, sebagaimana para perempuan yang tidak sadar telah mengambil senampan bakwan di warung mie ayam. Ya, tidak sadar bahwa itu kekeliruan.


*) Tadinya, judul catatan ini adalah Tinjauan Otak Perempuan Dalam Pengaruhnya Terhadap Gorengan Bakwan Di Warung Mie Ayam Dan Implikasinya Berdasarkan Teori Sigmund Freud. Tapi kemudian saya sadar, ini cuma catatan iseng, bukan skripsi atau disertasi!

Pusing Mikir Perempuan (1)

Perempuaaaaaaaaaan, perempuan!
*Pusingcampurgimanagitu*
@noffret


Ini kisah tentang perempuan. Dan gorengan bakwan. Dan otak saya yang sepertinya suka usil dengan hal-hal beginian. Kepada para perempuan yang kebetulan membaca catatan ini, tolong tegur saya jika uraian di bawah ini terkesan berlebihan.

Jadi, tidak jauh dari rumah saya ada penjual mie ayam. Saya suka mampir ke sana. Bukan karena mie ayamnya enak, tapi karena di tempat itu ada gorengan bakwan panas yang benar-benar lezat. Kau tahu, saya suka gorengan panas, khususnya bakwan. Khususnya lagi gorengan bakwan panas yang memang enak.

Kalau saya masuk ke warung mie ayam itu, di sana ada senampan gorengan bakwan. Jika saya perhatikan, gorengan itu disuplai oleh seseorang yang (mungkin) khusus membuat bakwan. Jadi, secara berkala, si suplayer akan mengirimkan senampan bakwan ke tempat penjual mie ayam. Hanya satu nampan—mungkin jumlahnya sekitar 20 sampai 30-an biji.

Ketika stok bakwan itu habis, si penjual mie ayam akan menghubungi si suplayer, dan senampan bakwan panas kembali dikirimkan ke sana. Karena itulah, bakwan di tempat itu selalu dalam kondisi panas dan enak, dan hanya ada satu nampan.

Nah, gorengan bakwan itu seringnya diletakkan di meja bagian tengah. Dalam hal ini, kemungkinan besar si penjual mie ayam—atau juga si suplayer bakwan—sengaja menempatkannya di sana, agar para pengunjung warung bisa mudah mengambilnya, meski duduk di bagian mana pun.

Setiap kali masuk ke warung itu, saya akan memesan teh hangat, atau teh es kalau kebetulan cuaca sangat panas. Sambil menunggu mie ayam dibuat, saya pun mengambil sebiji atau dua biji bakwan panas di sana, dan menikmatinya. Seperti umumnya pengunjung lain, saya akan mengambil sejumlah bakwan yang saya perlukan, dan membawanya ke tempat duduk.

Tolong perhatikan kalimat itu. Seperti umumnya pengunjung lain, saya akan mengambil sejumlah bakwan yang saya perlukan, dan membawanya ke tempat duduk. Saya—juga para pembeli lain—tentu memahami bahwa semua pengunjung warung punya hak sama untuk mengambil bakwan itu. Toh kami sama-sama pembeli, sama-sama membayar, dan senampan bakwan itu disediakan untuk semua pengunjung.

Nah, jika saya perhatikan, ada perbedaan yang sangat aneh antara pengunjung laki-laki dan pengunjung perempuan, dalam hubungannya dengan bakwan. Laki-laki yang datang ke warung mie ayam itu, melakukan hal sama seperti saya—mengambil sejumlah bakwan yang diperlukan, dan membawanya ke tempat duduk. Pengunjung perempuan berbeda. Mereka akan membawa seluruh bakwan yang ada di nampan itu ke mejanya, meski sebenarnya mereka hanya perlu sebiji atau dua biji.

Saya mulai memperhatikan hal ini ketika beberapa kali butuh mengambil bakwan, tapi kemudian melihat nampan bakwan itu ada di hadapan dua cewek yang sedang makan mie ayam. Posisinya tidak lagi di meja tengah, tapi di depan dua cewek tersebut. Selera saya langsung lenyap, dan saya tidak berminat mengambil gorengan itu, meski sebenarnya sangat kepengin.

Oke, kita ngomong blak-blakan saja. Dan mari kita lihat kenyataan yang terjadi ketika makan mie ayam. Seperti umumnya orang lain, kita menggunakan sumpit untuk memakannya. Proses memasukkan mie bercampur kuah kental dari sumpit ke mulut selalu memungkinkan adanya partikel yang “muncrat” dari mulut kita, meski tidak kita sadari. Jika kita makan sambil bercakap-cakap, maka partikel yang “muncrat” dari mulut kita semakin banyak.

Jika ingin membuktikan hal ini, cobalah ambil tisu secukupnya, lalu letakkan hingga merata di sekitar kita makan mie ayam. Seusai kita menghabiskan semangkuk mie ayam, hampir bisa dipastikan akan terlihat noda-noda bekas kuah mie ayam. Noda-noda itu bisa dari tetesan ketika kita mengangkat sumpit, bisa pula karena adanya “muncratan” dari mulut kita.

Nah, jika senampan bakwan ada di hadapan dua orang yang makan mie ayam sambil bercakap-cakap, hampir bisa dipastikan akan ada sekian juta partikel tak terlihat yang tumpah di sana.

Lanjut ke sini.

Mengapa Adam Memakan Apel?

Tak perlu ditanyakan. Kita sudah melihat akibatnya.

 
;