Minggu, 29 Juli 2012

Tarian Takdir (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah posting sebelumnya terlebih dulu.

***

Terus terang saya terkejut mengetahui topik obrolan mereka. Obrolan tentang buku mungkin “biasa-biasa saja” bagi orang-orang yang biasa bersetubuh dengan buku. Tetapi saya tahu bocah-bocah di kantin itu bukan tipe kutu buku atau biasa akrab dengan buku. Selama bertahun-tahun bergaul dan akrab dengan mereka, saya cukup tahu mereka tidak dekat dengan buku, dan tidak suka membaca. Sebagian besar dari mereka biasa datang ke rumah saya, dan melihat koleksi buku saya. Dan mereka, selama ini, tidak pernah tertarik pada buku apa pun.

Tapi sekarang mereka asyik mengobrolkan sebuah buku, dengan gaya meluap-luap, yang bahkan mengalahkan gaya para kutu buku sekalipun!

Jadi, bocah-bocah itu sedang mengobrolkan sebuah novel—yang kita sebut saja—berjudul X. Berdasarkan pendengaran saya atas obrolan mereka, novel X adalah novel paling hebat yang pernah mereka baca, dan mereka bahkan sanggup mengingat detil-detil kisah dalam novel itu, yang sekarang mereka obrolkan dengan seru.

Hebat, pikir saya sambil terus menyimak obrolan mereka. Betapa bocah-bocah yang tak pernah kenal buku itu sekarang sedang mengobrolkan (atau bahasa akademisnya: mendiskusikan) sebuah novel, dan mereka mampu mengingat detil-detil di dalamnya. Apa yang terjadi dengan mereka?

Setelah melihat saya selesai makan, mereka pun bertanya apa pendapat saya mengenai novel yang mereka bicarakan itu. Dengan jujur, saya menjawab belum pernah membacanya. Dan mereka terbelalak, tak percaya. “Masa kamu belum baca novel itu?” tanya mereka sambil menyatakan, “Semua orang udah membacanya!”

Sebenarnya, dua bulan sebelum itu saya pernah membaca ulasan atas novel tersebut di sebuah majalah. Dalam ulasan yang saya baca, novel itu dinilai buruk. “Cerita dalam novel ini mengalami kesalahan logika yang tak termaafkan,” bunyi salah satu bagian ulasan tersebut.

Ulasan yang saya baca itu ditulis seorang wartawan sekaligus pembaca buku berpengalaman, dan ulasan-ulasannya selama ini terkenal jernih, objektif, serta menjadi rujukan banyak pembaca buku sejati. Saya sendiri tidak terlalu tertarik pada novel X, karena membaca ulasan tersebut.

Tapi kini bocah-bocah yang saya kenal di kampus memuji-muji novel itu setinggi langit. Apa yang salah di sini? Dengan penasaran, saya pun terus menyimak obrolan mereka tentang novel X di atas, hingga kemudian dosen yang akan saya temui menelepon, “Saya sudah selesai ngajar, Mas. Saya tunggu di kantor, ya.”

Jadi saya pun meninggalkan kantin, dan menuju kantor si dosen. Kami ngobrol di sana sekitar dua jam, lalu saya pun pulang. Di perjalanan, saya mampir ke toko buku, dan membeli novel X yang tadi dipuji-puji oleh teman-teman di kantin. Sesampai di rumah, saya langsung membaca novel itu, dan mengkhatamkannya dalam waktu enam jam. Dan, dengan sepenuh objektivitas serta kejujuran, saya harus mengakui, novel itu biasa-biasa saja. Bahkan saya setuju dengan ulasan yang saya baca di majalah, bahwa novel itu, “mengalami kesalahan logika yang tak termaafkan.”

Untuk menguji penilaian di atas, saya meminta pendapat teman-teman di milis yang biasa mendiskusikan buku, dan rata-rata mereka juga memberikan penilaian yang sama seperti saya. Beberapa orang—yang bisa dibilang pakar—bahkan menyatakan, “Kenyataan bahwa novel itu disukai masyarakat, bahkan dipuji-puji setinggi langit, adalah misteri tak terbayangkan dalam dunia penerbitan.”

Jadi, apa yang terjadi di sini?

Rasa penasaran saya tergelitik, dan saya pun kemudian melacak serta menelusurinya. Berdasarkan penelusuran itu, saya mendapatkan setumpuk cerita yang semakin membuat saya kebingungan dan nyaris tak percaya. Beginilah yang terjadi pada novel X di atas, dan mari kita lihat bagaimana takdir tak terbayangkan ikut menari dalam perjalanan sebuah buku.

Mulanya, si penulis novel X mengirimkan naskah novelnya ke sebuah penerbit. Novel itu ditolak, dan dikembalikan. Si penulis kembali mengirimkannya ke penerbit lain. Naskah itu dibaca oleh editor di sana, dan si editor menilai novel itu buruk.

Naskah itu tidak dikembalikan, karena kebijakan penerbit tersebut tidak mengembalikan naskah yang mereka tolak. Jadi, setelah membaca naskah novel itu, si editor berencana membuangnya bersama tumpukan naskah lain yang juga mereka tolak. Tetapi, entah bagaimana caranya, naskah itu terbawa ke dalam tas si editor, dan ikut terbawa pulang.

Di rumah, istri si editor menemukan naskah tersebut dalam tas suaminya, kemudian membacanya. Semalaman istri editor itu membaca naskah tersebut, dan menyukainya. Dia memuji novel itu, dan meminta suaminya (si editor) agar menerbitkan naskah tersebut. Tentu saja si editor menolak, karena—berdasarkan penilaian profesionalnya—novel itu dinilai buruk dan tidak layak terbit. Dan menerbitkan naskah buruk adalah hal terakhir yang diinginkan penerbit mana pun.

Tetapi—juga entah bagaimana caranya—hati si editor luluh oleh permintaan istrinya. Singkat cerita, naskah yang telah ia nilai buruk itu pun akhirnya terbit, meski dalam jumlah terbatas. Seperti yang sudah dibayangkan si editor, penjualan novel itu biasa-biasa saja, terlebih novel itu ditulis seorang pemula yang namanya tidak dikenal di kalangan pembaca mana pun. Jadi, ia sama sekali tak terkejut ketika mendapati novel itu tidak laku.

Seiring dengan itu, si penulis novel X berusaha mengenalkan novelnya ke masyarakat melalui bedah buku. Acara-acara bedah buku itu pun tidak terlalu diminati, karena penulis maupun karyanya sama sekali tak dikenal masyarakat.

Di acara bedah buku yang diselenggarakan di sebuah kampus di Semarang, misalnya, hanya ada 12 orang yang datang. Dari 12 orang itu, hanya 6 yang telah membaca novel tersebut. Dari 6 orang yang telah membacanya, hanya 2 orang yang telah membeli novel X, sementara lainnya membaca dari hasil minjam. (Data ini saya dapatkan dari seorang tokoh perbukuan nasional, yang menjadi moderator dalam acara bedah buku tersebut).

Sejak awal diterbitkan, novel itu memang telah diprediksi tidak laku. Jadi, kenyataan itu sama sekali tidak mengejutkan penerbitnya. Tetapi, sebuah takdir yang sangat aneh terjadi… dan novel yang pada mulanya tak dikenal itu tiba-tiba menjadi sesuatu yang fenomenal, bahkan membuat teman-teman di kampus saya yang tidak doyan buku ikut membacanya.

Sekarang, sambil menulis catatan ini, saya bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya kita harus meletakkan penilaian “bagus” atau “tidak bagus”? Dan siapa yang paling layak melakukannya? Para editor dan pembaca berpengalaman mungkin bisa menyatakan sebuah buku tidak bagus, tetapi bagaimana jika masyarakat luas menilai buku itu bagus? Para editor mungkin bisa membuang naskah ke tempat sampah karena dinilai buruk, tetapi bagaimana jika takdir memungutnya kembali…?

Dan ketika takdir mulai ikut bermain, sesuatu yang paling mustahil pun menjadi mungkin. Takdir itu seperti Joker. Ia terselip dan tersembunyi dalam tumpukan kartu, kemudian muncul tak terduga sambil menari sinting. Alam semesta, kadang-kadang, membuat kepala beberapa orang menjadi pusing.

 
;