Kamis, 30 Agustus 2012

Lebaran, Mantra Kutukan, dan Cabai Setan (1)

Kata orang, semuanya berawal dari mimpi.
@noffret


Kadang-kadang saya berpikir lebaran sering datang pada waktu yang kurang tepat. Ketika lebaran tahun kemarin datang, saya sedang tenggelam dalam tumpukan pekerjaan yang diburu waktu. Begitu pula lebaran tahun kemarinnya lagi, dan kemarinnya lagi, dan kemarinnya lagi.

Tahun ini, jauh-jauh hari saya sudah berharap pekerjaan saya selesai sebelum lebaran, tapi ternyata kisah lama kembali terulang. Lebaran kembali datang, tepat ketika saya sedang berkejaran dengan waktu menyelesaikan pekerjaan. Tentu saja yang salah bukan lebarannya, tapi pekerjaan yang sepertinya tidak ada habisnya. Kadang-kadang saya iri dengan para pekerja kantoran yang bisa libur panjang ketika lebaran datang. Dalam hidup saya seperti tidak ada hari libur, apalagi tanggal merah, apalagi liburan panjang.

Tetapi, bagaimana pun, lebaran akhirnya tetap memaksa saya untuk libur sejenak. Meninggalkan tumpukan berkas kerja, melupakan teriakan deadline, mengucap salam perpisahan pada buku-buku dan makalah, untuk keluar rumah mengunjungi keluarga, menemui sanak famili, beramah tamah dengan para tetangga. Bahkan, kalau dipikir-pikir, seharusnya saya bersyukur karena ada lebaran.

Di tempat saya tinggal, jarang sekali saya bisa beramah tamah dengan para tetangga. Meski kami hidup satu komplek, tapi belum tentu seminggu sekali kami bertemu. Bukan karena lingkungan saya individualis, tapi karena saya jarang sekali keluar rumah. Sebegitu jarangnya, sampai-sampai para tetangga agak “takjub” kalau kebetulan melihat saya duduk santai di teras rumah. Lebaran memberi kesempatan bagi kami untuk beramah tamah.

Di waktu lebaran pula, saya bersama keluarga biasa meluangkan waktu untuk mengunjungi sanak famili, bahkan yang tempatnya relatif jauh. Lebaran memberi alasan bagi siapa pun untuk kembali merekatkan dan mengeratkan hubungan saudara yang mungkin agak renggang, karena hidup berjauhan.

Di antara banyak manfaat lebaran yang saya anggap berguna bagi kemanusiaan, ada sedikit masalah bagi saya pribadi. Seiring rasa senang karena bisa bertemu dan beramah tamah dengan sanak famili, pertemuan dengan mereka juga menciptakan kegalauan dalam hati saya. Pasalnya, dalam setiap pertemuan di hari lebaran, selalu ada pertanyaan wajib yang mereka lontarkan… well, apa lagi kalau bukan pertanyaan “kapan kawin?”

Jadi, setiap kali bertamu ke tempat saudara atau famili mana pun, pada akhirnya saya harus mendengar pertanyaan itu, “Jadi, Hoeda Manis, kapan kamu mau kawin?”

Bagi saya, pertanyaan itu sudah menjadi semacam “mantra kutukan”. Ketika ditodong pertanyaan itu, saya jadi salah tingkah, bingung mau jawab apa lagi (karena berbagai jawaban klise sudah pernah saya gunakan sebelumnya). Kalau ditanya seperti itu, rasanya seperti sedang diacungi tongkat sihir Lord Voldemort, dan dia berteriak, “Avra kedavra!” Untung saya tidak sampai mati gara-gara ditanya kapan kawin.

Nah, hari Sabtu (lebaran hari keenam) kemarin, nyokap mengajak saya silaturrahmi ke famili di Ungaran. Saya tidak punya alasan untuk menolak. Maka saya pun menemani nyokap ke sana pada Sabtu sore, dan rencananya kami akan menginap di sana dua hari. Sama seperti yang sudah-sudah, famili di Ungaran pun kembali menodong pertanyaan yang sama, “Jadi, Hoeda Manis, kapan kamu akan kawin?”

Lebaran, ternyata, bukan hanya kesempatan untuk bersilaturrahmi, tetapi juga kesempatan untuk menanyakan “kapan kawin”. Dan, jujur saja, saya lebih siap ditanya soal-soal fisika, sejarah, atau bahkan filsafat, daripada ditanya kapan kawin. Oh, well, saya tahu kapan teori relativitas dideklarasikan, kapan Jepang menjajah Cina, atau kapan Socrates dihukum mati. Tapi saya benar-benar tidak tahu kapan saya akan kawin.

Lebih dari itu, saya bahkan tidak yakin kalau saya akan kawin.

Mungkin akan mudah menjawab “kapan kawin” jika saya punya niat untuk itu. Misalnya, saya bisa saja menjawab, “Yeah, saya sih udah pengin cepet-cepet kawin. Tapi saya mau kawin sama siapa, wong pacar aja belum punya?” Yang jadi masalah, saya tidak (atau belum) punya niat apalagi rencana untuk kawin. Jadi, setiap kali berhadapan dengan pertanyaan sialan itu, saya benar-benar menghadapi dilema.

Oke, skip.

Minggu pagi, jam sepuluh, nyokap dan para famili di Ungaran berencana jalan-jalan ke Masjid Agung. Seperti kita tahu, Semarang punya “tempat wisata” baru, bernama Masjid Agung. Berbeda dengan masjid umumnya, Masjid Agung memiliki bangunan futuristik, dengan payung-payung mekanik seperti di Masjid Nabawi, bahkan menaranya mencapai 19 lantai, dilengkapi lift. Konon, saat ini, Masjid Agung Semarang adalah masjid terbesar, paling mewah, dan paling megah se-Jawa Tengah—atau se-Indonesia, entahlah.

Lanjut ke sini.

 
;