Sabtu, 15 September 2012

Penulis, Penerbit, dan Kasus Tak Terbayangkan (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Masalah itu semakin rumit, karena melibatkan pihak lain (Penerbit B) yang telah menerbitkan naskah milik V. Ketika V memberitahukan kasus itu pada Penerbit B, pihak dari Penerbit B pun keberatan jika ada penerbit lain (dalam hal ini Penerbit A) yang juga menerbitkan naskah sama milik penulis yang sama. Penerbit B meminta agar Penerbit A menarik semua buku karya V dari toko-toko buku, karena Penerbit B merasa lebih berhak menerbitkan dan memasarkannya, karena mereka merilis buku itu lebih dulu dibanding Penerbit A.

V merasa terjepit dalam kasus itu. Dan dalam perasaan terjepit itulah kemudian ia menceritakan kasusnya di milis, dengan harapan teman-teman sesama penulis anggota milis ada yang bisa membantunya, atau setidaknya memberikan pencerahan atas kasusnya. Hingga saya menuliskan catatan ini, kasus itu belum selesai. Penerbit A maupun Penerbit B masih sama-sama merasa berhak menerbitkan naskah V.

….
….

Dalam dunia kepenulisan, ada aturan tak tertulis yang menyatakan bahwa seorang penulis tidak boleh mengirimkan naskah yang sama ke dua penerbit yang berbeda dalam waktu bersamaan. Karena, jika kemudian kedua penerbit yang menerima naskah itu sama-sama bersedia menerbitkan naskahnya, maka si penulis harus memilih dan memutuskan salah satu dari dua penerbit. Itu memang tidak melanggar hukum, namun dianggap kurang etis.

Para penulis pun—khususnya yang profesional—sangat memahami aturan tak tertulis itu, dan tak pernah melanggarnya. Artinya, setiap kali sebuah naskah dikirimkan ke sebuah penerbit, mereka tidak akan mengirimkan naskah yang sama ke penerbit lain, sebelum ada kepastian (penolakan) dari penerbit bersangkutan. Jika penerbit yang menerima naskah telah memberikan kepastian mereka menolak, maka si penulis baru akan mengalihkannya ke penerbit lain.

Pada kasus V di atas, kita bisa melihat bahwa V telah mematuhi aturan tak tertulis itu. Ia mengirimkan naskahnya ke Penerbit A, dan menunggu hingga enam bulan. Namun Penerbit A tidak kunjung memberikan kejelasan apalagi kepastian menyangkut naskahnya. Enam bulan—lagi-lagi aturan tak tertulis—adalah waktu yang dianggap layak bagi penulis untuk menuntut jawaban pasti dari penerbit. Artinya, jika dalam enam bulan penerbit yang menerima naskah tidak juga memberikan kepastian, maka penulis akan menyimpulkannya sebagai penolakan.

Agar kasus ini bisa lebih dipahami bersama, biar saya jelaskan lebih detil. Ketika kita mengirimkan naskah ke sebuah penerbit, maka penerbit akan mengirimkan pemberitahuan penerimaan naskah kita. Pemberitahuan penerimaan naskah itu ada yang dikirim melalui surat, melalui email, atau bahkan melalui SMS. Tetapi, yang jelas, penerbit yang baik selalu mengirimkan pemberitahuan setelah mereka menerima naskah kita.

Dalam pemberitahuan itu mereka juga menjelaskan bahwa mereka akan memberikan kepastian dalam waktu sekian minggu/bulan ke depan—jangka waktunya bisa berbeda antarpenerbit. Kelak, sesuai janji itu, penerbit benar-benar akan memberikan kepastian pada si penulis atas naskahnya—bisa setuju untuk menerbitkan, bisa pula menolak yang artinya tidak bisa menerbitkan. Dengan adanya mekanisme yang jelas seperti itu, masing-masing pihak tidak saling menggantung, dan pihak penulis pun mendapatkan kejelasan atas nasib naskahnya.

Dalam kasus V di atas, kita melihat bahwa Penerbit A tidak melakukan mekanisme seperti yang saya paparkan. Alih-alih memberikan kejelasan, mereka justru memberikan ketidakjelasan. Seperti yang diceritakannya, V telah berulang kali menghubungi pihak penerbit—dari email sampai menelepon langsung—tapi Penerbit A tidak memberikan jawaban yang jelas, antara menerima atau menolak, dan hal itu telah melewati waktu enam bulan.

Oke, saya harus mengakui, ada kalanya sebuah penerbit (yang juga baik) memang tidak memberikan pemberitahuan penerimaan naskah. Tetapi, setelah tiga atau empat bulan, mereka biasanya telah menyiapkan jawaban untuk penulis. Artinya, ketika si penulis menghubungi penerbitnya, pihak penerbit telah siap memberikan jawaban jelas pada penulis. Entah menerima atau menolak—atau bisa pula, “Tunggu, antrian naskah kami masih banyak. Sebulan mendatang kami akan memberikan kejelasan.” Dari situ, si penulis pun mendapatkan kejelasan atas nasib naskahnya.

Kembali pada kasus V. Sejujurnya, saya tidak berani memutuskan vonis mana yang benar dan mana yang salah, karena itu mungkin sudah di luar kompetensi saya. Tetapi, berkaca pada kasus tersebut, kita sama-sama melihat bahwa kepastian adalah hal penting—jika tak mau disebut mutlak—dalam hubungan antara penulis-penerbit, berkaitan dengan nasib sebuah naskah.

Pihak penerbit tentu tidak mau jika mereka “digantung” oleh penulis karena si penulis mengirimkan naskahnya ke dua penerbit sekaligus. Begitu pun, pihak penulis juga tidak mau “digantung” akibat ketidakjelasan yang sama. Para penulis profesional telah mematuhi “aturan main” untuk tidak mengirimkan naskah ke dua penerbit berbeda dalam waktu yang sama.

Seyogyanya, penerbit juga mematuhi “aturan main” yang sama, yakni memberikan kepastian atas nasib sebuah naskah. Jika penerbit menerima untuk menerbitkan, maka si penulis akan memiliki kepastian. Jika penerbit menolak, maka si penulis pun punya kebebasan untuk mengalihkannya ke penerbit lain. Intinya, yang paling penting, adalah kepastian dari pihak penerbit—menerima atau menolak.

Selama lebih dari sepuluh tahun menjalani profesi sebagai penulis profesional, saya cukup tahu karakter dari puluhan penerbit—khususnya yang pernah berhubungan dengan saya, langsung ataupun tak langsung. Saya tahu, ada kalanya sebuah penerbit merasa “tidak enak” jika harus memberikan penolakan pada naskah seorang penulis, khususnya jika si penulis dianggap (cukup) terkenal.

Di milis tempat saya berinteraksi dengan banyak penulis, juga banyak cerita mengenai hal itu. Ada penerbit-penerbit yang sengaja tidak mau memberikan kejelasan atas naskah seorang penulis, karena mereka merasa “tidak enak” menyatakan penolakan secara langsung. Daripada terang-terangan menyatakan penolakan, beberapa penerbit itu ada yang sengaja tidak memberikan jawaban pasti, dengan harapan si penulis “paham sendiri”.

Padahal, sejauh yang saya tahu, tidak ada penulis yang akan membenci sebuah penerbit hanya gara-gara naskahnya ditolak. Hampir semua penulis paham bahwa konsekuensi sebagai penulis adalah menghadapi penerimaan atau penolakan atas naskahnya. So, bagi para penulis, ditolak penerbit adalah hal biasa. Saya sendiri—demi Tuhan dan demi para malaikat yang suci—tidak akan marah pada sebuah penerbit hanya karena mereka menolak naskah saya.

Lebih dari itu, para penulis lebih suka mendapatkan jawaban pasti meski berupa penolakan, daripada jawaban tidak jelas dan terkesan ngambang.

Kemudian, mengenai beberapa penerbit yang lebih suka memberikan jawaban “ngambang” dengan harapan si penulis “paham sendiri” bahwa naskahnya ditolak, mungkin tidak menjadi masalah, selama pihak penerbit memang bermaksud menolak naskah tersebut. Tapi bagaimana jadinya jika yang terjadi seperti kasus V di atas?

Pada kasus V di atas, V si penulis telah memberikan jangka waktu enam bulan pada pihak penerbit, tapi penerbit tidak juga memberikan jawaban kepastian. Sebagai penulis profesional, V cukup “tahu diri”, dan berpikir mungkin penerbit itu bermaksud menolaknya, namun tidak enak. Karena itu pula, V pun memberanikan diri untuk mengirimkan naskahnya ke penerbit lain. Sebagai sesama penulis, terus terang saya tidak berani menyalahkan V, karena saya bisa memahami posisinya.

Saya tahu, blog ini dibaca oleh para penulis, orang-orang dari penerbit, juga para aktivis perbukuan. Saya telah berusaha menuliskan masalah dan topik ini secara objektif, namun penilaiannya saya kembalikan pada kalian. Sebagai kalimat terakhir, saya ingin mengingatkan kita semua… tidak ada buku yang terbit jika para penulis tidak pernah menulisnya.

 
;