Senin, 03 September 2012

Pesan Cinta Menjelang Ajal

Cinta kasih, tampaknya, tuli terhadap kematian.
@noffret


Pesawat Boeing 123 itu meninggalkan landas pacu di bandar udara Tokyo-Haneda pada 12 Agustus 1985, pukul 18.12 sore, menuju selatan ke Osaka. Saat meninggalkan landas pacu, pesawat itu terbang dengan mulus membawa 524 orang. Semua awak pesawat maupun penumpang menikmati penerbangan yang tenang, sampai kemudian bencana tak terbayangkan terjadi.

Ketika pesawat mencapai ketinggian 23.900 kaki di udara dan melaju dengan kecepatan 345 mil per jam, seorang pramugari merasakan getaran yang janggal, dan tiba-tiba terdengar suara keras mengejutkan. Sebelum ia sempat menyadari apa yang terjadi, dinding penyekat bagian buritan tiba-tiba pecah, terlontar dari pesawat, dan membawa seluruh tekanan hidrolis navigasi bersamanya.

Seketika tanda bahaya berbunyi, dan pesawat yang kehilangan kendali itu pun bergetar dengan hebat seiring gerakan menukik berbahaya yang siap mengantarkan semua penumpangnya ke arah maut. Deretan masker oksigen bergelantungan, terdengar teriakan-teriakan panik, sementara pilot dengan sekuat tenaga berusaha mengendalikan pesawatnya. Semua yang ada di pesawat itu tahu, sesaat lagi mereka akan menjemput malapetaka.

Tujuh tahun sebelumnya, pesawat itu telah menunjukkan masalah pada dinding penyekat bagian belakang. Pada 1978, setelah sirip ekor dinding pesawat mengalami kerusakan dalam sebuah pendaratan yang buruk di Osaka, perusahaan Boeing telah memperbaikinya, dan mengumumkan pesawat itu masih layak terbang.

Jadi, selama tujuh tahun sejak itu, tekanan dinding penyekat pada bagian belakang pesawat pun telah menempuh lepas landas dan pendaratan sebanyak 12.319 kali, terbang melintasi hujan dan angin, serta mengalami udara dingin jauh dari permukaan bumi. Selama tujuh tahun itu, bagian yang telah direparasi tersebut menanggung tekanan selama penerbangan hingga kemudian retak, dan tak seorang pun mengamati retakan tersebut.

Yang terjadi kemudian adalah bencana. Petang itu, 524 orang terjebak dalam sebuah pesawat yang menukik turun dengan kecepatan mengerikan, seiring jerit panik para penumpang menyongsong kematian. Pesawat itu meluncur jatuh dengan kecepatan 124 mil per jam dari ketinggian 6.600 kaki. Di bagian depan, pilot terdengar berteriak panik memberikan perintah pada kopilot, “Naikkan hidung pesawat! Naikkan sayap, naikkan sayapnya…!”

Sesaat, bagaikan mukjizat, pesawat yang nyaris jatuh itu dapat menambah ketinggian hingga 13.400 kaki, dan para penumpang berdoa semoga pesawat mereka dapat mendarat dengan selamat—di mana pun tempatnya. Tapi mukjizat itu tak berlangsung lama. Baru saja para penumpang bisa bernapas lega, pesawat kembali jatuh, kali ini nyaris vertikal. Mereka tahu, kali ini tak ada mukjizat lagi.

Ketika akhirnya jatuh ke tanah, pesawat itu mula-mula menghantam punggung gunung, kemudian terguling. Tiga detik berikutnya, terdengar ledakan mengguncang bumi. Peristiwa itu terjadi di hutan gunung Otusaka, enam puluh dua mil dari Tokyo. Kegelapan malam di hutan itu terang sesaat akibat api kebakaran pesawat, tetapi tim penolong tak bisa langsung masuk ke sana karena wilayah itu sangat terpencil, dan jarak pandang nyaris nol.

Keesokan harinya, ketika matahari mulai bersinar, tim penolong mulai memasuki kawasan hutan, dan pemandangan yang ada di sana benar-benar mengerikan. Mayat-mayat dan bagian-bagian tubuh manusia bertebaran di mana-mana—di tanah, di pohon-pohon—hingga beberapa meter jauhnya dari lokasi bencana, akibat terlempar keluar ketika pesawat jatuh menghantam bumi.

Dari 524 orang yang ada di pesawat naas itu, hanya 4 orang yang masih hidup, meski mereka mengalami luka-luka dan patah tulang. Mereka semua ada di bagian belakang pesawat, dan entah bagaimana caranya bisa terhindar dari benturan yang amat mematikan. Tapi yang menakjubkan bukan cuma itu.

Ketika para petugas mulai melakukan proses identifikasi mayat dan mengumpulkan bagian-bagian tubuh serta barang-barang yang berceceran di mana-mana, mereka menemukan kertas-kertas berisi pesan terakhir yang tampaknya ditulis para penumpang pesawat yang tahu sesaat lagi akan tewas. Sebagian kertas itu ada yang utuh, sebagian lain tercabik-cabik, sementara lainnya tampak basah dan rapuh meski tulisannya masih terbaca.

Dilihat dari bentuk tulisannya, jelas sekali kertas-kertas itu ditulis dengan buru-buru. Sungguh menakjubkan mendapati kertas-kertas berisi pesan terakhir itu tidak ikut hancur bersama ledakan pesawat, tapi lebih menakjubkan lagi saat mendapati kata-kata yang tertulis di sana. Beberapa tulisan yang masih dapat dibaca berisi salam perpisahan untuk keluarga, orang-orang terdekat, ataupun ucapan cinta terakhir untuk seseorang.

Bersama kepanikan menjemput ajal dalam sebuah pesawat yang berguncang, rupanya beberapa orang masih menyempatkan diri untuk meninggalkan ucapan kasih untuk orang-orang yang dicintainya. Mereka tahu ajal akan segera datang, dan dalam waktu yang hanya beberapa detik sebelum kematian, yang mereka ingat adalah orang-orang yang paling dikasihi.

Jadi kertas-kertas itu pun tergeletak di sana, di hamparan tanah hutan Otusaka, bersama bangkai pesawat, bersama mayat-mayat dan ceceran darah. Kertas-kertas berisi pesan cinta itu menunggu para petugas berbaju putih memungutnya dengan hati-hati, untuk kemudian menyampaikannya kepada orang-orang yang dituju. Pesan-pesan cinta yang ditulis dengan kesadaran menjelang ajal.

….
….

Dalam detik-detik terakhir hidup, orang tak lagi mengingat siapa yang dibencinya, tapi siapa yang dikasihinya.

 
;