Minggu, 28 Oktober 2012

Maaf, Saya Memang Sering Tidak Nyambung

Sekarang aku tahu, salah satu hal penting
yang perlu kutahu adalah pura-pura tak tahu.
@noffret


Sampai saya menulis catatan ini, ada lebih dari 800 (delapan ratus) catatan yang pernah saya arsipkan di blog ini, yang dapat dibaca dan diakses siapa pun. Dari delapan ratusan catatan tersebut, ada cukup banyak topik dan tema yang pernah saya tulis, khususnya topik-topik yang memang saya sukai, minati, dan kuasai. Dan dari cukup banyak catatan tersebut, saya sering “tidak nyambung” dengan topik yang sedang tren.

Kenyataan itu, meski saya lakukan secara diam-diam, rupanya diketahui beberapa pembaca yang cukup jeli. Umumnya blog, mungkin, suka memposting sesuatu yang kebetulan sedang tren. Umumnya juga dengan harapan mengundang trafik. Tetapi saya justru menjauhi hal semacam itu. Selama empat tahun ngeblog, saya justru selalu berusaha untuk tidak membahas hal-hal yang sedang tren, dan lebih memilih menulis hal-hal lain yang sama sekali tidak nyambung dengan tren.

Seperti yang disebutkan di atas, meski hal semacam itu saya lakukan diam-diam, tapi rupanya ada beberapa pembaca yang jeli dan melihat “keanehan” tersebut. Sebagian mereka bahkan sampai menanyakannya langsung pada saya, mungkin untuk menegaskan persepsi mereka. Dan, dengan jujur pula, saya pun menyatakan pada mereka kalau saya memang sengaja “tidak nyambung”.

Ada beberapa alasan mengapa saya sering “tidak nyambung” seperti itu. Bisa karena saya tidak menguasai topik yang sedang tren tersebut, bisa pula karena saya memang tidak menyukai/meminati topik itu, atau karena saya memang tidak mau menulisnya dengan alasan tertentu. Yang jelas, apa pun yang saya tulis dan kemudian saya posting di blog ini harus memenuhi, setidaknya, tiga syarat mutlak yang saya tetapkan sendiri. Pertama, saya menguasai topiknya. Kedua, saya menyukai/meminati bidang tersebut. Dan ketiga, saya nyaman menulisnya.

Karena cukup luasnya bidang atau topik yang pernah saya tulis di blog ini, kadang-kadang pula ada pembaca yang meminta agar saya menulis topik-topik tertentu, yang biasanya sedang tren—misal tentang keributan atau insiden tertentu, atau tentang tokoh tertentu, atau bahkan tentang sejarah tertentu. Biasanya saya akan menjawab, “Nanti saya usahakan, ya.”

Tetapi bukan berarti saya pasti akan menuliskannya.

Seperti yang disebutkan di atas, setiap tulisan yang saya posting di blog ini harus memenuhi tiga syarat mutlak yang saya tetapkan sendiri—saya menguasai bidang itu, saya meminati topiknya, dan saya nyaman menuliskannya. Jika ada satu saja syarat yang tak terpenuhi, maka saya tidak akan menulisnya. Atau, mungkin saya akan menulisnya, tetapi hanya akan saya baca sendiri. Artinya, tidak akan saya posting di blog ini.

Ulasan ini mungkin agak membingungkan jika tidak ada ilustrasi nyata. Karenanya, agar kalian lebih memahami yang saya maksudkan, berikut ini contoh kasus yang bisa kita gunakan sebagai ilustrasi, yang melatarbelakangi sikap saya untuk memilih “tidak nyambung”.

Pada era 1980-an, berbagai media memberitakan konflik The Beatles dengan The Rolling Stones. Orang-orang di seluruh dunia percaya kedua group musik itu benar-benar berkonflik. Tetapi apakah memang seperti itu kenyataannya? Satu dekade setelah ribut-ribut itu, majalah Playboy (edisi Amerika) mewawancarai Mick Jagger tentang hal tersebut, dan dia menepis anggapan banyak orang kalau Rolling Stones berkonflik dengan The Beatles.

Jadi mengapa dulu media memberitakan mereka berkonflik?

Jawabannya mudah—rekayasa industri.

Ketika popularitas meredup, industri akan mencari jalan apa saja yang dapat ditempuh. Dan salah satu cara mudah, sering kali, dengan menggunakan media. Ingat kasus Backstreet Boys yang juga diberitakan “berkonflik” dengan Westlife pada era 90-an? Jalan ceritanya tak jauh beda. Industri mencari jalan untuk mengenalkan group musik baru (Westlife) ke masyarakat dunia, di tengah persaingan group-group musik yang waktu itu sangat bejibun.

Dengan “membenturkan” Backstreet Boys dengan Westlife, perhatian masyarakat akan tertuju pada mereka melalui perantara media. Faktanya, bocah-bocah Backstreet Boys sering cangkruk dengan bocah-bocah Westlife. Sementara jutaan fans fanatik mereka nyaris berantem di mana-mana, bocah-bocah dari dua group musik itu asyik cengengesan bersama.

Kasus tak jauh beda juga terjadi pada Britney Spears dengan Christina Aguilera yang diberitakan sebagai rival, atau bahkan sampai diberitakan berkonflik dan bermusuhan. Jutaan fans mereka sampai tidak bisa tidur memikirkan “pertengkaran” antara Britney dengan Aguilera. Mereka berharap dua bocah centil itu berbaikan dan tidak bertengkar atau berkonflik lagi. Media massa di seluruh dunia pun terus “mengompori” kasus konflik mereka, dan… coba tebak, apa yang terjadi? Benar, popularitas mereka terus meningkat, penjualan album mereka terus meroket.

Faktanya, Britney Spears dan Christina Aguilera tidak pernah berkonflik!

Ingat perseteruan antara Julia Peres dan Dewi Perssik? Dan apakah mereka benar-benar berseteru sebagaimana yang diberitakan media massa? Oh, well, kita mulai melihat polanya, kan? Pada era 80-an, Rhoma Irama juga pernah diberitakan berkonflik dengan Elvi Sukaesih. Tetapi, lagi-lagi, muaranya sama seperti di atas. Ketika berita mengenai konflik mereka makin meruncing, produser membuat konser di TMII yang mempertemukan Rhoma dan Elvi, dan... bisa ditebak, penonton pun datang dalam jumlah berkali lipat.

Contoh-contoh di atas hanya sedikit di antara banyak contoh lain yang sebenarnya rekayasa, tetapi dipercaya dan diyakini banyak orang sebagai fakta. Tidak di Amerika, tidak di Indonesia, kasus-kasus semacam itu jumlahnya tidak sedikit. Seperti buah yang dikarbit agar cepat terlihat matang, rekayasa sering digunakan untuk melejitkan sesuatu atau seseorang.

Saya sengaja menggunakan contoh-contoh dari dunia selebritas, meski kasus semacam itu juga digunakan dalam spektrum lain, semisal dunia politik, penyebaran isu-isu tertentu, hingga upaya-upaya mengangkat atau menjatuhkan nama seseorang. Dalam banyak ulasan berita yang mungkin kita baca, lihat, dan dengar, tidak menutup kemungkinan beberapa di antaranya sebenarnya rekayasa.

Rekayasa tidak hanya berarti sesuatu yang sebenarnya tidak ada diberitakan ada, tetapi juga kadang sesuatu yang sebenarnya ada dibuat tidak ada, atau bisa pula sesuatu yang benar-benar terjadi tapi sengaja “dibelokkan” hingga melenceng jauh dari fakta yang sebenarnya terjadi. Media, betapa pun juga, adalah alat. Dan bagaimana alat itu digunakan, tentu tergantung siapa yang memilikinya, atau siapa yang menggunakannya.

Saya tidak bermaksud menyatakan semua media tidak jujur. Di antara banyak media yang sangat komersial dan kapitalis, atau bahkan tendensius, kita tidak menutup mata ada media-media yang tetap memegang idealisme dan kejujuran. Tetapi, betapa pun, media dibuat dengan tujuan untuk dikonsumsi. Agar masyarakat mau mengkonsumsinya, maka pekerja media akan berusaha membuat media mereka sesuai keinginan masyarakat. Jika masyarakat menginginkan berita buruk, media akan memberikannya—tepat seperti slogan mereka, “Bad news is good news.”

Jadi, karena itu pulalah, saya sering “tidak nyambung”. Saya tidak mau menjadi “korban media” yang terombang-ambing dalam arus deras berita yang mereka gelontorkan setiap hari. Daripada terpengaruh berita yang kebenarannya mungkin dapat dipertanyakan, saya lebih memilih untuk menulis dan membicarakan hal-hal yang memang saya ketahui kebenarannya, yang saya minati, yang membuat saya nyaman menuliskannya.

Kalau hari ini media massa ramai-ramai memberitakan tentang A, misalnya, bisa jadi saya lebih memilih untuk menulis tentang Z yang sama sekali tidak dikenal, dan sama sekali tidak nyambung dengan topik yang sedang tren. Saya tidak memaksudkan blog saya sebagai TOA untuk mengeraskan apa kata media, tetapi sebagai ruang pengarsipan pikiran-pikiran saya. Lebih dari itu, terus terang, saya bukan budak tren. Kalau saya memang tidak nyaman dengan sesuatu, meski hal itu tengah menjadi tren, saya akan bilang, “Persetan!”

Jadi, kawan-kawan, melalui uraian yang cukup panjang ini, saya harap kalian bisa memahami dan memaklumi kenapa saya sering “tidak nyambung” dengan apa yang mungkin sedang menjadi tren di tengah-tengah kita. Begitu pun, saya mohon maaf jika beberapa permintaan kalian mungkin tidak pernah saya luluskan, karena adanya alasan dan pertimbangan di atas.

Tidak semua yang terlihat seperti tampaknya. Tidak semua yang terdengar seperti suaranya. Tidak semua yang diberitakan seperti kejadiannya. Tidak semua yang digembar-gemborkan sesuai faktanya. Dalam hal ini, saya lebih memilih “tidak nyambung” daripada telanjur berteriak-teriak tapi ternyata “salah sambung”.

 
;