Jumat, 19 Oktober 2012

Sebuah Hati yang Letih (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Pada 29 April, beberapa polisi melihat Crowley mengendarai mobil Chrysler hijau di daerah Bronx, dekat Morris Avenue Bridge. Segera koordinasi dilakukan, dan dalam waktu singkat puluhan mobil polisi memenuhi jalanan. Crowley, yang tahu akan ditangkap, segera menekan gas dan Chrysler-nya melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan di Bronx, sementara mobil-mobil polisi mengejarnya dengan sirine meraung-raung.

Kejar-kejaran dengan kecepatan tinggi itu mirip adegan film—puluhan tembakan polisi menghajar mobil Crowley, melubangi tubuh mobil, memecahkan kaca-kacanya. Rudolph Duringer, yang ada dalam mobil bersama Crowley, membalas tembakan polisi dengan tembakan yang sama. Dalam baku kejar itu, Crowley tertembak, tetapi ia masih bisa mengendalikan mobilnya.

Di salah satu tikungan, Crowley membelokkan mobil dengan kecepatan mengerikan, kemudian menghentikannya secara mendadak. Setelah itu ia menunggu dengan senjata terkokang. Ketika beberapa mobil polisi pengejarnya muncul, ia tembakkan senapannya ke arah mobil-mobil itu. Polisi-polisi dalam mobil yang tertembak tak bisa mengendalikan mobilnya, dan tabrakan antar mobil polisi pun tak terelakkan. Dalam kekacauan yang amat mengerikan itu, Crowley kembali duduk di belakang setirnya, dan menekan gas meninggalkan korban-korbannya.

Beberapa hari berikutnya, sedan Chrysler yang dikendarai Crowley ditemukan di pinggir jalan, penuh lubang peluru tak terhitung jumlahnya, juga terdapat noda darah yang menghitam di jok mobil. Tapi Crowley maupun temannya tak tertemukan.

Pada 6 Mei 1931, Crowley duduk-duduk bersama Helen Walsh di sebuah mobil yang diparkir di kawasan North Merrick, Long Island. Keduanya sedang menikmati minuman ringan sambil bercanda ketika muncul dua petugas polisi mendekati mobil mereka. Kedua polisi itu—Frederick Hirsch dan Peter Yodice—mencurigai keberadaan mobil tersebut, dan mereka pun mendekati Crowley yang ada di jok depan.

Frederick Hirsch menyapa Crowley, dan berkata, “Boleh saya lihat SIM Anda?”

Sebagai jawaban, Crowley membuka pintu mobilnya, dan menghantamkannya ke tubuh polisi itu. Frederick Hirsch terjatuh ke aspal, dan Crowley segera menembakkan senjatanya. Peter Yodice yang menyaksikan rekannya ditembak, segera mengambil pistolnya, tetapi Crowley lebih cepat. Ia mengarahkan senjatanya ke tubuh polisi satunya itu, dan Peter Yodice pun segera terjungkal ke tanah dengan darah berhamburan dari tubuhnya. Tetapi keduanya belum mati.

Crowley kembali menembakkan senjatanya ke dua polisi yang kesakitan, namun kali ini pelurunya habis. Dengan santai, ia mengambil pistol milik polisi-polisi itu, lalu dengan kedua tangannya ia memberondongkan peluru ke tubuh dua polisi yang telah sekarat. Darah mengalir di aspal, bersimbah menutupi dua tubuh penuh luka. Setelah yakin kedua polisi itu tewas, Crowley masuk ke mobil dan melesat pergi.

Kematian dua polisi itu semakin membakar amarah NYPD. Sepanjang sejarah kejahatan di New York, belum pernah ada orang yang begitu kejam dan brutal seperti Crowley. Ia benar-benar orang paling berbahaya—sosok yang tidak akan ragu mengambil pistol untuk membunuh siapa pun yang dikehendakinya. Menggunakan istilah Komisaris Polisi E.P. Mulrooney, “Crowley akan membunuh, hanya karena jatuhnya sehelai bulu.”

Karenanya pula, kepolisian New York pun semakin bertekad menangkap penjahat itu, dan seluruh kekuatan dikerahkan untuk memburunya. Perburuan itu membuahkan hasil. Satu hari setelah penembakan dua polisi di atas, pada 7 Mei 1931, NYPD mendapatkan informasi bahwa Crowley ada di sebuah apartemen di kawasan West End Avenue, bersama Helen Walsh dan Rudolph Duringer.

NYPD segera mengumpulkan pasukan berjumlah besar—300 polisi bersenjata senapan dan gas air mata, serta para detektif—untuk mengepung apartemen berlantai lima itu. Penyergapan dan pengepungan itu dipimpin Letnan Christian Salsieder, yang kelak mendapatkan Honorable Mention, penghargaan tertinggi untuk polisi.

Crowley dan teman-temannya kali ini benar-benar terjebak, namun mereka tak mau menyerah begitu saja. Ketika mendapati apartemen telah terkepung, mereka menembakkan senjata dan melemparkan granat ke arah para polisi, yang segera dibalas tembakan sama.

Itu pengepungan dan penyergapan penjahat paling sensasional di New York, dan baku tembak yang mirip film-film action itu menarik perhatian 15.000 orang yang berdebar menontonnya. Ratusan polisi menembaki dinding-dinding apartemen, melemparkan gas air mata, sementara pengeras suara meneriakkan perintah agar Crowley dan teman-temannya menyerah. Dari dalam gedung, Crowley dan teman-temannya membalas tembakan itu, dan kembali melemparkan gas air mata melalui atap apartemen.

Jalanan di New York bagaikan lokasi perang. Desingan peluru dan dentuman senjata terdengar dari sana-sini, beberapa polisi bergelimpangan di jalanan, mobil-mobil terbakar, sementara ribuan orang yang menyaksikan pertempuran itu tercekam kengerian. Di dalam apartemen, dengan berlindung di balik kursi baja, Crowley mengarahkan senjata dan menembakkan peluru ke arah ratusan polisi yang mengepungnya.

Baku tembak itu berlangsung hingga dua jam, dan ada lebih dari 700 peluru yang ditembakkan polisi untuk menundukkan Crowley. Akhirnya, Crowley menyerah setelah terkena empat tembakan, dan darah terus mengucur dari tubuhnya. Saat diperiksa, mereka menemukan dua senjata tersembunyi di kedua kaki Crowley, dan sehelai kertas bernoda darah tersimpan di saku bajunya.

Sehelai kertas itu berisi catatan yang ditulis Crowley dengan terburu-buru sambil menahan luka-luka di tubuhnya akibat tertembus peluru. Mungkin, karena mengira dirinya akan segera mati, Crowley ingin meninggalkan wasiat. Dan wasiat yang ditulisnya di kertas itu berbunyi, “Untuk mereka yang berkepentingan. Di balik pakaianku ada sebuah hati yang letih—sebuah hati yang baik, yang tidak tega melukai siapa pun.”

Francis Crowley, penjahat paling bengis di New York, yang dijuluki The Two Guns—karena biasa menggunakan dua senjata di tangannya—dan telah membunuh banyak orang dengan darah dingin itu, menyatakan, “Di balik pakaianku ada sebuah hati yang letih—sebuah hati yang baik, yang tidak tega melukai siapa pun.”

Pada 21 Januari 1932, Crowley dieksekusi di atas kursi listrik setelah pengadilan New York memvonis hukuman mati atas semua kejahatan dan pembunuhan yang telah dilakukannya. Tetapi, bahkan sampai di situ pun, Crowley tidak pernah menerima kenyataan atau menyadari dirinya bersalah. Dia masih meyakini dirinya orang baik, yang “tidak tega melukai siapa pun.”

Seperti yang dikatakan orang-orang bijak, cara kita melihat diri sendiri adalah ego kita. Cara orang lain melihat diri kita adalah kepribadian kita.

 
;