Jumat, 09 November 2012

Surga Ada di Bawah Telapak Kaki Penjual Batagor (1)

Kangen batagor.
Hmm… apakah di surga ada batagor?
@noffret


Seperti sudah saya ceritakan di sini, saya sangat suka batagor. Karena itu, “wisata kuliner” saya adalah keluyuran dari satu warung batagor ke warung batagor yang lain. Kadang saya menemukan warung batagor yang benar-benar “maknyus”, dan saya pun biasanya akan sering-sering datang ke warung tersebut.

Nah, salah satu warung batagor “maknyus” itu kebetulan cukup jauh dari rumah saya. Tapi karena memang “maknyus”, saya pun tak peduli—kerap kali datang ke sana meski harus menempuh perjalanan cukup jauh.

Warung itu saya temukan bertahun-tahun lalu, ketika masih kuliah semester awal. Karena batagornya memang enak, warung itu pun selalu ramai pengunjung. Saban kali saya ke sana, hampir bisa dipastikan ada puluhan orang yang sudah ngantri. Penjualnya seorang ibu, yang dibantu anak lelaki dan anak perempuannya. Kalau saya perhatikan, si ibu bertugas memasak dan menyajikan, si anak perempuan mengantarkan batagor ke pembeli yang sudah menunggu, sementara si anak lelaki bertugas mencuci piring kotor.

Dulu, pada awal-awal saya sering ke warung batagor tersebut, si anak perempuan masih SMA. Itu saya tahu karena dia sering terlihat masih berseragam SMA, ketika mengantarkan piring berisi batagor buat saya. Mungkin waktu itu dia baru pulang sekolah, dan tidak sempat berganti baju karena harus buru-buru membantu ibunya di warung batagor. Anak perempuan itu cantik—khususnya di mata saya.

Hingga beberapa tahun saya menjadi pelanggan warung tersebut. Biasanya, saya akan memesan batagor dan minuman botol. Kadang ditambah rokok, kalau kebetulan rokok saya pas habis. Semuanya baik-baik saja—batagornya nikmat, minumannya enak, dan rokoknya sedap. Ditambah pemandangan cewek cantik anak penjual batagor, lengkaplah sudah keindahan hidup ini.

Nah, yang agak menjengkelkan adalah ketika akan membayar. Kita tahu, di warung-warung pinggir jalan semacam itu kita hanya percaya pada si penjual. Artinya, harga yang akhirnya kita bayar baru kita ketahui setelah si penjual menyebutkan angkanya. Dalam hal ini, ibu si penjual batagor itu sering kali “seenaknya sendiri” dalam menetapkan harga pada pelanggannya.

Karena bertahun-tahun jadi pelanggan di sana, saya tahu betul berapa harga seporsi batagor, berapa harga minuman sebotol, dan berapa harga sebatang atau dua batang rokok. Ketika akan membayar, saya sudah tahu berapa yang seharusnya saya bayar, namun sering kali ibu penjual batagor itu “menggenapkan” seenaknya sendiri. Misalnya, total yang harus saya bayar Rp. 8.500 atau Rp. 9.000. Nah, penjual batagor itu akan “membulatkannya” menjadi Rp. 10.000.

Hal itu tidak hanya terjadi pada saya, tapi juga pada para pembeli atau pelanggan lainnya. Kadang-kadang saya ketemu teman di warung batagor tersebut, dan kami pun membincangkan soal harga yang ditetapkan seenaknya sendiri itu. Banyak orang mengeluhkan kasus tersebut, namun kebanyakan memilih diam—mungkin karena tidak mau ribut, mungkin pula karena “terpelet” lezatnya batagor di sana. Akibatnya, meski saya sendiri jengkel atas ulah penjual batagor di atas, saya tetap saja kembali dan kembali lagi ke sana.

Mulanya, jujur saja, saya dongkol. Memang uang seribu rupiah bukan nilai yang besar. Tapi kalau hal itu diminta secara tidak benar—sebagaimana yang dilakukan penjual batagor di atas—saya tentu merasa dongkol. Beda kasus, misalnya, saya dengan ikhlas memberikannya kepada peminta-minta. Meski nilainya sama, saya tidak akan jengkel, karena saya melepaskan uang itu dengan suka rela.

Namun, lama-lama, akhirnya saya mencoba menyadari. Ketika makan batagor di sana, kadang saya berusaha memaklumi perbuatan si penjual batagor. Mungkin, kehidupan si penjual batagor itu cukup sulit, dan keuntungannya dalam menjual batagor mungkin kurang dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya—dari kebutuhan membeli sembako sampai kebutuhan menyekolahkan anak-anaknya. Dan, karena kesulitan semacam itulah kemudian dia sampai tega “menilep” beberapa rupiah dari pelanggannya.

Ketika menyadari hal semacam itu, saya pun mencoba dan berusaha untuk mengikhlaskan setiap kali saya tahu sedang “ditipu” olehnya. Dan dalam hati diam-diam saya berdoa, semoga sedikit uang yang diambilnya dari saya itu memberikan keberkahan dan manfaat.

Lanjut ke sini.

 
;