Jumat, 02 November 2012

Tangis Tak Terdengar (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Meski cukup tragis, namun Naila Afsar bernasib lebih baik dibanding Ilham Mahdi al-Assi, yang kemudian mati karena kehendak sepihak orang tuanya.

Ilham Mahdi adalah gadis berusia 12 tahun asal provinsi Hajja, Yaman. Ia dipaksa menikah oleh orang tuanya, meski ia sendiri belum memahami sepenuhnya arti pernikahan. Ia tak berani menolak. Ia bahkan tidak tahu bagaimana cara menolak perjodohan itu. Jadi, pada 29 Maret 2010, gadis itu pun menikah dengan seorang lelaki yang dipilihkan keluarganya.

Lalu tragedi tak terbayangkan terjadi. Karena belum memasuki usia pubertas, dan organ-organ reproduksinya belum kuat untuk berhubungan intim atau melahirkan, gadis belia itu mengalami perdarahan hebat ketika berhubungan seksual dengan suaminya, akibat pecahnya pembuluh darah pada organ seksnya.

Karena kondisinya yang memprihatinkan, gadis itu pun dibawa ke rumah sakit, tapi nyawanya tak tertolong. Pada 2 April 2010, Ilham Mahdi meninggal dunia—lima hari setelah perkawinannya. Atas kematian tragis itu, Shaqaeq Arab Forum for Human Rights, organisasi nonpemerintah, menyatakan, “Gadis itu meninggal sebagai korban dari penyalahgunaan kehidupan anak-anak di Yaman.”

Kematian Ilham Mahdi al-Assi menjadi contoh nyata dari hasil pertentangan larangan pernikahan anak di Yaman, yang mengarah ke “pembunuhan anak perempuan”. Tak jauh beda dengan negara berkembang lainnya, pernikahan gadis-gadis muda tersebar luas di Yaman yang memiliki struktur suku yang kuat. Karena banyaknya gadis-gadis belia yang mati di sana akibat perkawinan dini, sampai-sampai muncul istilah “pengantin kematian” yang mengilustrasikan perkawinan sebelum pubertas.

Pernikahan dini telah menjadi kontroversi cukup lama di Yaman, sampai kemudian muncul undang-undang yang melarang pernikahan anak dalam usia dini. Undang-undang baru itu menyebutkan usia minimal perempuan untuk menikah adalah 17 tahun, sedang untuk laki-laki minimal 18 tahun. Meski positif, undang-undang itu mendapatkan banyak tentangan, khususnya dari masyarakat konservatif, meski kematian demi kematian telah berlangsung di depan mata mereka akibat perkawinan yang belum waktunya.

Perkawinan yang dipaksakan—anak-anak perempuan yang dipaksa menikah dengan orang yang tak dicintainya, atau dipaksa menikah sebelum waktunya—seperti yang tergambar dalam dua ilustrasi di atas, mungkin telah sangat klise dalam kehidupan kita. Tapi bukan berarti ia tak lagi ada. Setiap hari, masih ada perempuan yang menangis diam-diam karena menuruti kehendak orang tuanya, menikah dengan seseorang yang tak dikenal apalagi dicintainya.

Dan, kadang, orang tua tidak hanya merasa berhak menentukan siapa jodoh anaknya, tetapi juga untuk hal-hal lain yang mereka anggap sebagai “hal baik” bagi sang anak, meski sebenarnya sangat berbahaya. Fatima Sheriff adalah contoh nyata betapa sesuatu yang dianggap baik oleh orang tuanya ternyata menjadi awal derita seumur hidup baginya.

Fatima Sheriff adalah wanita yang tinggal di wilayah Afrika barat. Sebagaimana umumnya tradisi di sana, Fatima juga menjalani adat mengerikan berupa mutilasi klitoris dan bagian vaginanya. Dalam ingatannya, Fatima menceritakan, ia masih berusia 4 atau 5 tahun ketika peristiwa mengerikan itu terjadi. Ia masih ingat ibunya memegangi dirinya, sementara seseorang tak dikenalnya memegangi silet dan kemudian memangkas kelaminnya.

“Jika orang itu melakukannya hari ini,” kata Fatima yang kini berusia 32 tahun, “saya akan membunuhnya!”

Pernyataan keras Fatima dilatarbelakangi rasa traumanya yang tak pernah hilang, juga karena ia selalu malu akibat cacat alat kelaminnya. Ia cemburu pada perempuan lain yang memiliki alat kelamin utuh, dan merasa dirinya kehilangan identitas sebagai perempuan. Meski telah menikah, Fatima mengaku tak pernah mampu bergairah dalam hubungan seksual dengan suaminya. Berdasarkan penuturannya sendiri, ia tidak pernah mengalami kenikmatan apa pun dalam aktivitas seksualnya, meski sekarang telah memiliki anak.

Fatima adalah satu di antara seratus empat puluh juta perempuan di seluruh dunia yang mengalami mutilasi genital akibat klitoris dan labianya dihilangkan sebagian atau semua. Dan mutilasi itu disebut adat yang baik, suatu hal yang diwariskan turun temurun oleh orang tua kepada anaknya, dan kepada anaknya lagi, dan kepada anaknya lagi. Tetapi para perempuan kini sadar, bahwa “adat yang baik” itu sebenarnya horor mengerikan yang menghantui seumur hidup.

Karena kesadaran itu pula, para dokter dan para ilmuwan pun berupaya mencari cara agar dapat merekonstruksi alat kelamin perempuan—klitoris atau labianya—yang termutilasi. Hasilnya, upaya untuk melakukan rekonstruksi itu berhasil ditemukan, meski prosesnya cukup menyakitkan. Pierre Foldes, seorang ahli bedah di Poissy-Saint Germain Hospital, Paris, adalah 1 di antara 10 dokter di dunia yang terlatih melakukan prosedur itu.

Sepanjang tahun 1998-2009, Pierre Foldes telah menangani ratusan pasien, terutama dari Mali, Senegal, dan Pantai Gading—sebanyak 560 perempuan di antaranya telah mengalami mutilasi di Prancis, dan sebagian besar berusia 5-9 tahun ketika mutilasi itu terjadi. Setelah upaya rekonstruksi alat kelamin dilakukan, para pasien masih harus menjalani terapi seks yang cukup memakan waktu, untuk dapat merasakan orgasme dalam aktivitas seksualnya.

Fatima Sheriff juga menjadi salah satu pasien dokter Pierre Foldes, dan ia menjalani operasi rekonstruksi klitoris untuk memperbaiki kondisinya akibat mutilasi. Setelah beberapa minggu menjalani pemulihan yang menyakitkan, ia masih harus menjalani terapi di bawah bimbingan terapis seks. Hasilnya, seperti yang dikatakannya sendiri, “Saya menangis, ketika akhirnya bisa merasakan orgasme untuk pertama kalinya.”

Ketika diwawancarai surat kabar MedIndia, Sabtu, 16 Juni 2012, dengan berurai air mata Fatima menjelaskan bahwa kebahagiaannya sekarang bukan hanya karena dapat merasakan orgasme dalam hubungan seksual dengan suaminya, tetapi juga karena sekarang ia telah merasa utuh sebagai perempuan.

....
....

Pepatah lama menyatakan, “Tidak ada orang tua yang ingin menyengsarakan anak-anaknya.” Coba katakan itu pada Naila Afsar, Ilham Mahdi al-Assi, atau Fatima Sheriff.

 
;