Kamis, 13 Desember 2012

Bulan di Mimpiku

Semalam aku bermimpi tentang bulan.
Mendengarkan ceritanya yang membuatku tersenyum.
Masih ingin bersamanya, tapi aku terbangun.
@noffret 


Dalam tidurku yang gelisah di suatu malam, aku bermimpi tentang Bulan. Rasanya, dalam mimpi itu, kami duduk berdekatan, dan Bulan mewujud sesosok wanita. Dengan keindahan sempurna. Aku tak tahu di tempat mana kami bertemu, tapi aku masih ingat di sana hanya ada keheningan dan kesunyian. Bahkan angin pun tak ada. Dan kami bercakap-cakap dengan berbisik, namun saling mendengar dengan jelas.

Dalam mimpi itu, aku masih ingat, aku berkata kepadanya, “Mungkin aku terlalu naif. Tapi aku sama sekali tak menyangka kau seorang wanita.”

Bulan tersenyum.

Untuk sesaat, aku bingung mau mengatakan apa lagi. Jadi kuedarkan pandanganku ke sekeliling, dan mendapati tempat yang luar biasa hening… luar biasa sunyi. Itu tempat paling hening yang pernah kusaksikan, keadaan paling sunyi yang pernah kurasakan. Jadi itulah yang kemudian kukatakan kepadanya, “Tempat ini sangat hening.”

Sekali lagi Bulan tersenyum. Dan menyahut, “Kuharap kau suka.”

“Aku suka sekali,” jawabku jujur. “Aku belum pernah merasakan hening yang lebih damai dari tempat ini. Well, bagaimana rasanya tinggal di sini?”

“Bagiku menyenangkan.”

“Aku bisa membayangkannya. Sudah berapa lama kau di sini?”

“Kau mempertanyakan relativitas waktu,” jawab Bulan. “Mungkin kau lupa, di sini tidak ada jam, hari, tanggal, tahun, atau hitung-hitungan waktu seperti di tempatmu.”

Aku terdiam sesaat mendengar jawaban itu. Kemudian aku bertanya, “Kalau boleh tahu, apakah kau tidak kesepian? Maksudku, well… kau tinggal sendirian di sini, tanpa ada siapa pun yang bisa diajak bicara. Kau tak pernah terpikir untuk bergabung dengan kehidupan manusia di Bumi? Yeah, maksudku, sebagai manusia, aku tetap merasa butuh berinteraksi dengan sesama, meski aku juga mencintai keheningan. Memiliki teman bicara, atau semacamnya.”

Kali ini Bulan yang terdiam sesaat. Lalu, dengan suara lirih ia berkata, “Di waktu lampau, sebenarnya, aku pernah turun ke Bumi, ke tempatmu para manusia.”

Aku terkejut. “Sungguh?”

“Ya.” Bulan mengangguk. “Waktu itu, aku juga sempat terpikir seperti yang baru kaukatakan. Mungkin sangat menyenangkan jika aku turun ke Bumi, dan bisa bercakap-cakap dengan manusia. Jadi aku pun meninggalkan tempat ini, dan turun ke sana. Tetapi, kemudian, keberadaanku di Bumi waktu itu menjadi kesalahan terbesar yang pernah kulakukan.”

“Apa yang terjadi?”

Hening menyelimuti kami sesaat, karena Bulan terdiam. Menundukkan wajah. Aku menunggu. Bahkan jika harus menunggu seabad pun aku tak peduli, pikirku waktu itu.

Tapi aku tak perlu menunggu sampai satu abad, karena Bulan kembali menatapku, dan berkata perlahan-lahan, “Di Bumi, aku terkejut mendapati banyaknya kejahatan, nafsu, iri hati, kedengkian, serta kemunafikan. Selain itu, yang paling membuatku risih—dan yang membuatku meninggalkan Bumi—ada banyak lelaki yang tergila-gila kepadaku. Itu… itu sangat menyusahkanku, kalau kau tahu maksudku.”

“Kau sangat menawan, wajar kalau mereka begitu.”

“Aku tahu,” ujar Bulan tanpa nada angkuh, “dan aku bisa memahami kenyataan itu. Tetapi, ada satu lelaki yang sangat… oh, bagaimana aku harus menyatakannya? Maksudku, dia sangat… sangat keterlaluan.”

Aku benar-benar penasaran sekarang. “Apa yang dilakukannya?”

“Beberapa lelaki yang mendekatiku di Bumi melakukannya secara wajar dan biasa—seperti umumnya interaksi manusia lelaki dan wanita. Tetapi lelaki yang satu itu sangat… sangat keterlaluan. Sejak mengenalku, dia terus mengikutiku ke mana pun aku melangkah, menuju ke mana pun aku pergi, dan tak pernah berhenti menggangguku. Kau tahu bagaimana tidak nyamannya keadaan seperti itu.”

Aku mengangguk.

“Dan dia mengirimkan banyak puisi cinta,” lanjut Bulan.

Aku menyahut sambil mencoba bercanda, “Kedengarannya romantis.”

“Tidak, jika kau melihat kisahnya. Pada waktu itu, ada banyak lelaki yang juga mendekatiku, dan mereka juga mengirimiku banyak puisi cinta. Puisi-puisi mereka sangat indah, dengan kata-kata yang sangat tertata, halus, lembut, dan menyentuh. Tetapi aku tahu tak mungkin membalas cinta satu pun dari mereka, karena aku tidak ditakdirkan menikah. Nah, lelaki ini—lelaki yang sangat keterlaluan tadi—mengirimkan banyak puisi cinta, namun puisinya paling buruk di antara lainnya.”

Aku masih mendengarkan.

“Dan dia tak pernah berhenti mengirimkan puisi-puisinya yang buruk itu,” lanjut Bulan. “Seiring dengan itu, dia terus mengikuti langkahku, ke mana pun aku pergi. Yang paling mengganggu, dia juga tak pernah berhenti menanyakan bagaimana pendapatku tentang puisi-puisinya. Bagaimana cara manusia mendefinisikan sikap dan perilaku semacam itu? Tidak tahu malu?”

“Like that.”

“Dia tidak tahu malu, dan sejujurnya aku sangat malu dengan perilakunya,” tutur Bulan dengan wajah sedih. “Mungkin dia lelaki yang baik. Tetapi sikap dan perilakunya, serta agresivitasnya yang keterlaluan membuatku memilih untuk menjauhinya.”

“Dan dia juga menjauh darimu?”

“Sayangnya tidak. Seperti yang kubilang tadi, dia terus menanyakan bagaimana pendapatku tentang puisi-puisinya yang terus ia kirimkan untukku. Bagaimana aku harus menjawabnya? Aku menerima banyak puisi lain yang jauh lebih indah dari puisinya, yang dikirimkan para lelaki yang tahu sopan santun. Dan para lelaki yang sopan itu tidak pernah menanyakan bagaimana pendapatku tentang puisi mereka. Tetapi lelaki yang satu itu… oh, dia benar-benar keterlaluan. Puisinya sangat buruk, tetapi dia tanpa malu terus menanyakan bagaimana pendapatku.”

“Jadi, apa yang kemudian kaulakukan?”

Bulan kembali menunduk. Terdiam beberapa saat. Dan aku menunggu. Lalu ia kembali mengangkat wajahnya, menatapku, dan berkata perlahan-lahan seperti tadi. “Manusia memiliki pepatah bahwa kesabaran kadang ada batasnya. Begitu pun aku pada waktu itu. Menghadapi lelaki itu, kesabaranku rasanya terkuras. Semula, aku tidak mau memberikan pendapat apa pun atas puisi-puisinya, karena aku tidak mau menyinggung perasaannya. Tetapi, karena dia terus memaksa, dan kesabaranku telah habis, akhirnya aku pun jujur menjawab, dan menyatakan kepadanya bahwa puisinya sangat buruk.”

“Dan…?”

“Dan dia marah-marah,” jawab Bulan dengan wajah terluka. “Dia marah-marah karena aku menyatakan jawaban yang jujur kepadanya. Mungkin aku bisa membohonginya, dan menyatakan bahwa puisinya sangat indah. Tetapi, kupikir, itu tidak akan membuatnya belajar, malah sebaliknya akan membuatnya besar kepala. Lagi pula, bukankah dia sendiri yang meminta dan memaksaku memberikan pendapat atas puisinya? Tanpa malu, dia terus memaksaku memberikan pendapat atas puisinya. Dan ketika pendapat yang jujur itu kukatakan, dia tidak terima.”

Mendengar penjelasan itu, aku bisa memahami mengapa wajah Bulan tampak sangat sedih. Dia pasti ada di antara dilema. Dia bisa saja memberikan jawaban bohong kepada lelaki itu, dan menyatakan bahwa puisinya sangat indah. Tetapi, Bulan pasti khawatir pujian itu justru akan menjerumuskan si lelaki ke dalam kepongahan, sekaligus khawatir si lelaki menganggap pernyataan itu sebagai penerimaan Bulan pada dirinya.

Dengan memberikan jawaban jujur kepada si lelaki, dan menyatakan bahwa puisinya memang buruk, Bulan tentu berharap si lelaki mau menyadari bahwa dia masih harus banyak belajar, dan jawaban itu pun pasti dimaksudkan agar si lelaki menjauh dan tidak mengganggunya lagi. Oh, well, kau tidak bisa merayu wanita dengan puisi yang buruk, dan berharap dia jatuh cinta kepadamu.

“Apa yang kemudian terjadi setelah itu?” tanyaku.

Bulan menjawab, “Seperti yang kubilang tadi, lelaki itu tidak terima dan marah-marah. Karena mungkin dia memang tidak tahu malu, dia mengumbar kemarahannya di mana-mana. Dia mencaci-maki aku, memburuk-burukkan namaku, dan menimpakan setumpuk tuduhan tak masuk akal, seolah-olah aku sangat rendah dan hina.”

Kemudian, dengan nada suara agak meninggi, Bulan melanjutkan, “Dia sendiri yang mendekatiku. Dia sendiri yang mati-matian mengirimkan puisi-puisi itu untukku. Dia sendiri pula yang terus memaksaku memberikan pendapat atas puisi-puisinya. Tetapi, ketika keinginannya kukabulkan, dia tidak terima. Itu seperti kau berdiri di hadapan cermin, dan cermin memantulkan bayangan yang jujur, tapi kemudian kau tidak terima ketika menyaksikan bayanganmu sendiri, lalu kaupecahkan cermin itu. Alangkah anehnya manusia!”

Melihat kedukaan di wajahnya, rasanya aku ingin menggenggam tangannya yang halus. Tapi aku ragu. Jadi, aku pun hanya diam, dan menatap wajahnya, menunggu dia kembali berbicara.

“Kenyataan itulah yang kemudian membuatku trauma,” lanjut Bulan. “Aku menyesal telah turun ke Bumi. Di sana aku memang menemukan teman, dan bisa berbicara satu sama lain. Tetapi, di sana pula aku terluka. Sejak itu, aku pun kembali ke tempatku semula. Di sini memang tidak ada apa pun atau siapa pun, selain hening dan sunyi. Di sini aku memang sendirian. Tetapi di sini aku tidak memiliki masalah apa pun. Di sini aku bebas menjadi diriku sendiri, menikmati kesendirian yang memang menjadi kesenanganku. Kupikir, kau pun tahu perbedaan antara kesepian dan kesendirian.”

“Aku tahu,” jawabku. “Kesendirian adalah kondisi seorang diri yang kita inginkan. Kesepian adalah kondisi terasing yang tidak kita harapkan. Kau bisa sendirian tanpa kesepian, karena kesendirian memang bukan kesepian.”

Bulan tersenyum. “Aku senang ada yang memahamiku.”

Aku membalas senyumnya. Pada waktu itu, aku bermaksud ingin mengatakan sesuatu kepadanya, tapi kemudian aku terbangun dari tidur. Dan mimpi itu pun selesai sampai di sana.

Di kejauhan, terdengar lolong serigala.
 
 
;