Kamis, 20 Desember 2012

Drama Sore Hari

Di lokasi syuting, sore hari, adegan keempat belas dalam sebuah skrip sinetron.

Para kru telah bersiap di tempatnya masing-masing, kameramen telah menyalakan kamera, para pemain telah siap berakting, dan sutradara telah duduk di singgasananya. Sementara lokasi pengambilan gambar juga telah diset sebagaimana yang tertulis dalam naskah skenario. Acara syuting itu sejauh ini lancar-lancar saja, dan semua kru sudah senang. Sebuah stasiun televisi sudah siap menayangkan sinetron mereka.

Sutradara mengangkat tangan, memberi tanda para pemain untuk masuk ke set adegan. Dua orang pemain—satu lelaki dan satu perempuan—telah bersiap di tempatnya, dan adegan itu pun dimulai….

Si pemain lelaki berkata sambil tersenyum, “Aku pulang, ya.”

“Ya,” jawab si perempuan dengan manis.

Adegan itu terlihat natural, bahkan indah. Tetapi sutradara langsung berteriak, “CUT…!”

Semua kru menghentikan aktivitasnya. Para pemain menengok ke arah sutradara, dan mereka tahu sesaat lagi si sutradara akan menyemburkan amarah.

“Apa yang kalian lakukan?!” sembur sutradara pada kedua pemain tadi. “Kalian tidak menghafal skrip?!”

Si pemain lelaki mencoba menjawab, “Kami menghafal skrip…”

“Persetan!” potong sutradara. “Kalau kau membaca skrip dengan baik, tentunya kau ingat adegan yang seharusnya kaulakukan!”

“Uh, bukannya tadi saya melakukan sesuai skrip?”

Si sutaradara menjawab dengan jengkel, “Kau melakukan seperti yang tertulis dalam skrip, tapi seharusnya simpan saja senyummu! Tentunya kau tahu dalam adegan ini kalian sedang marahan, dan kau pamit kepada pacarmu dengan muka masam!” Kemudian, sutradara beralih pada pemain perempuan, “Dan kau, bagaimana bisa kau bersikap sangat manis kepadanya? Kalian sepasang pacar yang sedang marahan!”

Si perempuan menjawab spontan, “Tapi kami tidak sedang marahan.”

“Persetan apa yang kalian lakukan!” raung sutradara. “Lakukan sesuai yang tertulis dalam skrip, dan lupakan kisah cinlok kalian!” Setelah itu dia memberi perintah pada semuanya, “Re-take!”

Adegan itu pun diulang. Re-take, pengambilan gambar ulang, adalah makanan pokok dalam aktivitas syuting. Semakin tolol pemainnya, re-take biasanya akan semakin lama karena harus diulang-ulang akibat terjadi kesalahan. Karenanya, mendapatkan pemain tolol adalah mimpi buruk para kru film. Tapi kedua pemain yang sekarang menjalani re-take tidak termasuk dalam kategori tolol—mereka pemain-pemain hebat.

Sutradara memberikan tanda, “Camera… action!”

Si pemain lelaki berkata seperti tadi, sambil tersenyum, “Aku pulang, ya.”

Dan si perempuan tetap menjawab dengan manis, “Ya.”

Sekali lagi, adegan itu terlihat natural, bahkan indah. Tetapi, lagi-lagi sutradara langsung berteriak, “CUT…!”

Dengan suara meraung, sutradara berteriak pada kedua pemain itu, “Demi Tuhan, apa yang kalian lakukan…?!”

Si pemain lelaki mencoba menjawab, “Kami…”

“Tadi sudah kuingatkan, kalian adalah pasangan yang sedang marahan!” raung sutaradara. “Kau pamit dengan muka masam, dan pacarmu menjawab dengan lebih masam—itu yang tertulis dengan gamblang dalam skenario! Tapi kalian malah berakting seperti sepasang ABG baru jadian!”

Si perempuan menjawab, “Kami bukan ABG.”

“Aku tahu, sialan!” jawab sutaradara makin murka. “Itulah yang membuatku heran, kenapa kalian bertingkah seperti ABG! Kalau membaca skrip dengan baik, mestinya kalian ingat, dalam adegan ini kalian sedang marahan! Jadi, kalian sebenarnya membaca skrip atau tidak?”

“Kami membacanya,” jawab si pemain lelaki mantap.

Lalu adegan itu pun diulang, diulang lagi, dan diulang lagi. Sampai berkali-kali re-take, adegan yang seharusnya mudah itu—entah kenapa—tidak juga sesuai dengan keinginan sutradara, karena dinilai melenceng dari yang tertulis dalam skenario. Ketika telah mengalami belasan kali re-take, si sutradara merasa kehabisan kesabaran. Setelah mengamuk dan menyemburkan kemarahan, ia memerintahkan untuk rehat sebentar.

Pada waktu break itulah, pemain lelaki dan pemain wanita menyendiri di satu sudut lokasi, dan mereka tampak bercakap-cakap.

Si lelaki berkata, “Bagaimana kalau kita tinggalkan sinetron sialan ini?”

“Apa maksudmu?” sahut si perempuan.

“Maksudku, maukah kau menikah denganku?”

Si perempuan tersenyum malu. Lalu dengan perlahan dia menjawab, “Ya, aku mau.”

Sejak itu, keduanya tidak pernah lagi main sinetron. Tetapi, bagi mereka, hidup di dunia nyata jauh lebih indah dibanding dalam sinetron. Di dunia nyata, kau bisa menjadi dirimu sendiri, berbuat dan bertingkah laku sesuai karaktermu yang asli, dan tidak ada siapa pun yang berhak menentukan apa yang harus kaupilih atau kaulakukan. Di dunia nyata, kau tidak perlu beradegan seperti dalam drama.

Ada banyak hal yang jauh lebih menakjubkan di dunia nyata, dan sepasang lelaki perempuan itu sampai hari ini merasa heran karena ada banyak orang yang lebih suka menjalani hidupnya seperti dalam sinetron.

 
;