Sabtu, 26 Januari 2013

Farhat Abbas, Masalah Konteks, dan Lainnya (3)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Teks harus ditempatkan pada konteks yang benar—begitulah rumusnya. Setidaknya, begitulah rumusnya jika tidak ingin dianggap tolol atau keras kepala.

Di dunia blog, sering kali saya blogwalking, dan menyaksikan perang di kolom komentar gara-gara adanya komentar yang salah konteks. Pernah saya mendapati sebuah blog yang satu postingnya membahas tentang mesin waktu. Itu blog yang murni teknologi, dan posting-postingnya pun hanya membahas teknologi. Ketika saya membaca posting yang mengulas tentang kemungkinan dibuatnya mesin waktu, ulasannya juga bagus, meski tetap debatable, karena keberadaan mesin semacam itu belum ada. Tetapi yang jelas, posting itu bagus karena membuka cakrawala pemikiran pembacanya.

Namun, seseorang kemudian meninggalkan komentar yang salah konteks. Meski jelas-jelas itu pembahasan teknologi—yang tentunya harus dibaca dan dipahami sesuai konteks teknologi—si pengomentar itu justru membawa-bawa agama, dan mengait-ngaitkan posting itu dengan ajaran agama, lalu dia berceramah macam-macam. Intinya, menurut si pengomentar, mesin waktu tidak terdapat dalam ajaran agama, jadi tidak usah mengkhayal tentang mesin waktu.

Ketika membaca komentar itu, saya cuma tertawa. Tetapi rupanya banyak orang lain—yang juga membaca posting tersebut—jadi marah akibat adanya komentar yang salah konteks. Lalu perdebatan pun terjadi. Dari satu komentar yang salah konteks itu, sekian puluh komentar lain muncul, dan semakin jauh dari konteksnya yang semula membahas mesin waktu. Finish-nya, diskusi yang semula bagus dan ilmiah jadi rusak, gara-gara satu komentar yang salah konteks.

Jika masih bingung salah konteksnya di mana, biar saya jelaskan, agar nanti tidak ada lagi yang mengira saya anti agama. (Omong-omong, saya pernah dituduh anti agama gara-gara membahas topik semacam ini).

Mesin waktu yang dibahas dalam blog yang saya ceritakan tadi, murni dibicarakan dalam konteks teknologi. Karenanya, jika ingin mendukung atau menyanggah, tentunya juga harus menggunakan teks teknologi. Jika kita menyanggah dengan teks agama, tentu salah konteks. Itu sama halnya memberikan dongkrak mobil kepada juru masak yang perlu membuat telur mata sapi. Untuk kesejuta kalinya, letakkan teks pada konteks yang benar.

Di blog Belajar Sampai Mati, saya menulis lebih dari 2.000 (dua ribu) catatan, yang sebagian besar berisi pengetahuan umum—sejarah, iptek, biologi, dan lain-lain. Sedikit pun saya tidak pernah membahas masalah agama atau ketuhanan. Bahkan, saya telah menulis dengan jelas dalam peraturan blog tersebut, bahwa semua pertanyaan akan saya jawab dan saya posting di blog jika tidak menyinggung SARA.

“Tidak menyinggung SARA” yang saya maksudkan dalam peraturan itu artinya bukan hanya tidak boleh menyerang suatu suku, agama, dan ras tertentu, namun juga saya tidak mau membahas masalah-masalah agama, karena saya berprinsip bahwa agama atau keyakinan pada Tuhan adalah masalah privat masing-masing orang. Intinya, blog Belajar Sampai Mati murni pengetahuan umum, dan sama sekali tidak berhubungan dengan ajaran agama apa pun.

Tetapi, meski dengan jelas dinyatakan seperti itu pun, kadang-kadang ada orang yang meninggalkan komentar “tidak nyambung” dengan membawa-bawa ajaran agama, yang ia kait-kaitkan dengan posting di blog tersebut. Saya tidak mau melayani komentar semacam itu, karena hanya akan menimbulkan debat yang tidak perlu.

Dalam satu posting, misalnya, saya pernah membahas pertanyaan, “Mengapa Alkohol Menimbulkan Mabuk?” Topik itu saya posting di blog, karena pertanyaannya netral (tidak menyinggung SARA), dan jawabannya juga dapat menambah pengetahuan serta wawasan pembaca lainnya. Ketika membahas pertanyaan itu, saya pun membahasnya dengan sudut pandang yang sesuai konteks, sehingga jawabannya sesuai dengan pertanyaan.

Tetapi, entah bagaimana caranya, seseorang kemudian meninggalkan komentar yang sangat tidak nyambung, alias salah konteks. Dalam komentarnya, orang itu berceramah macam-macam, yang bahkan panjangnya melebihi panjang posting saya. Orang itu juga secara nyata menyerang si penanya dengan tuduhan macam-macam, yang ia sandarkan pada ajaran agama, bahkan sampai membawa-bawa surga dan neraka. Padahal, si penanya hanya bertanya, “Mengapa Alkohol Menimbulkan Mabuk?”

Karena jelas-jelas salah konteks, dan mungkin bisa menimbulkan debat panjang lebar yang tidak perlu, saya pun menghapus komentar itu. Salah konteks itu seperti virus atau penyakit menular. Mula-mula hanya satu. Tetapi, jika yang satu itu tidak segera dibasmi, ia akan menulari lainnya. Dari satu komentar yang salah konteks, bisa melahirkan sekian banyak komentar lain yang semakin tidak nyambung dengan konteksnya.

Salah konteks dalam tulisan, mungkin solusinya mudah. Hapus saja, dan mungkin masalahnya sudah selesai. Yang agak sulit, kadang-kadang, adalah salah konteks dalam ucapan. Dalam pembicaraan sehari-hari, tidak jarang orang berselisih gara-gara masalah semacam itu. Sedang ngomongin sesuatu, kemudian ada orang mengomentari dengan ucapan yang keliru, lalu yang dikomentari jadi sakit hati.

Lebih parah lagi adalah salah konteks yang terjadi dalam wawancara yang disiarkan secara live. Dua hari sebelum saya menulis catatan ini, seorang reporter televisi mewawancarai Jokowi, Gubernur DKI, dan si reporter mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang salah konteks.

Dari pertanyaan-pertanyaannya, sangat jelas menunjukkan kalau si reporter tidak melakukan riset atas subjek yang akan dibicarakannya, sehingga pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan pun banyak yang salah konteks. Sudah begitu, si reporter mungkin lupa bahwa dia sedang melakukan wawancara, dan bukan interogasi. Akibatnya, sikapnya dalam wawancara itu terkesan ngotot dan tidak objektif.

Efeknya sangat mengerikan. Tidak lama setelah wawancara itu tayang di televisi, timeline di Twitter penuh makian dan hujatan terhadap si reporter dan televisi tempatnya bekerja. Dan caci-maki serta hujatan itu berdatangan akibat salah konteks yang dilakukan secara terang-terangan. Kita lihat, salah konteks itu berbahaya. Apalagi salah konteks yang dilakukan sambil ngotot!

Karenanya, pepatah “mulutmu harimaumu” memang benar. Bahwa keselamatan seseorang tergantung pada mulutnya. Mulut adalah produsen ucapan, produsen teks. Agar mulut kita tidak membawa kepada bencana, sebaiknya bicaralah sesuai konteks, atau tutup mulut saja. Jika telanjur mengeluarkan ucapan yang salah konteks, minta maaflah, dan tidak usah ngotot.

Ehmmm… kembali ke Farhat Abbas.

Dalam banyak tweet yang ditulisnya, Farhat juga kadang “kelewatan” atau salah konteks. Misalnya, dia menyalah-nyalahkan Jokowi dan Ahok gara-gara banjir yang melanda Jakarta. Tuduhan semacam itu tentu tidak bisa dinilai proporsional lagi, bahkan salah konteks, sehingga dia terkesan antipati. Dan, seperti yang disebutkan tadi, salah konteks itu seperti virus atau penyakit menular. Karena Farhat tidak juga menyadari bahwa dia sering salah konteks, banyak orang jadi antipati kepadanya. Akibatnya pun cukup mengerikan.

Saat ini, ada beberapa akun palsu di Twitter yang menggunakan nama istri Farhat, juga nama anak Farhat, dan akun-akun palsu itu digunakan untuk menyerang Farhat Abbas. Ini juga tentu sudah kelewatan, tidak etis, sekaligus salah konteks. Jika Farhat dianggap “bermasalah”, yang bermasalah kan cuma Farhat? Kenapa keluarganya—istri dan anaknya—harus dibawa-bawa? Kita tidak bisa menghukum seluruh keluarga hanya karena kepala keluarganya melakukan kesalahan.

Pelajaran penting dalam hidup kita. Letakkanlah teks pada konteksnya.

Untuk mengakhiri catatan ini, bayangkanlah anekdot berikut. Kepalamu terbentur pinggir pintu, dan memar, juga sakit. Karena khawatir dan ingin memastikan kepalamu baik-baik saja, kau pergi mengunjungi seorang dokter, dan menyatakan ingin memeriksakan memar di kepala. Dokter itu manggut-manggut, lalu memintamu membuka baju karena dia perlu memeriksa tubuhmu menggunakan stetoskop.

Meski agak bingung, kau menuruti dokter itu, dan membuka bajumu. Setelah beberapa saat memeriksa dengan stetoskop, dokter itu menyatakan, “Memar di kepala Anda cukup parah, dan bisa berbahaya. Saran saya, sebaiknya kaki Anda diamputasi, agar kepala Anda sehat lagi.”

Konyol…???

Begitulah salah konteks. Konyol, dan tidak jarang juga tolol. Jadi, kalau telanjur salah konteks, marilah kita belajar rendah hati untuk menyadari dan mengakui bahwa kita salah, dan marilah belajar untuk tidak ngotot.

Farhat Abbas, Masalah Konteks, dan Lainnya (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Jadi, teks yang benar saja tidak cukup. Teks yang benar harus sesuai dengan konteksnya. Artinya, teksnya benar, juga konteksnya benar. Jika salah satunya tidak benar, namanya salah konteks. Kalau salah konteks, tolong tidak usah ngotot!

Seperti yang disebutkan tadi, urusan teks dan konteks memang tidak atau kurang familier bagi masyarakat awam. Akibatnya, sering kali terjadi kerancuan antara teks dan konteks karena ketidaktahuan. Yang jadi masalah, kekisruhan antara teks dan konteks tidak jarang menimbulkan perselisihan, kebencian, bahkan permusuhan. Di dunia nyata maupun di dunia maya, terjadi banyak permusuhan dan orang saling membenci karena—jika ditelusuri pangkal pokoknya—akibat kekeliruan orang dalam meletakkan teks pada konteks.

Nah, Farhat Abbas mengingatkan saya pada topik yang rumit ini. Ketika berita mengenai Farhat muncul ke permukaan, berita itu sempat menjadi bahan obrolan saya dengan Livia, sohib saya yang beretnis Cina. Livia bilang, “Apa si Farhat nggak khawatir dituntut karena nulis tweet yang rasis kayak gitu?”

Saya bilang pada Livia, Farhat Abbas bukan orang tolol. Sebagai pengacara, dia tentunya tahu hukum. Dan justru karena tahu hukum itulah dia jadi terkesan seenaknya dalam menulis tweet, tanpa terlalu khawatir dituntut secara hukum. Meski tweet-tweet-nya kadang menyerang seseorang secara langsung (Farhat sering menulis nama secara langsung dalam tweet-nya), dia tahu sebatas mana hukum dapat menjangkaunya.

Sebagai contoh, salah satu tweet-nya yang menimbulkan polemik, kalau tidak keliru, berbunyi, “Apa pun platnya, Ahok tetap Cina.”

Tweet itu tentu saja dianggap rasis oleh banyak orang. Dalam konteks sosial (perhatikan, dalam konteks sosial) mungkin Farhat dapat dianggap bersalah. Tetapi, dalam konteks hukum, Farhat sulit dituntut. Kenapa? Karena tweet itu tidak salah secara hukum. Yang dikatakan Farhat dalam tweet-nya adalah benar, atau sesuai kenyataan, meski masyarakat menganggapnya salah.

Dalam konteks hukum, hakim di pengadilan hanya berdasar dan bersandar pada fakta, bukan pada interpretasi orang per orang. Karenanya, jika faktanya memang benar, maka seseorang tidak bisa didakwa bersalah. Dalam konteks hukum, tweet Farhat tidak salah, karena Ahok memang Cina. Karenanya, menuntut Farhat secara hukum gara-gara tweet tersebut tentu salah konteks, meski dalam konteks sosial Farhat dapat disangka rasis.

Saya bilang ke Livia, “Liv, kalau aku bilang kamu tetap Cina meski berteman denganku, ucapanku benar atau salah?”

Livia menggeleng, dan tersenyum. Dia mulai memahami maksudnya.

Karenanya pula, ketika wartawan mengonfirmasikan polemik Farhat Abbas ke Ahok, wakil gubernur Jakarta itu hanya tertawa, dan tidak mempermasalahkannya. Sejujurnya saya kagum pada jiwa besar Ahok dalam merespon masalah itu. Alih-alih jadi marah akibat serangan Farhat di Twitter, Ahok justru bersikap santai. Bahkan, ketika Farhat meminta maaf kepadanya, Ahok dengan rendah hati menyatakan bahwa Farhat tidak bersalah. Ahok tahu, Farhat memang tidak bisa dituntut secara hukum, karena—berdasar konteks hukum—teks yang ditulis Farhat memang tidak dianggap salah.

Nah, berdasarkan contoh tweet Farhat Abbas, kita melihat betapa satu teks bisa berhadapan dengan beberapa konteks yang bisa benar, bisa pula salah. Meski dalam konteks sosial Farhat Abbas bisa dinilai bersalah karena dia terkesan rasis, namun secara hukum Farhat sulit dituntut karena tweet itu. Karenanya, ngotot agar Farhat dituntut secara hukum gara-gara tweet tadi tentu sia-sia, karena salah konteks.

Lanjut ke sini.

Farhat Abbas, Masalah Konteks, dan Lainnya (1)

Bahasa yang berantakan mencerminkan
isi kepala yang berantakan.
Putu Wijaya


Farhat Abbas menjadi trending topic bagi sebagian pengguna Twitter, karena tweet-tweet-nya yang menimbulkan kehebohan, bahkan sempat menjadi bahan berita beberapa kali di situs Detik.

Meski tidak menjadi follower-nya di Twitter, saya juga kadang stalking ke timeline Farhat Abbas untuk membaca update tweet-nya. Sepertinya seru. Satu kali Farhat menulis tweet baru, tweet itu biasanya akan di-retweet dan dibalas (mention) cukup banyak orang—kebanyakan kontra. Dan, biasanya pula, Farhat akan me-retweet beberapa mention yang diterimanya.

Tapi Farhat cukup “adil”. Maksudnya, dia tidak hanya me-retweet mention yang mendukungnya, tetapi juga me-retweet mention yang jelas-jelas menentang bahkan menghujatnya. Perilaku itu layak dipuji, karena kebanyakan orang terkenal di Twitter biasanya hanya me-retweet mention yang memuji dirinya, namun pura-pura tak tahu jika ada yang menentang apalagi menghujatnya. Jangankan me-retweet mention yang menentang, bahkan membalasnya pun kadang ogah.

Ada apa dengan Farhat? Saya tertarik menulis catatan ini, bukan karena saya pengagum Farhat Abbas. Juga bukan karena mendukung dia untuk menjadi presiden Indonesia di masa depan sebagaimana yang sekarang dikampanyekannya. Saya tertarik membahas Farhat Abbas melalui catatan ini, karena Farhat mengingatkan saya pada rumitnya masalah teks dan konteks dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam dunia akademisi, teks dan konteks adalah elemen penting, karena penilaian atas bagus tidaknya sebuah teori akan ikut ditentukan oleh sinkronisasi antara teks dan konteks. Artinya, bagi seorang akademisi, suatu teori (teks) harus sesuai dengan konteksnya. Tak peduli sehebat atau sebenar apa pun sebuah teori, ia tak bisa diaplikasikan jika tidak sesuai konteks.

Menggunakan analogi yang mudah, ketidaksesuaian antara teks dan konteks sama halnya dengan memberikan dongkrak mobil kepada juru masak untuk membuat telur mata sapi. Dongkrak mobilnya memang benar—sebagai alat, sebagai dongkrak mobil. Tetapi pemberian dongkrak mobil kepada juru masak untuk membuat telur mata sapi tentu saja tidak benar, alias salah konteks. Karena yang dibutuhkan juru masak untuk membuat telur mata sapi tentu bukan dongkrak mobil, melainkan wajan dan kompor.

Jadi, sebagai sebuah alat, dongkrak mobil adalah alat yang benar. Tetapi benar bagi mobil yang perlu didongkrak. Dan alat yang benar bagi mobil yang perlu didongkrak belum tentu benar pula bagi juru masak yang perlu membuat telur mata sapi. Sebuah alat baru berguna untuk kebutuhan yang sesuai. Karenanya, teks hanya akan bermanfaat jika sesuai konteks. Karenanya pula, dalam dunia akademisi, sebuah teks harus memiliki hubungan jelas dengan konteks. Jika tidak, teks itu hanya omong kosong.

Urusan teks dan konteks memang tidak atau kurang familier bagi orang awam atau non-akademisi. Sehingga, sering kali masalah ini disalahpahami, disalahpahami, dan disalahpahami. Tidak jarang, seseorang menyatakan suatu teks yang benar untuk suatu konteks. Namun, teks yang benar itu kemudian diserang habis-habisan gara-gara para penyerangnya tidak memahami keterkaitan antara teks dan konteks. Karena tidak paham antara teks dan konteks, para penyerang itu pun menyerang di luar konteks.

“Musuh besar orang-orang besar,” kata para filsuf, “adalah orang-orang kecil dengan pikiran kerdil.” Dalam dunia akademisi, musuh besar teks yang benar adalah teks yang keluar dari konteks, alias teks yang keliru konteks, akibat orang-orang tidak paham pentingnya hubungan antara teks dengan konteks. Sekali lagi, teks yang benar namun tidak sesuai konteks adalah omong kosong, alias tidak berguna. Meminjam istilah anak muda zaman sekarang, “Nggak nyambung!”

Lanjut ke sini.

Berita Hari Ini

Seorang lelaki bunuh diri setelah lelah membaca koran dan tak menemukan berita kematiannya sendiri.

Jumat, 18 Januari 2013

Cinta Pertama, dan Cinta Selanjutnya

Cinta pertama adalah kenangan,
cinta kedua adalah pelajaran,
dan cinta selanjutnya adalah keperluan.
@noffret


Setiap kita pasti pernah mengalami cinta pertama. Begitu pula saya. Cinta pertama saya terjadi bertahun-tahun lalu, sewaktu kelas 5 SD. Ceritanya, waktu itu, saya baru naik kelas—dari kelas 4 ke kelas 5. Di kelas yang baru (kelas 5), saya mengenal kawan baru bernama Reni (bukan nama sebenarnya), yang waktu itu tidak naik kelas. Seharusnya, Reni naik ke kelas 6, tapi mungkin nilai rapornya tidak mencukupi. Dan cinta pertama saya pun bersemi.

Sejak pertama kali melihat dan mengenal Reni, saya memiliki perasaan aneh, yang kelak saya ketahui bahwa itulah yang disebut jatuh cinta. Saya senang setiap kali melihatnya, berdebar kalau tanpa sengaja bertatapan dengannya, dan merasa kangen padanya kalau kebetulan sekolah sedang libur panjang. Bagi saya, Reni adalah perempuan terindah yang pernah saya temukan.

Seiring waktu berlalu, saya merasa makin jatuh cinta kepadanya. Tetapi, saya tidak berani menyatakannya. Pertama, karena saya sadar masih sangat kecil. Kedua, saya pemalu—dan terlalu malu untuk menyatakan cinta kepadanya. Ketiga, saya bahkan tidak tahu bagaimana cara menyatakan cinta dengan baik dan benar. Jadi saya pun memendam perasaan itu diam-diam.

Tapi perasaan cinta, kau tahu, tak pernah bisa dipendam diam-diam. Meski saya tidak pernah menyatakan cinta itu secara terus terang kepada Reni, namun saya kadang curhat pada teman-teman dekat mengenai perasaan saya kepadanya. Biasanya, mereka akan bertanya, “Kenapa kamu cinta Reni?”

Sejujurnya, saya tidak bisa menjawab, karena saya tidak tahu mengapa saya jatuh cinta pada Reni. Yang saya tahu, saya jatuh cinta kepadanya—titik.

Dan rasa cinta itu terus bersemi hingga kami naik ke kelas 6. Saya maupun Reni kembali satu kelas. Dan saya tetap merasa cinta kepadanya. Meski diam-diam. Meski saya tetap tidak tahu alasan yang membuat saya jatuh cinta kepadanya.

Menurut teman-teman, Reni tidak cantik. Itu benar, dan saya mengakuinya secara objektif. Di kelas, ada cukup banyak kawan cewek kami yang cantik, sehingga kami yang waktu itu masih kecil pun dapat menilai karena memiliki perbandingan. Reni juga tidak bisa dibilang murid pintar, terbukti dia tidak naik waktu kelas 5. Secara keseluruhan, Reni bisa dibilang biasa-biasa saja. Tapi saya jatuh cinta kepadanya—dan persetan apa kata dunia.

Sampai saya lulus SD, perasaan cinta itu tidak pernah pudar. Saya tetap merasakan debar seperti ketika pertama kali melihatnya. Saya tetap merasakan getar setiap kali bertatapan mata dengannya. Dan sampai lulus SD pula saya tetap tidak tahu mengapa saya jatuh cinta kepadanya, sebagaimana saya tidak pernah menyatakan perasaan cinta itu kepadanya. Satu hal yang saya tahu, itu cinta pertama saya—sebuah cinta tanpa alasan.

Mungkin itu yang disebut cinta monyet. Entahlah, saya tidak tahu. Bertahun-tahun kemudian, saya bahkan tetap tidak tahu mengapa saya jatuh cinta kepada Reni.

Ternyata, hal semacam itu juga terjadi pada beberapa teman saya. Mereka juga jatuh cinta pada seseorang, dan—seperti saya—mereka juga tidak tahu alasan mengapa jatuh cinta pada orang itu. Yang mereka tahu, mereka hanya jatuh cinta—tanpa alasan, tanpa butuh pertanyaan dan jawaban.

Sewaktu SMP, hubungan pertemanan saya makin luas—tidak hanya teman sekelas. Saya pun menyaksikan teman-teman saya yang mulai saling jatuh cinta, lalu pacaran. Kadang, kalau ada teman yang baru punya pacar, saya bertanya, “Kenapa kamu pacaran sama dia?” Biasanya, teman saya akan menjawab karena pacarnya ganteng atau cantik. Rupanya, di masa SMP, cinta mulai memiliki alasan, setidaknya penampilan fisik.

Bocah SMP pasti belum bisa dibilang dewasa. Tapi bukan berarti kami waktu itu tidak mengenal ketertarikan pada lawan jenis. Alam menumbuhkan hormon pada tubuh kami, dan hormon itu menggerakkan kami untuk saling tertarik satu sama lain. Dalam proses ketertarikan itulah benih cinta tumbuh di hati. Tetapi, kali ini, cinta mulai menuntut alasan logis, jawaban yang masuk akal.

Jadi itulah yang kemudian terjadi. Seorang cowok teman saya pacaran dengan seorang cewek dari kelas lain, dengan alasan cewek itu cantik—dan kenyataannya memang begitu. Sementara cewek teman saya yang lain berpacaran dengan cowok sekelas dengan alasan karena cowok itu pintar—lagi-lagi kenyataannya memang begitu. Berbeda dengan masa SD yang dapat jatuh cinta tanpa alasan, di masa SMP kami mulai memiliki alasan untuk jatuh cinta. Dari alasan fisik sampai soal kepintaran.

Lalu alasan untuk jatuh cinta semakin berkembang di masa SMA. Ketika duduk di bangku SMA, persaingan untuk mendapatkan pacar semakin ketat. Di masa SMA, hormon-hormon tubuh sedang bekerja dengan giat, dan perasaan cinta lebih mudah membara. Karenanya, kompetisi untuk mendapatkan pacar pun menjadi semacam perlombaan, dan kau akan dianggap kurang gaul kalau tidak punya pacar.

Yang jadi masalah, cinta kali ini lebih membutuhkan banyak alasan.

Di masa SD, kau dapat jatuh cinta pada seseorang tanpa alasan, dan teman-temanmu tidak akan menertawakannya. Di SMP, kau mulai memahami bahwa cinta membutuhkan alasan, setidaknya ia menarik secara fisik. Di SMA, persyaratan cinta mulai rumit. Pada waktu itulah saya mulai menyaksikan teman-teman cewek di sekolah memilih pacar tidak hanya karena alasan fisik, tetapi juga kendaraan apa yang dipakainya.

Ada cowok-cowok ganteng di sekolah saya yang sulit mendapatkan pacar, karena tiap hari naik angkot. Sementara cowok-cowok lain yang kurang menarik secara fisik tampak lebih mudah mendapat pacar karena motornya keluaran baru, atau setidaknya ia populer di sekolah—entah karena pengurus OSIS, atau jago dalam olah raga. Di SMA, tampang menarik saja tidak cukup. Untuk dapat membuat lawan jenismu jatuh cinta, kau harus punya motor yang gaul, atau harus populer di antara kawan-kawanmu.

Dan persyaratan cinta itu makin lama makin rumit seiring usia yang menanjak dewasa. Di masa kuliah, syarat untuk cinta semakin banyak—dari soal tampang dan penampilan, popularitas di kampus, kemampuan otak dalam bidang akademis, latar belakang sosial, sampai kendaraan apa yang kaumiliki. Semakin banyak kualifikasi yang kaumiliki, semakin mudah bagimu mendapatkan pacar. Begitu pula sebaliknya.

Fenomena itu terjadi di mana-mana. Artinya, kita tidak bisa pindah kampus hanya untuk mendapatkan cinta yang tanpa alasan. Tak peduli kau kuliah di kabupaten terpencil atau di kota metropolitan, persyaratan cinta sama saja. Kau harus punya tampang menarik, penampilan yang enak dipandang, otak yang bisa dibanggakan, latar belakang yang tidak memalukan, dompet yang cukup tebal, serta kendaraan yang bisa dipamerkan. Kau memiliki semuanya, oh well, kau bisa memilih siapa saja.

Ralph Waldo Emerson menyatakan, “Cinta pertama itulah cinta sejati, dan hanya datang satu kali. Selanjutnya adalah cinta yang lahir karena perhitungan-perhitungan.”

Mungkin Emerson terlalu skeptis. Tetapi, saya juga sulit membantah pernyataan itu, karena kenyataan yang saya saksikan memang menunjukkan kecenderungan semacam itu. Di masa dewasa, orang tak bisa lagi jatuh cinta seperti di masa kanak-kanak. Seiring nalar yang makin matang, orang semakin sulit jatuh cinta karena menuntut alasan dan perhitungan. Jika di masa kecil kita bisa jatuh cinta tanpa syarat, di masa dewasa kita menuntut banyak syarat.

Sekarang, setelah saya tidak lagi kuliah dan menjalani hidup sebagai orang dewasa, saya pun melihat bahwa persyaratan untuk jatuh cinta semakin berat. Di masa kuliah, kau mungkin cukup mengendarai motor sport atau mobil bagus ke kampus, dan lawan jenis akan mengerubungimu. Tetapi, setelah lulus kuliah, orang tidak jatuh cinta semata-mata pada kendaraanmu, tetapi juga dengan melihat apa pekerjaanmu, seberapa besar penghasilanmu, seperti apa latar belakangmu, hingga sebagus dan semewah apa rumah kediamanmu.

Di waktu kecil, kita mungkin tidak tahu bagaimana cara menyatakan cinta. Tetapi, di masa itu, kita mungkin mengenal cinta yang benar-benar tulus, tanpa alasan, tanpa perhitungan macam-macam. Di masa dewasa, kita mungkin sangat fasih menyatakan cinta. Tetapi, mungkin pula, kita perlu belajar untuk kembali jatuh cinta seperti di masa kanak-kanak. Untuk jatuh cinta tanpa alasan, untuk jatuh cinta tanpa harus tahu mengapa kita mencintainya.
 

Noffret’s Note: Kapan

Ketika kita masih kecil, dan belum sekolah, masyarakat bertanya,
“Kapan mau sekolah?” Lalu kita pun merasa dituntut untuk bersekolah.
Twitter, 11 September 2012

Ketika kita dewasa, dan sudah kuliah, masyarakat bertanya-tanya,
“Kapan lulus?” Lalu kita pun merasa dituntut untuk cepat wisuda.
Twitter, 11 September 2012

Setelah lulus kuliah dan wisuda, masyarakat masih bertanya-tanya,
“Kapan kerja?” Maka kita pun mencari kerja untuk menyelamatkan muka.
Twitter, 11 September 2012

Setelah cukup mapan bekerja, masyarakat kembali bertanya,
“Kapan kawin?” Lalu kita pun panik demi segera menemukan pendamping.
Twitter, 11 September 2012

Setelah kita kawin, masyarakat masih usil, dan kali ini bertanya,
“Kapan punya anak?” Maka kita pun ngebut bikin anak.
Twitter, 11 September 2012

Setelah kita punya satu anak, masyarakat masih nyinyir, dan bertanya,
“Kapan nambah anak?” Demi dianggap layak, kita pun nambah anak.
Twitter, 11 September 2012

Kemudian, anak-anak kita akan menghadapi pertanyaan sama dari
masyarakat, “Kapan sekolah?”, “Kapan lulus?”, “Kapan kawin?” dan seterusnya.
Twitter, 11 September 2012

Hidup, bagi sebagian orang, adalah siklus pertanyaan sialan berbunyi “kapan”
yang berulang dan membosankan, menjerat dan menyakitkan.
Twitter, 11 September 2012

Aku curiga, pertanyaan “kapan” adalah pertanyaan para tawanan,
pertanyaan iri hati/kecemburuan, atau pertanyaan demi dianggap normal.
Twitter, 11 September 2012

Seperti orang yang terkurung dalam penjara, mereka akan bertanya-tanya,
“Kapan aku bisa bebas?” atau “Kapan aku bisa keluar dari sini?”
Twitter, 11 September 2012

Masyarakat yang nyinyir menanyakan “kapan” adalah masyarakat
yang terkurung dalam penjara yang dibangunnya sendiri.
Twitter, 11 September 2012

Karena mereka tidak bisa keluar dari penjaranya sendiri,
mereka pun tidak berpikir “kapan” mereka akan keluar.
Twitter, 11 September 2012

Sebaliknya, mereka justru berharap orang lain juga terkurung
dan terpenjara seperti dirinya, dan cara yang mereka gunakan
adalah dengan menanyakan “kapan”.
Twitter, 11 September 2012

Dalam konteks sosial, “kapan” sering kali menjadi pertanyaan racun,
karena ia meracuni pikiran dan hidup si penerima pertanyaan.
Twitter, 11 September 2012

Ada banyak hal yang sebenarnya akan berlangsung baik dan bagus,
tapi menjadi rusak karena orang teracuni pertanyaan “kapan”.
Twitter, 11 September 2012

Misalnya, orang yang belum nikah karena belum menemukan jodoh yang
tepat. Karena dibombardir pertanyaan “kapan”, orang itu pun...
 —Twitter, 11 September 2012

...buru-buru menikah dengan siapa pun yang kebetulan mau menikah
dengannya. Demi membungkam pertanyaan “kapan”.
Twitter, 11 September 2012

Gara-gara pertanyaan “kapan”, ada banyak orang yang menikah
karena terpaksa, dengan orang yang belum tentu dicintai dan mencintainya.
Twitter, 11 September 2012

Ada pula pasangan yang belum punya anak, karena alasan ekonomi belum
menunjang. Tapi masyarakat nyinyir bertanya, “Kapan punya anak?”
Twitter, 11 September 2012

Lalu pasangan itu pun terpaksa melahirkan anak karena perasaan tak enak,
dan demi membungkam pertanyaan “kapan” dari masyarakatnya.
Twitter, 11 September 2012

Dan seorang anak pun lahir gara-gara pertanyaan “kapan”.
Ia lahir tanpa persiapan yang menunjang, dan bisa jadi akan hidup telantar.
Twitter, 11 September 2012

Dan masyarakat belum puas sebelum bertanya, “Kapan nambah anak?”
Banyak pasangan terpaksa nambah anak hanya karena tak enak pada “kapan”.
Twitter, 11 September 2012

Ada jutaan anak telantar di dunia ini, dan bisa jadi sebagian karena mereka
dilahirkan akibat pertanyaan sialan berbunyi “kapan”.
Twitter, 11 September 2012

Pernahkah masyarakat bertanya-tanya akibat serta implikasi
dari pertanyaan “kapan” yang sering mereka lontarkan?
Twitter, 11 September 2012

Lebih penting lagi, apakah masyarakat mau ikut bertanggung jawab
atas akibat buruk yang ditimbulkan pertanyaan “kapan” mereka?
Twitter, 11 September 2012

Di antara banyaknya anak telantar, orang stres, kemiskinan, dan
keluarga kacau, bisa jadi sebagian diakibatkan oleh pertanyaan “kapan”.
Twitter, 11 September 2012

Manusia dilahirkan dengan jiwa bebas dan merdeka, tapi dijerat, dijebak,
dan dipenjara oleh masyarakatnya dengan pertanyaan “kapan”.
Twitter, 11 September 2012

Dan akhirnya, hei Masyarakat, kapan kalian akan belajar menutup mulut
untuk tidak lagi menyemburkan pertanyaan sialan berbunyi “Kapan?”
Twitter, 11 September 2012

*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Dua

Gantilah dengan kata lain yang berarti sama, dan pertahankan dua di antaranya.

Kamis, 10 Januari 2013

Nyala Sehening Lilin

Datang dan pergi, datang dan pulang.
Daun jatuh tak pernah kembali kepada ranting,
pun waktu yang hilang.
@noffret 


Untuk ayahku

Jum’at pagi itu saya berziarah ke makam ayah. Udara terasa dingin, bukan hanya karena masih sangat pagi, tetapi juga karena hujan menggantung di langit. Sendirian, saya menguatkan diri untuk datang ke makam ayah pagi itu, karena sudah cukup lama tidak menziarahinya.

Pemakaman tampak sepi, mungkin karena udara dingin yang menggigit. Saya menuju makam ayah, dan segera menjemput keheningan. Ada sesuatu yang selalu menghangat di dada saya setiap kali berada di pemakaman yang sunyi. Semacam kesadaran bahwa pada akhirnya manusia akan sampai pada hening. Sunyi. Sendiri.

Ketika sedang bertafakur di dekat makam ayah, sayup-sayup terdengar suara isakan tangis. Ketika menengok ke arah suara tangis itu, saya mendapati seorang cowok yang juga sedang bertakafur di dekat sebuah makam yang tampaknya masih baru. Jaraknya tak terlalu jauh dari tempat saya, dan makin lama isak tangis itu sepertinya makin keras. Cowok itu menelungkupkan wajahnya di antara kedua tangan, dan badannya tampak terguncang.

Kemudian gerimis turun.

Saya masih berdiam di tempat semula. Acara ziarah saya sudah selesai, dan gerimis yang turun seharusnya membuat saya segera pergi meninggalkan makam. Tetapi, saya merasa tidak enak. Jika saya bangkit dan meninggalkan tempat itu, mau tak mau saya harus melewati cowok yang sedang menangis tadi, karena dia ada di jalur yang akan saya lewati. Mungkin saya terlalu sensitif, tapi standar etika saya menganggap itu kurang empatik.

Jadi, saya pun memaksa diri untuk tetap berdiam di sana, dan membiarkan gerimis membasahi kepala. Nanti, pikir saya, kalau cowok itu sudah selesai dan mulai beranjak pergi, saya akan ikut bangkit.

Pagi pun merangkak. Dalam cuaca yang cerah, mungkin saat itu sudah mulai terang. Tetapi gerimis yang datang membuat pagi tampak masih gelap. Suara tangis dari belakang saya perlahan-lahan mereda, kemudian hilang. Saya masih duduk menunggu, membelakanginya, dan membiarkan cowok itu menyelesaikan ziarahnya.

Lalu hening.

Dan gerimis masih turun.

Saya menengok ke belakang, dan mendapati cowok itu sedang menatap saya. Dari wajahnya, saya mengira kami seumuran. Ekspresinya ingin mengulum senyum, tapi mungkin kikuk. Jadi saya pun mencoba tersenyum kepadanya. Dan dia membalasnya. Kemudian, dengan suara agak parau karena habis menangis, dia berkata, “Sepertinya kita perlu teh panas, ya?”

Saya segera mengangguk. “Di depan sana ada warung.”

Di depan komplek pemakaman ada warung makan yang tampaknya memang melayani para peziarah. Saya dan cowok itu pun melangkah ke luar pemakaman, dan menuju ke warung. Kami memesan teh panas, dan duduk berhadapan sambil merokok. Entah mengapa, tiba-tiba kami merasa seperti sepasang kawan, meski kenyataannya tidak saling kenal. Kebersamaan di makam tadi sepertinya menjadikan kami saling mengerti.

Saya membuka suara, “Itu tadi... makam ayahmu?”

Cowok itu mengangguk. “Ayahku meninggal dua minggu lalu, dan aku masih tetap merasakan sedih, juga kehilangan.”

“Aku bisa memahaminya. Aku pun merasakan hal sama waktu ayahku meninggal.”

“Kamu tadi juga menziarahi makam ayahmu?”

“Ya,” sahut saya. “Ayahku sudah meninggal cukup lama, delapan tahun yang lalu, tapi aku masih merasa kehilangan, dan sedih setiap kali mengingatnya.”

Cowok itu mengembuskan asap rokoknya, dan terdiam sesaat. Kemudian, setelah mengisap rokoknya kembali, dia berkata, “Pasti kamu sangat akrab dengan ayahmu.”

“Sebaliknya,” jawab saya jujur. “Waktu ayahku masih hidup, aku justru jarang dekat dengannya. Kami tak bisa dibilang akrab, dan karena itulah aku jadi sangat sedih dan merasa kehilangan setiap kali mengingatnya. Ada perasaan menyesal, kenapa dulu tidak menghabiskan waktu lebih banyak dengannya.”

“Itu pula yang membuatku sangat sedih,” ujar cowok itu. “Selama ayahku masih hidup, kami lebih banyak bertengkar daripada bersama. Seumur hidupnya, aku terus menganggapnya ayah yang buruk. Sekarang, kalau diingat-ingat, dia tidak seburuk yang kupikirkan, dan sering kali akulah yang salah dalam setiap pertengkaran. Sekarang, setelah dia meninggal, aku merasa sangat menyesal....”

Gerimis di luar telah berubah menjadi hujan, namun jarum jam terus merangkak. Setelah menghabiskan teh di gelas dan merasakan badan agak hangat, kami pun memutuskan pulang. Cowok itu memberitahukan nama dan alamatnya, begitu pun saya. Kami berjanji untuk saling menghubungi. Sepertinya kami bisa berkawan.

Jalanan belum terlalu ramai ketika saya melaju membelah hujan, dan angan saya melayang ke masa lalu, ketika ayah masih ada... bertahun-tahun lalu.

Seperti yang saya katakan dalam percakapan tadi, saya tidak terlalu dekat dengan ayah, khususnya ketika saya mulai beranjak dewasa. Sewaktu kecil, saya memang dekat dengannya. Namun, ketika saya mulai besar, keakraban dan kedekatan itu perlahan-lahan pudar. Kami memiliki pandangan hidup yang berbeda, dan saya merasa tidak sepaham dengannya. Ayah tidak pernah menentang pilihan hidup saya, namun perbedaan di antara kami menjadi semacam sekat yang membatasi.

Saat mulai kuliah, saya sudah meninggalkan rumah, karena memutuskan untuk hidup sendiri. Waktu itu saya sudah mendapatkan penghasilan sendiri meski tidak banyak, dan dari penghasilan itu saya mengontrak rumah yang saya tinggali sendirian. Keluarnya saya dari rumah orang tua itu pun menjadikan hubungan saya dengan ayah semakin menjauh. Kadang-kadang saya berkunjung ke rumah orang tua, dan kami hanya saling menyapa sekadarnya.

Beberapa tahun kemudian, ketika saya memiliki rumah sendiri dan tidak ngontrak lagi, kadang-kadang ayah datang berkunjung. Namun, mungkin karena melihat kesibukan saya, ayah tak pernah lama-lama. Setelah bercakap sekadarnya, dia pulang.

Selama waktu-waktu itu, sejujurnya saya tidak pernah menganggap ayah saya sebagai sosok istimewa. Di mata saya, dia memiliki banyak kekurangan, bukan ayah sempurna yang layak dibanggakan. Penilaian itu berbalik seratus delapan puluh derajat dibanding penilaian masyarakat terhadapnya. Bagi masyarakat kami, ayah adalah sosok istimewa, pribadi yang sangat dihormati, keberadaan yang selalu dinantikan.

Mungkin seorang anak tidak pernah dapat memahami siapa ayahnya seutuhnya, sampai sang ayah meninggal dunia. Kenyataan itu pula yang terjadi pada saya.

Pada suatu hari, delapan tahun yang lalu, tepatnya 12 Juni 2004, ayah saya meninggal dunia. Tanpa sakit, tanpa tanda-tanda. Pagi hari, menurut orang-orang, ayah saya masih tampak bercengkerama dengan tetangga. Dan sore harinya ayah sudah tiada.

Dan tangis saya meledak. Entah mengapa.

Waktu itu, saya merasakan kehampaan yang amat sangat, seperti ada sesuatu dalam diri saya yang ditarik paksa dan hilang. Saya kehilangan ayah, dan tak akan pernah lagi melihatnya. Tahun-tahun yang telah kami lalui tiba-tiba menjadi rangkaian flashback yang menyiksa, dan saya terbayang kembali saat-saat ia masih ada, ketika kami saling menyapa saat saya berkunjung ke rumah orang tua, ketika ia mengunjungi saya dan kami bercakap sesaat....

Ketika jenazah ayah saya diantarkan ke pemakaman, tak terhitung banyaknya orang yang datang, tak terhitung banyaknya orang yang menangisinya. Detik itulah saya baru menyadari betapa besarnya pengaruh ayah saya bagi sesama, betapa besarnya kehilangan orang-orang atas kepergiannya, sekaligus betapa piciknya saya menilai ayah saya sendiri. Seumur hidupnya, saya hanya menilai ayah dari satu sudut pandang, dan rupanya sudut pandang yang saya gunakan terlalu sempit, terlalu egois.

Sekarang, ketika mengenangnya kembali, saya merasa amat bersalah. Saya memiliki pilihan hidup sendiri, dan ayah tidak pernah mempersoalkannya. Tetapi, sayalah yang justru tak pernah dapat menerima ketika ayah memilih hidupnya sendiri. Dia memilih mengabdikan hidupnya untuk masyarakat, dan seumur hidupnya saya tak pernah dapat memahami pilihannya. Sekarang saya mulai memahami, tapi tentu telah terlambat.

....
....

Keberadaan orang tua kita mungkin seperti nyala lilin. Ia menyala, menerangi hidup kita, namun dalam hening. Mereka tak pernah ribut-ribut menyatakan bahwa cahaya dalam hidup kita karena nyala lilinnya, tapi mereka terus menyala... tanpa suara... bahkan rela meleleh demi terus menerangi hidup kita. Sampai kemudian batas lilin itu habis, sumbunya terus terkikis, dan perlahan-lahan apinya padam.

Ketika cahaya yang sebelumnya kita miliki tiba-tiba hilang, pada waktu itulah sering kali kita baru menyadari bahwa sebelumnya ada lilin yang menyala dalam hening. Dan kita mulai kehilangan, meraba-raba dalam gelap... sampai kemudian menyadari bersama isak tangis, mendapati ada lilin yang telah meleleh sedemikian lama demi menerangi hidup kita.

Suatu waktu, mungkin kita bisa menyalakan lilin yang lain... tapi nyalanya tak pernah sama.

Claudia Sudah Ditanyakan

Segala hal akan sampai pada batasnya. Semua awal akan sampai pada akhirnya. Perjalanan akan sampai pada pulang.

Minggu, 06 Januari 2013

Herfiza Novianti dan Doa Menjelang Tidur

Doa menjelang tidur:
Tuhan, jatuhkan satu bintang untukku dalam mimpi,
agar aku tersenyum saat bangun di lembutnya pagi.
@noffret


Pertama kali mengenal nama Herfiza Novianti ketika dia menjadi salah satu pemeran dalam film Kambing Jantan (yang diadaptasi dari blook Raditya Dika). Dalam film itu, Herfiza tampak “remaja banget”—manis, dan lucu. Tapi saya segera melupakannya, tak lama setelah menonton film itu.

Sampai kemudian, muncul kehebohan menyangkut film yang di dalamnya konon akan dibintangi Maria Ozawa. Judulnya, seperti kalian tahu, Menculik Miyabi. Terus terang saya penasaran dengan film itu. Oh, well, menyaksikan Maria Ozawa tampil telanjang mungkin hal biasa. Tapi melihat wanita itu bermain film dengan pakaian lengkap pastilah moment istimewa.

Jadi, terlepas dari kehebohan yang ditimbulkannya, saya pun menonton film itu. Dan terus terang saya kecewa, karena Maria Ozawa hanya tampil sekilas, bukan sebagai tokoh utama seperti yang saya bayangkan. Tetapi, dalam film Menculik Miyabi itulah perhatian saya mulai tersedot pada Herfiza Novianti.

Ketika muncul dalam Menculik Miyabi, Herfiza tampak jauh lebih dewasa dibanding ketika muncul dalam Kambing Jantan. Mungkin Herfiza telah tumbuh lebih dewasa, atau mungkin pula itu memang salah satu keajaiban perempuan. Kau tahu, seorang perempuan bisa terlihat imut dan lucu dengan penampilan remaja, dan tak lama kemudian muncul kembali dalam wujud yang tampak jauh lebih dewasa. Itulah yang terjadi pada Herfiza Novianti, dan sejak itu saya mulai tak bisa melupakannya.

Sejak itu pula, dengan naluri kepo tingkat dewa, saya mulai membaca segala hal tentang Herfiza Novianti. Bagi orang di zaman kita, mengulik berita tentang seseorang bukan hal sulit, apalagi jika menyangkut seorang artis seperti Herfiza. Dia cantik, Ma’am. Dan karena kecantikannya pula, foto-fotonya yang bertebaran di internet sangat mudah ditemukan. Di web KapanLagi, misalnya, ada setumpuk foto Herfiza yang—bagi saya—sangat mempesona.

Foto-foto Herfiza yang saya lihat di web KapanLagi tampak bersahaja. Dia berpakaian sederhana, namun terlihat manis dan seksi. Beberapa foto itu memperlihatkan Herfiza sedang memegang ponsel sambil tersenyum, dan… sekali lagi, dia cantik, Ma’am. Dan manis. Dan mempesona. Dan tampak dewasa.

Jadi begitulah. Sejak itu saya mulai tertarik dengan apa pun yang berhubungan dengan Herfiza. Jika ada berita tentangnya, saya akan membaca. Jika ada film yang dibintanginya, saya akan menonton. Jika ada gosip tentangnya, saya akan mengikuti. Jika dia menjadi sampul majalah, saya akan membeli. Jika dia dikabarkan pacaran dengan seseorang, saya akan berdoa semoga itu tidak benar. Oh, well, semoga Herfiza tidak membaca catatan sinting ini.

Sampai suatu hari, ketika sedang asyik membalas pertanyaan-pertanyaan di Formspring, saya menemukan Herfiza Novianti juga memiliki akun di Formspring. Dasar kepo, saya langsung membuka akun Formspring perempuan itu, dan membaca isinya. Seperti akun Formspring lainnya, akun Formspring Herfiza juga berisi tanya jawab tentang banyak hal. Yang membuat saya tertegun, salah satu pertanyaan itu adalah, “Apa doa menjelang tidur?”

Saya tidak bisa membayangkan orang macam apa yang mengajukan pertanyaan seperti itu pada Herfiza Novianti. Tetapi, yang membuat saya terpesona, Herfiza menjawabnya, dan jawabannya, “Bismika Allahuma ahya wa amuut.”

Sebagai muslim, saya tahu itu memang doa menjelang tidur. Yang tidak saya tahu, ternyata Herfiza Novianti tahu doa menjelang tidur! Oh, well, saya tentu tidak akan terkejut jika artis-artis sok alim di televisi bisa menyebutkan doa menjelang tidur. Tetapi jika artis seksi yang membintangi film Menculik Miyabi bisa menyebutkan doa menjelang tidur… itu benar-benar membuat saya terpesona.

Mungkin saya memang naif, karena selama ini menilai kualitas bahkan intelektualitas seseorang dari penampilannya. Menyaksikan Herfiza Novianti selama ini—dengan segala atributnya sebagai artis—membuat saya tidak pernah membayangkan dia ternyata tahu doa menjelang tidur, dan bisa jadi doa-doa lainnya.

Herfiza tidak pernah bertingkah sok alim apalagi sok suci, penampilannya pun bersahaja—bahkan terkadang seksi—seperti yang terlihat dalam foto-fotonya. Tetapi artis seksi ini bukan tidak tahu ajaran agama. Dia tahu, dan itu membuat saya makin mengaguminya!

Kenyataan itu pun kemudian menampar kesadaran saya bahwa orang (memang) tak bisa dinilai dari penampilannya semata. Seseorang yang mungkin terlihat pintar bisa jadi ternyata tidak tahu apa-apa, yang terkesan alim ternyata tidak paham apa pun tentang agama, sementara yang bertingkah idiot ternyata genius, dan yang berpenampilan seksi ternyata hafal kitab suci. Siapa yang tahu…?

Dan “kesan” itulah yang selama ini banyak dibangun mati-matian oleh sebagian orang, demi mengelabui orang-orang lainnya. Kita melihat orang-orang sok pintar sibuk nampang di televisi, mengomentari apa saja yang terjadi. Kita melihat orang-orang sok alim kesana kemari menyemburkan nasihat-nasihat klise demi membangun pencitraan, menciptakan kesan seolah dirinya manusia paling suci.

Ada banyak orang mati-matian menciptakan kesan positif tentang dirinya—dari yang ingin terlihat pintar sampai yang ingin dianggap alim, dari yang hobi mengomentari film bokep sampai yang suka menyitir ayat-ayat suci. Dan pencitraan itu seperti istana pasir. Mungkin tampak megah, tetapi mudah hancur karena tak memiliki fondasi.

Sebagian orang mungkin akan tertipu oleh upaya pencitraan yang dilakukan sebagian orang lainnya. Tetapi, sesuatu disebut “pencitraan” karena ia palsu. Dan segala yang palsu, kapan pun waktunya, pasti akan terungkap. Karenanya, bagi saya pribadi, jauh lebih baik orang menilai saya lebih rendah, daripada menilai saya lebih tinggi. Penilaian yang lebih tinggi dari aslinya akan mendatangkan kekecewaaan, sementara penilaian lebih rendah dari aslinya akan mendatangkan kejutan menyenangkan.

Jika paragraf di atas cukup membingungkan, izinkan saya menjelaskannya.

Bertahun-tahun lalu, saya mengenal seorang perempuan yang—tampaknya—sangat alim. Penampilannya sangat alim, tutur katanya sangat alim, dan dia pun fasih menyemburkan nasihat-nasihat agama di mana saja. Kalau ngomong apa pun, dia selalu menyelipkan hadist atau ayat suci.

Waktu itu saya percaya dia salah satu perempuan paling alim di dunia. Tapi kemudian saya tahu, perempuan yang tampaknya alim itu ternyata juga sangat hobi mengumbar aib orang lain, menjelek-jelekkan orang lain, dan suka menyalahkan siapa pun yang tidak sepaham dengannya. Kepercayaan saya pun sirna. Ternyata kealimannya hanya sebatas “citra”.

Dan sekarang, saya mengenal seorang perempuan bernama Herfiza Novianti, yang penampilannya cenderung seksi. Baru-baru ini dia memang main sinetron dan berperan sebagai gadis berjilbab. Tetapi, dari semua berita dan wawancara yang pernah saya baca, Herfiza tidak pernah bertingkah sok alim apalagi sok suci. Meski begitu, perempuan seksi ini tahu doa menjelang tidur, dan itu sungguh membuat saya terkejut—sebuah keterkejutan yang menyenangkan.

Sekarang saya punya cukup alasan logis untuk jatuh hati pada Herfiza Novianti. Pertama, dia tidak sok alim. Kedua, dia tidak sok suci. Ketiga, lebih penting dari yang lain, dia cantik, Ma’am—tapi tidak sok alim apalagi sok suci.

Teka Teki Langit

Ada dua orang. Yang satu sangat yakin akan masuk surga, sedang yang satu sangat yakin akan masuk neraka.

Jika surga dan neraka benar-benar ada, kira-kira siapa yang akan masuk surga?

….
….

Benar, yang masuk surga adalah orang yang yakin akan masuk neraka.

Rabu, 02 Januari 2013

Akar Kesalahan (6)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Karena jumlah manusia terus meningkat, lapangan kerja pun sampai pada titik ketika mereka tak lagi mampu menampung semua angkatan kerja yang ada. Karena tidak semua pencari kerja bisa mendapatkan pekerjaan, sebagian mereka pun mencari alternatif lain dalam mencari uang. Lalu mereka membuka warung tenda di pinggir jalan, tak peduli harus menggunakan trotoar yang sebenarnya fasilitas umum.

Orang-orang yang menggunakan trotoar untuk berdagang itu mungkin tidak merasa bersalah, toh keberadaan mereka juga memberikan manfaat bagi masyarakat karena orang-orang bisa mendapatkan makan dengan mudah tanpa perlu repot-repot memasak di rumah. Lalu terjadilah saling ketergantungan. Penjual warung makan tergantung pada pembeli dagangannya untuk mendapatkan uang, sementara para pembeli tergantung pada warung-warung itu untuk keperluan makan.

Setelah kesalingtergantungan terjadi, pemerintah kebingungan. Meski pemerintah menyadari keberadaan warung itu melanggar peraturan penggunaan trotoar, mereka juga tidak bisa bebas menindak karena dapat menimbulkan dampak sosial yang lebih parah. Sebagai jalan tengah, pemerintah lalu menarik retribusi. Pemerintah mungkin tidak merasa bersalah dalam hal itu, tetapi di sini ada pihak yang dirugikan, yaitu para pengguna trotoar.

Selain para pengguna trotoar, orang-orang lain juga bisa dirugikan, semisal para pengendara sepeda motor. Akibat yang kemudian bisa timbul adalah kecelakaan sebagaimana yang terjadi pada Doni.

Jadi, dalam kecelakaan yang dialami Doni, siapakah yang bersalah? Sepertinya banyak pihak yang layak menanggung kesalahan atas peristwa itu—dari Doni sendiri, penabraknya, para remaja yang nongkrong di depan gang, sinetron yang mengeskpos pacaran, orang yang mengkampanyekan pernikahan dini, bocah-bocah yang pacaran sampai kebobolan, para pemilik warung tenda, sampai pemerintah. Masing-masing pihak menanggung kesalahannya sendiri-sendiri, yang mungkin tidak mereka sadari.

Setiap satu kesalahan yang kita lakukan dapat menimbulkan kesalahan lain, tak peduli kita menyadarinya atau tidak. Satu kesalahan yang terjadi dapat memicu serentetan peristiwa yang mungkin tampak terpisah dan tidak saling terhubung. Tetapi, jika dirunut ke belakang, kita pun sering terkejut karena menyadari semuanya saling terkait. Seperti kebohongan, satu kesalahan sering kali menuntut kesalahan yang lain.

….
….

Belum lama, saya menghadiri acara seminar agrobisnis, yang membahas tentang usaha pertanian dan perkebunan. Dalam seminar itu, pembicaraan pun sampai pada upaya industri dalam mempercepat panen melalui rekayasa kimiawi. Banyak zat kimia digunakan untuk tanaman agar cepat tumbuh besar, sementara buah dikarbit agar cepat matang.

Yang menjadi masalah, zat-zat kimia yang bersentuhan dengan hasil tanaman atau buah-buahan itu akhirnya akan ikut termakan oleh orang-orang yang mengonsumsinya. Ketika zat-zat kimia yang berasal dari makanan itu masuk ke tubuh, keberadaannya dapat mempengaruhi kesehatan. Ditinjau dari perspektif medis, penggunaan zat kimia untuk tanaman dan buah-buahan tentu satu kesalahan.

Pertanyaannya, mengapa para petani dan pelaku bisnis buah-buahan harus menggunakan zat kimia untuk hasil panen mereka? Jawabannya adalah tuntutan industri. Ada banyak permintaan di pasar yang harus mereka penuhi, sementara hasil panen tidak mencukupi. Untuk mempercepat panen, mereka terpaksa menggunakan cara kimiawi. Dengan bantuan zat kimia, panen bisa dipercepat, permintaan pasar bisa dipenuhi, dan mereka pun diuntungkan.

Sekarang, pertanyaannya, mengapa permintaan pasar untuk hasil tanaman semakin banyak? Jawabannya tentu karena jumlah manusia yang semakin banyak. Dulu, ketika jumlah manusia masih seimbang dengan hasil tanaman, permintaan pasar juga seimbang dengan jumlah yang dipanen. Selain itu, sekarang sawah dan kebun juga semakin berkurang, karena digunakan untuk komplek perumahan. Semakin banyaknya penduduk, tentu semakin banyak dibutuhkan perumahan. Maka tanah yang dulunya sawah dan kebun pun diubah menjadi komplek hunian.

Dulu, para petani menggunakan cara yang benar-benar alami untuk tanaman dan buah-buahan mereka, karena permintaan pasar belum sebanyak sekarang, selain persediaan juga berlimpah karena sawah dan kebun masih ada di mana-mana. Sekarang, sawah dan kebun semakin jarang, maka hasil panen pun menurun. Sementara itu, jumlah penduduk semakin banyak, permintaan pasar untuk hasil tanaman semakin banyak. Jalan yang kemudian ditempuh adalah pengarbitan untuk mempercepat panen, demi memenuhi permintaan pasar.

Jika pertanyaannya dilanjutkan, mengapa jumlah penduduk semakin banyak? Tentu saja karena jumlah kelahiran semakin banyak. Mengapa jumlah kelahiran semakin banyak? Jawabannya dapat dirunut seperti pada penjelasan di atas, yakni karena pasangan suami istri ada yang memutuskan untuk memiliki banyak anak, juga karena ada sebagian orang yang memutuskan untuk menikah di usia dini, juga karena ada remaja-remaja yang kebobolan sewaktu pacaran.

Jadi, bisa saja suatu hari kita mengolok-olok seorang teman dengan menyatakan, “Kapan kawin? Kawin kapan?” Lalu teman kita merasa malu, dan terburu-buru mencari pasangan. Kemudian menikah, demi membungkam mulut kita yang usil. Setelah dia menikah, orang-orang bertanya, “Kapan punya anak?” Maka dia pun buru-buru punya anak demi tidak ditanya terus oleh masyarakatnya.

Setelah punya satu anak, pertanyaan usil belum berhenti. Masyarakat masih bertanya, “Kapan nambah anak?” Lalu dia pun menambah anak. Lalu keterusan. Akibatnya, jumlah manusia semakin banyak, populasi penduduk meledak. Setelah populasi manusia semakin banyak, mereka membutuhkan tempat tinggal. Maka tanah, sawah, dan ladang, terpaksa diubah menjadi komplek perumahan.

Karena tanah yang dulunya sawah dan ladang digunakan untuk perumahan, maka pertanian dan perkebunan pun menyempit, yang salah satu akibatnya mengurangi hasil panen. Sementara itu, karena jumlah manusia semakin banyak, kebutuhan hasil tanaman pun semakin banyak. Karena jumlah kebutuhan tidak sesuai dengan jumlah persediaan, para petani pun mencari upaya alternatif, yang di antaranya menggunakan zat kimiawi. Akibatnya, kesehatan umat manusia terancam.

Kita tak pernah tahu sebesar apa dampak yang ditimbulkan dari perbuatan kita yang mungkin kecil. Seperti kebohongan, satu kesalahan sering kali menuntut kesalahan yang lain.

Alam yang kita tinggali ini memberlakukan hukum yang tegas sekaligus brutal. Setiap peraturan yang dilanggar, akan ada hukuman. Setiap kesalahan yang dilakukan, akan ada balasan. Dan alam semesta menghukum para pelanggar tanpa ribut-ribut, tapi dengan diam-diam dengan berbagai kejadian yang tampaknya tidak berkaitan. Yang mengerikan, hukum itu dilakukan secara brutal, sehingga kadang yang terkena hukuman justru pihak lain yang sebenarnya tidak melakukan kesalahan.

Catatan ini mungkin terkesan berlebihan. Tetapi, kadang-kadang, kita pun sering kali tak sadar ketika sedang berlebihan. Lebih ironis lagi, kita sering kali tidak sadar ketika melakukan kesalahan, dan dengan ringan menganggapnya cuma kebiasaan atau kelaziman.

Kita mungkin tidak tahu bagaimana proses terbentuknya air hujan. Tapi langit tidak menurunkan hujan secara tiba-tiba. Ia melalui proses yang panjang, diam-diam, tak terlihat, kemudian hujan turun, dan kita semua terkena airnya. Sebagaimana hujan dari langit tidak muncul tanpa sebab, semua peristiwa dalam kehidupan kita pun saling berkaitan antara sebab dan akibat. Seperti pohon besar berasal dari akar yang kecil, tumpukan kesalahan berawal dari akar kesalahan yang juga kecil.

Akar Kesalahan (5)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Kemudian, lapangan kerja menyempit juga bisa disebabkan faktor kedua, yaitu tidak berimbangnya lapangan kerja dengan jumlah pencari kerja. Artinya, para pencari kerja jauh lebih banyak dibanding lapangan kerja yang ada. Karena tidak berimbang antara lowongan dan pelamar, maka tentu ada sebagian orang yang menganggur karena tidak mendapat pekerjaan. Karena membutuhkan uang untuk menunjang hidup, orang-orang yang tidak mendapat pekerjaan itu pun mencari jalan alternatif, yang salah satunya membuka warung tenda di pinggir jalan atau trotoar.

Pertanyaannya kemudian, mengapa lapangan kerja tidak berimbang dengan jumlah pencari kerja? Kita sedang bicara tentang manusia. Dan jawaban untuk pertanyaan itu tentu saja mudah, yakni karena jumlah manusia makin hari makin banyak. Banyaknya jumlah itu kemudian tak bisa lagi diimbangi lapangan kerja yang tersedia.

Tak bisa dipungkiri, populasi penduduk—khususnya di Indonesia—makin tahun terus meningkat. Jumlah anak yang lahir terus membengkak, dan jumlah manusia yang menghuni planet ini pun terus bertambah. Padahal, setiap bayi yang lahir membutuhkan hidup, dan setiap hidup membutuhkan biaya, dari biaya makan sampai biaya hiburan. Untuk membiayai semua itu tentu dibutuhkan uang. Untuk mendapatkan uang, jalan umum yang dilakukan manusia adalah bekerja. Ketika lapangan kerja sulit diperoleh, mereka pun mencari cara lain. Salah satunya membuka warung di pinggir jalan.

Sekarang, pertanyaannya, mengapa jumlah manusia semakin banyak?

Jawaban untuk pertanyaan itu bisa beragam. Ada cukup banyak suami-istri yang memutuskan untuk memiliki banyak anak. Maka jumlah kelahiran pun terus meningkat dari tahun ke tahun. Tetapi tidak hanya itu. Meningkatnya jumlah kelahiran bayi manusia juga disebabkan oleh makin banyaknya orang—khususnya di Indonesia—yang menikah di usia dini.

Mereka yang menikah dini itu bisa disebabkan karena memang telah siap menikah jiwa raga, bisa karena termakan rayuan segelintir orang yang mengkampanyekan pernikahan dini, bisa karena ingin meniru sinetron yang mereka tonton, atau bahkan bisa pula karena keasyikan pacaran lalu “kebobolan” dan terpaksa menikah karena si cowok telanjur menanamkan benih di rahim si cewek. Apa pun latar belakangnya, pernikahan dini itu kemudian ikut menyumbang ledakan penduduk di dunia.

Sampai di sini, kita mulai melihat bahwa suatu hal bisa memiliki implikasi bahkan konsekuensi yang beruntun. Satu peristiwa yang terjadi bisa memicu terjadinya peristiwa lain yang sambung menyambung, yang bahkan sekilas tampak tidak saling berkait. Dari peristiwa kecelakaan yang terjadi di depan gang komplek rumah saya, runtutan peristiwanya bisa ditarik sampai maraknya kampanye pernikahan dini, pacaran yang kebablasan, atau cerita sinetron.

Karena sinetron terus-menerus merayu penonton untuk pacaran, maka orang-orang—khususnya remaja—pun terpengaruh. Mereka aktif mencari pacar, dan asyik pacaran. Karena ada segelintir orang yang agresif mengkampanyekan pernikahan dini, sebagian orang pun terpengaruh, dan melakukan pernikahan dini yang konon indah laksana surga. Hasilnya kemudian adalah bayi-bayi yang dilahirkan, dan jumlah manusia yang terus meningkat.

Para pembuat sinetron atau orang-orang yang mengkampanyekan pernikahan dini mungkin tidak merasa bersalah, tapi yang jelas mereka menimbulkan dampak bagi yang terpengaruh. Dampak yang paling jelas adalah meningkatnya jumlah kelahiran.

Lanjut ke sini.

Akar Kesalahan (4)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Pemerintah kebingungan. Sekarang, yang dihadapi pemerintah mungkin bukan hanya dilema, tetapi bahkan telah menjadi trilema. Di satu sisi, mereka tahu warung-warung tenda itu melakukan kesalahan. Di sisi lain, mereka tidak mampu menindak para pelaku kesalahan tersebut karena menyadari warung-warung itu bisa ada di sana karena sempitnya lapangan kerja. Di sisi lain lagi, masyarakat luas juga membutuhkan warung-warung itu untuk makan.

Jika warung-warung tenda ditindak tegas dan dihilangkan, pemerintah tentu melakukan hal yan benar. Tetapi implikasinya akan berat sekali. Warung-warung itu telah menjadi mata pencaharian jutaan orang. Menghilangkan mereka sama artinya menghilangkan nafkah sekian juta keluarga, dan itu tentunya akan menimbulkan dampak yang sangat besar. Akhirnya, alih-alih melarang dan menindak keberadaan warung-warung tenda, pemerintah justru memanfaatkannya dengan menarik retribusi.

Karena menyadari tidak mungkin menghilangkan warung-warung itu, pemerintah mengambil jalan yang mungkin mereka anggap cantik—membiarkan mereka beroperasi, sekaligus menambah jumlah pajak pendapatan. Dengan langkah itu, semua pihak merasa senang. Para pemilik warung tenda bisa terus berdiri, masyarakat bisa makan dengan mudah, sementara pemerintah daerah mendapatkan tambahan pemasukan melalui retribusi. Semuanya senang, tidak ada yang dirugikan.

Tetapi benarkah tidak ada yang dirugikan…?

Berkaitan dengan trotoar yang disalahgunakan, secara langsung ada pihak yang telah dirugikan. Yaitu para pejalan kaki. Pemerintah mengabaikan hak para pejalan kaki, karena mungkin dalam pertimbangan mereka para pemilik warung makan lebih layak dibela dibanding para pejalan kaki yang tak memberikan kontribusi apa-apa.

Padahal, kalau saja semua trotoar bebas dari gangguan, dalam arti tidak ada warung-warung tenda yang didirikan di sana, maka trotoar akan lebih bersih dan lebih sehat. Apalagi jika dihiasi tanaman dan pohon-pohonan. Jika trotoar bersih dan sehat, kita pun dapat membayangkan para pejalan kaki bisa jalan-jalan dengan santai tanpa terganggu, mungkin sepasang remaja yang saling bergandengan, mungkin sekeluarga yang refresing dengan cara murah, mungkin pula sepasang manula yang berjalan perlahan sambil bernostalgia.

Tetapi bayangan indah semacam itu tidak terjadi, karena trotoar telah dipenuhi para pencari rezeki. Saya sendiri, dalam konteks masalah ini, kebingungan untuk menyalahkan siapa. Saya tidak berani menyalahkan pemerintah, karena menyadari dilema atau bahkan trilema yang dihadapinya. Saya juga tidak berani menyalahkan para pemilik warung tenda, karena menyadari mereka tentu butuh menafkahi keluarga, anak dan istrinya. Lebih dari itu, saya sendiri juga sering makan di warung-warung semacam itu.

Karenanya, sekarang mari kita masuk lebih dalam lagi ke persoalan ini.

Berdasarkan pemaparan di atas, kita melihat bahwa salah satu faktor pemicu munculnya warung-warung tenda di pinggir jalan karena sempitnya lapangan kerja. Karena kesulitan mencari pekerjaan, orang-orang pun mencari alternatif lain yang salah satunya mendirikan warung tenda, untuk mendapatkan uang, untuk mengais nafkah, untuk menghidupi keluarga. Pemerintah memahami dan memaklumi itu, dan membiarkannya.

Pertanyaannya sekarang, mengapa lapangan kerja menyempit?

Lapangan kerja menyempit, setidaknya karena dua faktor. Pertama, karena adanya mesin dan robot-robot yang telah menggantikan tenaga manusia. Bersama dunia yang makin maju, teknologi pun semakin modern, dan mesin serta robot-robot mengambil alih tenaga manusia. Karena keberadaan mereka, sekian banyak pekerjaan yang semula dilakukan manusia terpaksa dihilangkan, dan akibatnya lapangan kerja menyempit.

Lanjut ke sini.

Akar Kesalahan (3)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Karena keberadaan warung-warung itu, para pejalan kaki harus mengalah. Mereka harus melangkah ke tengah jalan, yang tentunya bisa mengancam keselamatan jika kebetulan ada pengendara motor atau mobil yang kebetulan lengah. Bahkan kecelakaan yang menimpa Doni juga terjadi, salah satunya disebabkan keberadaan warung tenda itu.

Jadi, apakah warung tenda yang bersalah atas kecelakaan yang menimpa Doni? Jika kita menyalahkan warung tenda atas kecelakaan itu, pemilik warung kemungkinan besar tidak terima. Mereka bisa saja menyatakan, “Kalian saling menabrak, dan sekarang malah menyalahkan kami? Yang benar saja!” Artinya, meski mungkin ikut andil dalam terjadinya kecelakaan itu, warung tenda di sana belum tentu merasa bersalah.

Sekarang, mari kita masuk ke persoalan ini lebih dalam lagi. Mengapa ada banyak warung makan tenda di pinggir jalan, di atas trotoar? Dengan kata lain, mengapa ada kesalahan yang terus dibiarkan di sekeliling kita?

Jika kita mengacu pada peraturan formal, kita sama-sama tahu bahwa keberadaan trotoar ditujukan untuk para pengguna jalan, khususnya para pejalan kaki. Artinya, jika kita menggunakan trotoar untuk tujuan lain, kita telah melakukan kesalahan. Karena warung-warung tenda didirikan di atas trotoar sehingga mengganggu para pejalan kaki, maka tentu mereka dapat dianggap telah melakukan kesalahan, karena menyalahgunakan fasilitas umum. Pertanyaannya, mengapa kesalahan itu sampai terjadi?

Jawaban yang muncul dalam kepala kita, mungkin karena tidak adanya ketegasan pemerintah—khususnya masing-masing pemerintah daerah—dalam memberlakukan peraturan. Pemerintah tidak tegas dalam memberlakukan peraturan menyangkut trotoar, sehingga fasilitas umum itu disalahgunakan untuk kepentingan pribadi (mendirikan warung tenda).

Jika pemerintah tegas, mereka tentu bisa melarang siapa pun mendirikan warung tenda di atas trotoar, dan menindak atau bahkan menghukum siapa pun yang mencoba melanggarnya. Jika pemerintah tegas memberlakukan peraturan yang telah dibuatnya sendiri, maka warung tenda tidak akan ada lagi di trotoar, para pejalan kaki dapat menggunakannya dengan lebih baik, dan kecelakaan semisal yang menimpa Doni bisa diminimalisasi.

Kenyataannya, pemerintah tidak tegas dalam peraturan menyangkut trotoar dan penggunaannya. Sehingga penyalahgunaan trotoar pun terus terjadi, bahkan bisa dibilang semakin lama semakin banyak.

Mengapa pemerintah tidak bisa tegas dalam hal itu? Mungkin karena pemerintah terjebak dalam dilema yang tak bisa diselesaikannya sendiri. Pemerintah tahu warganya butuh pekerjaan agar dapat menghasilkan uang untuk menghidupi keluarga. Sedangkan lapangan kerja sulit diperoleh, sehingga sebagian warga pun mencari alternatif, yang salah satunya membuka warung tenda. Karena tidak mampu membeli tanah atau menyewa ruang di mall, mereka pun mendirikannya di atas trotoar.

Pemerintah tahu itu kesalahan. Pemerintah menyadari bahwa mendirikan warung tenda di atas trotoar adalah penyalahgunaan fasilitas umum, dan pelakunya dapat ditindak. Tetapi, seperti yang disebutkan di atas, pemerintah menghadapi dilema. Jika mereka memberlakukan peraturan secara tegas menyangkut trotoar dan menindak siapa pun yang menyalahgunakannya, maka artinya akan ada sekian ribu atau bahkan sekian juta orang yang akan kehilangan mata pencahariannya.

Mungkin, warung tenda yang ada di atas trotoar semula hanya sedikit. Karena pemerintah tidak segera menindak yang sedikit itu, lama-lama warung tenda semacam itu pun semakin banyak. Pemerintah masih diam, dan jumlahnya semakin banyak lagi. Akhirnya, seperti yang kita saksikan sekarang, hampir sepanjang trotoar dihiasi warung-warung tenda. Dan pemerintah pun kebingungan.

Lanjut ke sini.

Akar Kesalahan (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Kita mulai dari Doni. Dia mengendarai motornya perlahan-lahan, dan keluar dari gang juga perlahan-lahan. Sebagai pengendara motor, dia pengendara yang baik. Bahkan, sebegitu baiknya, dia sampai mengalah untuk membawa motornya agak ke tengah jalan ketika berbelok, karena di depan gang ada sekelompok remaja yang sedang nongkrong. Dia tidak ingin mengganggu para remaja itu. Kemudian, Doni juga telah menengok ke belakang untuk memastikan jalan raya memang aman, tapi sayang pandangannya terhalang keberadaan tenda warung makan.

Jika kita harus menyalahkan sesuatu atau seseorang, siapakah yang bersalah?

Doni mungkin bersalah, karena dia langsung melaju ke tengah jalan. Tapi jangan lupa, dia melaju ke tengah jalan karena ada sekelompok remaja yang sedang nongkrong di depan gang. Kalau remaja-remaja itu tidak ada di sana, Doni tentu akan berbelok dengan mengambil bagian pinggir jalan yang pastinya lebih aman.

Jadi, apakah sekelompok remaja yang nongkrong di depan gang itu yang bersalah? Mungkin ya. Tetapi juga jangan lupakan keberadaan warung makan tenda yang ada di depan gang. Di bagian kanan depan gang kompek saya tinggal, ada warung makan tenda yang berdiri di atas trotoar sampai sekitar semeter di depan trotoar. Warung makan itu buka setiap jam 5 sore, sampai sekitar jam 11 atau 12 malam. Tenda warung itulah yang menghalangi pandangan Doni ketika ia menengok ke belakang, sehingga tidak bisa melihat ada motor yang sedang melaju ke arahnya.

Padahal, kalau saja warung itu tidak ada, pandangan Doni akan bebas ke arah belakangnya, dan dia pasti akan melihat dengan jelas apakah jalan raya sedang aman atau tidak. Artinya, jika tidak ada remaja-remaja yang nongkrong di depan gang, dan tidak ada warung tenda tersebut, maka kecelakaan tadi kemungkinan tak terjadi. Atau, jika salah satu di antara kedua hal di atas (remaja yang nongkrong atau warung tenda) tidak ada, kecelakaan tadi juga mungkin tak terjadi.

Kita mulai melihat keterkaitan implikasinya?

Mengapa ada sekelompok remaja nongkrong di pinggir jalan, tepat di depan gang? Mungkin karena mereka tidak memiliki kegiatan. Atau mungkin karena mereka bosan dengan aktivitas keseharian, lalu ngumpul dengan teman sambil melihat-lihat orang berlalu lalang. Yang jelas, mereka tidak tahu acara nongkrong di depan gang semacam itu dapat menimbulkan bahaya bagi orang lain, semisal kecelakaan seperti yang dialami Doni.

Kalau kita mau menyalahkan para remaja itu, mereka pasti dengan mudah menjawab bahwa mereka hanya sebatas nongkrong di sana, dan mereka juga tidak mengganggu orang lain secara langsung. Mereka tidak merasa merugikan siapa pun, jadi apa salahnya? Lagi pula, mereka juga bisa menyatakan bahwa dibanding mereka, keberadaan warung-warung di trotoar tentu jauh lebih mengganggu. Mereka hanya nongkrong sejam atau dua jam, sementara warung-warung tenda di trotoar ada di sana sampai semalaman.

Sekarang tinggalkan para remaja itu, dan lihat warung makan tenda di trotoar. Mengapa ada warung-warung makan tenda yang didirikan di atas trotoar? Kita tahu, di mana-mana ada warung tenda semacam itu. Mereka biasanya buka sore hari, dan baru tutup larut malam. Mereka mendirikan tenda menggunakan kain atau terpal plastik dengan kerangka bambu. Tidak hanya di atas trotoar, lebar warung mereka juga sering kali sampai di bagian jalan.

Apakah mereka mengganggu? Terus terang, kadang kita terganggu dengan keberadaan mereka, meski kita juga mungkin sering makan di warung-warung semacam itu. Warung-warung tenda itu hampir bisa dikatakan memenuhi sepanjang trotoar, sehingga para pejalan kaki kesulitan menggunakan fasilitas trotoar yang sebenarnya ditujukan untuk mereka.

Lanjut ke sini.

Akar Kesalahan (1)

Seperti kebohongan, satu kesalahan
akan menuntut kesalahan yang lain.
@noffret 


Ini kisah sepele, tapi membuat kepala saya terasa mau pecah ketika memikirkannya. Jadi, suatu sore—sekitar jam lima—saya berjalan keluar komplek rumah saya untuk membeli rokok. Sewaktu sampai di depan gang, terlihat ada cukup banyak orang yang sedang mengerumuni sesuatu. Karena penasaran, saya pun mendekat untuk mengetahui apa yang terjadi. Rupanya ada kecelakaan beberapa menit yang lalu, antara dua sepeda motor.

Berdasarkan penuturan orang-orang yang saya dengarkan, kronologi peristiwanya seperti ini. Doni, tetangga saya, naik motor perlahan-lahan. Ketika sampai di depan gang, Doni berbelok ke arah kiri (utara). Karena ada beberapa remaja yang sedang nongkrong di depan gang, Doni pun berbelok sambil menengah ke jalan raya, agar tidak menyerempet para remaja yang sedang nongkrong di sana.

Seiring dengan itu, sebuah motor dari arah kanan (selatan) melaju kencang di belakang Doni, dan tidak mampu mengerem ketika Doni muncul dari dalam gang. Akibatnya, motor yang sedang ngebut itu pun menabrak motor Doni.

Doni, yang tidak tahu akan ditabrak dari belakang, tentu saja terkejut, dan dia terlempar dari motornya. Sementara si penabrak juga jatuh karena upaya pengereman, juga karena panik. Orang-orang pun segera menolong mereka, dan itulah kerumunan yang kemudian saya saksikan.

Si penabrak ditanya, mengapa dia sampai menabrak Doni dari belakang. Orang itu menjawab, dia tidak tahu kalau Doni akan muncul tiba-tiba dari dalam gang. Waktu itu dia melaju kencang karena dipikirnya berada di posisi tengah jalan raya, tapi tiba-tiba Doni muncul dari dalam gang dan langsung mengambil posisi di tengah jalan. Yang dikatakannya memang benar. Dia memang melaju di tengah jalan, dan Doni juga mengakui kalau dia berbelok dari arah gang langsung ke tengah jalan.

Kemudian Doni ditanya, kenapa dia berbelok tidak hati-hati dengan mengambil arah pinggir, tapi langsung ke tengah jalan. Doni menjelaskan, waktu itu ada beberapa remaja yang sedang nongkrong di depan gang, dan dia terpaksa berbelok agak ke tengah jalan agar motornya tidak mengganggu mereka. Doni juga menjelaskan, dia sudah menengok ke belakang, untuk memastikan tidak ada motor yang sedang melaju ke arahnya. Tetapi pandangannya terhalang oleh keberadaan tenda warung makan yang ada di depan trotoar depan gang.

Ini masalah sepele di jalan raya, suatu peristiwa yang mungkin terjadi sehari-hari, namun mengandung implikasi yang sangat rumit ketika saya pikirkan.

Berdasarkan kisah dan kronologi di atas, menurutmu siapakah yang bersalah? Doni, atau si penabrak? Bagi saya, keduanya bisa sama-sama salah, bisa pula sama-sama tak bersalah. Doni bersalah, karena dia langsung ke tengah jalan begitu keluar dari gang. Begitu pula penabraknya juga bersalah, karena menabrak orang lain dari belakang. Seharusnya mereka lebih berhati-hati.

Tetapi, keduanya juga bisa tidak bersalah. Doni tidak tahu ada motor yang melaju kencang dari belakangnya, karena pandangannya terhalang tenda warung. Sementara si penabrak juga terkejut, karena Doni tiba-tiba muncul di tengah jalan begitu keluar dari gang. Keduanya tidak salah, karena sama-sama tidak tahu.

Sekarang, mari kita pikirkan kronologi kisah ini, dan lihat betapa besar implikasi yang telah terjadi dalam peristiwanya.

Lanjut ke sini.
 

Andhika Mengakui Telah Mencabuli Gadis di Bawah Umur, dan Menyatakan Semua Cewek Mau sama Dia

Wis karep-karepmu, lah. Pusing sirahku.

 
;