Rabu, 02 Januari 2013

Akar Kesalahan (6)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Karena jumlah manusia terus meningkat, lapangan kerja pun sampai pada titik ketika mereka tak lagi mampu menampung semua angkatan kerja yang ada. Karena tidak semua pencari kerja bisa mendapatkan pekerjaan, sebagian mereka pun mencari alternatif lain dalam mencari uang. Lalu mereka membuka warung tenda di pinggir jalan, tak peduli harus menggunakan trotoar yang sebenarnya fasilitas umum.

Orang-orang yang menggunakan trotoar untuk berdagang itu mungkin tidak merasa bersalah, toh keberadaan mereka juga memberikan manfaat bagi masyarakat karena orang-orang bisa mendapatkan makan dengan mudah tanpa perlu repot-repot memasak di rumah. Lalu terjadilah saling ketergantungan. Penjual warung makan tergantung pada pembeli dagangannya untuk mendapatkan uang, sementara para pembeli tergantung pada warung-warung itu untuk keperluan makan.

Setelah kesalingtergantungan terjadi, pemerintah kebingungan. Meski pemerintah menyadari keberadaan warung itu melanggar peraturan penggunaan trotoar, mereka juga tidak bisa bebas menindak karena dapat menimbulkan dampak sosial yang lebih parah. Sebagai jalan tengah, pemerintah lalu menarik retribusi. Pemerintah mungkin tidak merasa bersalah dalam hal itu, tetapi di sini ada pihak yang dirugikan, yaitu para pengguna trotoar.

Selain para pengguna trotoar, orang-orang lain juga bisa dirugikan, semisal para pengendara sepeda motor. Akibat yang kemudian bisa timbul adalah kecelakaan sebagaimana yang terjadi pada Doni.

Jadi, dalam kecelakaan yang dialami Doni, siapakah yang bersalah? Sepertinya banyak pihak yang layak menanggung kesalahan atas peristwa itu—dari Doni sendiri, penabraknya, para remaja yang nongkrong di depan gang, sinetron yang mengeskpos pacaran, orang yang mengkampanyekan pernikahan dini, bocah-bocah yang pacaran sampai kebobolan, para pemilik warung tenda, sampai pemerintah. Masing-masing pihak menanggung kesalahannya sendiri-sendiri, yang mungkin tidak mereka sadari.

Setiap satu kesalahan yang kita lakukan dapat menimbulkan kesalahan lain, tak peduli kita menyadarinya atau tidak. Satu kesalahan yang terjadi dapat memicu serentetan peristiwa yang mungkin tampak terpisah dan tidak saling terhubung. Tetapi, jika dirunut ke belakang, kita pun sering terkejut karena menyadari semuanya saling terkait. Seperti kebohongan, satu kesalahan sering kali menuntut kesalahan yang lain.

….
….

Belum lama, saya menghadiri acara seminar agrobisnis, yang membahas tentang usaha pertanian dan perkebunan. Dalam seminar itu, pembicaraan pun sampai pada upaya industri dalam mempercepat panen melalui rekayasa kimiawi. Banyak zat kimia digunakan untuk tanaman agar cepat tumbuh besar, sementara buah dikarbit agar cepat matang.

Yang menjadi masalah, zat-zat kimia yang bersentuhan dengan hasil tanaman atau buah-buahan itu akhirnya akan ikut termakan oleh orang-orang yang mengonsumsinya. Ketika zat-zat kimia yang berasal dari makanan itu masuk ke tubuh, keberadaannya dapat mempengaruhi kesehatan. Ditinjau dari perspektif medis, penggunaan zat kimia untuk tanaman dan buah-buahan tentu satu kesalahan.

Pertanyaannya, mengapa para petani dan pelaku bisnis buah-buahan harus menggunakan zat kimia untuk hasil panen mereka? Jawabannya adalah tuntutan industri. Ada banyak permintaan di pasar yang harus mereka penuhi, sementara hasil panen tidak mencukupi. Untuk mempercepat panen, mereka terpaksa menggunakan cara kimiawi. Dengan bantuan zat kimia, panen bisa dipercepat, permintaan pasar bisa dipenuhi, dan mereka pun diuntungkan.

Sekarang, pertanyaannya, mengapa permintaan pasar untuk hasil tanaman semakin banyak? Jawabannya tentu karena jumlah manusia yang semakin banyak. Dulu, ketika jumlah manusia masih seimbang dengan hasil tanaman, permintaan pasar juga seimbang dengan jumlah yang dipanen. Selain itu, sekarang sawah dan kebun juga semakin berkurang, karena digunakan untuk komplek perumahan. Semakin banyaknya penduduk, tentu semakin banyak dibutuhkan perumahan. Maka tanah yang dulunya sawah dan kebun pun diubah menjadi komplek hunian.

Dulu, para petani menggunakan cara yang benar-benar alami untuk tanaman dan buah-buahan mereka, karena permintaan pasar belum sebanyak sekarang, selain persediaan juga berlimpah karena sawah dan kebun masih ada di mana-mana. Sekarang, sawah dan kebun semakin jarang, maka hasil panen pun menurun. Sementara itu, jumlah penduduk semakin banyak, permintaan pasar untuk hasil tanaman semakin banyak. Jalan yang kemudian ditempuh adalah pengarbitan untuk mempercepat panen, demi memenuhi permintaan pasar.

Jika pertanyaannya dilanjutkan, mengapa jumlah penduduk semakin banyak? Tentu saja karena jumlah kelahiran semakin banyak. Mengapa jumlah kelahiran semakin banyak? Jawabannya dapat dirunut seperti pada penjelasan di atas, yakni karena pasangan suami istri ada yang memutuskan untuk memiliki banyak anak, juga karena ada sebagian orang yang memutuskan untuk menikah di usia dini, juga karena ada remaja-remaja yang kebobolan sewaktu pacaran.

Jadi, bisa saja suatu hari kita mengolok-olok seorang teman dengan menyatakan, “Kapan kawin? Kawin kapan?” Lalu teman kita merasa malu, dan terburu-buru mencari pasangan. Kemudian menikah, demi membungkam mulut kita yang usil. Setelah dia menikah, orang-orang bertanya, “Kapan punya anak?” Maka dia pun buru-buru punya anak demi tidak ditanya terus oleh masyarakatnya.

Setelah punya satu anak, pertanyaan usil belum berhenti. Masyarakat masih bertanya, “Kapan nambah anak?” Lalu dia pun menambah anak. Lalu keterusan. Akibatnya, jumlah manusia semakin banyak, populasi penduduk meledak. Setelah populasi manusia semakin banyak, mereka membutuhkan tempat tinggal. Maka tanah, sawah, dan ladang, terpaksa diubah menjadi komplek perumahan.

Karena tanah yang dulunya sawah dan ladang digunakan untuk perumahan, maka pertanian dan perkebunan pun menyempit, yang salah satu akibatnya mengurangi hasil panen. Sementara itu, karena jumlah manusia semakin banyak, kebutuhan hasil tanaman pun semakin banyak. Karena jumlah kebutuhan tidak sesuai dengan jumlah persediaan, para petani pun mencari upaya alternatif, yang di antaranya menggunakan zat kimiawi. Akibatnya, kesehatan umat manusia terancam.

Kita tak pernah tahu sebesar apa dampak yang ditimbulkan dari perbuatan kita yang mungkin kecil. Seperti kebohongan, satu kesalahan sering kali menuntut kesalahan yang lain.

Alam yang kita tinggali ini memberlakukan hukum yang tegas sekaligus brutal. Setiap peraturan yang dilanggar, akan ada hukuman. Setiap kesalahan yang dilakukan, akan ada balasan. Dan alam semesta menghukum para pelanggar tanpa ribut-ribut, tapi dengan diam-diam dengan berbagai kejadian yang tampaknya tidak berkaitan. Yang mengerikan, hukum itu dilakukan secara brutal, sehingga kadang yang terkena hukuman justru pihak lain yang sebenarnya tidak melakukan kesalahan.

Catatan ini mungkin terkesan berlebihan. Tetapi, kadang-kadang, kita pun sering kali tak sadar ketika sedang berlebihan. Lebih ironis lagi, kita sering kali tidak sadar ketika melakukan kesalahan, dan dengan ringan menganggapnya cuma kebiasaan atau kelaziman.

Kita mungkin tidak tahu bagaimana proses terbentuknya air hujan. Tapi langit tidak menurunkan hujan secara tiba-tiba. Ia melalui proses yang panjang, diam-diam, tak terlihat, kemudian hujan turun, dan kita semua terkena airnya. Sebagaimana hujan dari langit tidak muncul tanpa sebab, semua peristiwa dalam kehidupan kita pun saling berkaitan antara sebab dan akibat. Seperti pohon besar berasal dari akar yang kecil, tumpukan kesalahan berawal dari akar kesalahan yang juga kecil.

 
;